Fokus Riliv Perluas Akses Kesehatan Mental di Indonesia

Masalah kesehatan mental merupakan tantangan universal yang mempengaruhi orang-orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dengan populasi lebih dari 270 juta orang, Indonesia menghadapi beban masalah kesehatan mental yang signifikan.

Meskipun demikian, kesehatan mental tetap menjadi topik yang terabaikan, sering distigmatisasi dan disalahpahami. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, telah tumbuh kesadaran dan upaya untuk mengatasi masalah kesehatan mental di Indonesia.

Salah satu platform yang menghadirkan layanan berupa konsultasi hingga meditasi secara personal kepada masyarakat Indonesia untuk kesehatan mental adalah Riliv. Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Riliv Audrey Maximillian mengungkapkan rencana perusahaan tahun ini setelah mendapatkan pendanaan tahun lalu dari East Ventures.

Perluas kesadaran kesehatan mental

Stigma kesehatan mental di Indonesia hingga saat ini masih berakar kuat pada kepercayaan budaya dan masyarakat. Banyak individu dan keluarga sering memandang masalah kesehatan mental sebagai tanda kelemahan, rasa malu, dan lainnya. Stigma ini menciptakan hambatan untuk mencari bantuan dan dukungan, mencegah individu menerima perawatan dan pengobatan yang diperlukan yang mereka butuhkan.

Melihat kondisi tersebut, para pendiri yaitu Audrey dan saudaranya Audy Christopher Herli, mengembangkan ide tersebut menjadi Riliv, sebuah startup yang menawarkan layanan konseling dan kesehatan mental. Sebelumnya Riliv juga sempat bergabung dengan program inkubator lokal dan akselerator yang diselenggarakan oleh pemerintah kota setempat.

Menurut Audrey, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, saat ini penggunaan aplikasi Riliv terus meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyaknya masyarakat Indonesia yang mulai sadar untuk merawat kesehatan mentalnya.

Ditambahkan olehnya dengan meningkatnya kesadaran kesehatan mental masyarakat Indonesia, membuat banyaknya layanan-layanan baru yang bermunculan untuk memberikan solusi soal kesehatan mental. Baik bentuknya layanan penyedia konten meditasi atau konseling.

“Namun, Riliv adalah satu-satunya aplikasi yang mengintegrasikan keduanya, sehingga solusi yang Riliv berikan tidak hanya kuratif tetapi juga preventif untuk merawat kesehatan mental setiap orang,” kata Audrey.

Riliv mencatat kota-kota di Pulau Jawa, antara lain Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menjadi kota teratas terkait penetrasi pengguna Riliv. Hingga bulan Maret 2023, tercatat lebih dari 900 ribu orang di seluruh Indonesia telah mengunduh aplikasi Riliv, dan lebih dari 100 psikolog profesional bermitra dengan Riliv.

Pandemi COVID-19, serta peningkatan pendidikan dan kesejahteraan di Indonesia telah berkontribusi pada peningkatan kesadaran kesehatan mental. Pasca pandemi, Riliv mengalami lonjakan permintaan konsultasi online sebesar 800%.

Platform yang menawarkan layanan serupa dengan Riliv saat ini di antaranya adalah, Kalbu yang menyediakan platform yang menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental; Bicarakan.id platform yang menyediakan layanan konseling online; dan Kalm, aplikasi ini menyediakan layanan konseling online berbasis chat yang sifatnya unlimited dan berkesinambungan.

Strategi monetisasi Riliv

Terdapat tiga fitur favorit di Riliv, seperti Counseling, Journal, dan Meditation, untuk pengguna individu dan karyawan perusahaan. Tercatat layanan di aplikasi Riliv yang paling sering digunakan adalah konseling. Dalam hal ini, Riliv memberikan kemudahan untuk masyarakat dalam mengakses layanan psikolog secara online dan dapat mengatur jadwal konseling secara fleksibel. Hal ini tentunya membantu masyarakat agar mereka tidak perlu datang langsung dan menghindari antrian panjang.

Untuk layanan meditasi, Riliv menerapkan strategi monetisasi freemium, pengguna bisa mengakses beberapa konten guided meditation secara gratis. Untuk mengakses keseluruhan kontennya, Riliv menerapkan subscription plan dan untuk layanan konseling, Riliv menggunakan strategi monetisasi pay per use/session. Tersedia juga subscription plan dengan benefit harga sesi satuan yang akan lebih murah daripada membeli per sesi.

Terkait dengan jumlah komisi yang diberikan oleh Riliv kepada mitra mereka yaitu para psikolog, Audrey enggan untuk mengungkapkan lebih lanjut. Namun, saat ini Riliv mengklaim telah memiliki kurang lebih 100 psikolog dan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

“Riliv menargetkan tahun ini untuk memperbanyak kerja sama dengan institusi-institusi untuk memberikan layanan kesehatan mental yang lebih luas dan signifikan kepada individu yang membutuhkan di dalamnya,” kata Audrey.

Dukungan East Ventures untuk Riliv

Pembicaraan seputar kesehatan mental di Indonesia berangsur-angsur berubah, dengan meningkatnya kesadaran, inisiatif pemerintah, dan upaya masyarakat. Salah satu venture capital (VC) yang kemudian memiliki upaya untuk memberikan solusi terbaik seputar masalah kesehatan mental adalah East Ventures.

Setelah memberikan pendanaan tahap awal (seed round) tahun 2022 lalu, East Ventures melihat dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental terus meningkat di Indonesia, dan permintaan akan layanan yang relevan turut mengalami peningkatan. Dalam hal ini, Riliv memiliki potensi yang signifikan untuk menghadirkan layanan kesehatan mental yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.

Dari sisi East Ventures, tentunya selain memberikan dukungan dari sisi pendanaan, East Ventures juga turut membantu perusahaan portofolio mereka, termasuk Riliv, dalam memberikan ‘value’, baik secara langsung mau pun tidak langsung.

“East Ventures saat ini mendukung beberapa startup kesehatan mental, termasuk Riliv, karena kami percaya bahwa menjaga kesehatan mental sama dengan menjaga kesehatan fisik. Melalui digitalisasi, kami berharap semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses layanan kesehatan di setiap provinsi dan kota yang mungkin belum terakomodasi secara offline,” kata Operating Partner East Ventures David Fernando Audy.

East Ventures merupakan salah satu VC paling aktif berinvestasi di Indonesia. Dalam paparan sebelumnya, disampaikan hingga kuartal I 2023, sebanyak 20 startup yang telah didanai. Sebesar $6,7 miliar masuk ke dalam kategori investasi lanjutan (follow-on funding).

Application Information Will Show Up Here

Riset Populix: Layanan Telekonsultasi Diminati Masyarakat Indonesia untuk Penanganan Kesehatan Mental

Platform telekonsultasi merupakan salah satu channel yang banyak digunakan sejumlah orang di Indonesia dalam mengakses layanan kesehatan mental. Hal ini dipaparkan dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance” yang diterbitkan oleh startup platform riset pasar Populix.

