BlueStacks X Adalah Layanan Cloud Gaming Gratis untuk Game Mobile, Bisa Langsung Diakses via Browser

Bagi yang pernah mencoba memainkan game Android di PC Windows dengan bantuan software emulator, Anda pasti pernah setidaknya mendengar nama BlueStacks. Emulator Android memang ada banyak, akan tetapi BlueStacks adalah salah satu yang terlama sekaligus terpopuler, dengan total unduhan melebihi 1 miliar kali per Februari 2021.

Meski sudah eksis sejak lama, BlueStacks sebenarnya baru berfokus ke gaming mulai tahun 2016. Sekarang, BlueStacks sudah siap untuk membuka lembaran baru dan merambah segmen yang sedang naik daun, yakni cloud gaming. Mereka meluncurkan BlueStacks X, sebuah layanan cloud gaming gratis untuk game mobile.

BlueStacks X bukanlah sebuah aplikasi. Layanan ini bisa diakses langsung melalui browser di berbagai perangkat. Jadi tidak peduli Anda menggunakan perangkat Windows, macOS, iOS, Android, Chrome OS, Linux, atau malah Raspberry Pi, Anda hanya perlu membuka browser dan mengunjungi x.bluestacks.com untuk mulai bermain. BlueStacks bahkan mengklaim layanannya ini juga tersedia di sejumlah model smart TV.

Agar bisa menjangkau lebih banyak gamer lagi, BlueStacks X juga akan diintegrasikan ke Discord melalui sebuah bot bernama Cloudy. BlueStacks menjanjikan kustomisasi yang mendalam, sehingga admin server Discord bisa menentukan game apa saja yang bakal tersedia buat komunitasnya.

BlueStacks X ditenagai oleh teknologi hybrid cloud yang dibangun bersama sister company BlueStacks, now.gg. Layanan semacam ini juga tidak akan bisa terwujud tanpa eksistensi server berbasis ARM macam AWS Graviton. Seperti layanan cloud gaming pada umumnya, semua pemrosesan di BlueStacks X berlangsung di server, dan yang dilakukan oleh perangkat pengguna sebenarnya cuma streaming.

Pengalaman singkat mencoba BlueStacks X

Berhubung penasaran, saya pun memutuskan untuk langsung mencoba BlueStacks X. Di halaman utamanya, kita akan langsung disuguhi dengan deretan game yang sudah tersedia. Sampai artikel ini ditulis, saya melihat sudah ada 13 judul game yang bisa dimainkan di BlueStacks X.

Untuk mulai bermain, kita akan diminta untuk login menggunakan akun Google, Facebook, atau Discord. Setelahnya, tinggal pilih judul game yang ingin dimainkan dan klik tombol “Play On Cloud”. Dari situ kita akan dibawa ke sebuah tab baru, dan setelah proses loading selama beberapa detik, game-nya langsung siap untuk dimainkan. Tidak ada yang perlu diunduh terlebih dulu.

Saya tidak menemukan problem selama bermain menggunakan browser Chrome di PC. Performanya cukup mulus, tapi entah kenapa cuma terbatas di resolusi 720p 30 fps. Padahal, BlueStacks mengklaim game akan berjalan secara konstan di 60 fps, dan koneksi internet saya cukup mumpuni untuk streaming resolusi 4K di YouTube dengan lancar. Tebakan saya, mungkin karena status BlueStacks X yang sejauh ini masih beta.

Saya juga belum menemukan satu pun iklan di BlueStacks X. Padahal, BlueStacks berencana memonetisasi layanan ini dengan iklan. Kepada The Verge, Rosen Sharma selaku CEO BlueStacks menjelaskan bahwa iklannya bersifat pre-roll, alias diputar di awal dan tidak akan menginterupsi di tengah-tengah permainan.

Andai iklannya diputar selama proses loading awal tiap game, saya rasa tidak akan ada yang keberatan. Ke depannya, BlueStacks juga berencana menawarkan paket subscription. Kemungkinan besar, salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah pengalaman bebas iklan.

Berhubung semuanya berjalan di cloud, BlueStacks X turut mendukung sinkronisasi antar perangkat. Saat saya membuka BlueStacks X via browser Safari di iPhone 6S dan login memakai akun Google yang sama, saya pun bisa melanjutkan sesi permainan yang sebelumnya saya jalani di PC. Tidak perlu mengulang dari awal.

