Fajrin Rasyid: Telkom Pertimbangkan “Spin-off” Unit Bisnis Digital di 2023

Sosok M. Fajrin Rasyid telah lama dikenal sebagai Co-founder Bukalapak, salah satu marketplace terbesar dan perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa saham Indonesia. Pada 2020, ia diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai digital-telco (digico).

Telkom Group telah mencetak jejak cukup panjang dalam melahirkan berbagai inisiatif digital, seperti Blanja.com (marketplace hasil kemitraan dengan eBay) dan LinkAja. Telkom juga memiliki kendaraan investasi MDI Ventures dan incubator Indigo agar dapat berkontribusi terhadap industri kreatif digital.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Fajrin bilang unit Digital Business yang dipimpinnya sejauh ini membawa pencapaian pesat. Bahkan, tak menutup kemungkinan unit bisnis digital di dalamnya akan dieskpos ke jaringan investor atau mitra strategis yang lebih luas.

Apa agenda transformasi yang Anda bawa ke Telkom?

Jawab: Semakin ke depan, industri telekomunikasi semakin mendapat tekanan, semakin commoditized, capex semakin tinggi. Sama seperti perusahaan telekomunikasi di dunia, mereka ingin go digital.

Ada banyak yang perlu dipelajari karena telekomunikasi sedikit berbeda meski beririsan dengan digital. Saya pelajari dan beri masukan, lalu saya usulkan untuk ubah atau improve apabila kurang bagus. Ini termasuk kapabilitas hingga kultur [organisasi].

Ada dua agenda Digital Business, yakni menciptakan model bisnis baru yang dapat memberikan pendapatan dan valuasi, termasuk pada bisnis existing. Agenda kedua, kami bantu di sisi internal. Contohnya, kami membuat aplikasi myIndiHome untuk dorong business process dan customer experience. IndiHome sendiri berada di Direktorat Consumer. 

Apa saja yang perlu ditransformasi?

J: Ada dua sisi ekstrem di sini, yakni ekstrem rigid dan ekstrem agile. Startup sangat agile, sedangkan perusahaan BUMN atau publik sangat rigid dan birokratik. Bukan berarti keduanya punya sisi lebih baik dari yang lain.

Startup yang awalnya agile, pasti akan butuh good corporate governance. Di perusahaan saya sebelumnya, [laporan] tidak diaudit di tahun pertama dan kedua karena saat itu masih kecil. Namun, lama-lama investor meminta audit.

Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi yang ingin go digital harus ke arah yang lebih agile. Saat hiring orang, startup biasanya lebih cepat. Di [Telkom] harus buat proposal dulu untuk justifikasi kebutuhan. Langkah ini sebetulnya masuk akal bagi perusahaan besar [untuk hindari risiko] seperti KKN.

Buat proposal bisa lama, begitu jadi, baru mulai hiring. Realitanya, mencari orang butuh waktu. Saya usul lakukan secara paralel. Jangan tunggu proposal jadi, kita bisa sambil cari orangnya. Ini salah satu aspek yang kami tingkatkan.

Lalu, saya memperkenalkan metode Objective Key Result (OKR) ke organisasi daripada memakai metrik pencapaian (achievement). Di e-commerce, OKR-nya berbasis Gross Merchandise Value (GMV), atau daily active user untuk video.

Ketika bikin aplikasi, lalu undang acara launching. Apakah bulan depan masih ada yang pakai aplikasinya? Kalau belum ada, berarti belum sesuai target. Bagi saya oke saja tidak buat acara [peluncuran] selama GMV naik terus.

Apa ada pertentangan dengan metrik yang Anda perkenalkan?

J: Pasti ada dinamika di dalamnya, banyak yang bertanya. Jika bicara digital, yang terpenting adalah customer. OKR itu merupakan terjemahan dari [kebutuhan] customer.

Saya memberi contoh ini ke diri sendiri. Saya jarang minta tim untuk mengembangkan fitur di aplikasi A, misalnya. Belum tentu fitur itu dibutuhkan customer atau sama dengan saya. Dengan mengacu pada data, kita tahu apa yang dibutuhkan. Ini saya coba tularkan ke organisasi, baik direktorat maupun grup.

Bagaimana struktur organisasi hingga pengembangan Digital Business ke depan?

J: Mengubah unit bisnis di Telkom butuh prosedur. Namun, kami kelola secara agile. Kami bentuk tribe yang dedicated membuat suatu produk. Chapter itu functional, semacam horizontalnya, terdapat manager, engineer, atau designer. Masing-masing punya tribe. Saat ini, ada 20 tribe, mulai dari logistik, agrikultur, health, dan education.

Pengembangan produknya dibagi dalam dua kategori, yakni internal dan eksternal. Di internal, tujuannya untuk dorong customer experience atau business process. Di eksternal, pengembangan produk bertujuan pada growth sehingga tribe bisa capai pendapatan dan valuasi. Ini menjadi justifikasi investasi yang telah dikelarkan. Perusahaan besar umumnya menghitung pendapatan per karyawan, EBITDA per karyawan.