Dalam rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Populix mengadakan survei dengan jumlah responden 1.005; terdiri dari laki-laki dan perempuan di segmen usia mulai dari 18 hingga 54 tahun di Indonesia.

Dalam temuannya, layanan kesehatan mental diakses melalui sejumlah cara antara lain konsultasi dengan pskiater/psikolog di fasilitas kesehatan terdekat (61%), memakai aplikasi telekonsultasi (54%), bergabung dengan grup komunitas yang fokus pada kesehatan mental (38%), dan berbicara dengan pemuka agama (36%).

Sebanyak 87% responden mengaku memakai aplikasi untuk telekonsultasi layanan kesehatan mental karena mudah diakses, sebanyak 76% mengaku dapat dipakai di mana dan kapan saja, 63% memilih karena biaya terjangkau, alasan keamanan informasi terjamin (61%), dan mencari solusi tepat (40%).

Adapun, sebanyak 46% responden tersebut menghabiskan biaya kurang dari Rp100 ribu untuk menggunakan telekonsultasi layanan kesehatan mental, diikuti biaya berkisar Rp100 ribu-Rp250 ribu (42%), Rp250 ribu-Rp400 ribu (97%), dan di atas Rp400 ribu (5%).

Dua faktor utama pemicu gangguan kesehatan mental ini di antaranya adalah masalah finansial (59%) dan merasa kesepian (46%). Selain itu, alasan lain yang memicu adalah faktor tekanan pekerjaan (37%) dan trauma masa lalu (28%).

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia serta menciptakan krisis global yang berdampak pada kesehata mental jangka pendek dan jangka panjang. Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu isu kesehatan yang mendapat banyak perhatian besar di dunia.

Mengacu laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 19 juta penduduk di Indonesia di segmen usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, sedangkan lebih dari 12 jtua penduduk di usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

“Berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalan pembatasan sosial, tuntuan pekerjaan, hingga masalah hubungan yang timbul di masa-masa ini, turut memengaruhi kesehatan mental banyak orang,” ungkap Co-founder dan COO Populix Eileen Kamtawijoyo dalam keterangan resminya.

Startup fokus di mental wellness

Perkembangan informasi tak dimungkiri ikut memicu peningkatan awareness terhadap pentingnya kesehatan mental di Indonesia. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengakses layanan kesehatan mental secara virtual dengan semakin berkembangnya platform penyedia layanan serupa.

Sejumlah Venture Capital (VC) terkemuka juga mulai melirik startup yang  fokus terhadap mental wellbeing, seperti Riliv, Bicarakan.id, Ami, hingga Maxi . Menariknya, layanan yang ditawarkan tak hanya untuk individual saja, tetapi ada yang fokus pada segmen pasar pekerja profesional.

Bagi Co-founder Ami Justin Kim, pertumbuhan ekonomi yang cepat di Indonesia berpotensi memicu peningkatan stres di sebagian tempat kerja. Adapun, pekerja di Asia adalah pekerja paling stres di dunia dengan akses buruk terhadap sumber daya manajemen stres.

Kini muncul generasi baru karyawan yang lebih berorientasi pada nilai dibandingkan generasi pendahulu mereka. Generasi baru ini mencari lingkungan kehidupan kerja yang benar-benar holistik, otentik, dan seimbang.

Daftar Startup Mental Health Indonesia untuk Solusi Peredam Stres

Memahami psikologis seseorang saat ini sangat penting, karena hal tersebut akan mempengaruhi kinerja serta aktivitas sehari-hari. Saat ini, banyak sekali startup mental health Indonesia yang menawarkan berbagai macam layanan psikologis yang terampil.

Ingin mengetahui lebih lanjut? Yuk mari simak 10 startup mental health yang ada di Indonesia!

Ami

Startup mental health yang pertama adalah Ami, didirikan oleh Justin Kim (CEO) dan Beknazar Abdikamalov (CTO) pada tahun 2020. Layanan yang dikembangkan startup mental health yang satu ini adalah dapat memanfaatkan WhatsApp sebagai media untuk mengkomunikasikan layanan konsultasi psikologi.

Pada tahun 2021, Ami sendiri mendapatkan pendanaan dari Meta senilai 43,6 miliar Rupiah. Dana segar ini akan digunakan untuk mengembangkan aplikasi Ami dan melakukan ekspansi pengguna.

Bicarakan.id

Platform yang satu ini dikemas dengan sangat unik. Karena bicarakan.id ini merupakan startup mental health Indonesia yang dapat menawarkan pelayanan online dan tatap muka mulai dari individual ataupun pasangan.

Bicarakan.id didirikan oleh Andreas Handani (CEO) pada tahun 2018. Startup ini memiliki misi untuk semua masyarakat Indonesia memiliki kesehatan mental yang baik. Platform yang satu ini mendapatkan pendanaan dari East Ventures dengan dana yang dirahasiakan.

Diceritain

Layanan ini menyediakan konselor sebaya serta menargetkan mahasiswa. Startup mental health ini didirikan oleh tiga founder yaitu Lathifa Dinar (CEO), Hanum Thalia (CPO), dan Rischa Indiria (COO) pada tahun 2020.

Platform ini memiliki psikolog bersertifikat profesional secara anonim. Pastinya dengan menggunakan Diceritain, diharapkan pengguna mendapatkan pengalaman konsultasi yang unik.

Kalbu

Startup mental health Indonesia yang satu ini diluncurkan pada Agustus 2021. Kalbu ini tidak hanya melayani konsultasi secara individu dan pasangan saja. Startup mental health yang satu ini juga bisa berbasis secara B2B, semisal ada perusahaan atau universitas yang ingin memberikan layanan konsultasi untuk karyawan atau mahasiswanya.

Imam Hanggautomo selaku CEO dari Kalbu menjelaskan “Tren konsultasi kesehatan mental ini akan naik dalam beberapa tahun ke depan, pastinya kita akan berbenah dan melakukan perkembangan secara masif untuk memaksimalkan layanan kita kepada masyarakat.”

Kalm

Kalm diluncurkan pada Oktober 2018, Angela Widjaja selaku CEO bersama tiga orang temannya. Ingin mengembangkan startup mental health Indonesia agar masyarakat Indonesia bisa melek akan kesehatan mental.

Ada beberapa layanan terbaru dari Kalm yakni Increasing Wellness dan Increasing Value agar pengguna dapat mengetahui dan mencapai target yang diinginkan. Platform yang satu ini masih menggunakan dana operasionalnya sendiri.

Oncom

Oncom (Online Consultation & Mentorship) adalah platform berupa aplikasi digital yang berupaya menjembatani kebutuhan masyarakat yang ingin berkonsultasi secara live chat dengan pakar dan mentor dari berbagai bidang seperti psikologi, kesehatan, hukum, hobi, dan lain-lain.

Startup mental health Indonesia ini didirikan oleh Bima Sastra Gordhi di tahun 2016. Hal ini pastinya menjadi salah satu pesaing dan meramaikan startup mental health yang ada di Indonesia.