Di iPhone yang sudah sangat uzur tersebut, game-nya pun bisa berjalan dengan mulus. Sayang tampilan game-nya tidak bisa dibuat full-screen. Terlepas dari itu, bisa dibayangkan betapa bergunanya layanan BlueStacks X ini bagi pengguna yang spesifikasi ponselnya terlalu rendah untuk memainkan game tertentu. Pesan untuk tim BlueStacks: tolong segera tambahkan Genshin Impact ke katalog BlueStacks X.

Bubarkan Studio, Stadia Tak Lagi Berniat Mengembangkan Game Sendiri

Google Stadia dibangun di atas ambisi yang begitu besar untuk merevolusi industri gaming. Begitu besarnya, Google bahkan tidak segan membentuk studio first-party sendiri guna menciptakan permainan-permainan eksklusif untuk pelanggan Stadia.

Hampir dua tahun berlalu semenjak studio bernama Stadia Games and Entertainment itu didirikan, tapi sejauh ini belum ada satu pun game bikinannya yang berhasil dirilis. Lebih mengecewakan lagi, Google malah memutuskan untuk menutup studio tersebut per tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Dalam pengumuman resminya, Google menjelaskan bahwa mereka kini akan berfokus mengembangkan teknologi di balik layar Stadia sekaligus mengekspansikan bisnisnya. Konten eksklusif tidak lagi menjadi prioritas dengan dibubarkannya Stadia Games and Entertainment, meski mungkin bakal ada beberapa judul game eksklusif bikinannya yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Dengan kata lain, mulai sekarang Stadia akan sepenuhnya mengandalkan game pihak ketiga. Ini sebenarnya bukanlah sebuah hal yang buruk, apalagi mengingat Stadia terbukti mampu menyuguhkan pengalaman bermain yang sangat baik, bahkan untuk game seberat Cyberpunk 2077 sekalipun.

Google Stadia

Google memastikan bahwa tidak akan ada yang berubah dari Stadia sebagai sebuah layanan. Ke depannya, mereka berniat untuk menjalin kerja sama dengan kalangan publisher game, menawarkan teknologinya sehingga bisa dipakai oleh banyak perusahaan game. Google percaya bahwa ini merupakan cara terbaik bagi Stadia untuk bertumbuh menjadi bisnis yang sustainable.

Arahan baru ini sudah bisa kita lihat dari rencana perilisan Crayta untuk PC. Crayta adalah game sandbox yang sejauh ini cuma bisa dimainkan di Stadia saja. Yang menarik dari game tersebut adalah teknologi bernama State Share, yang memungkinkan interaksi multiplayer secara seamless, dan itu tidak akan bisa terwujud tanpa dukungan arsitektur cloud milik Stadia.

Saya tidak akan terkejut seandainya nanti bakal ada lebih banyak game yang dirilis di Stadia yang menawarkan fitur State Share ini. Game-nya memang bisa kita mainkan di platform lain, akan tetapi kalau kita memainkannya via Stadia, maka kita juga bisa menikmati kepraktisan yang ditawarkan fitur State Share. Alternatifnya, pihak developer dan publisher juga bisa melisensikan teknologi ini dari Stadia.

Semua ini tentu baru sebatas spekulasi. Menjabarkan rencana ke depan Stadia secara konkret mungkin terkesan masih terlalu dini, tapi yang pasti mengembangkan game sendiri sudah tidak termasuk lagi dalam kamus mereka.

Sumber: Games Industry.

GeForce Now Hadir di iOS via Browser, Stadia dan xCloud Bakal Menyusul

Premis di balik layanan cloud gaming sebenarnya cukup simpel: dengan hanya bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil, pelanggan dapat memainkan berbagai game AAA yang dibuat untuk PC maupun console melalui bermacam perangkat, termasuk halnya smartphone dan tablet.

Namun kalau kita mampir ke situs milik tiga layanan cloud gaming terbesar yang ada sekarang – GeForce Now, Stadia, dan xCloud (Xbox Game Pass) – ternyata yang dimaksud smartphone dan tablet tidak mencakup platform iOS sama sekali. Bukan, ini bukan berarti ketiganya pro-Android, tapi justru karena kebijakan yang Apple tetapkan untuk App Store, yang pada dasarnya tidak mengizinkan eksistensi aplikasi cloud gaming.

