Perlukah Mengadakan Turnamen Esports Khusus Perempuan?

Esports kini menjadi semakin populer. Tak hanya itu, esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Buktinya, esports dimasukkan ke dalam berbagai ajang olahraga bergengsi, seperti Asian Games 2018 dan SEA Games 2019. Esports bahkan dikabarkan akan masuk dalam Olimpiade.

Dalam olahraga tradisional, kebanyakan kompetisi dipisahkan berdasarkan gender. Salah satu alasannya karena secara fisik, perempuan dan laki-laki memang memiliki kemampuan yang berbeda. Mengingat saat bermain esports para atlet “hanya” harus menatap layar dan menggerakkan mouse atau menyentuh layar smartphone, Anda mungkin berpikir, tidak ada perbedaan signifikan antara performa laki-laki dan perempuan. Namun, benarkah begitu?

 

Performa Pria dan Perempuan, Apakah Berbeda?

Saat ditanya apakah ada perbedaan antara performa atlet esports perempuan dan pria, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports berkata, “Menurut saya, perbedaan mekanik dipengaruhi oleh hormon. Keseimbangan estrogen dan progesteron pada perempuan menjadi kunci tentang bagaimana otak dan emosi bekerja.”

Estrogen adalah hormon seks yang lebih dominan pada perempuan. Memang, pria juga memiliki hormon estrogen, hanya saja, tingkat estrogen pada perempuan lebih tinggi dari pria. Fungsi hormon tersebut pada perempuan dan pria juga berbeda. Begitu juga dengan hormon progresteron. Perempuan dan pria memang memiliki hormon tersebut, tapi dalam kadar dan fungsi yang berbeda. Pada perempuan, progesteron memengaruhi siklus menstruasi, kehamilan dan embriogenesis.

“Kedua hormon itu membuat perempuan sulit untuk fokus pada waktu-waktu tertentu,” ujar Shena. “Namun, di situlah pentingnya latihan rutin dan kedisplinan. Buktinya, di Bigetron, ada BTR Alice yang tergabung dalam Bigetron Red Aliens, divisi PUBG Mobile.”

Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia
Bigetron Red Aliens. | Sumber: Facebook PUBG Mobile Indonesia

Sayangnya, tidak banyak tim esports yang mencampur pemain pria dan perempuan. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, menurut Kresna, Project Manager Women Star League. Salah satunya adalah karena kemungkinan, perempuan lebih merasa nyaman bermain dengan sesama perempuan. Begitu juga dengan para pemain laki-laki.

“Selain itu, juga ada anggapan bahwa para pemain perempuan itu kurang pintar dalam bermain game,” ujar Kresna. “Ya bebanlah, ya merepotkanlah, dan lain-lain. Hal itu yang membuat laki-laki cenderung membuat tim bersama pemain laki-laki juga.” Padahal, menurut Kresna, anggapan itu tidak benar. Dia percaya, keberadaan turnamen esports khusus perempuan dapat membantu untuk menghapus stigma tersebut.

Sementara itu, menurut Herry Wijaya, Head of Operation, Mineski Global Indonesia, saat ini, sebagian besar pemain esports perempuan lebih tertarik untuk menjadi influencer daripada menjadi pemain profesional. “Kalau saya boleh mengambil kesimpulan singkat tanpa riset, saya melilhat bahwa pemain perempuan ujung-ujungnya biasanya tidak menjadi pro player. Bahkan setelah menang turnamen esports khusus perempuan, mereka biasanya menjadi influencer,” ujarnya. “Saya tidak melihat ambisi untuk menggeser posisi pemain ternama di organisasi esports besar, seperti Rekt dari EVOS misalnya.”

 

Seberapa Penting Turnamen Esports Khusus Perempuan?

Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, turnamen esports perempuan cukup penting untuk diselenggarakan, baik oleh publisher maupun pihak ketiga. “Pendapat pribadi saya, ekosistem di industri game akan tumbuh secara organik dan jauh lebih sehat jika memerhatikan kebutuhan para lady gamers ini,” kata Rezaly saat dihubungi melalui pesan singkat. “Salah satunya melalui penyelenggaraan turnamen khusus perempuan.” Dia merasa, saat ini, jumlah turnamen esports untuk para gamer perempuan jauh lebih sedikit daripada turnamen untuk pria, mulai dari kompetisi tingkat grassroot sampai nasional.

The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram
The Prime Snaky jadi pemenang PINC Ladies 2020. | Sumber: Instagram

“Beberapa publisher besar di Indonesia sudah lama turut mengembangkan ladies tournament, seperti Princess Cup, turnamen Arena of Valor dari Garena atau PINC Ladies, turnamen PUBG Mobile dari Tencent. Walaupun turnamen tersebut masih disajikan sebagai bagian dari pertandingan hiburan,” kata Rezaly. “Menurut saya, perlahan tapi pasti, pasarnya sudah kelihatan, baik dari tim yang ikut serta atau viewership. Selama turnamennya ada, para pro player perempuan ini akan berusaha untuk membentuk tim solid untuk berpartisipasi. Jadi, kualitas pertandingannya ya juga nggak kalah sengit dari pertandingan esports pria.”

Soal kemampuan, Kresna punya pandangan yang lain. “Kalau dari skill, menurut saya, para pemain perempuan belum sama dengan tim Mobile Legends Pro League. Mungkin, kalau dengan Mobile Legends Developmental League masih 50-50. Tapi, kalau dengan tim-tim di luar itu, para ladies yang ada di organisasi esports, skill-nya sudah selevel atau bahkan melebihi tim tersebut,” ujarnya.