Psikologimu

Platform yang satu ini menghadirkan layanan konsultasi yang startegis. Psikologimu adalah startup mental health yang didirikan oleh Nova Ariyanto Jono pada tahun 2013. Pastinya psikologimu ini menghadirkan banyak sekali psikolog profesional dengan berbagai macam konsultasi via chat, email. voice call dan sebagainya.

Dari segi pendanaan sendiri psikologimu ini masih menggalangkan dana untuk mengekspansi bisnis kesehatan mental  yang pastinya sangat dibutuhkan dan bermanfaat di Indonesia.

Riliv

Riliv didirikan oleh kakak beradik yaitu Maxi dan Audy pada tahun 2015 di Surabaya, keduanya ingin membagikan kesenangan belajar mengenai mental health serta pentingnya mental health lewat program aplikasi yang mereka buat.

Startup penyedia layanan kesehatan mentalRiliv mengumumkan telah meraih pendanaan tahap awal (seed round) yang dipimpin oleh East Ventures. Tidak disebutkan nominal investasi yang diberikan, sejumlah investor turut andil di putaran ini termasuk Benson Capital, Sankalpa Ventures, Teja Ventures, Telkom Indonesia melalui program akselerasi Indigo, dan angel investor Shweta Shrivastava.

Satu Persen

Startup mental health Indonesia yang satu ini memiliki tagline Indonesian Life School. Startup ini didirikan oleh Ifandi Khainur Rahim (CEO) dan Rizky Adriawan (CTO) yang diberi nama satu persen

Alasan satu persen mengaku sebagai life school Indonesia adalah karena startup ini mengajarkan pengetahuan dan keterampilan penting dalam hidup yang belum mereka dapatkan di sekolah dan masyarakat luas. 

Bidang kesehatan mental dan pengembangan diri adalah salah satunya. Startup ini bertujuan untuk membuat masyarakat Indonesia lebih mengenal kesadaran identitas, pemecahan masalah aktif dan pola pikir berkembang. 

Satu persen yang merupakan life school tentunya juga memiliki kurikulum tersendiri, sama seperti sekolah pada umumnya. Bedanya, kurikulumnya berupa produk dan layanan seperti Pendampingan, Konseling, Kelas Online, Webinar, Tes Online Gratis, dan Pelatihan Kesehatan Jiwa Dasar. Satu persen juga memberikan layanan gratis melalui podcast dan video di saluran YouTube mereka.

Mengenal Ami dan Caranya Membumikan Kesehatan Mental untuk Karyawan Startup

Hingga kini, kesehatan jiwa menjadi masalah yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan, baik di tingkat global maupun nasional. Kondisi semakin diperparah sejak pandemi Covid-19 yang menyebabkan ekonomi masyarakat memburuk, yang secara langsung berakibat pada kehidupan, juga mental dalam menghadapi situasi di masa pandemi.

Terlebih, isu kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu untuk masyarakat Indonesia. Stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental di Indonesia masih sangat kuat. Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) 2018 menunjukkan, sebanyak lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Data ini menunjukkan bahwa negara ini belum dapat menyelesaikan masalah kesehatan mental secara tepat. Namun sayangnya, isu ini menjadi stigma yang dapat berdampak buruk pada penderita, misalnya, diskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat yang dikhawatirkan menghambat kesembuhan dan pemulihan penderita kesehatan mental.

Fakta di atas turut didukung oleh temuan Google Trends. Di pasar global, tren pencarian “how to maintain mental health” disebutkan meningkat lebih tinggi pada tahun ini dari tahun sebelumnya.

Tantangan ini jadi menarik untuk diselesaikan oleh pihak swasta. Justin Kim dan Beknazar Abdikamalov menjadi orang dibalik berdirinya “Ami”, startup penyedia platform mental wellness dengan misi membuat perawatan kesehatan mental lebih mudah diakses oleh pekerja yang terlalu banyak bekerja dan stres di Asia.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Kim mengaku bahwa, baik dirinya maupun Abdikamalov, sudah terlalu akrab dengan budaya perusahaan yang sangat serba cepat. Kim sebelumnya adalah pemilik di Viva Republica, milik miliarder Korea Lee Seung-gun, yang mengoperasikan super-app keuangan Toss, sementara rekannya bekerja sebagai software engineer di Amazon.

“Setiap orang di Ami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di tempat kerja yang serba cepat dan mengalami langsung bagaimana rasanya mengabaikan kesehatan emosional kita. Ami dirancang untuk menjadi sumber kesejahteraan karyawan yang selalu kami inginkan. Kami sekarang bekerja dengan perusahaan untuk membuat pelatihan kesehatan mental 1:1 dapat diakses oleh karyawan di mana saja,” terang Kim.

Solusi Ami

Sumber: Ami

Ami bekerja sebagai platform online yang mencocokkan karyawan dengan pelatih kesehatan mental. Pengguna benar-benar dapat menelepon mereka, tanpa perlu membuat janji berminggu-minggu sebelumnya, untuk berbicara tentang tekanan mereka sehari-hari melalui platform WhatsApp. Langkah ini dimaksudkan, supaya bicara perawatan kesehatan mental itu semudah memeriksa cuaca dan senyaman berbicara dengan teman.

Kim melanjutkan, ada tiga karakteristik utama dari pengalaman Ami. Pertama, Ami beresonansi dengan rata-rata pengguna karena mereka memberikan pelatihan ringan yang dirancang untuk orang dan karyawan biasa. “Kami bukan layanan konseling klinis yang hanya melayani individu yang didiagnosis dan karena itu mencari pengobatan.”

Kedua, pengguna menikmati pengalaman interaktif 1:1 dengan pelatih yang dipilih sendiri dari tim Ami yang beragam agar cocok untuk mereka, sehingga pengalaman tersebut jauh lebih menarik dan dipesan lebih dulu dibandingkan solusi yang ada di industri. Akhirnya, pembinaan ditawarkan dengan cara yang dapat diakses sesuai permintaan.

“Pengguna di perusahaan mitra kami dapat menikmati pengalaman yang seamless di platform aplikasi kami, terhubung dengan pelatih dalam waktu kurang dari satu menit. Setelah itu, mereka dapat terus menikmati akses tak terbatas dan fleksibel ke sesi pelatihan Ami.”

Bagi perusahaan, dampak dari penerapan konsep ini diklaim mampu meningkatkan adopsi 10 kali lebih tinggi daripada solusi konvensional, dengan biaya yang lebih murah.

Dalam kurun waktu lima bulan, diterangkan lebih jauh oleh Kim, pihaknya telah membangun komunitas klien dan mitra yang kuat di seluruh Asia Pasifik. Permulaan awal yang positif ini membuat ia dan tim meyakini prospek yang cerah untuk membumikan literasi mengenai kesehatan mental.

Semua pelatih Ami dipilih sendiri dan bekerja bersama Ami secara internal. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan tim pelatih yang paling beragam dan kuat di Asia -terlepas dari latar belakang- semua pengguna Ami akan dicocokkan dengan profil pelatih yang sesuai untuk kebutuhan mereka.