Agar bisa merambah pengguna iOS, penyedia layanan cloud gaming sejatinya cuma punya dua opsi: 1) mencantumkan satu per satu game yang ditawarkan ke App Store, yang berarti masing-masing game harus melalui prosedur review standar App Store, atau 2) menawarkan layanannya dalam bentuk web app yang dapat diakses lewat browser (Safari).

xCloud / Microsoft
xCloud / Microsoft

Ketiga layanan tadi rupanya memutuskan untuk mengambil opsi yang kedua, terlepas dari perbedaan model bisnis yang diterapkan oleh masing-masing layanan. Nvidia jadi pertama yang memulai; per 19 November 2020 kemarin, pengguna iPhone dan iPad (di negara-negara yang didukung) dapat mengakses GeForce Now dengan mengunjungi situs play.geforcenow.com di Safari.

Ini sebenarnya bukan pertama kali GeForce Now tersedia sebagai web app, sebab sebelumnya layanan ini sudah tersedia buat Chromebook dengan memanfaatkan teknologi serupa.

Kalau memang bisa diakses dari browser, lalu kenapa harus ada aplikasi terpisah? Well, web app ini bukanlah tanpa kekurangan. Kelemahan terbesarnya sejauh ini adalah tidak adanya dukungan untuk menyambungkan mouse dan keyboard dikarenakan keterbatasan framework WebRTC yang digunakan. Alhasil, sejumlah game yang dirancang secara spesifik untuk dimainkan dengan mouse dan keyboard harus dihapus dari katalog GeForce Now untuk iOS.

Menariknya, kehadiran GeForce Now di Safari ini juga berarti Fornite akan kembali hadir di iOS melalui layanan tersebut setelah resmi didepak sejak Agustus lalu. Nvidia bahkan sedang menyiapkan versi khusus agar pengguna GeForce Now dapat memainkan Fortnite di perangkat iOS tanpa bantuan controller maupun gamepad.

Controller Stadia / Unsplash
Controller Stadia / Unsplash

Dari kubu Google, mereka mengonfirmasi bahwa mereka sedang sibuk menggodok Stadia versi web app untuk dinikmati oleh para pengguna perangkat iOS. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Google berniat merilisnya beberapa minggu dari sekarang.

Beralih ke Microsoft, mereka sejauh ini belum punya pernyataan resmi terkait ketersediaan xCloud di iOS, akan tetapi di bulan Oktober lalu, Business Insider melaporkan bahwa Microsoft sudah punya niatan untuk menawarkan xCloud juga dalam wujud web app. Bahkan pendatang baru Amazon Luna pun dari jauh-jauh hari sudah memastikan bahwa layanannya bakal tersedia di iOS via browser.

Luna / Amazon
Luna / Amazon

Apakah ini berarti pengguna perangkat iOS bakal mendapat pengalaman cloud gaming yang berbeda dari pengguna Android? Sepertinya begitu, sebab secara kinerja aplikasi native sering kali lebih unggul daripada web app, belum lagi soal keterbatasan-keterbatasan seperti misalnya absennya kompatibilitas mouse dan keyboard itu tadi.

Kesannya memang seperti memaksakan, akan tetapi kenyataannya memang pangsa pasar perangkat iOS cukup besar, terutama di negara-negara tempat layanan-layanan ini tersedia. Apakah seterusnya bakal seperti ini? Akankah ke depannya Apple berubah pikiran dan mengizinkan aplikasi cloud gaming di App Store? Kita lihat saja perkembangannya nanti.

Sumber: Engadget dan Nvidia.

Amazon Luna Siap Ramaikan Pasar Layanan Cloud Gaming

Menjelang akhir tahun lalu, Amazon sempat dirumorkan sedang menggarap platform cloud gaming-nya sendiri. Lalu pada bulan April, dilaporkan bahwa Amazon telah menunda peluncuran layanan tersebut sampai tahun depan akibat COVID-19. Well, laporan tersebut meleset, sebab Amazon baru saja memperkenalkannya secara resmi.

Dijuluki Amazon Luna, premis dasar yang ditawarkan hampir sama seperti layanan cloud gaming lain macam Google Stadia atau Microsoft xCloud: bayar biaya berlangganan, maka konsumen bisa memainkan game di TV, laptop maupun smartphone. Namanya cloud, semua game-nya sebenarnya dijalankan di server dan di-stream oleh perangkat yang pelanggan gunakan.