Bagi tribe yang belum menghasilkan pendapatan karena masih di growth stage atau EBITDA masih negatif, kami ukur valuasi per karyawan. Jadi, kami tahu valuasi untuk tribe dengan 100 orang sekian atau tribe 50 orang sekian. Telkom punya Digital Investment Committee (DIC) untuk mengevaluasi kinerja dan metrik ini. Kalau tidak bagus, opsinya bisa tutup atau garap peluang baru. Jadi, tidak perlu ubah organisasi, geraknya lebih cepat.

Untuk mengukur keberhasilan bisnis digital, kami pakai metrik RBV atau revenue, benefit, dan valuation. Hasilnya bisa berupa pendapatan, efisiensi, atau peningkatan customer experience. Biasanya, produk startup-based belum ada pendapatan, tetapi baru GMV. Ini menghasilkan valuasi. Nah, untuk mencapai OKR, parameter ini tidak harus terpenuhi ketiganya.

Sejak tahun lalu, Digital Business mengalami pertumbuhan pesat. Kami telah mengembangkan Logee (logistik), Agree (Agrikultur), dan Pasar Digital (UMKM). GMV Logee dan PaDi sudah capai triliunan Rupiah per tahun, sedangkan Agree sudah ratusan miliar Rupiah per tahun. Agree kini tak hanya bermain di pertanian saja, tetapi juga ke perikanan.

Saya melihat ketiga sektor di atas punya potensi besar ke depannya. Secara umum, biaya logistik Indonesia masih tinggi, banyak ruang untuk digitalisasi. Industrinya juga sangat besar, mulai dari first mile, middle, dan last mile. Ada pandemi atau tidak, orang tetap butuh logistik. Sejumlah riset juga menyebut logistik sebagai sektor dengan pertumbuhan tercepat beberapa tahun terakhir.

Di agrikultur, setiap orang butuh makan, itu kebutuhan dasar meski ada pandemi atau resesi. Potensi UMKM juga masih besar. Untuk jump start, PaDi masuk ke segmen BUMN, tetapi kami perluas juga nanti untuk enterprise.

Bagaimana strategi eksekusinya?

J: Essentially, kami menerapkan strategi buy, build, and borrow. Kami bangun kapabilitas internal, misalnya melalui training. Namun, bangun kapabilitas itu butuh waktu, apalagi untuk level senior. Dalam hal ini, kami coba model borrow dan buy. Bisa lewat kerja sama atau membeli perusahaan yang punya keahlian. SDM juga dikombinasikan antara internal dan prohire.

Strategi ini untuk mengkomplemen kapabilitas sebagaimana yang saya jelaskan di awal. Bagaimana ke depannya? Ketiga cara tersebut akan terus kami lakukan untuk memastikan kapabilitas tercapai. Tentu ini tergantung pada justifikasi investasi, karena tidak bisa bakar uang terus kalau tidak menghasilkan.

Apakah ada rencana untuk spin off unit bisnis digital?

J: Sebagai bagian dari BUMN, membentuk anak usaha harus melalui justifikasi menyeluruh. Kami sedang menganalisis karena ada kemungkinan ke sana. Opsi ini makes sense karena spin-off dapat membuka kolaborasi dengan partner, baik melalui investasi maupun kerja sama mendalam.

Technically, saat ini sulit kalau ada yang mau berinvestasi [ke unit bisnis] karena berarti investasinya masuk ke Telkom dong. Jika di-spin off, investor bisa menjadi pemegang saham di perusahaan. Unit mana yang akan dilepas duluan? Tentu saja yang paling siap. Namun, jika lihat skala atau ukuran [bisnisnya], yang sudah triliunan itu Logee dan PaDi UMKM. Apalagi, PaDi sedang dipersiapkan untuk ekspansi ke luar segmen BUMN saja.

Sebagai perusahaan digital-telco, kami tak hanya menawarkan produk digital saja, tetapi juga platform dan infrastruktur. Ini menjadi kelebihan kami jika bicara kebutuhan yang sifatnya terintegrasi. Satu hal yang kami lakukan di Digital Business dan Direktorat Strategic Portfolio adalah mengorkestrasi portofolio digital di Telkom Group untuk memastikan terciptanya kolaborasi.

Bagaimana rencana spin-off IndiHome ke  Telkomsel?

J: IndiHome sebetulnya berada di Direktorat Consumer, tetapi the digital strategy  will follow the business. Kami belum tahu rencana detail pengembangan dari sisi digital [setelah bergabung dengan Telkomsel].

Bisa saja namanya nanti bukan IndiHome lagi. Ini belum diputuskan, masih didiskusikan. Yang pasti, salah satu premisnya adalah kolaborasi produk IndiHome dan Telkomsel akan lebih baik dengan penggabungan ini.

Apa sektor lain yang ingin Anda eksplorasi selanjutnya?

J: Telkom banyak terekspos dengan tren di green economy. Personally, saya memang tertarik untuk mengeksplorasi. Ini sesuatu yang sedang kami pelajari. How can we play, apa yang dapat Telkom bantu untuk digitalisasi.

Kami mulai ngobrol dengan Gesists, anak usaha BUMN di bidang motor listrik. Mereka memproduksi motor listrik, tapi barangkali ada kebutuhan aplikasi untuk enhance layanannya. Kami sedang analisis posisi Telkom dengan melihat tren-tren besar ini. Kami tak mau masuk ke bisnis kalau tidak punya kapabilitas.