“Fokus utama kami terus memastikan bahwa pengguna kami memiliki pengalaman pelatihan yang luar biasa dan memungkinkan mereka untuk menjadi advokat alami dan menyebarkan berita ke rekan-rekan. Kami mendapat banyak dukungan pengguna dari komunitas startup di Asia, terutama dari perusahaan dengan demografi milenial yang lebih berorientasi nilai.”

Industri kesehatan mental dan rencana Ami

Ami sendiri berbasis di Singapura dan mulai ekspansi ke Jakarta. Dua lokasi ini dipilih lantaran memiliki basis startup dengan pertumbuhan yang cepat. Terlebih itu, mayoritas karyawannya berusia muda dan cenderung lebih terbuka terhadap kesehatan dan kesehatan emosional.

Menurut Kim, bekerja di startup cenderung lebih cepat stres karena selalu dituntut pada pertumbuhan yang sangat tinggi. Sementara, mempertahankan talenta terbaik adalah prioritas yang berkembang untuk startup. Kendati stigma seputar kesehatan mental di Asia masih sangat nyata, namun respons startup terhadap solusi yang ditawarkan Ami begitu positif.

Mereka menambahkan Ami sebagai bagian inti dari paket tunjangan karyawan, karyawannya pun secara terbuka merangkul dan secara proaktif berinvestasi dalam pembinaan kesehatan mental. “Covid-19 telah membantu mempercepat ini. Sekarang adalah waktu yang tepat bahwa kesehatan mental adalah percakapan yang sangat terkini untuk masyarakat dan tempat kerja Asia sekarang, dan ini juga menjadi agenda sebagian besar tim SDM.”

Kim menambahkan, “kesehatan mental” telah menjadi kata kunci. Kondisi tersebut sangat penting memberikan nilai yang otentik dan jelas seperti apa nilai tambah yang diberikan Ami. “Kami mendidik dengan menunjukkan bahwa kesehatan mental relevan untuk semua orang di seluruh siklus berproses, tidak hanya untuk individu yang mencari bantuan klinis, atau untuk situasi tertekan setelah kejadian.”

“Kesejahteraan mental dan ketahanan dapat dipupuk melalui gaya hidup sehari-hari Anda, mengetahui cara menjeda dan mengatur ulang, sehingga Anda dapat melangkah lebih jauh. Di Ami, kami percaya coaching dapat menjadi pengalaman transformatif yang memfasilitasi hal ini secara efektif. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang menginginkan hubungan manusia,” sambung dia.

Kim menuturkan, selama setahun ini perusahaan akan memperluas cakupannya ke Asia. Bagi dia, Asia adalah rumah bagi beberapa negara yang paling banyak bekerja di dunia. Rata-rata orang di Korea Selatan, misalnya, bekerja 1.908 jam pada tahun 2020, keempat terbanyak di antara negara-negara maju, menurut data yang dikumpulkan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Sebagai perbandingan, rata-rata orang di AS bekerja 1.767 jam pada tahun yang sama.

Sementara di Jepang, jam kerja yang panjang begitu merajalela, hingga menjadi penyebab kematian —disebut “karoshi” dalam bahasa Jepang. Kenyataan ini telah diakui secara hukum sebagai penyebab kematian sejak tahun 1980-an. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Tiongkok.

“Pekerja di Asia adalah yang paling stres di dunia dengan akses yang buruk ke sumber daya manajemen stres. Meskipun demikian, terlepas dari geografi, apa yang kami lakukan akan relevan dan penting bagi organisasi mana pun yang mempekerjakan karyawan manusia, bukan robot. Kami menyambut baik untuk terhubung dengan perusahaan mana pun secara global yang mungkin ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kami lakukan.”

Ia pun optimistis dengan kesempatan Ami di Indonesia. Alasannya, budaya kerja di negara ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh cepat. Bila diterjemahkan lebih lanjut, hal ini memicu intensitas dan stres yang meningkat di sebagian besar tempat kerja. Bersamaan dengan ini, muncul generasi baru karyawan yang telah berubah menjadi lebih berorientasi pada nilai daripada pendahulu mereka, dan mencari lingkungan kehidupan kerja yang benar-benar holistik, otentik, dan seimbang.

“Kami yakin bahwa Ami berada di posisi yang tepat untuk membantu pemberi kerja dan karyawan dalam hal ini menavigasi keseimbangan ini. Last but not least, banyak dari pengguna Indonesia kami berbicara Bahasa dan telah memberikan pujian yang tinggi kepada pengalaman Ami karena mampu memenuhi tuntutan multi-bahasa, multi-budaya. Kami bekerja keras bahu membahu dengan pelatih untuk memberikan pengalaman yang relevan secara sosial budaya untuk semua klien kami.”

Beberapa startup lokal yang telah bermitra dengan Ami, di antaranya adalah HappyFresh, Modalku, dan Sampingan.

Saat ini, Ami telah didukung dengan pendanaan sebesar $4 juta (lebih dari 57 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh New Product Experimentation Team, investing arm dari Meta. Investasi dari Meta ini tandai debut awalnya di Asia Pasifik. Kemudian, diikuti Collaborative Fund, Goodwater Capital, Strong Ventures, January Capital, dan Wisdom Ventures.

Selanjutnya, jajaran investor lainnya yang turut berpartisipasi juga datang dari kalangan angel investor. Nama-namanya adalah tiga co-founder Modalku (Reynold Wijaya, Kelvin Teo, Koh Meng Wong), Maudy Ayunda, Chinmay Chauhan (BukuWarung), MX Kuok (K3 Ventures), Steven Lee (SV Angel), Rajesh Venkatesh (Nium), dan lainnya.

Peranan Startup Memperluas Jangkauan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia

Kesehatan mental masih menjadi isu dengan tingkat literasi yang relatif rendah di antara masyarakat Indonesia. Seringkali tidak kasat mata, esensi kesehatan mental tidak kalah penting dengan kesehatan fisik. Keduanya memiliki keterlibatan satu sama lain. Bila seseorang terganggu fisiknya, mungkin saja mental atau psikisnya juga terganggu, begitu pula sebaliknya.

Ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang, mulai dari sosial, psikologis, dan biologis. Kesehatan mental yang buruk juga dikaitkan dengan perubahan sosial yang cepat, kondisi kerja yang penuh tekanan, diskriminasi gender, pengucilan sosial, gaya hidup tidak sehat, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Hal ini makin menjadi di masa pandemi. Kondisi stres, cemas, depresi, hingga keinginan bunuh diri muncul sebagai respons atas isolasi, masa depan yang tak pasti, hingga kondisi ekonomi yang menurun. Rendahnya literasi terkait kesehatan mental membuat banyak persoalan jiwa yang bisa dicegah dan diatasi sejak dini justru ditemukan dalam kondisi berat dan memengaruhi kualitas hidup masyarakat.

Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) mengatakan, kesehatan mental adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan. Hampir 1 miliar orang di dunia memiliki gangguan kesehatan mental, 3 juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri.

Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016 menunjukkan adanya 1.800 laporan bunuh diri per tahun di Indonesia atau setara lima orang per hari menghabisi nyawa mereka sendiri. Dari total tersebut, 47,7% korban bunuh diri ditengarai pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Selain itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, Indonesia baru memiliki sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar.