Satu faktor yang membedakan Luna adalah model bisnisnya. Tidak seperti Stadia yang mewajibkan pelanggan membeli game-nya secara terpisah, atau xCloud yang mematok tarif bulanan yang flat ala Netflix, Luna justru mengadopsi model bisnis yang mirip seperti Amazon Prime Video.

Amazon Luna

Konsumen nantinya dapat berlangganan beberapa game channel pada Luna. Channel yang pertama datang dari Amazon sendiri, yakni Luna+. Dengan membayar $6 per bulan (tarif perkenalan), pelanggan bisa langsung mengakses gamegame seperti Resident Evil 7, Control, Panzer Dragoon, A Plague Tale: Innocence, The Surge 2, Yooka-Laylee and The Impossible Lair, Iconoclasts, Grid, Abzu, Brothers: A Tale of Two Sons, dan masih banyak lagi.

Semua game tersebut bisa dimainkan tanpa batas waktu dan tanpa membayar biaya ekstra. Untuk beberapa judul, pelanggan dapat memainkannya di resolusi 4K 60 fps. Satu akun berlangganan bisa dipakai untuk bermain di dua perangkat yang berbeda secara bersamaan.

Channel yang kedua datang dari Ubisoft. Tarifnya belum dirincikan, akan tetapi pelanggan dipastikan bisa mengakses judul-judul andalan Ubisoft, termasuk halnya Assassin’s Creed Valhalla, Far Cry 6, dan Immortals Fenyx Rising di hari peluncurannya langsung. Ke depannya, Luna juga akan menawarkan channelchannel dari mitra publisher-nya yang lain.

Amazon Luna

Di awal peluncurannya, Amazon Luna bakal bisa dinikmati di PC, Mac, dan tentu saja Fire TV. Aplikasi Android-nya bakal menyusul, dan yang sangat menarik, Luna juga akan tersedia di iOS. Lucunya, Luna di iOS nantinya akan disajikan dalam bentuk web app. Jelas sekali ini merupakan cara Amazon menyiasati kebijakan yang Apple tetapkan baru-baru ini.

Tanpa harus terkejut, Luna bakal datang membawa integrasi Twitch. Menonton siaran demi siaran bisa dilakukan lewat Luna, dan sebaliknya, pelanggan juga bisa langsung ‘lompat’ ke dalam game yang dimainkan oleh streamer yang sedang ditontonnya (kalau memang game-nya ada di katalog Luna).

Amazon Luna controller

Untuk bermain, pelanggan bebas memakai mouse plus keyboard, gamepad Bluetooth, atau controller Xbox One maupun DualShock 4. Alternatif lainnya, konsumen juga bisa membeli controller khusus Luna seharga $50. Wujudnya sepintas mirip controller Xbox One, tapi ternyata ia punya keunikan sendiri.

Ketimbang menyambung ke smartphone, TV ataupun perangkat lain yang sedang dipakai bermain, controller ini justru menyambung langsung ke server cloud milik Amazon. Keuntungannya, latency bisa dipangkas hingga 17 sampai 30 milidetik dibanding apabila tersambung via Bluetooth. Terhubung langsung ke server juga berarti controller-nya tidak perlu melalui proses pairing ulang saat konsumen hendak berpindah dari satu perangkat ke yang lain.

Amazon Luna saat ini masih berstatus early access di Amerika Serikat. Sayangnya sejauh ini Amazon belum bilang apa-apa soal ketersediaannya di negara-negara lain.

Sumber: Polygon dan Amazon.

Apple Merevisi Kebijakan App Store, Izinkan Layanan Cloud Gaming tapi dengan Sejumlah Syarat

Layanan cloud gaming besutan Microsoft, xCloud, akan meluncur secara resmi di 22 negara pada tanggal 15 September besok. Sayang sekali konsumen hanya bisa menikmatinya melalui perangkat Android, sebab xCloud dinilai tidak memenuhi syarat di iOS.

Itu berita sebulan lalu. Baru-baru ini, Apple rupanya telah merevisi kebijakan yang mereka terapkan untuk platform App Store. Berdasarkan laporan CNBC, salah satu poin baru yang tercantum punya dampak langsung terhadap nasib layanan cloud gaming macam xCloud maupun Stadia.