Martin Yanuar, Manager Belletron punya pendapat yang sama dengan Kresna. “Menurut kami, skill antara pemain pria dan perempuan tidak akan sama. Karena para pemain perempuan cenderung lebih sulit untuk berlatih full-time,” ujarnya. “Kecuali kalau turnamen ladies memberikan hadiah yang setara dengan turnamen umum senilai ratusan juta.”

Memang, dari segi total hadiah, turnamen esports perempuan biasanya menawarkan hadiah yang jauh lebih kecil daripada turnamen umum yang diikuti oleh pemain pria. Misalnya, juara PINC mendapatkan hadiah sebesar Rp180 juta sementara pemenang PINC Ladies hanya mendapatkan Rp10 juta.

Sebagai bagian dari organisasi esports, Shena mengungkap harapannya, di masa depan, para penyelenggara turnamen esports akan memberikan hadiah yang sama besarnya dengan turnamen umum. “Walau sebenarnya, masalah ini tidak hanya terjadi di esports, tapi juga di dunia olahraga,” ujarnya. “Semoga saja ke depan, turnamen esports bisa lebih setara sehingga para pemain perempuan semakin beregenerasi menjadi lebih hebat lagi.”

Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi
Pembagian hadiah turnamen PINC Ladies. | Sumber: situs resmi

Terkait ketimpangan hadiah turnamen antara kompetisi pria dan perempuan, Rezaly merasa, selama pihak penyelenggara dan peserta merasa tidak keberatan dengan total hadiah yang diberikan, maka hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. “Besar kecilnya hadiah biasanya digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik tim berpartisipasi dalam sebuah turnamen,” katanya. “Jika semua pihak, yaitu penyelenggara dan peserta, merasa sepakat untuk berpartisipasi, maka besar kecil hadiah turnamen perempuan tak lagi relevan sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar.”

Sementara saat ditanya apakah kecilnya total hadiah turnamen esports perempuan disebabkan oleh rendahnya minat penonton, Rezaly menjawab, “Bisa jadi, kurangnya minat dari partisipan atau jumlah menonton membuat penyelenggara atau pihak sponsor masih berpikir keras sebelum menyelenggarakan turnamen perempuan, karena ROI (Return of Investment) yang tidak sesuai dari segi pemasukan atau analitik.”

 

Daya Tarik Turnamen Esports Perempuan

Game dan esports adalah ranah yang identik dengan pria. Jadi, tidak heran jika kebanyakan penonton esports itu laki-laki. Menurut studi yang dilakukan oleh Interpret pada 2019, 70 persen penonton esports merupakan pria, sementara 30 persen sisanya perempuan. Kabar baiknya, jumlah fans esports perempuan terus naik dari tahun ke tahun.

Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret
Jumlah penonton esports perempuan terus naik. | Sumber: Interpret

Namun, Herry mengatakan, fakta bahwa sebagian besar audiens esports merupakan laki-laki justru membuat turnamen esports perempuan menjadi digemari. “Karena yang nonton kebanyakan pria, kalau yang bertanding perempuan, sudah pasti viewership akan tinggi, karena ada daya tarik dari lawan jenis,” ujar Herry. Rezaly mengatakan hal serupa. Audiens laki-laki juga senang untuk menonton turnamen perempuan, terutama jika ada pemain yang menjadi idolanya.

Sementara itu, Kresna mengatakan, turnamen khusus perempuan memang masih dapat menjaring penonton. “Tapi, memang tidak sebanyak MPL atau MDL, yang sudah berjalan lama,” ungkapnya. “Hal ini mungkin karena turnamen perempuan cenderung lebih baru dan tidak semua orang tahu.”

Herry berkata, Mineski memang memiliki rencana untuk membuat turnamen khusus perempuan di masa depan. Hanya saja, rencana tersebut mungkin tidak direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, jadwal turnamen esports saat ini sudah padat. Jika muncul turnamen baru, tidak tertutup kemungkinan, hal ini justru akan merusak keseimbangan yang sudah tercapai di ekosistem esports di Indonesia sekarang.

“Ada banyak hal yang harus dipikirkan jika kami mau membuat IP baru,” kata Herry. “Jadwal turnamen sudah banyak, bisa jadi justru rebutan jadwal. Dan hal itu tidak bijak. Kami lebih memilih untuk fokus pada turnamen yang sudah ada dengan meningkatkan kualitas turnamen tersebut.”

 

Kenapa Penyelenggara Mengadakan Turnamen Esports Perempuan?

Women Star League diadakan dengan dua tujuan, jelas Kresna. Pertama adalah untuk membentuk ekosistem esports bagi para pemain perempuan agar mereka bisa berkompetisi dan berkarir di dunia competitive gaming layaknya pria. “Biar para ladies juga tidak dipandang sebelah mata lagi dan bisa menunjukkan bahwa mereka punya skill yang sama dengan para laki-laki,” katanya.

“Yang kedua, dengan mengadakan turnamen esports perempuan, kami mau hal ini menjadi wadah bagi para ladies yang bingung untuk menyalurkan hobi dan bakatnya di dunia esports. Sedangkan untuk bermain bersama pria juga sulit,” ungkap Kresna. “Kami ingin, dengan adanya turnamen esports perempuan, maka akan semakin banyak pemain perempuan baru agar ekosistem esports perempuan di Indonesia menjadi semakin ramai.”

Sama seperti Kresna, Rezaly mengatakan, tujuan penyelenggara seperti Dunia Games (yang ada di bawah Telkomsel) mengadakan turnamen esports perempuan adalah untuk menumbuhan ekosistem esports perempuan. Hal ini pada akhirnya akan membuat industri esports menjadi semakin bernilai.