Sekumpulan fakta di atas menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi berbagai pihak dan mendorong hadirnya inovasi untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental di seluruh tingkatan. Juga makin banyak platform yang fokus menjangkau masyarakat yang rentan dengan isu kesehatan mental. Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental mulai mendapat perhatian dan menciptakan potensi bisnis.

Layanan konseling di masa pandemi

Seiring perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang semakin luas, inovasi mulai hadir dalam industri kesehatan mental. Di masa pandemi yang membatasi ruang gerak dan interaksi sosial masyarakat, mulai bermunculan startup yang fokus menawarkan layanan konseling online, seminar mendalam bersama praktisi profesional, serta aktivitas lain yang menunjang kesehatan mental pada umumnya.

Sebut saja KALM. Layanan yang mulai beroperasi di tahun 2018 ini merupakan salah satu aplikasi konseling online yang menyediakan layanan yang fleksibel, privat, dan terjangkau dengan para profesional. Selain konseling online, KALM juga menawarkan fitur penulisan jurnal dengan ekspektasi untuk membantu memperbaiki pola pikir positif, menurunkan tingkat stres, dan memperbaiki tidur.

Karina Negara, Psikolog Klinis & Co-Founder KALM, mengungkapkan, pada awalnya konseling online dianggap hanya sebagai pelengkap, namun di masa sekarang, konsep ini telah menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat. Di akhir tahun 2020, menurut data dari KALM sendiri, 60% pengguna mengaku baru pertama kali menggunakan layanan konseling online.

Senada dengan Karina, Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu Iman Hanggautomo juga mengungkapkan peningkatan signifikan di jumlah pengguna platform-nya. Berdasarkan keterangan beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, seorang psikolog yang biasanya menangani 1-2 pasien per hari, di masa pandemi pandemi meningkat jadi 8-10 pasien. Kalbu sendiri menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.

Di Indonesia, sudah ada beberapa layanan yang lebih dulu menyasar segmen ini, seperti Satu Persen, Bicarakan.id dan Riliv yang baru saja mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Kehadiran platform-platform ini memberikan validasi terhadap kebutuhan layanan kesehatan mental di Indonesia. Pendanaan yang berhasil dituai pun menunjukkan segmen ini mulai dilirik investor.

Nama Biaya Konseling Pengguna Psikolog
Riliv Mulai dari Rp100ribu/sesi 500 ribu+ 100+
Kalm Mulai dari Rp250 ribu/minggu 12 ribu+ 167
Bicarakan.id Mulai dari Rp189 ribu/sesi 5 ribu+ 26
Satu Persen Mulai dari Rp250 ribu/sesi 270 ribu+ 9
Kalbu Rp300-350 ribu/sesi 200+ 15

Salah satu platform healthtech terkemuka Halodoc juga melihat potensi besar yang ada di segmen ini. Mulai tahun 2020 lalu, Halodoc sudah memiliki kanal atau fitur khusus untuk memberikan layanan konsultasi kesehatan mental bagi penggunanya dengan dukungan 500 psikolog dan psikiater. Kompetitornya, Alodokter, juga menawarkan fitur ini dan mengaku mengalami kenaikan jumlah sesi konsultasi kesehatan mental selama pandemi.

Potensi di sektor B2B

Salah faktor yang memicu isu kesehatan mental adalah lingkungan pekerjaan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 menyebut kelelahan mental sebagai “fenomena yang dipicu pekerjaan”. Dampak masalah kesehatan mental di tempat kerja memiliki konsekuensi serius. Tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk produktivitas perusahaan.

Menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan mental terhadap kinerja karyawan, beberapa perusahaan mulai mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Karina mengungkapkan, sejak awal tahun 2020 permintaan perusahaan untuk layanan kesehatan mental semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu alasan KALM mulai menjalankan KALMporate, layanan kesehatan mental untuk korporasi, di akhir kuartal pertama 2020.

Di sisi lain, startup kesehatan mental memiliki layanan yang terbatas karena menyasar ceruk pasar yang lebih sempit dibandingkan layanan healthtech pada umumnya. Potensi layanan kesehatan mental dinilai akan lebih maksimal diarahkan pada kebutuhan korporasi. Konsep ini dinilai lebih scalable sekaligus dapat menjangkau pasar yang lebih luas.

“Kita merasa dengan menyediakan layanan KALMporate, bisnis akan lebih scalable secara finansial. Tentunya sembari tetap mempertahankan kualitas layanan B2C kita,” tambah Karina.

Terkait potensi skema B2B untuk layanan kesehatan mental, Riliv telah meluncurkan Riliv for Company, sementara Kalbu juga menyasar institusi dan komunitas. Dalam wawancara terpisah, Iman mengungkapkan bahwa konsep B2B ini juga sebagai upaya tepat untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di ranah institusi dan komunitas.

“Tantangannya ada dalam hal literasi kesehatan mental pada masyarakat Indonesia. Maka dari itu, kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar dengan harapan informasi dapat tersebar secara inklusif,” ungkap Iman.

Tantangan yang membayangi

Dengan hadirnya berbagai layanan kesehatan mental beserta potensinya, masih ada beberapa tantangan yang masih membayangi di segmen ini. Salah satunya adalah stigma negatif yang masih kuat terhadap orang yang mengalami isu kesehatan mental di Indonesia. Keterbatasan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental di negara kita tidak dapat lepas dari nilai-nilai tradisi budaya atau kepercayaan masyarakat.

Sebagian masyarakat masih mempercayai penyebab isu kesehatan mental berasal dari hal-hal supernatural atau takhayul sehingga mengategorikan hal tersebut sebagai aib. Pelabelan, pengucilan, dan stereotipe terhadap orang yang mengalami isu kesehatan mental acap kali membuat mereka memilih bungkam atau menolak berkonsultasi kepada ahli.

Di sisi lain, isu finansial kembali mencuat. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalani praktik konseling terkait isu kesehatan mental dinilai tidak sebanding. Pasalnya, layanan yang diberikan hanya dianggap sebatas “curhat” dan tidak menawarkan tindakan medis khusus dengan harga yang tidak jauh berbeda ketika melakukan konsultasi ke dokter spesialis.

Selain itu, akses yang tidak merata juga menjadi tantangan tersendiri. Di Indonesia, masih banyak provinsi yang tidak memiliki instansi khusus serta sumber daya profesional untuk isu kesehatan mental ini. Kementerian Kesehatan Indonesia memprediksi setidaknya 90% orang dengan gangguan kesehatan mental tidak mendapatkan akses terhadap perawatan yang memadai.

Tantangan lain datang dari sisi pengguna. Dengan berbagai solusi yang ditawarkan platform kesehatan mental, bagaimanapun juga, isu yang kerap memicu tidak stabilnya mental seseorang datang dari ranah yang cukup privat. Untuk itu tidak mudah bagi pengguna untuk langsung memutuskan berbagi (ke orang lain) terkait persoalan pribadi.