Dijelaskan bahwa layanan cloud gaming boleh eksis di App Store, tapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang paling utama, konten alias game-nya harus diunduh secara langsung dari App Store. xCloud, Stadia, maupun layanan serupa lainnya cuma bertindak sebagai katalog.

Jadi seandainya xCloud menawarkan akses ke 100 game yang berbeda, maka tiap-tiap game tersebut harus tersedia di App Store satu per satu, sehingga bisa muncul di hasil pencarian ataupun chart, serta dapat diulas satu per satu oleh konsumen. Jadi misalnya Anda membuka xCloud dan ingin memainkan Destiny 2, maka game-nya cuma bisa diunduh dari App Store, bukan dari dalam xCloud itu sendiri.

Apple sejatinya ingin layanan cloud gaming menempuh jalur seperti Apple Arcade, yang pada dasarnya merupakan layanan berlangganan untuk menikmati gamegame yang tersedia di App Store. Selain Apple Arcade, sekarang sebenarnya sudah ada layanan bernama GameClub yang mengadopsi mekanisme yang sama. Singkat cerita, apa yang Apple inginkan tidak sepraktis yang xCloud atau Stadia tawarkan.

Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store
Aplikasi Stadia di iOS sudah ada, tapi nyaris tidak berguna karena tidak bisa dipakai untuk bermain / App Store

Lebih lanjut, masing-masing game-nya juga harus punya fungsionalitas yang mendasar. Maksudnya adalah, masing-masing game harus bisa dimainkan – mungkin hanya untuk satu atau dua level pertama – tanpa mewajibkan pengguna berlangganan terlebih dulu. Setelahnya, barulah pengguna bisa diarahkan untuk menjadi pelanggan terhadap layanan yang menaunginya (xCloud atau Stadia tadi) agar dapat menikmati game-nya secara keseluruhan.

Tentu saja Apple akan mengambil untung sebesar 30% dari tarif berlangganan yang konsumen bayarkan, dan ini langsung menyangkut topik yang sedang hangat belakangan ini, yang melibatkan perseteruan antara Apple dan Epic Games. Kalau Microsoft atau Google setuju, hampir bisa dipastikan tarif berlangganan xCloud dan Stadia di iOS lebih tinggi.

Alternatifnya, tentu saja konsumen bisa mengaktifkan langganannya terlebih dulu di platform lain, lewat browser di laptop misalnya, sebelum login menggunakan akunnya di iPhone atau iPad tanpa harus membayar lagi. Itu seandainya Microsoft dan Google setuju.

Pada kenyataannya, Microsoft tampak masih keberatan. “Ini tetap merupakan pengalaman yang buruk buat pelanggan. Gamer ingin langsung masuk ke dalam game melalui katalog terkurasi dalam satu aplikasi seperti yang biasa mereka lakukan dengan film atau musik, bukannya dipaksa mengunduh lebih dari 100 aplikasi yang berbeda untuk memainkan game dari cloud,” jelas perwakilan Microsoft kepada CNBC.

Google di sisi lain masih enggan berkomentar, dan sepertinya kehadiran layanan cloud gaming di platform iOS masih jauh dari kenyataan.

Sumber: CNBC dan TechCrunch.

Layanan Cloud Gaming GeForce Now Kini Tersedia di Chromebook

Di berbagai negara, sebagian besar pengguna Chromebook adalah kalangan pelajar. Tren ini semakin menguat semenjak pandemi melanda dan mengharuskan mereka semua belajar dari kediamannya masing-masing.

Namun kalau menurut Nvidia, Chromebook tidak hanya pantas dipakai untuk belajar. Deretan laptop dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi ini sebenarnya juga cocok untuk keperluan gaming. Bagaimana bisa komputer berspesifikasi rendah menjalankan game AAA dengan mulus? Dengan bantuan layanan cloud gaming tentu saja.

Ya, layanan GeForce Now sekarang sudah tersedia di Chrome OS, baik untuk para pelanggan gratisan maupun berbayarnya. Nvidia bilang bahkan Chromebook seharga $299 yang ditenagai prosesor Intel Celeron pun sanggup menjalankan beragam game via GeForce Now dengan baik.

Seperti halnya layanan cloud gaming lain, yang lebih penting dari spesifikasi perangkat secara umum justru adalah koneksi internet; kita butuh koneksi yang cepat sekaligus stabil kalau mau mendapatkan pengalaman dan kualitas grafik terbaik. Satu hal yang cukup disayangkan adalah, Chromebook yang dibekali prosesor berarsitektur ARM sejauh ini belum kompatibel.