Tim ladies DG Esports. | Sumber: LINE
Tim ladies DG Esports. | Sumber: Dunia Games

“Kami percaya, turnamen khusus perempuan akan memunculkan banyak gamer perempuan berprestasi, sehingga akan ada lebih banyak engagement, viewership, lebih banyak produksi konten, dan lebih banyak lowongan pekerjaan baru,” kata Rezaly. “Kami ingin agar ekosistem esports perempuan terbentuk dan bisa berkembang, sama seperti acara olahraga, baik di tingkat nasional maupun global. Dalam acara olahraga tradisional, kan ada perlombaan khusus untuk perempuan. Nah sama seperti itu. Esports kan juga cabang olahraga yang mendapatkan medali, siapa tahu, nanti juga akan juga ada untuk perempuan.”

Namun, Roma tidak dibangun dalam semalam. Begitu juga dengan ekosistem esports perempuan. Untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan agar sejajar dengan scene esports untuk pria saat ini diperlukan waktu yang cukup lama. Herry memperkirakan, waktu yang diperlukan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Dengan syarat, turnamen esports perempuan diadakan secara rutin. Idealnya, ada dua turnamen setiap tahun.

Kepercayaan diri Herry bukannya tidak beralasan. Dia bercerita, pada awal kemunculan esports Mobile Legends, juga tidak banyak tim dan pemain profesional yang memang mumpuni. “Pada tahun 2017, hanya ada dua tim Mobile Legends yang punya performa baik, yaitu Saint Indo dan Elite8 Esports,” katanya. “Namun, kini, MPL memiliki delapan tim dengan performa yang selevel.” Dia percaya, hal serupa juga bisa terjadi pada ekosistem esports perempuan.

 

Kesimpulan

Dunia esports memang sudah semakin berkembang. Sayangnya, perempuan masih menjadi kaum minoritas di industri tersebut. Jika dibandingkan dengan jumlah pemain profesional pria, jumlah pemain perempuan jauh lebih sedikit. Tak hanya itu, turnamen esports perempuan juga biasanya menawarkan hadiah yang lebih kecil. Untungnya, ada berbagai pihak yang tetap tertarik untuk menyelenggarakan turnamen esports perempuan.

Keberadaan turnamen esports perempuan bisa menjadi ajang bagi para lady gamers untuk unjuk gigi. Dan jika turnamen tersebut diadakan secara rutin, tak tertutup kemungkinan, ekosistem esports perempuan bisa menjadi sama berkembangnya dengan scene esports pria.

Sumber header: Red Arrow Studio

[Profile] Herry Wijaya: Kekurangan Event Esports Indonesia Ada pada Minimnya Pemahaman Fundamental Event

Event esports di Indonesia memang sudah berkembang pesat 2 tahun terakhir — meski saat ini sedang bergeser ke online karena pandemi. Kemilau lampu warna warni, kemegahan panggung bagi para atlet esports beradu kemampuan, layar lebar segede gaban, serta gemuruh teriakan para penggemar esports yang membuat atmosfir event esports terasa begitu unik dan berkesan memang sudah biasa ditemukan di gelaran esports di tanah air belakangan ini.

Sayangnya, di balik itu semua, tidak sedikit juga event esports di tanah air yang masih memiliki begitu banyak kekurangan — seperti jadwal acara yang ngaret sampai berjam-jam, persoalan koneksi internet, dan lain sebagainya. Di sisi lainnya, satu hal yang saya pribadi percayai, kita bisa belajar dari mereka-mereka yang sudah lebih dulu punya pengalaman lebih matang.

Karena itulah, saya sengaja mengajak salah satu kawan saya yang satu ini untuk berbincang-bincang seputar pengalamannya. Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia, adalah salah satu dari segelintir orang yang telah mengantongi segudang pengalaman seputar event esports di Indonesia.

Awal Perjalanan Kariernya

Herry pun bercerita bahwa awal perkenalannya menangani event adalah saat ia masih SMA (SLTA, SMU atau apapun namanya sekarang ini). “Sama seperti kebanyakan anak-anak SMA yang lain, gua juga berangkat dari pensi (pentas seni), termasuk waktu itu juga sudah jualan sponsorship.” Kata Herry mengawali ceritanya.

Herry juga mengaku dulu sempat menjadi anak band namun ia mengurungkan niat tersebut karena merasa karier di musik itu berat modalnya. Zaman dulu, belum ada YouTube jadi setiap anak band yang bercita-cita ingin berkarier jadi musisi harus lewat music label. Ia pun memilih untuk lebih sibuk mengurus event.

Dokumentasi: Mineski Indonesia
Herry Wijaya. Dokumentasi: Mineski Indonesia

Selepas lulus sekolah, Herry sempat belajar servis komputer dan ponsel karena memiliki ketertarikan di sana. Kemudian, ia bercerita mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan IT. Namun, belum sempat menyelesaikan gelarnya, ia berhenti untuk jadi broker Forex dan Index. Kala itu, ia mengaku melihat banyak dinamikanya bekerja di bidang ini karena harus selalu memerhatikan sentimen-sentimen yang ada di pasar.

Berjalan satu tahun, ia mendapatkan tawaran untuk kuliah lagi namun di jurusan manajemen. Ia pun mengambil tawaran tersebut. Tak lama setelahnya, dia juga berkesempatan untuk berbisnis sebagai wedding organizer. “Berangkat dari situ, gua pun jadi keranjingan dengan yang namanya event. Gua belajar dari front-end sampai back-end.” Ujar Herry melalui sambungan Voice Call via Discord.

Masuknya Herry ke industri gaming

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Bagaimana peluang bisnis warnet di tengah geliat esports? Sumber: Mineski Infinity Indonesia.