Salah seorang pengguna layanan konseling yang berdomisili di Jakarta mengakui dampak positif dari layanan konsultasi kesehatan mental pada dirinya. Meskipun harus melalui lebih dari satu kali pertemuan di beberapa platform berbeda, ia akhirnya menemukan konselor yang tepat dan nyaman untuk membagikan beban emosionalnya.

“Nyamannya orang beda-beda. Syukur kalau bisa langsung ketemu yang pas. Kalau enggak, ya harus cari-cari lagi,” tuturnya.

Demikian juga ketika melangsungkan sesi konseling. Layaknya sebuah treatment atau perawatan, konseling didesain untuk berkelanjutan. Karina menuturkan, “Untuk setiap sesi kita akan tentukan goal-nya apa dan akan ada ‘pekerjaan rumah’ yang harus diselesaikan.”

Lagipula, seseorang yang mengalami masalah hidup selama bertahun-tahun tidak akan seketika pulih dalam konseling yang ditargetkan selesai dalam satu jam.

Mimpi Karina adalah memosisikan layanan kesehatan mental setara dengan layanan kesehatan pada umumnya. Semakin kuat penetrasi layanan kesehatan mental di Indonesia, maka pemahaman terkait kesehatan mental diharapkan bisa lebih mendalam dan merata. Dengan demikian jalan untuk mengatasi tantangan-tantangan lainnya disinyalir akan lebih mulus.

Mental Health Startup Riliv to Secure Seed Funding Led by East Ventures

The mental health startup, Riliv, has secured seed round funding led by East Ventures. The total amount is still undisclosed, participated in this round several investors, including Benson Capital, Sankalpa Ventures, Teja Ventures, Telkom Indonesia through the Indigo acceleration program, and angel investor Shweta Shrivastava.

The fresh money will be used to expand Riliv’s mental health services to wider sectors, including the general publicin need of integrated health services, as well as specific industries providing access to mental health workers for employees.

“Riliv users experience a significant increase by nearly 400% during the pandemic, both from workers and common users, including students and housewives. Most of them have problems with feelings of anxiety and insecurity regarding the current condition,” Riliv’s Co-Founder & CEO, Audrey Maximillian Herli.

He also said, “The presence of Riliv’s online counseling and integrated mindfulness content can introduce mental health as a common need for Gen Y, Z, and Alpha in Indonesia’s current demographic bonus. We open the door for all levels to work together to tackle mental health.”

Along with its development, Riliv continues to grow to provide online psychologist counseling services through an application. Users can take advantage of self-help such as meditation, journalling, and also sleepcasts to help them rest. In addition, Riliv also offers Employee Assistance Program services, Riliv for Company, for company’s counseling services and wellness programs for employees.

“COVID-19 is increasing public awareness of the importance of mental health. Riliv’s services are becoming increasingly relevant to today’s market and we believe Riliv can help Indonesians to gain easy access to mental health services. We are pleased to be able to support Maxi and Audy to advance the mental health industry in Indonesia,” East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca.

Mental health-related services are rising

Recently, mental health issues have become a popular topic. The 2018 Basic Health Research conducted by the Ministry of Health shows that more than 21 million Indonesians experience emotional psychological problems and depression. Research in 2020 also showed that mental disorders almost doubled during the Covid-19 pandemic.

Regarding this opportunity, several startups have come up with various forms of mental health services. Some players are offering similar services, including Kalbu, Kalm, Talk.id, to Halodoc, who have also rolled out mental health service packages in their telemedicine ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Kesehatan Mental Riliv Bukukan Pendanaan Awal Dipimpin East Ventures

Startup penyedia layanan kesehatan mental (mental health) Riliv mengumumkan telah meraih pendanaan tahap awal (seed round) yang dipimpin oleh East Ventures. Tidak disebutkan nominal investasi yang diberikan, sejumlah investor turut andil di putaran ini termasuk Benson Capital, Sankalpa Ventures, Teja Ventures, Telkom Indonesia melalui program akselerasi Indigo, dan angel investor Shweta Shrivastava.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperluas layanan kesehatan mental Riliv ke sektor yang lebih luas, seperti masyarakat umum yang membutuhkan layanan kesehatan terintegrasi, serta industri yang spesifik memberikan akses tenaga kesehatan mental bagi karyawan.

“Terdapat peningkatan pengguna Riliv hingga hampir 400% selama pandemi baik dari pekerja maupun pengguna umum seperti pelajar dan ibu rumah tangga. Kebanyakan dari mereka memiliki masalah yang dengan perasaan cemas dan tidak aman terkait kondisi mereka saat ini,” ujar Co-Founder & CEO Riliv Audrey Maximillian Herli.

Lebih lanjut Audrey mengatakan, “Kehadiran konseling daring dan konten-konten mindfulness yang terpadu dari Riliv dapat memperkenalkan kesehatan mental sebagai kebutuhan yang wajar bagi Gen Y, Z, dan Alpha dalam bonus demografi Indonesia saat ini. Kami membuka pintu bagi semua pihak untuk bekerja sama menanggulangi kesehatan mental bersama.”

Seiring perkembangannya, Riliv terus bertumbuh hingga menyediakan layanan konseling psikolog daring lewat sebuah aplikasi. Pengguna bisa memanfaatkan self-help seperti meditasi, journalling, dan juga sleepcast untuk membantu istirahat. Selain itu, Riliv juga menawarkan layanan Employee Assistance Program yaitu Riliv for Company yang menjangkau perusahaan untuk mendapatkan layanan konseling dan program wellness bagi karyawan.

“COVID-19 semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Layanan Riliv menjadi semakin relevan dengan kebutuhan pasar saat ini dan kami yakin Riliv dapat membantu masyarakat Indonesia untuk mendapatkan akses layanan kesehatan mental dengan mudah. Kami senang bisa mendukung Maxi dan Audy untuk memajukan industri mental health di Indonesia,” sambut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Layanan terkait mental health bermunculan

Isu kesehatan mental memang tengah menjadi topik populer akhir-akhir ini. Riset Kesehatan Dasar 2018 yang diselenggarakan oleh Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 21 juta jiwa masyarakat Indonesia mengalami masalah psikologis emosional dan depresi. Riset pada tahun 2020 juga menunjukkan bahwa gangguan mental meningkat hampir 2 kali lipat saat pandemi Covid-19.

Melihat peluang tersebut, sejumlah startup hadir dengan berbagai bentuk layanan kesehatan mental. Beberapa pemain yang mirip dengan Riliv adalah Kalbu, Kalm, Bicarakan.id, hingga Halodoc yang turut gulirkan paket layanan kesehatan mental di ekosistem telemedisnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Kalbu, Platform yang Menawarkan Berbagai Layanan Terkait Kesehatan Mental

Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian dari masyarakat di Indonesia. Didukung dengan kehadiran platform teknologi yang fokus mengembangkan solusi terkait layanan kesehatan mental, salah satunya adalah Kalbu. Diluncurkan pada bulan Agustus 2021 lalu, Kalbu menyediakan platform yang menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.

Kalbu melihat adanya peningkatan isu kesehatan mental, terlebih sejak hadirnya pandemi Covid-19 di Indonesia yang menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan interaksi sosial, serta ketidakpastian Berdasarkan keterangan dari beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, satu psikolog biasanya menangani 1-2 pasien per hari, namun setelah pandemi meningkat jadi 8-10 pasien.