Ini memang kedengaran agak aneh, apalagi mengingat GeForce Now sudah bisa dinikmati lewat sejumlah smartphone Android yang notabene juga mengemas chipset ARM. Jadi buat yang memiliki perangkat seperti Lenovo Chromebook Duet, sayang sekali perangkat itu belum bisa dipakai untuk mengakses GeForce Now meski masih tergolong baru.

Sejauh ini, GeForce Now tercatat sudah memiliki sekitar empat juta pengguna terdaftar, sedangkan katalog game-nya sudah mencakup lebih dari 650 judul yang berbeda terlepas dari kontroversi yang sempat melanda. Selain game yang terdapat Steam, GeForce Now juga punya akses ke game yang dijajakan di Epic Games Store maupun Uplay milik Ubisoft.

Satu kekecewaan yang terakhir adalah, GeForce Now masih belum tersedia buat kita yang berdomisili di Indonesia.

Sumber: ZDNet dan Nvidia.

Apple Jelaskan Kenapa Layanan Cloud Gaming Microsoft xCloud Tidak Tersedia di iOS

Pada tanggal 15 September nanti, konsumen di 22 negara dapat memainkan berbagai game Xbox melalui smartphone atau tablet berkat layanan cloud gaming xCloud dari Microsoft. Syaratnya cukup dengan berlangganan Xbox Game Pass Ultimate saja, tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi.

Syarat yang kedua, pastikan smartphone atau tablet yang dipakai menjalankan sistem operasi Android, sebab layanan ini tidak akan tersedia di platform iOS, setidaknya di awal peluncurannya nanti. Kabar ini tentu terdengar mengejutkan, apalagi mengingat xCloud sempat menjalani fase pengujian di iOS pada bulan Februari lalu.

Kepada Business Insider, perwakilan Apple menjelaskan bahwa alasan xCloud harus absen di iOS sebenarnya berkaitan dengan kebijakan platform App Store itu sendiri: setiap aplikasi atau game yang akan masuk ke App Store harus di-review satu per satu dahulu, serta nantinya harus muncul di hasil pencarian maupun chart.

Jadi kalau xCloud menawarkan akses ke 100 game, maka 100 game itu harus Microsoft cantumkan satu per satu untuk di-review oleh tim App Store. Berhubung Microsoft tidak melakukannya, maka xCloud yang bertindak sebagai portal untuk gamegame tersebut pun tidak diperbolehkan hadir di App Store. Kedengarannya konyol memang, apalagi jika melihat Netflix dan Spotify yang diperbolehkan hadir tanpa perlu mencantumkan satu per satu kontennya untuk di-review.

Apple berdalih bahwa game itu sifatnya interaktif, tidak seperti film atau musik. Apple mungkin terkesan sangat kaku, tapi setidaknya mereka konsisten dengan kebijakannya: semua game yang tersedia di Apple Arcade (layanan gaming subscription milik Apple), memang akan muncul satu per satu kalau kita cari di App Store.

Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook
Facebook Gaming harus memangkas fitur Instant Games supaya bisa hadir di iOS / Facebook

xCloud pun bukan satu-satunya layanan cloud gaming yang tidak bisa hadir di iOS karena terbentur kebijakan App Store. Contoh lainnya adalah Google Stadia. Meski aplikasi Stadia ada di App Store, fungsinya cuma sebatas untuk mengatur library game yang dimiliki masing-masing pelanggan, bukan untuk memainkan game-nya.

Bahkan aplikasi Facebook Gaming pun baru-baru ini juga menjumpai kendala saat akan dirilis di iOS. Aplikasinya akhirnya tersedia, tapi Facebook harus mengorbankan fitur Instant Games agar bisa disetujui. Jadi kalau aplikasi Facebook Gaming di Android bisa dipakai untuk memainkan sejumlah mini game, di iOS tidak.

Dari sini mungkin sebagian dari kita akan berasumsi Apple takut penjualan game di App Store merosot dengan adanya layanan cloud gaming seperti xCloud atau Stadia. Namun kalau memang kenyataannya begitu, mengapa Apple tidak sekalian memblokir Netflix dan Spotify yang mempengaruhi penjualan film dan musik di iTunes, sekaligus bersaing langsung dengan layanan milik Apple sendiri (Apple TV+ dan Apple Music)?