Herry bercerita bahwa awal mulanya ia masuk ke industri gaming dan seputarnya adalah saat ada satu investor yang menawarinya untuk membuka warnet (warung internet). Herry lalu mengambil kesempatan itu dan membuka warnet yang bernama Velocy.

Saat itu, Herry juga sebenarnya bermain DotA namun ia mengaku selalu kalah saat berhadapan dengan para pemain legendaris dari Indonesia saat itu seperti Ritter ataupun Lakuci. Sembari menjalankan bisnis warnetnya, ia juga mendapatkan tawaran untuk bekerja di salah satu publisher game sebagai Assistant Project Manager. Sayangnya, perjalanannya di publisher game ini tak lama.

Ia pun kembali fokus ke Velocy namun ia mengaku sudah merasa bosan di sana. Kemudian, ada seorang kawannya yang sama-sama berkecimpung di warnet mengajaknnya untuk membantu menangani warnet yang berkapasitas 200 PC. Dari sana, Herry mendapatkan kesempatan baru dari layanan video streaming. Saat itu ia dipercaya oleh HalloStar untuk menjadi agency yang merekrut talent-talent untuk konten gaming seperti Vina Eleast, Kelly Boham, dan yang lainnya.

Beberapa bulan proyek tersebut berjalan, ia juga ditawari untuk menjalankan event untuk HalloStar. Event-event gaming saat itu juga sudah mulai bermunculan. Ia pun bertemu dengan Eddy Lim (pemilik Ligagame dan Ketua IESPA). Meski awalnya hanya ditawari untuk menangani satu proyek event, Herry pun akhirnya bergabung dengan Ligagame. Di sana, Herry bercerita banyak belajar soal broadcasting.

IGC 2017. Sumber: IGC
IGC 2017. Dokumentasi: Indonesia Games Championship

Karena ada beberapa hal yang tidak bisa saya tuliskan di sini (wkawkakwka), Herry pun meninggalkan Ligagame. Namun, setelah meninggalkan Ligagame, kepedulian Herry atas esports Indonesia bertumbuh semakin kuat. Ia pun mencari kendaraan baru yang bisa ia gunakan untuk membangun esports di Indonesia. Kemudian, Herry mengaku mendapatkan tawaran untuk ikut menggarap IGC (Indonesia Games Championship) 2017 sebagai salah satu subcontractor.  Menurutnya, IGC 2017 itu adalah salah satu milestone terbesar sepanjang perjalanan kariernya.

Setelah IGC selesai, ia pun bergabung dengan tim yang menangani proyek tadi yang bernama WOG (yang sebelumnya dikenal dengan nama Kairos). Pasca dari Kairos, Herry pun sempat meninggalkan industri esports. Ia masih berkecimpung di event sebenarnya namun tak lagi di ranah esports. Saat itu, beberapa bentuk proyeknya seperti annual meetingconference, gathering dari berbagai ranah industri.

Herry sebenarnya mengaku sudah asyik dengan proyek ini waktu Agustian Hwang, CEO Mineski Global Indonesia, mengajaknnya untuk menangani proyek MPL ID S3. Di satu sisi, Herry mengaku tidak terlalu tertarik untuk menangani proyek tersebut. Namun di sisi lain, ia takut jika proyek dengan budget besar itu berantakan karena tidak ditangani oleh yang berpengalaman. Karena itulah, awalnya Herry memutuskan untuk mengambil proyek tersebut dan menyelesaikannya sebelum kembali lagi ke event-event sebelumnya. Namun demikian, untungnya Herry ternyata tetap bertahan sampai sekarang dan bahkan naik jabatan jadi Head of Operation sampai sekarang.

Pendapat Herry soal event esports di Indonesia

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim
Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Sebenarnya cerita Herry ke saya seputar perjalanan kariernya masih banyak namun saya takut menjabarkannya semua di sini (kwakwakkwa) dan mungkin akan jadi terlalu panjang juga. Meski begitu, setidaknya cerita tadi bisa menjadi gambaran segudang pengalamannya.

Mengingat Herry juga sudah terjun menangani event-event esports di Indonesia sejak beberapa tahun lalu, saya pun menanyakan pendapatkan tentang perkembangan event esports di Indonesia dan perbedaannya. Ia mengatakan bahwa ada 3 fase perkembangan event esports di Indonesia sampai hari ini.

Fase pertama adalah saat zaman WCG (World Cyber Games). Menurut Herry, di fase ini sebagian besar event bisa dibilang sebagai turnamen liar dan WCG yang menjadi kulminasi dari berbagai turnamen liar tadi. Informasi-informasi turnamen di fase ini hanya ada di forum-forum seperti Ligagame.

Fase kedua adalah saat ia bekerja untuk WOG. Menurutnya, fase ini masih sangat konservatif karena orang-orang masih menunggu. Semua hal yang dibutuhkan, seperti teknologi, sebenarnya sudah ada di fase ini namun orang-orang masih ragu apakah esports akan ramai atau tidak.

Fase ketiga dimulai dengan MSC 2017 dan esports Mobile Legends. Bagi Herry, MSC 2017 adalah sebuah proof of concept bahwa esports memang sudah siap dijalankan di Indonesia. Namun demikian, Herry mengatakan pertumbuhan industri esports pasca MSC 2017 ini terlalu cepat yang bisa jadi berbahaya. Menurutnya, hanya 30% dari total pelaku industri esports sekarang yang nantinya masih bisa bertahan. 2 tahun ke depan ini yang akan jadi fase-fase pengujiannya.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Lalu, jika berbicara soal beberapa kekurangan di event-event esports yang terjadi di Indonesia, sebenarnya apa penyebabnya? Menurut Herry, kekurangannya ada di fundamental pemahaman orang-orangnya terhadap event. “Fundamental event itu apa aja sih, marketing, operation, dan sales; sama kalau di esports ada aspek baru yaitu broadcasting-nya.” Jawab Herry yakin.