Who knows ke depannya Telkom akan menyasar bisnis lain yang adjacent atau berdampingan.

Misi Unit Bisnis Telkom “Agree” Mendigitalisasi Ekosistem Pertanian dari Hulu ke Hilir

Sebagai kekuatan perekonomian Indonesia, pertanian menjadi salah satu sektor utama dalam agenda transformasi digital yang dibidik oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Perusahaan melalui unit bisnis Agreeculture (Agree) berupaya memecahkan berbagai masalah dan tantangan yang dialami oleh petani Indonesia dengan teknologi.

Agree adalah platform agregator untuk membantu digitalisasi pertanian yang menghubungkan pelaku, pembeli, pemodal, dan entitas pendukung ekosistem pertanian.

Berdasarkan laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, sektor pertanian di Tanah Air umumnya terhalang oleh akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan, pengetahuan budidaya, dan hingga kemampuan bercocok tanam petani. Belum lagi bicara soal risiko gagal panen di sektor budidaya akibat faktor cuaca dan hama.

Rendahnya latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani turut berkontribusi terhadap tantangan pelaku usaha budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS) di 2018 mencatat hanya 4,5 juta dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur yang terhubung dengan internet.

Bagaimana perjalanan dan peta bisnis Agree dalam memecahkan sejumlah masalah di atas?

DailySocial mendapat kesempatan untuk berbicara lebih dalam mengenai pengembangan platform Agree bersama Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama dan Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari.

Ide, pivot, dan model bisnis

Hikmatullah, yang akrab disapa Hikmat, mengungkap ide mengembangkan Agree baru tercetus di 2017. Agree berdiri sejalan dengan visi Telkom untuk berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional, salah satunya melalui digitalisasi sektor pertanian.

Usai melalui masa inkubasi ide sekitar satu tahun, layanan Agree komersial di 2018. Saat itu, Agree  baru menawarkan produk pinjaman modal usaha kepada petani lepas, mirip konsep platform P2P lending TaniFund dan iGrow. Namun, Hikmat berujar, dalam dua tahun perjalanannya, produk pinjaman ini tidak memperoleh product-market fit dikarenakan banyak petani gagal bayar dan rasio Nonperforming Loan (NPL) bengkak hingga 10%.

Hikmat yang baru bergabung pada Maret 2020 memutuskan untuk mem-pivot Agree dengan mengubah segmen pasarnya, dari pemberian modal usaha ke petani lepas ke petani yang sudah bekerja sama dengan perusahaan agribisnis. Model ini diadopsi untuk menjamin produk petani dibeli dan memastikan harga jual di awal. Dengan model ini, ia meyakini lembaga keuangan mau memberikan pinjaman.

Agree mulai go to market pada Januari 2021 setelah melewati proses uji coba pasar sejak September 2020. Menurut catatannya, perusahaan telah menyalurkan Rp826 miliar ke 47.362 petani dengan 80 miliar transaksi pembelian 88 perusahaan agribisnis. Perusahaan membantu menyalurkan modal usaha dari startup Alami Sharia dan sepuluh lembaga keuangan lainnya.

Cara Agree menghubungkan ekosistem di pertanian / Sumber: Agree

“Perusahaan agribisnis yang bergabung di Agree diharapkan dapat meningkatkan demand. Untuk mendapat demand, platform kami menawarkan dua skema, yakni mempertemukan perusahaan agribisnis dan buyer, serta mencarikan buyer untuk perusahaan agribisnis. Baru lah perusahaan agribisnis membuat kontrak dengan petani. Jadi, rantai ekosistem ini akan sampai ke buyer,” ungkap Hikmat.

Untuk memitigasi risiko, Agree menyiapkan sejumlah langkah, yaitu mengembangkan dashboard agar bank dan lembaga keuangan dapat memonitor kegiatan petani, serta memanfaatkan perangkat IoT dan field assistant untuk memastikan pemanfaatan modal usaha. Agree bekerja sama dengan asuransi Jasindo untuk memitigasi risiko gagal bayar.

Struktur organisasi

Agree merupakan unit bisnis yang berada di bawah naungan Direktur Digital Business Telkom M Fajrin Rasyid. Ekosistem ini dipimpin langsung oleh Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama.

Hikmat membawah tiga tribe leader, yang terdiri dari pertanian, perikanan, dan smart city. Adapun, Agree menawarkan lima layanan antara lain Agree Partner, Agree Modal, Agree Market, Agree Pedia, dan Smart Farming. Kelima layanan ini disiapkan untuk mendigitalisasi kegiatan pertanian dan menghubungkan berbagai stakeholder.

Menurut Hikmat, Agree diamanatkan untuk mengembangkan digitaliasi pada sektor pertanian, tetapi kapabilitasnya juga dipakai untuk mendukung ekosistem peternakan dan perikanan karena sekop bisnisnya sangat luas. Adapun, total orang yang mengelola ekosistem digital di pertanian, peternakan, dan perikanan mencapai 100 orang (pro hire), ditambah tujuh orang Telkom.