Saya sama sekali tidak bermaksud untuk membela Apple, dan saya pribadi juga berharap xCloud maupun Stadia nantinya bisa tersedia sepenuhnya di iOS mengingat saya sendiri merupakan pengguna iPhone. Semoga saja Microsoft akan terus bernegosiasi dan memperjuangkan layanan cloud gaming-nya agar bisa eksis di semua platform.

Sumber: Business Insider.

Google Stadia Kini Kompatibel dengan Lebih Banyak Smartphone

Salah satu keluhan terbesar terhadap Google Stadia adalah minimnya smartphone yang kompatibel. Padahal, kalau melihat daftarnya, masih banyak smartphone yang tidak tercantum yang semestinya punya performa lebih superior. Contoh yang paling gampang: Samsung Galaxy S8 kompatibel, tapi kenapa Huawei P30 yang jelas lebih perkasa malah tidak tercantum?

Pada kenyataannya, Google baru saja menambahkan deretan smartphone OnePlus ke daftar perangkat yang kompatibel, dan perangkat setua OnePlus 5 rupanya ikut tercantum. Ponsel tersebut cuma ditenagai chipset Snapdragon 835, dan itu berarti flagship keluaran 2020 macam OPPO Find X2 semestinya sudah lebih dari cukup untuk melangsungkan sesi streaming game via Stadia.

Kabar baiknya, Stadia kini mempersilakan para pelanggan untuk menggunakan perangkat Android apa saja di luar daftar smartphone yang didukung secara resmi itu tadi. Namun perlu dicatat, Google bilang fitur ini masih bersifat eksperimental, dan mereka tidak menjamin kelancarannya di setiap smartphone.

Syaratnya cuma satu: perangkat bisa menjalankan aplikasi Stadia. Setelahnya, cukup aktifkan opsinya melalui menu pengaturan (Settings → Experiments → Play on this device), maka permainan dapat langsung dinikmati di perangkat tersebut meskipun ia tak tercantum dalam daftar perangkat yang kompatibel.

Stadia touch controls

Selain menyediakan dukungan terhadap lebih banyak perangkat, Stadia juga memperkenalkan fitur kontrol sentuh. Jadi ketimbang menggunakan controller fisik, permainan bisa dijalani dengan menavigasikan tombol-tombol virtual yang muncul pada layar. Lagi-lagi fitur ini juga masih dikategorikan eksperimental, dan Google berjanji untuk terus menyempurnakannya seiring waktu.

Pembaruan terakhir yang Google hadirkan adalah opsi pengaturan resolusi untuk tiap-tiap perangkat. Sebelumnya, pengguna hanya bisa menetapkan satu pilihan resolusi saja buat semua perangkat yang digunakan. Sekarang, pengguna bisa menetapkan resolusi yang berbeda saat hendak bermain di smartphone, laptop, atau TV via Chromecast Ultra.

Perlahan tapi pasti, Stadia terus menunjukkan penyempurnaan demi penyempurnaan. Perkembangan industri cloud gaming memang jauh dari kata mulus; platform pesaing seperti GeForce Now juga punya masalahnya sendiri, meski Nvidia perlahan juga sudah mulai membenahinya. Sekarang kita tinggal berharap Google bisa segera membawanya ke Indonesia, sehingga saya tidak bingung internet cepat saya buat apa 🙂

Sumber: Stadia via Android Police.

Akhiri Kontroversi, Nvidia Terapkan Kebijakan Baru untuk GeForce Now

Pasca perilisan resminya, GeForce Now terus mendapat banyak perhatian di industri gaming. Sayang perhatian tersebut lebih mengarah ke sisi negatifnya, di mana banyak publisher game ternama yang mangkir dan memutuskan untuk menarik semua game-nya dari katalog GeForce Now.

Menyimpulkan bahwa Activision Blizzard, Bethesda, 2K Games dan nama-nama besar lain di dunia gaming yang meninggalkan GeForce Now sebagai korporasi yang serakah adalah reaksi yang paling gampang kita berikan sebagai konsumen. Namun di saat yang sama, kita tidak boleh mengabaikan sudut pandang developer itu sendiri.