Berhubung Herry memang kebetulan sudah menggarap begitu banyak event bahkan di luar ranah esport sekalipun, kemudian apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang event di esports sekarang yang mungkin memang belum punya kesempatan menangani event lain dan langsung terjun ke esports?

“Ya mereka harus nge-track apa yang salah dari mereka, dari aspek-aspek fundamental itu apa yang salah. Lu cek lagi, berkaca lagi. Kalau lu ga bisa ngakuin kesalahan lu, itu lebih fatal lagi sih…” Jelas Herry. Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat ini. Saya kira melakukan kesalahan itu memang sebenarnya bagian dari proses belajar selama memang bisa disadari sebelum bisa dibenahi.

Terakhir, apakah Herry ada saran buat anak-anak muda yang ingin terjun ke event esports? “Tentukan ekspektasinya apa. Atur aksi dan reaksi. Maksudnya, dengan waktu yang lu punya, apakah tujuan itu bakal tercapai? Ada goal yang harus ditentukan sebelumnya.” Tutup Herry.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Penutup

Tentu saja, seperti yang selalu saya katakan saat menuliskan perjalanan karier/hidup seseorang, adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan saat mencoba memampatkan sekian banyak pengalaman tadi menjadi kata-kata — berapapun itu jumlahnya.

Namun demikian, jika saya boleh menyimpulkan sendiri dari cerita pengalaman Herry ini, salah satu hal yang berhasil membawanya sampai ke titik ini adalah pengalamannya menangani berbagai event bahkan di luar esports sekalipun sampai proyek-proyek lainnya seperti bisnis warnetpublisher gamebroker Forex, ataupun yang lainnya.

Jadi, jangan takut untuk menimba segala macam pengalaman juga meski awalnya tidak terlihat relevan dengan cita-cita Anda. Satu hal yang selalu saya percayai, belajar apapun tidak akan pernah berakhir dengan sia-sia.

[Statistics] Menyambut Grand Final MPL ID S4 dengan Angka

Perhelatan esports paling dinamis di Indonesia, Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) Professional League (MPL) Indonesia Season 4, tidak lama lagi akan memasuki babak penentuan pada tanggal 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Stadium Gelora Bung Karno.

Dari 8 tim yang mengikuti babak Regular Season selama 8 pekan (23 Agustus – 13 Oktober 2019), 6 tim dengan peringkat tertinggi berhak melanjutkan perjuangannya dalam mengadu nasib merebutkan gelar tim MLBB terbaik di Indonesia.

Berikut adalah klasemen akhir dari Regular Season MPL ID S4:

Sumber: MET Indonesia
Sumber: MET Indonesia

Dari hasil klasemen di atas, 2 tim yang harus merelakan kesempatannya untuk bertanding di Grand Final adalah Geek Fam dan Genflix Aerowolf. Sedangkan dua tim teratas, EVOS dan RRQ, akan mendapatkan keuntungan di Upper Bracket.

Tabel klasemen tadi mungkin memang kelihatannya jelas dan mudah dipahami namun demikian ternyata ada beberapa statistik menarik yang mungkin tidak dapat langsung terlihat jelas buat para penonton. Selain itu, melihat ketatnya persaingan di papan atas (1-3) dan papan tengah (4-6), angka statistik mungkin juga dapat digunakan untuk memetakan seperti apa pertandingan di Grand Final ini nantinya.

Angka statistik ini kami dapatkan dari MET Indonesia, selaku organizer untuk MPL ID Season 4. Terima kasih untuk Pratama “Yota” Indraputra, sang Show Director dan Stats Manager, yang telah mengumpulkan angka-angka statistik tadi dan membagikannya kepada Hybrid.

Sumber: MET Indonesia
Bracket Grand Final MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

First Blood

TEAM FIRST BLOOD KILLS TEAM FIRST BLOOD DEATHS TEAM AVG. FIRST BLOOD TIMING
GEEK 20 EVOS 14 EVOS 01:30
EVOS 18 GEEK 14 BTR 01:37
GFLX 18 BTR 17 GFLX 01:38
AE 18 GFLX 17 GEEK 01:42
BTR 17 AURA 17 AURA 01:48
RRQ 17 RRQ 17 ONIC 01:55
AURA 13 AE 18 AE 01:57
ONIC 12 ONIC 20 RRQ 01:57

Dari statistik First Blood di atas, hal tersebut menunjukkan superiornya EVOS di beberapa aspek ini. Menariknya, hal yang sama tidak terlihat di RRQ dan Alter Ego yang menempati peringkat 2 dan 3 klasemen akhir Regular Season. Meski begitu, statistik ini membuktikan bahwa EVOS sudah cukup galak sejak early game.

Objectives

Jika berbicara soal objective di MLBB, ada 3 hal yang bisa dijadikan patokan yaitu, Turret, Turtle, dan Lord. Berikut ini adalah data yang kami dapatkan.