Mengingat pengembangan bisnis digital di lingkup korporasi akan selalu dikaitkan dengan growth culture, agilitasnya tentu akan berbeda dalam lingkup startup. Dalam hal ini, Hikmat mengaku bahwa Telkom memberikan kewenangan sepenuhnya kepada tribe leader yang mengelola Agree untuk mengembangkan produk, strategi, hingga marketing. Bahkan Direktur Digital Business M Fajrin Rasyid turut memberikan pendampingan.

Pengembangan ide hingga eksekusi Agree dilakukan dari scratch dengan mengambil sejumlah pelajaran dan pengalaman dari startup-startup lain. Namun, untuk meningkatkan kapabilitasnya, Agree akan dikembangkan sebagai open platform sehingga dapat membuka peluang kemitraan dengan startup atau perusahaan lain.

Metrik, target unicorn, dan spin-off

Selain growth culture, lanjut Hikmat, Agree juga diberikan keleluasaan untuk menentukan metrik bisnis, seperti jumlah transaksi, jumlah mitra perusahaan agribisnis, dan Monthly Active User (MAU).

Menurutnya, ini menjadi landasan utama Agree dibentuk dalam divisi terpisah dan dipimpin oleh Direktorat Digital Business. Agree ingin memisahkan diri dari nature business telekomunikasi yang identik dengan investasi besar dan dituntut untuk balik modal.

“Agree tidak dituntut menghasilkan pendapatan di tahap awal. Targetnya adalah mengantongi traction, bahkan target jangka panjang harus dapat mencapai unicorn. Dengan cara ini, rule di Telkom berbeda dengan Agree. Key Performance Indicator dihitung dari pendapatan, benefit, dan valuasi. Bagi [bisnis] yang belum menghasilkan pendapatan, misal IoT, kami akan divaluasi dari internal dan eksternal.

Dengan melihat pertumbuhan ekosistem agritech yang mulai mature, Agree juga mempertimbangkan rencana untuk spin off sehingga dapat bergerak lebih cepat sebagai perusahaan digital. Dengan posisi saat ini, Agree masih harus mengikuti cara kerja sesuai aturan Telkom dan negara sebagai pemilik saham perusahaan.

Untuk saat ini, Hikmat belum dapat mengelaborasi rencana spin off tersebut dalam waktu dekat.

Rencana bisnis

Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari menambahkan, ada sejumlah rencana ekspansi yang disiapkan di tahun depan, mengingat saat ini Agree baru meluncurkan dua layanan ke pasar, yakni Agree Modal dan Agree Partner.

Pertama, Agree akan memperluas segmen pasar komoditas yang lebih besar dan tidak terbatas pada sektor pertanian dan perikanan saja. Misalnya, kopi dan produk hortikultur. Kemudian di Agree Modal, perusahaan akan memperluas target pasar pembiayaan, tak cuma pelaku budidaya saja, tetapi juga ke pembiayaan buyer (invoice financing).

Pada layanan Agree Partner, pihaknya akan meningkatkan kolaborasi dengan sejumlah penyedia solusi IoT untuk mendorong kegiatan pertanian berbasis data (data driven). “Data ini diolah untuk menghasilkan rekomendasi bagi petani bercocok tanam, misalnya kondisi tanah. Selain itu, data-data analitik ini nantinya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia dari hulu ke hilir,” ujar Danang.

Terakhir, Agree akan mendorong digitalisasi pasar basah di Indonesia sebagai sumber utama petani untuk menyuplai hasil panen melalui Agree Mart. Melalui platform ini, Agree berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi buyer lebih luas.

Bukalapak Gaet Platform Logistik “Last Mile” Paxel, Layani Pengiriman “Same Day Delivery” Antar Kota Antar Provinsi

Bukalapak mengumumkan kerja sama dengan startup logistik “last mile” Paxel untuk melayani pengiriman same day delivery antar kota antar provinsi. Kerja sama ini masih bersifat eksklusif tersedia di Bukalapak.

Co-Founder dan President Bukalapak Fajrin Rasyid menjelaskan, selama ini pengiriman same day terbatas untuk dalam kota dan baru dilayani pemain on demand, seperti Go-Send dan GrabExpress.

Menurut Bukalapak, ada sejumlah tantangan di bidang logistik yang masih mereka hadapi, seperti pengiriman belum diterima, status paket yang dikembalikan, alamat tidak lengkap, barang hilang atau rusak, dan bermasalah dengan resi.

“Para pelanggan Bukalapak membutuhkan jasa logistik yang dapat diandalkan sebagai solusi terhadap tantangan pengiriman barang yang mereka hadapi selama ini. Kami selalu mencari solusi inovatif untuk memperbaiki ekosistem pengiriman barang,” terangnya, Jumat (3/5).

Menurut laporan McKinsey, pada tahun 2022, Indonesia akan mengirimkan 1,6 miliar paket per tahun. Angka ini lebih banyak dari total pengiriman paket dalam sejarah. Selain itu, mengutip dari laporan PwC pada Global Consumer Insight Survey 2018, sebanyak 41% responden rela membayar lebih untuk mendapatkan layanan same day delivery. Melihat kebutuhan tersebut, Bukalapak berkomitmen menghadirkan solusi pengiriman yang mengutamakan kualitas dan kecepatan.

Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menambahkan, selama lima tahun terakhir perkembangan e-commerce tumbuh dengan pesat namun belum diimbangi oleh industri logistik. Kemudian, pada dua tahun terakhir muncul kebutuhan dari konsumen yang menginginkan pengiriman same day. Hal ini menjadi suatu tren baru dan menginspirasi untuk berdirinya Paxel.

“Paxel menggabungkan algoritma dan teknologi, people dan process sehingga barang bisa tiba di hari yang sama dengan harga flat. Alhasil kami memberikan metode pengiriman paling efisien dan produktif yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan perusahaan logistik selama ini,” kata Zaldy.

Dia melanjutkan, pengiriman same day ini bisa menjadi peluang untuk para merchant dalam mengembangkan pasarnya bisa dijangkau lebih banyak konsumen. Dari hasil survei internal yang dilakukan perusahaan, diungkapkan bahwa same day delivery bisa memberikan ROI (return of investment) hingga 4 kali lipat.

Pasalnya, mereka bisa menerima pencairan uang yang lebih cepat dari sebelumnya harus menunggu 3-4 hari sampai barang diterima konsumen. Dana tersebut dapat mereka putar untuk pengembangan usahanya lagi.

“Bakal ada kecenderungan konsumen akan jadi repeat consumer karena puas ketika barang lebih cepat sampai dari yang mereka prediksi,” tambah Fajrin.

Para pelanggan Bukalapak dapat menikmati layanan pengiriman oleh Paxel di hari yang sama dalam rentang waktu 8 jam untuk dalam kota dan 10-15 jam untuk antar kota. Layanan ini tersedia untuk wilayah Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, dan Denpasar.

Paxel memanfaatkan moda transportasi pesawat atau kereta api untuk melayani pengiriman same day antar provinsi yang dikombinasikan dengan model bisnis Paxel yakni estafet, memanfaatkan smart locker untuk saling terhubung dengan antar kurir.

Saat ini Paxel memiliki 1.400 armada kurir yang tersebar di Jawa dan Bali, dengan 100 smart locker yang baru tersedia di Jakarta. Bukalapak menjadi mitra e-commerce pertama Paxel. Selama ini perusahaan kebanyakan bekerja sama dengan merchant social commerce yang berjualan di akun Instagram atau media sosial lainnya.

Basis pengguna Paxel diklaim mencapai sebanyak 200 ribu merchant. Volume pengiriman Paxel tumbuh 30% per bulannya sejak pertama kali rilis di awal 2018. Pengiriman barang baru tersedia untuk volume paket kecil dan sedang dengan maksimal berat 5 kg.

Zaldy menyebut perusahaan akan berekspansi layanan ke Medan dan Makassar pada tahun ini. Kemitraan dengan Bukalapak akan dibawa ke tahap lanjut, memanfaatkan warung mitra Bukalapak sebagai titik drop atau locker.

“Apabila nanti bisa memanfaatkan warung mitra Bukalapak tentunya harga pengiriman bisa ditekan, sehingga pengiriman same day bisa dinikmati semua orang,” pungkas Zaldy.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Rilis Fitur BukaAsuransi, Gaet Allianz Sebagai Mitra Perdana

Bukalapak meresmikan fitur BukaAsuransi sebagai produk fintech berikutnya yang bergerak di bidang asuransi. Allianz Indonesia menjadi mitra pertama dengan merilis produk khusus BukaProteksi Diri yang dijual melalui Bukalapak.

“Melalui kerja sama ini, kami percaya inovasi teknologi kami dapat bermanfaat bagi jutaan masyarakat sehingga proses memiliki asuransi jadi semakin mudah,” ujar Co-Founder dan President Bukalapak Fajrin Rasyid, Kamis (2/5).

BukaProteksi Diri adalah produk asuransi kesehatan pertama yang ditawarkan untuk memberikan pengalaman digital terbaik. Produk ini menawarkan asuransi kesehatan dengan harga terjangkau dengan premi tahunan mulai dari Rp236.250 hingga Rp945.000. Ekuivalen dengan Rp19 ribu per bulan.

Seluruh proses dilakukan secara online, mulai dari registrasi, pembayaran, menerima polis, hingga klaim cukup melalui aplikasi Bukalapak. Nasabah akan mendapat penggantian biaya rawat inap sebesar Rp200 ribu per hari dan maksimum limit klaim Rp6 juta, tergantung jenis manfaat yang diambil.

Bukalapak tergolong cukup aktif dalam merilis produk fintech, di antaranya reksa dana online (BukaReksa), tabungan emas (BukaEmas), dan cicilan online (BukaCicilan) dengan menggandeng berbagai mitra yang telah memiliki izin resmi dari OJK. Dari sisi merchant, mereka juga merilis produk cicilan untuk membantu permodalan bekerja sama dengan perbankan dan fintech lending.

Country Manager & Direktur Utama Allianz Life Indonesia Joos Louwerier menambahkan, strategi ini adalah upaya perusahaan dalam menambah kanal baru penjualan asuransi melalui digital, dari kanal yang sebelumnya telah digunakan yakni agensi dan bancassurance.

Ditambah pula, kanal digital membantu ambisi perusahaan untuk memberikan perlindungan kepada lebih banyak masyarakat, khususnya yang berasal dari kategori mass & emerging segment.