Hal ini pun diakui oleh Iman Hanggautomo, selaku Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu. Ia sendiri sudah merasakan manfaat luar biasa dari konsultasi dengan praktisi kesehatan mental selama kurang lebih dua tahun. Meskipun tanpa background yang kuat di dunia psikologi, Iman berharap dengan pengalamannya di dunia startup serta antusiasmenya terhadap kesehatan mental, Kalbu bisa menghadirkan solusi menyeluruh yang memfasilitasi berbagai kebutuhan terkait kesehatan mental.

Layanan yang ditawarkan Kalbu cukup beragam seperti online counseling dan online workshop dengan psikolog yang terbiasa menangani beragam isu kesehatan mental, seperti anak & keluarga, pendidikan, institusi, dan olahraga. Selain itu, platform ini juga bisa digunakan untuk tes minat dan bakat, IQ, kesiapan sekolah, juga psychotherapy untuk adiksi obat-obatan tertentu.

Menjaga kesehatan mental tidak hanya dengan konseling serta pemulihan jiwa, namun juga diiringi dengan pemeliharaan raga. Dalam platformnya, Kalbu juga menyediakan kelas-kelas pemulihan diri (self-healing) seperti meditasi dan hypnotherapy, juga pengembangan diri (self-development) dengan praktisi yang bersertifikasi.

Saat ini, Kalbu juga menawarkan model bisnis B2B yang menyasar institusi dan komunitas. Salah satu yang ditawarkan adalah Employee Assistance Program untuk setiap karyawan dapat menikmati sesi konseling kesehatan mental. Dari sisi komunitas, perusahaan juga telah bekerja sama dengan beberapa komunitas, salah satunya di bidang olahraga untuk pemeliharaan kesehatan mental atlet. Sejauh ini, sudah ada 15 psikolog profesional yang terdaftar dalam platform Kalbu dengan pengalaman lebih dari 5 tahun.

Selain bisnis model B2B, Kalbu menerapkan sistem monetisasi dengan memotong fee dari biaya per konseling sesuai kesepakatan dengan praktisi.

Layaknya konsultasi ke dokter spesialis pada umumnya, tarif konseling kesehatan mental sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, literasi yang masih kurang terkait pentingnya kesehatan mental membuat orang enggan merogoh kocek untuk konsultasi. Kalbu memasang tarif sekitar 300-350 ribu untuk satu sesi selama kurang lebih satu jam. Namun, timnya sedang mengusahakan untuk membuatnya lebih terjangkau di harga 150-200 ribu saja.

“Tantangannya adalah literasi kesehatan mental di masyarakat. Kami ingin membuat konsultasi dengan psikolog itu bisa jadi rutin seperti konsultasi ke dokter gigi. Kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar. Setiap bulan, kami juga mengadakan talkshow online membahas masalah yang terjadi di kehidupan sehari-hari,” jelas Iman.

Potensi pasar dan target ke depan

Iman juga mengungkapkan bahwa industri ini masih memiliki potensi yang sangat besar. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sementara Indonesia baru punya sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, negara ini diharapkan bisa mengoptimalkan jasa praktisi yang ada.

Di Indonesia, beberapa platform yang juga menawarkan konsep serupa dengan Kalbu adalah Riliv, Kalm, dan Bicarakan.id. Beberapa platform tersebut memiliki satu visi yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Layanan yang ditawarkan juga beragam dengan konseling sebagai core nya.

Dari sisi pendanaan, Kalbu telah mendapatkan dukungan modal dari salah satu perusahaan ternama Indonesia yang bergerak di bidang tambang. Meskipun secara bisnis terlihat tidak terkait, namun peran kuat perusahaan diharapkan dapat membantu memberi pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat.

Ke depannya, Kalbu berencana untuk menggunakan pendanaan ini untuk mengembangkan layanan kesehatan mental, memperkuat kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dan internasional, menghadirkan kembali suicide hotline, serta mendorong peran pemerintah juga berpartisipasi dalam pengembangan solusi mental health di Indonesia.

“Kami juga berencana meluncurkan aplikasi sendiri di semester 2 tahun 2022. Namun, kami juga harus memastikan bahwa layanan yang kami tawarkan sudah cukup kuat. Targetnya tidak muluk, 450-500 pasien per bulan untuk individu dan perbanyak klien B2B,” ujar Iman.

Mengenal Platform Konseling Bicarakan.id dan Misinya Meningkatkan Kesehatan Mental di Indonesia

Teknologi memiliki peran signifikan dalam menghubungkan setiap orang di berbagai belahan dunia. Kehadirannya juga dimanfaatkan mereka untuk mengembangkan beragam layanan digital yang kini semakin luas fungsinya, mulai dari layanan keuangan, belanja, pendidikan, hingga kesehatan mental.

Founder & CEO Bicarakan.id Andreas Handani meyakini bahwa siapa pun berhak untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Bahkan bagi masyarakat modern sekalipun yang cukup memiliki kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tak menutup kemungkinan kebutuhan kesehatan mentalnya sudah terpenuhi.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di 2018, sebanyak 12 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami depresi, dan 19 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Jumlah ini berpotensi bertambah, terutama di masa pandemi Covid-19, saat ruang gerak masyarakat dibatasi.

Dalam skala global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 2017 melaporkan lebih dari 200 juta orang (3,6% dari populasi) menderita kecemasan. Sementara, jumlah penderita depresi mencapai 322 juta orang (4,4% dari populasi), hampir separuhnya berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

DailySocial.id berkesempatan untuk mengenal lebih jauh mengenai platform konseling online Bicarakan.id yang didirikan oleh Andreas Handani beserta visi-misinya ke depan.

Mendorong kesehatan mental dengan layanan konseling

Saat mendirikan Bicarakan.id, Andreas bercerita bahwa ide awal layanan ini lahir dari sebuah lirik lagu yang menyinggung pentingnya mengutarakan masalah yang dihadapi. Secara psikologis, ia menilai bahwa mengutarakan masalah sangat berguna untuk mencari langkah penyelesaiannya.

Di samping itu, ia melihat layanan untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan mental belum tergarap baik di Indonesia. “Belum ada tempat yang benar-benar berfungsi sebagai ekosistem yang dapat menggabungkan para psikolog dan kebutuhan psikologis masyarakat Indonesia itu secara sinergis. Itu adalah sebuah kekacauan yang masif untuk kita sebagai masyarakat modern,” tuturnya.

Andreas mengakui bahwa ia tidak punya latar belakang pendidikan dan karier sebagai psikolog. Bahkan sebelum ini, ia sempat berkarir sebagai freelance copywriter dan marketing consultant di startup fintech. Kendati begitu, Andreas mengaku bahwa ilmu psikologi membantu hidupnya dalam melakukan perubahan dan menginspirasinya untuk mengembangkan platform konseling online.

Sebagai informasi, Bicarakan.id adalah sebuah platform yang menyediakan layanan konseling online. Misinya adalah menjadi ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas dengan biayanya terjangkau bagi semua orang di Indonesia.