Seorang developer indie bernama Raphael van Lierop sempat bercerita di Twitter bahwa Nvidia mencantumkan game buatannya, The Long Dark, di katalog GeForce Now tanpa izin. Poin yang ingin dia sampaikan adalah, developer berhak mengatur di mana saja game garapannya eksis, sebab ini merupakan bagian dari strategi pemasaran mereka dalam menjalankan bisnis di industri gaming.

Yup, bisa jadi sumber perkaranya memang hanya sesimpel seputar perizinan, bukan perkara duit seperti yang banyak konsumen asumsikan. Itulah mengapa Nvidia memutuskan untuk mengambil kebijakan baru: mulai sekarang, suatu game baru bisa muncul di katalog GeForce Now apabila developer dan publisher-nya sudah menyetujui.

Nvidia bilang bahwa respon developer dan publisher cukup positif terhadap kebijakan barunya. Sejauh ini sudah ada lebih dari 200 publisher yang setuju, termasuk salah satunya studio indie pimpinan Raphael van Lierop itu tadi, Hinterland.

Tanpa mengabaikan transparansi, Nvidia juga memaparkan bahwa sejumlah publisher masih belum punya strategi bulat seputar cloud gaming. Alhasil, Nvidia bakal menghapus semua game dari publisher yang belum menyetujui kebijakannya mulai tanggal 31 Mei mendatang.

Kebijakan baru ini pastinya bakal menghambat pertumbuhan katalog game milik GeForce Now. Pun begitu, para pelanggan setidaknya tidak perlu lagi khawatir game yang sedang asyik dimainkannya di GeForce Now tiba-tiba hilang begitu saja karena ditarik oleh publisher-nya.

Sumber: The Verge dan Nvidia.

Selain Epic Games, Ubisoft Juga Berikan Dukungan Penuh Terhadap GeForce Now

Kontroversi yang melanda GeForce Now masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Tiga publisher besar – Activision Blizzard, Bethesda dan 2K Games – sudah meninggalkan layanan cloud gaming tersebut, dan sekarang giliran Xbox Game Studios, Warner Bros. Interactive, Codemasters, dan Klei Entertainment yang menyusul.

Per 24 April, gamegame terbitan keempat publisher itu bakal dihapus dari katalog GeForce Now. Kendati demikian, Nvidia tampaknya sudah jauh lebih siap ketimbang sebelumnya dalam menghadapi kabar semacam ini; mereka bilang bahwa sampai akhir Mei mendatang, mereka bakal menambah sekaligus menghapus game dari katalog GeForce Now.

Di balik layar, Nvidia mengaku sudah menerapkan optimasi bersama platform distribusi digital macam Steam atau Epic Games Store dengan tujuan memudahkan para publisher yang berminat menawarkan game-nya di GeForce Now. Seandainya publisher berminat, game keluaran mereka bisa langsung tersedia di katalog GeForce Now pada hari peluncuran.

Dalam kesempatan yang sama, Nvidia boleh berbangga melihat 30 dari 40 game terpopuler di Steam sudah tersedia di platform cloud gaming mereka. Target menyuguhkan lebih dari 1.500 game mungkin masih jauh dari pencapaian, tapi setidaknya Nvidia menunjukkan bahwa mereka tidak patah semangat begitu saja hanya karena ada kesalahpahaman dengan pemain top di industri gaming.

Ya, publisher seperti Activision Blizzard, Bethesda, dan 2K Games itu tadi seakan tidak terima dengan fakta bahwa GeForce Now kini menarik biaya berlangganan pasca lepas dari status beta. Sebaliknya, Epic Games justru melihat GeForce Now sebagai layanan cloud gaming paling bersahabat bagi pihak developer sekaligus publisher, dan itu mendorong mereka untuk memberikan dukungan penuh.

Selain Epic, Ubisoft adalah pemain besar lain yang memberikan dukungan penuh kepada GeForce Now. Sebagian besar franchise AAA-nya sudah tersedia di GeForce Now – termasuk seluruh seri Assassin’s Creed dan Far Cry – dan sisanya diperkirakan bakal menyusul dalam beberapa minggu ke depan.

Sentimen positif yang serupa juga datang dari Bandai Namco dan Bungie. Keduanya sama-sama melihat GeForce Now sebagai medium yang efektif untuk menarik lebih banyak pemain baru, khususnya mereka yang tidak punya perangkat yang cukup mumpuni untuk memainkan game berat seperti Destiny 2.

Sumber: Nvidia.