“Dengan basis nasabah yang sangat besar dari Bukalapak, BukaProteksi Diri akan menjangkau masyarakat Indonesia yang sangat luas. Produk ini didesain khusus untuk distribusi secara digital sehingga nasabah dapat membeli dengan mudah, cepat, dan aman,” ujar Chief Partnership Distribution Officer Allianz Life Bianto Surodjo.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak “Acquires” Prelo’s Talents and Technology

Bukalapak has taken a strategic step this year by performing acquihire acquiring Prelo’s talents and technology. We’ve been informed that Fransiska Hadiwidjana, Prelo’s Founder, is now Bukalapak’s Head of Business.

There’s no further information following this strategic step, whether Prelo will be closed or keep running independently. Prelo’s operation is still active by the time this article is published.

Teddy Oetomo, Bukalapak’s Chief Strategy Officer, confirmed to DailySocial, “Bukalapak didn’t acquire Prelo, we only acquire the talents with unique and special skills according to Bukalapak’s requirements.”

“Sorry, we can’t share the further plan or strategy just yet,” he said.

This isn’t Bukalapak’s first acquisition or acquihire. Previously, M. Fajrin Rasyid, Bukalapak’s Co-Founder and President, explained that they had begun to acquire several software houses (in terms of acquihire).

On the occasion, he said the company is on progress to explore the acquisition of e-commerce players which already synergised and Prelo was one of the first target. Prelo and Bukalapak have similar C2C market segment.

Prelo is a marketplace for pre-loved or secondhand items. Prelo is based in Bandung and Bukalapak has already opening R&D center in the region.

Update: Bukalapak insists the correct term is “a creative scheme to acquire Prelo’s talents and technology”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Lakukan “Akuisisi Terhadap Talenta dan Teknologi” Prelo

Layanan marketplace Bukalapak melakukan langkah strategisnya tahun ini dengan melakukan acquihire “akuisisi terhadap talenta dan teknologi” Prelo. Informasi yang kami peroleh memastikan Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana kini menjadi Head of Business Bukalapak.

Belum ada informasi lebih lanjut tentang nasib Prelo sebagai bisnis pasca langkah strategis ini, apakah akan ditutup atau tetap berjalan secara independen. Juga siapa saja talenta yang mengikuti jejak Fransiska. Saat tulisan ini dimuat, situs Prelo masih aktif beroperasi.

Kepada DailySocial, Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo mengonfirmasi, “Bukalapak tidak mengakuisisi Prelo, namun kami hanya mengakuisisi talenta-talenta dari Prelo yang memiliki talenta unik  dan istimewa yang sesuai dengan kebutuhan Bukalapak.”

“Mohon maaf terkait rencana maupun strategi ke depan kami belum bisa share,” ujarnya.

Ini bukanlah skema akuisisi atau acquihire pertama yang dilakukan Bukalapak. Sebelumnya Co-Founder dan President Bukalapak M. Fajrin Rasyid menjelaskan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan akuisisi terhadap beberapa software house.

Di kesempatan tersebut Fajrin menyebutkan, pihaknya tengah dalam tahap penjajakan akuisisi terhadap pemain e-commerce yang bersinergi dengan perusahaan dan tampaknya Prelo yang menjadi sasaran pertamanya. Prelo dan Bukalapak memiliki segmen pasar yang beririsan sebagai marketplace C2C.

Prelo merupakan marketplace yang memiliki semangat memerangi barang palsu dengan menghadirkan platform jual beli barang-barang pre-loved atau barang tangan kedua. Prelo berbasis di Bandung dan kebetulan tahun ini Bukalapak membuka pusat R&D baru di Kota Kembang ini.

Update: Bukalapak bersikukuh langkah yang diambil bukan merupakan akuisisi atau acquihire, melainkan “skema kreatif” untuk mengakuisisi talenta dan teknologi Prelo

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Country General Manager Rumah123 Ignatius Untung Jadi Ketua Umum idEA yang Baru

Country General Manager Indonesia REA Group / Rumah123 Ignatius Untung terpilih menjadi Ketua Umum idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia) untuk masa bakti 2018-2020 di Musyarawarah Anggota hari ini. Di pemungutan suara tahap akhir, Untung mengungguli President Bukalapak M. Fajrin Rasyid.

Untung menggantikan Aulia E. Marinto, mantan CEO Blanja yang kini ditarik kembali untuk berkiprah di Telkom Group. Di kepemimpinan idEA sebelumnya, Untung menjadi Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis.

Sesuai dengan kampanyenya, fokus Untung di kepengurusan mendatang adalah meningkatkan manfaat idEA bagi para anggotanya dan meningkatkan kontribusi industri e-commerce secara umum untuk pertumbuhan ekonomi.

Untung memiliki pengalaman kerja di berbagai agensi periklanan sebelum lanjut berkiprah di sejumlah perusahaan teknologi. Ia menjabat sebagai Country General Manager Indonesia untuk REA Group / Rumah123 sejak tahun 2015.

Bukalapak Integrasi Layanan JNE Trucking untuk Pengiriman Barang Besar

Bukalapak menjadi platform marketplace pertama yang memanfaatkan layanan JNE Trucking (JTR) untuk memudahkan pengiriman barang berukuran di atas 10 kg. Melalui layanan ini, para pelapak dapat mengirim barang seperti mebel, furnitur, barang elektronik, dan lainnya dengan lebih leluasa.