Bicarakan berdiri sejak Maret 2020 dan telah memiliki 11 orang di timnya. Di awal berdiri, layanan konseling online Bicarakan baru dapat diakses di website dengan biaya awal sebesar Rp149 ribu per sesi. Saat ini, biaya per sesinya dimulai dari Rp189 ribu. Layanan konseling online yang tersedia, yaitu individu dan pasangan.

Kini, pengguna dapat menjadwalkan sesi konseling online melalui Google Play Store dan Apps Store dalam waktu kurang dari 5 menit. “Bandingkan dengan konseling tatap muka yang tradisional di mana prosesnya bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Saya rasa ini improvement yang cukup drastis ya dari segi kemudahan untuk user,” tambahnya.

Selain online, Bicarakan.id juga menawarkan layanan konseling tatap muka untuk individu dan pasangan melalui Rumah Bicara. Fasilitas ini memudahkan Pembicara (sebutan pengguna Bicarakan.id) untuk bertatap muka dengan konselor pilihan mereka. Pengguna juga dapat menjadwalkan sesi konseling langsung di sana.

Saat ini, Bicarakan.id telah memiliki sebanyak 26 orang mitra konselor aktif. Menurut Andreas, proses kurasi konselor ditanganinya bersama Head of Counseling Operations Mario Albert. Siapa pun dapat mengajukan diri untuk bergabung menjadi mitra selama memiliki Surat Izin Praktek Psikolog (SIPP).  

Investasi East Ventures dan rencana bisnis

Pada kesempatan ini, Andreas juga mengungkap bahwa platform Bicarakan.id telah memperoleh pendanaan tahap awal (pre-seed) dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan. Pihaknya juga tengah berdiskusi dengan beberapa investor lain untuk mengakselerasi rencana pengembangan Bicarakan.id menjadi sebuah ekosistem layanan kesehatan mental yang optimal di Indonesia.

Pihaknya memiliki visi untuk membangun ekosistem layanan yang berkualitas, terjangkau, dan dilengkapi dengan konten-konten terkait, seperti journaling dan meditasi. Lewat platform ini, ia memiliki visi untuk mendorong masyarakat Indonesia lebih terbuka terhadap masalah, memvalidasi emosi, dan mengapresiasi pentingnya membicarakan masalah, bukan membiarkannya.

“Saat ini, kami fokus untuk develop ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas, lengkap, dan memiliki biaya terjangkau. Ada tiga hal yang menjadi area utama pengembangan kami, yaitu aplikasi, konten, serta penambahan jumlah konselor dan layanan konseling,” tuturnya.

Partisipasi program Startup Studio

Selain mencari akses permodalan, Bicarakan.id juga turut berpartisipasi pada program inkubasi Startup Studio yang difasilitasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pada September lalu, Bicarakan.id terpilih sebagai salah satu peserta yang lolos di Batch III ini.

Menurut Andreas, salah satu alasan utama mengikuti program ini adalah untuk mendapatkan pendampingan dan pelajaran dalam mengembangkan startup. Ia mengakui bahwa pengembangan produk secara mandiri akan memakan waktu lama.

“Ada banyak orang yang lebih memahami pengembangan bisnis, terutama di industri startup teknologi. [Partisipasi ini dapat membantu misi yang kami emban untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih sehat mental,” ucapnya.

Ada beberapa pelajaran menarik yang diperolehnya dari program ini, di antaranya adalah mempertemukan business goals dengan market reality, cara meraih profit tanpa melupakan misi sosial, cara menuju product-market fit, hingga pentingnya tracking data dan cohort metrics untuk mencapai user retention rate yang optimal.

Application Information Will Show Up Here

CSPPA Jalankan Penelitian Kesehatan Mental bagi Atlet Esports Bersama Universitas di Inggris

Baru-baru ini Asosiasi Pemain profesional Counter-Strike (CSPPA) mengumumkan akan bekerja sama dengan 2 universitas di Inggris untuk meneliti kesehatan mental atlet esports CS:GO. Bersama dengan Universitas Chichester dan Universitas Winchester, sebuah studi mendalam akan dilakukan terkait kesehatan mental atlet esports.

Banyaknya atlet esports yang menyatakan hiatus atau beristirahat dari esports sesungguhnya mengalami permasalahan yang serius, sekalipun memberikan performa yang baik di ranah kompetitif. Nyatanya sudah pernah tercatat pemain yang harus mengundurkan diri dan tidak aktif lagi di skena kompetitif esports karena memiliki masalah kesehatan fisik maupun mental.

Lebih jauh lagi, kesehatan mental adalah hal yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian serius bahkan kerap mendapat stigma yang negatif. Jika generasi sebelumnya memandang aktivitas gaming dan esports adalah sepenuhnya aktivitas untuk mengisi waktu luang dan bersifat rekreatif, nyatanya pandangan itu kurang tepat menggambarkan gaming dan esports secara utuh.

Di tengah perkembangan industri gaming dan esports yang kian hari kian meningkat, banyak atlet esports harus menghadapi tekanan berlebih dalam karier mereka. Dalam tingkatan paling sederhana, semua atlet esports sudah barang tentu mengejar kemenangan dan berusaha memberikan performa terbaiknya. Hanya saja, layaknya pada semua pertandingan, hanya akan ada satu pemenang dan raihan lainnya seolah tidak ada artinya.

Lebih dalam lagi mengenal profesi atlet esports, stress level umumnya akan meningkat seiring menanjaknya skill dan popularitas. Di saat bersamaan ketika seorang atlet esports profesional meraih titel juara, lambat laun tumbuh kepopuleran layaknya seorang selebritas. Menanggapi media, kerja sama dengan brand, jadwal streaming, dan campuran penggemar serta warganet yang belum tentu sepenuhnya suportif memberikan beban mental tambahan sambil seharusnya penuh berkonsentrasi kepada kompetisi.

Adapun waktu jeda antar turnamen juga perlu menjadi sorotan di dunia esports, terkhusus bagi organisasi esports dan tournament organizer atau siapapun juga yang berkeinginan mengadakan gelaran turnamen esports. Dalam waktu satu tahun sebuah disiplin esports memiliki kalender kompetisi yang padat dan kadang malah tumpang tindih. Tidak saja secara mental, atlet esports juga tidak sedikit mengalami kelelahan secara fisik saat harus mengimbangi waktu latihan dan bepergian saat menghadiri turnamen secara offline.

 Olof "⁠olofmeister⁠" Kajbjer yang mengambil break dari skena kompetitif CS:GO| via: HLTV
Olof “⁠olofmeister⁠” Kajbjer yang mengambil break dari skena kompetitif CS:GO| via: HLTV

Dengan adanya perhatian dan pengertian yang mendalam terhadap kesehatan mental atlet esports secara luas, akan membantu meletakkan dasar yang baik bagi keberlangsungan dan pertumbuhan industri esports di masa depan. Terlepas esports begitu erat dengan gemerlapnya panggung kompetisi dan kepopuleran, setiap atlet esports adalah manusia biasa yang juga memiliki batasan.