TEAM FIRST TURTLES TEAM FIRST TURRETS TEAM FIRST LORDS
GFLX 21 RRQ 25 RRQ 22
AE 21 EVOS 24 AE 20
ONIC 19 BTR 17 EVOS 19
RRQ 18 ONIC 14 AURA 16
EVOS 15 GEEK 14 ONIC 14
GEEK 14 AURA 14 BTR 13
AURA 14 GFLX 13 GEEK 12
BTR 12 AE 13 GFLX 9
TEAM TURTLE KILLS TEAM TOWER KILLS TEAM LORD KILLS
GFLX 34 RRQ 1125 RRQ 24
RRQ 33 AE 995 EVOS 23
AE 33 EVOS 985 AE 22
ONIC 30 AURA 880 AURA 19
EVOS 29 ONIC 795 ONIC 16
GEEK 26 BTR 695 GEEK 16
AURA 25 GFLX 695 BTR 13
BTR 24 GEEK 690 GFLX 12

Dari statistik di atas tentang objective, terlihat jelas bahwa RRQ memang fokus mengejar aspek ini. Mungkin inilah rahasia dari kesuksesan Lemon dan kawan-kawan menempati peringkat 2 Regular Season. Alter Ego dan EVOS juga terlihat cukup rajin mengejar aspek ini namun tetap kalah dari RRQ di keseluruhan aspek objective.

Gold

TEAM GOLD EARNED TEAM AVG. TEAM GOLD PER MIN TEAM AVG. TEAM GOLD DIFF.
RRQ 1657642 RRQ 3219 RRQ 4273
AE 1635975 EVOS 3206 EVOS 4264
GFLX 1510344 AE 3112 AE 1446
EVOS 1440206 ONIC 2999 ONIC 513
ONIC 1382807 BTR 2982 AURA -330
GEEK 1381874 AURA 2945 BTR -1353
AURA 1351501 GFLX 2859 GFLX -3826
BTR 1247042 GEEK 2811 GEEK -4747

Berkaitan dengan statistik sebelumnya, dengan rajinnya mengejar objective, RRQ juga berhasil menjadi tim yang paling kaya selama pertandingan Regular Season. Namun demikian, salah satu yang menarik dari statistik gold kali ini adalah nama Aerowolf yang bertengger di posisi ketiga soal jumlah total keseluruhan gold yang dikumpulkan. Sayangnya, mengingat mereka gagal melaju ke Grand Final, gold yang mereka dapatkan berarti tak dapat dimanfaatkan dengan baik.

K/D/A

Setelah mengintip dari sisi kekayaan masing-masing tim di dalam permainan, kali ini kita akan melihat statistik yang paling sering diagung-agungkan oleh banyak orang: Kill/Death/Assist (KDA). Namun demikian, terbukti dari statistik berikut bahwa KDA bukan segala-galanya. Faktor kekayaan tim dan seberapa cepat mereka mengumpulkannya justru lebih berbanding lurus dengan prestasi mereka masing-masing.

TEAM KILLS TEAM DEATHS TEAM ASSISTS
AE 567 ONIC 384 AE 1183
RRQ 563 EVOS 408 RRQ 1098
GFLX 480 AURA 410 GFLX 1002
EVOS 461 BTR 418 AURA 974
AURA 424 RRQ 464 EVOS 962
ONIC 422 GEEK 507 BTR 932
BTR 407 AE 531 ONIC 877
GEEK 392 GFLX 607 GEEK 800

Dari 3 tabel di atas, Alter Ego yang mendapatkan jumlah Kill dan Assist terbanyak justru menempati posisi 3. Sedangkan ONIC yang mendapatkan Death paling sedikit justru berada di peringkat 5. Aerowolf bahkan menempati posisi ketiga soal jumlah Kill, di atas EVOS yang bertengger di peringkat 1 Klasemen Akhir Regular Season.

Teamwork & META

Terakhir, yang tidak kalah penting dan bisa digunakan untuk memprediksi pertandingan Grand Final nanti adalah soal aspek penguasaan META dan soal kerja sama tim.

TEAM PLAYERS USED TEAM UNIQUE PICKS TEAM AVG. KILL PARTICIPATION
GEEK 10 RRQ 41 AURA 64.80%
RRQ 10 GFLX 37 BTR 63.27%
BTR 7 GEEK 36 GFLX 61.92%
AE 7 AE 35 ONIC 61.38%
AURA 6 BTR 35 EVOS 60.97%
ONIC 6 ONIC 35 AE 60.46%
GFLX 5 AURA 34 GEEK 59.62%
EVOS 5 EVOS 32 RRQ 57.60%

Dari 3 tabel di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama adalah soal EVOS Esports. Meski mereka memberikan performa yang luar biasa hebat di Regular Season, EVOS hanya menggunakan 5 pemain. Hero pool mereka juga paling sedikit dibanding yang lain. Hal ini bisa berarti 2 hal, positif dan negatif.

Positifnya, siapa tahu EVOS memang tidak memainkan kelima pemain sisa ataupun menggunakan semua hero karena memang ingin menyimpan strategi untuk Grand Final. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa berarti EVOS tidak memiliki tingkat skill yang rata dari masing-masing pemainnya. Hal yang sama juga bisa dilihat dari variasi hero yang digunakan karena EVOS bisa saja memang sangat terbatas dari jumlah hero yang dikuasai. Jika penyebabnya adalah yang kedua, hal ini berarti strategi dan META yang akan digunakan EVOS sama persis dengan yang ada di Regular Season.

Di sisi lain, kebalikan dari EVOS, RRQ lebih berani mencoba memainkan lebih banyak hero dan pemain. Namun, RRQ memiliki persentase kill participation paling rendah dari semua tim yang ada. Hal ini juga bisa berarti 2 hal. Kerja sama antar pemain dari RRQ bisa jadi paling buruk atau skill individu masing-masing pemain di tim ini adalah yang paling baik — atau bisa juga keduanya benar.

Akhirnya, itu tadi sejumlah statistik yang dicatat oleh MET Indonesia yang coba kami jelaskan relevansinya. Benarkah EVOS memiliki keterbatasan soal pemain dan hero pool? Apakah mereka akhirnya bisa menjadi juara setelah 2x jadi Runner Up?