JTR adalah layanan pengiriman yang khusus dihadirkan JNE untuk pengiriman barang dengan berat minimal di atas 10 kilogram. Pengiriman menggunakan armada truk melalui jalur darat dan laut dengan harga yang kompetitif.

Untuk sementara, JTR baru bisa dinikmati oleh pelapak yang berlokasi di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali. Pada akhir Maret 2018 nanti ditargetkan JTR akan tersedia di seluruh Indonesia. Bila diakumulasi sejak diluncurkan pertama kali tiga tahun lalu, JNE mengklaim telah mengirim paket seberat 500 ton.

“Kami berkomitmen untuk terus perbaiki layanan. Selama ini memang masih lebih banyak pengiriman dalam jumlah kecil, namun pengiriman barang besar terus menunjukkan peningkatan pertumbuhan. Pelapak banyak yang kurang nyaman karena biaya yang mahal dan tidak bisa di-track, masalah ini dapat diselesaikan lewat JTR,” ujar Co-Founder dan CFO Bukalapak Fajrin Rasyid, Kamis (22/2).

Menurut Fajrin, secara internal JTR sudah dipromosikan sejak awal Februari 2018. Terdapat sekitar 25 ribu pelapak yang sudah mengaktifkan layanan ini di toko online mereka, namun bila dilihat dari frekuensi pengirimannya belum tinggi. Meski Fajrin tidak memberikan angka detailnya, dia menggambarkan sekitar puluhan paket terkirim lewat JTR setiap harinya.

Vice President of Marketing JNE Eri Palgunadi menambahkan JTR adalah solusi yang dihadirkan perusahaan setelah memperhatikan potensi bisnis e-commerce yang terus berkembang.

Menurut Eri, tren orang mulai mencoba belanja online memang dimulai dari barang kecil terlebih dahulu. Ketika mereka sudah merasa percaya, intensitas belanja online akan terus meningkat. Barang yang dibeli pun makin besar ukurannya.

“Sejak dua tahun lalu, kami lihat di data kami ada pertumbuhan dari pengiriman barang berat. Artinya ada pasar di sini, ditambah lagi infrastruktur logistik yang terus membaik. Tentunya ini sejalan dengan visi kami,” terang Eri.

Dia mengklaim JTR lebih murah dibandingkan pengiriman dengan metode lainnya. Bila diilustrasikan, ketika pelapak ingin mengirim barang seberat 10 kilogram dari Jakarta Selatan ke Bekasi memakai REG atau YES, mereka akan dikenakan biaya sebesar Rp90 ribu dan Rp180 ribu. Sementara dengan JTR, mereka hanya perlu mengeluarkan biaya Rp25 ribu dengan estimasi waktu pengiriman antara 3-7 hari kerja tergantung kota tujuan.

Untuk mendukung JTR, JNE menyiapkan 10 armada truk ukuran besar untuk mengitari seluruh wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali setiap harinya. Sedangkan secara total, JNE memiliki sekitar 2 ribu armada berbagai ukuran, 56 kantor cabang, dan sekitar 6 ribu jaringan untuk permudah akses pengiriman.

Eri menuturkan komersialisasi layanan JTR ini memang pertama kali dimulai dengan Bukalapak. Kendati demikian, hal ini bukan kerja sama eksklusif. Pihaknya menerima pemain lain untuk mengintegrasikan platformnya dengan JTR.

“Tapi untuk sementara, bila ada pengusaha yang mau pakai JTR secara individu itu belum bisa. Harus jadi pelapaknya di Bukalapak terlebih dahulu karena cuma baru bisa di sana,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Persiapkan IPO Paling Lambat 2026

Bukalapak, salah satu marketplace terbesar di Indonesia, tengah mempersiapkan rencana melantai (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) paling lambat 10 tahun dari sekarang atau sebelum 2026. Selain itu, dalam kurun waktu tersebut diharapkan dapat merangkul hingga 30 juta pelapak (penjual). Jumlah tersebut lebih dari separuh jumlah pengusaha UKM yang tercatat dalam Kementerian Koperasi dan UKM RI sebesar 57,9 juta pada 2015.

Seperti diberitakan sebelumnya, BEI mendorong Bukalapak untuk menjadi salah satu pelopor startup lokal yang melakukan IPO di Tanah Air bersama-sama dengan Kaskus. Namun, pada saat itu kabar tersebut disangkal oleh Achmad Zaky, CEO Bukalapak.

[Baca juga: Bukalapak dan Kaskus Klarifikasi Rumor IPO (UPDATED)]

“Dalam kurun 10 tahun mendatang, kami menargetkan sudah melantai di BEI. IPO itu adalah alat, jangan dijadikan tujuan, sebab kami akan pakai alat apa saja untuk membuat UKM Indonesia jadi lebih maju,” ujar M Fajrin Rasyid, Co-founder dan CFO Bukalapak, saat ditemui DailySocial di kantornya, Senin (29/8).