Bagaimana dengan RRQ? Formasi mereka kali ini sungguh meyakinkan di setiap lini. 10 pemain RRQ sekarang juga bisa dibilang sama kuat satu sama lain. Namun, biasanya pemain bintang itu memang lebih sulit diajak bekerja sama…

Atau justru malah Alter Ego, yang baik dari berbagai segi dan tercermin dari statistiknya, yang akan membuat sejarah baru lagi di gelaran MPL? Bagaimana dengan ONIC? Memang sungguh tidak ada yang istimewa terlihat dari statistik ONIC di Regular Season kali ini namun siapa tahu mereka bisa menemukan kembali chemistry dan keganasan yang mereka miliki di Season 3.

Bigetron dan Aura juga tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Siapa tahu, keajaiban MPL ID S1 yang fenomenal akan terjadi lagi… Kala itu, semua orang memprediksi EVOS yang juara dan memandang rendah NXL. Namun ternyata takdir mengguratkan garis yang berbeda.

Sumber: Mobile Legends: Bang Bang
Sumber: Mobile Legends: Bang Bang

Sumber Featured Image: Dokumentasi MPL ID Indonesia|MET Indonesia

[Featured] Mengulik Tantangan Stadion dan Venue Esports di Indonesia

Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.

Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports

Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.

Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”

HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: Hyperxgaming
HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: hyperxgaming

Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.

“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Penonton ESL Indonesia Championship Season 2 di Tennis Indoor Senayan. | Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.

Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”

Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.

AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com
AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com

Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.

“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”

Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”

Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia

Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.

DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com
DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com

Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”

“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”

Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”

[In-Depth] Karena Passion di Esports Saja Tidak Cukup

Sejak 2018 kemarin, perputaran uang di industri esports Indonesia memang sudah mencapai miliaran Rupiah. Menurut catatan kami di Hybrid, kompetisi dengan total hadiah yang ‘hanya’ mencapai Rp1 miliar saja tidak masuk daftar 10 turnamen dengan hadiah terbesar di 2018.

Gemerlap dan hingar bingar esports juga mungkin membuat banyak orang awam takjub dengan industri baru ini. Namun demikian, dari perbincangan saya dengan sejumlah orang-orang di belakang layar, ada sebuah kekhawatiran tentang bagaimana industri dan ekosistem esports di Indonesia bisa sustain untuk jangka panjang dan scaling ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih lebar.

Berhubung saya kebetulan sudah bekerja di industri game (khususnya media) dari 2008, menurut saya pribadi, ada satu kekurangan utama yang menjadi penyebab kekhawatiran atas sustainability dan scalability di industri game dan esports Indonesia yakni: minimnya kapasitas (skills, knowledge, dan perspectives) dan romantisme hiperbolis atas passion. Hal ini juga disadari oleh Yohannes Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD; sekaligus pionir yang membawa esports masuk ke dalam institusi pendidikan formal kala ia menjabat sebagai Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD.

Menurutnya, banyak orang di esports Indonesia saat ini memang tidak mengenal bidang yang ia geluti. Ia memberikan pengandaian seperti seorang ABG yang baru saja punya pacar. ABG tersebut hanya tau yang sebatas kasat mata, seperti namanya siapa, mukanya cantik atau tidak; namun ia tidak memahami level yang lebih mendalam seperti kepribadian, kebutuhan, idealisme, tujuan hidup, impian, dan lain sebagainya.

Masalah kompetensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama di industri ini; bahkan ketika esports belum sebesar sekarang ini. Namun, satu pertanyaan dari kawan saya, Wibi Irbawanto (yang mencoba menggalakan kesadaran dan kebutuhan soal legalitas dan hukum di esports), yang membuat saya akhirnya ‘terpaksa’ menuliskan artikel ini.

Pertanyaannya kala itu ke saya adalah, “apa yang terjadi jika pertumbuhan industri di esports tidak berbanding lurus dengan kapasitas para profesional yang menjalankannya?”

Faktanya, hal tersebut sebenarnya sudah terjadi meski memang gap antara pertumbuhan industri dan kapasitas para profesionalnya memang belum terlalu besar; karena nilai industrinya sendiri juga masih imut-imut menurut saya. Tribekti Nasima, salah satu penggiat esports Indonesia kelas kakap yang juga sudah malang melintang bekerja dari berbagai elemen ekosistem seperti publisher, tim esports, ataupun event organizer ini juga menyatakan keresahannya saat saya ajak berbincang. Menurutnya, rendahnya kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang memunculkan keresahan atas keberlanjutan (sustainabilityesports Indonesia. “Uangnya (industri esports) ada buat sustain tapi kualitas (SDM) nya yang sangat minimalis.” Ujarnya.

Contoh pertama adalah soal konten di ekosistem dan industri game (termasuk esports) di Indonesia. Karena pengalaman saya yang memang lebih banyak di media dan konten, izinkan saya mengutarakan pendapat soal ini.

The Bad

Para pembuat konten dan para pengambil kebijakannya di industri ini masih banyak sekali yang berpatokan pada kuantitas semata, mengesampingkan kualitas, dan bahkan mengorbankan banyak hal lainnya demi kuantitas tadi (seperti reputasi, hubungan baik dengan ekosistem, ataupun paradigma tentang industrinya itu sendiri).