Mengenai target pelapak, lanjutnya, dari data Kemenkop tidak seluruhnya UKM bisa feasible untuk dijadikan sebagai usaha online. Maka dari itu, pihaknya menaruh patokan sekitar 25 juta sampai 30 juta di antaranya memiliki potensi bisa bergabung menjadi penjual di Bukalapak.

“Kami prediksi dari total pengusaha UKM yang terdata oleh Kemenkop sekitar 25 juta sampai 30 juta di antaranya menjadi target kami untuk bisa bergabung menjadi penjual di Bukalapak.”

Bukalapak sendiri tahun ini menargetkan jumlah pelapak yang bergabung mencapai angka 2 juta, pencapaian hingga Agustus 2016 sudah melebihi 1 juta pelapak. Dalam jangka menengah, Bukalapak juga menargetkan pada 2020 jumlah pelapak bisa menyentuh angka 10 juta.

Menurutnya, strategi yang dipakai Bukalapak untuk menggaet lebih banyak pelapak dengan aktif mengadakan roadshow ke kota-kota di Indonesia, kopi darat dengan pelapak existing dan calon pelapak, dan terus memperbaharui fitur forum diskusi yang sudah disediakan Bukalapak. Strategi pendekatan lainnya, lanjutnya, masih dalam perencanaan perusahaan sambil mengikuti perkembangan konsumen Indonesia.

Sebab, perlu diketahui, belum tentu strategi yang dilakukan Bukalapak pada saat ini bisa diaplikasikan pada masa depannya. “Kami akan terus menyesuaikan strategi sesuai dengan perkembangan konsumen dan perekonomian Indonesia itu sendiri agar bisa tetap tepat sasaran. Sekaligus, membuat kami jadi lebih aware agar tetap bisa bersaing dengan markeplace lainnya.”

Fajrin juga mengungkapkan, dalam beberapa tahun pihaknya berambisi ingin membawa produk UKM Indonesia ke ranah pasar internasional. Namun hingga kini, rencana tersebut masih dalam tahap kajian internal perusahaan. Mengingat banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, misalnya meningkatkan tingkat edukasi penjual dan pembeli, perbaikan sistem logistik, dan sebagainya.

Edukasi menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar Bukalapak. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep marketplace dan perbedaaannya dengan e-commerce atau iklan baris online. Selain itu, masih banyak penjual yang masih menjadikan media sosial sebagai basis utama penjualan online mereka.

Akan tetapi, bila dibandingkan kondisinya dari tahun-tahun sebelumnya sekarang ini sudah lebih baik. Pasalnya, tingkat penetrasi masyarakat Indonesia terhadap internet sudah berangsung meningkat, belum lagi ditambah harga smartphone dan paket data yang semakin terjangkau sehingga akses internet semakin mudah didapat.

“Visi misi kami hingga 10 tahun mendatang adalah menjadi partner utama seluruh UKM di Indonesia, dengan merangkul sebanyak-banyaknya pengusaha. Kemudian, Bukalapak bisa menjadi brand yang melekat dari benak setiap orang ketika ingin berjualan dan membeli suatu produk. Sama halnya dengan YouTube yang pertama kali muncul di benak orang-orang saat ingin menonton video online.”

Terus perbaiki bisnis

Bukalapak, sambung Fajrin, juga terus memperbaiki bisnis guna mendapatkan pengguna lebih banyak lagi. Bukalapak sudah tersedia dalam platform desktop, Android, dan iOS. Dia mengklaim, rating Bukalapak dalam aplikasi mobile termasuk salah satu aplikasi dengan rating tertinggi di antara marketplace lainnya.

Rating menjadi salah satu patokan utama yang diambil Bukalapak dalam peningkatan kualitas bisnis untuk konsumennya. Kendati demikian, hal ini tidak membuat Bukalapak tidak menjadi bias karena lebih mengutamakan aplikasi mobile ketimbang desktop.

Menurutnya, mengutamakan seluruh channel marketing bisa membuat Bukalapak terus menjaga kualitas pelayanannya. Dia mengungkapkan, ada suatu tren yang diperkirakan bakal terjadi di masa mendatang, ketika konsumen akan kembali ke penggunaan desktop daripada mengunduh aplikasi di smartphone-nya.

“Meski itu hanya suatu riset, tapi kami menganggapnya kemungkinan saja bisa terjadi. Pasalnya ada kemungkinan konsumen akan lebih selektif dalam mengunduh aplikasi dalam smartphone karena bisa jadi ingin menghemat storage dan ingin merasakan experience terlebih dahulu dengan mengakses lewat desktop. Apabila ada manfaatnya, baru mereka akan mengunduhnya. Hal inilah yang membuat kami tetap ingin memajukan seluruh channel yang dimiliki.”

Selain itu, Bukalapak juga akan tetap rutin menjaga keamanan data pelanggan dan perusahaan dengan menggandeng perusahaan internet security dan hacker secara berkala. Hal ini agar potensi kejahatan online bisa diminimalisir Bukalapak sekaligus menjaga kenyamanan konsumen saat bertransaksi.

Dari sisi logistik, Bukalapak ingin terus menambah rekanan kerja sama dengan perusahaan logistik agar lama waktu pengiriman bisa lebih singkat dengan biaya yang lebih terjangkau.

Application Information Will Show Up Here