Menurut saya pribadi, salah satu penyebabnya ada di kapasitas orang-orang itu yang memang masih minim. Maksud saya seperti ini, setiap pelaku industri tentu harus punya tolak ukur keberhasilan di ranahnya masing-masing namun karena kapasitasnya masih minim mereka baru mampu melihatnya dari sisi kuantitas. Saya percaya bahwa setiap orang ingin juga mengukur seberapa bagus hasil karya/produksi mereka sendiri namun, karena keterbatasan tadi, acuan yang yang paling mudah digunakan adalah angka-angka yang terpampang jelas seperti jumlah subscriber, follower, pageviews, users, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Argumentasi saya ada dua. Pertama, produk kreatif tak bisa hanya ditakar dari segi kuantitatif. Misalnya saja antara seri Lord of the Rings (Tolkien), seri Harry Potter (Rowling), atau malah Fifty Shades of Grey (James). Buat yang benar-benar tahu soal karya populis, saya kira jawabannya sudah jelas mana yang menang dalam soal plot, penokohan, penyajian cerita, ataupun soal pengaruhnya ke ekosistem di sekitarnya. Lainnya, andai dunia kreatif hanya mengenal popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan, mungkin kita tidak akan punya nama-nama besar seperti Jostein Gaarder, Dream Theater, Quentin Tarantino, George Carlin, dan kawan-kawannya.

Sumber: QuoteFancy
Sumber: QuoteFancy

Kedua, popularitas/viralitas itu tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kita mungkin memang hidup di jaman duopoli digital oleh Google dan Facebook yang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir banyak orang, termasuk para pembuat konten. Berkat kedua perusahaan raksasa tadi, para produsen konten digital dan orang-orang di sekitarnya (seperti sponsor, pengiklan, dkk.) jadi seolah tak mampu berpikir kritis dan menemukan alternatif dari popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan dan keuntungan.

Padahal, kenyataannya, popularitas dan keuntungan perusahaan tidak selalu berbanding lurus. Setelah artikel ini, saya akan lebih detail membahas soal media dan konten karena bisa jadi terlalu panjang untuk dijabarkan semuanya di sini. Namun, satu hal yang pasti, kenapa saya bisa bilang popularitas atau kuantitas itu tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan; karena kelas sosial dan ekonomi itu nyata, sedangkan Google dan Facebook belum mampu mengukur hal tersebut…

Contoh lainnya adalah dari sisi bisnis event di esports. Dari beberapa obrolan saya dengan sejumlah sponsor yang sudah mencoba masuk ke esports, ada sejumlah kekecewaan yang mereka utarakan. Untuk membahas hal ini, saya pun menghubungi kawan saya lainnya, Kris Ardianto yang sekarang menjadi Head of Business Development untuk MET Indonesia. Keistimewaan kawan saya yang satu ini, dibanding orang-orang bisnis lain yang bekerja di perusahaan esports di Indonesia sekarang, ada di pengalamannya yang pernah bekerja untuk perusahaan-perusahaan endemic kelas kakap, seperti NJT (salah satu distributor hardware PC terbesar di Indonesia), NVIDIA, dan ASUS. Karena sebelumnya ia bertanggung jawab mengurus masalah penjualan, pemasaran, dan penjenamaan, ia jadi pernah merasakan bagaimana berada di posisi sponsor. Perspektifnya tentu saja berbeda dari orang-orang bisnis lain yang belum pernah merasakan di posisi yang sama.

Kekecewaan yang diutarakan oleh beberapa sponsor tadi, menurut saya, memang karena banyak pelaku di industri ini masih terlalu mengagungkan yang namanya viewership. Kris pun setuju soal ini. Ia memang tidak menafikkan pentingnya viewership namun tidak hanya itu yang harus dipikirkan oleh para penyelenggara event esports. “Viewership itu ibarat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Penting memang tapi kemampuan seseorang yang sebenarnya kan tidak bisa hanya diukur dari sana.”

Menurutnya, sponsor event di jaman sekarang pasti juga sudah mengejar ke arah engagement ataupun activation. Bentuk konkretnya seperti apa? Kris pun memberikan beberapa contoh. Pertama, ada sponsor yang ingin menargetkan product experience. Ada juga yang ingin langsung mengejar transaksi atau penjualan. Menurutnya, penyelenggara acara yang baik juga seharusnya mampu merumuskan dan menjalankan campaign seperti apa yang diinginkan sponsor.

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3 yang merupakan garapan dari MET Indonesia. Dokumentasi: Hybrid

“Kalau memang ada yang kecewa, itu berarti ada ekspektasi sponsor yang tidak tercapai. Sampai hari ini, selama saya kerja di MET, belum pernah ada sih sponsor yang kecewa.” Ujar Kris yang memulai kariernya sejak 2009.

Lalu apa rule of thumb untuk mereka yang ingin terjun jadi orang bisnis? Saya pun bertanya. “Know your market. Know your product. Semuanya harus based on data. Memang ga bisa kalau nekat.”

Dua contoh konkret tentang pemahaman pasar yang ia maksud tadi misalnya adalah berapa banyak kompetitor di pasar ini dan seberapa besar pasarnya? Selain 2 itu tadi, ada satu skill lagi yang dibutuhkan di semua profesi termasuk bisnis, yaitu komunikasi. “Contohnya di ranah bisnis soal komunikasi itu ya soal mencari tahu ekspektasi klien. Kalau sampai ekspektasinya bisa ga sinkron ya berarti skill komunikasinya yang kurang.”

Namun demikian, di sisi lain, Joey (panggilan Yohannes Siagian) juga menambahkan soal ketidaksesuaian ekspektasi bisnis. Menurutnya, “Sebagian masalah soal kekecewaan sponsor tentang esports itu datang dari mereka juga sih. Mereka cuma melihat angka-angka viewer dan mendengar popularitas esports. Tapi mereka tidak punya orang yang benar-benar paham esports. So they make bad or misinformed investments, then they are disappointed with results.”

Itu tadi beberapa contoh konkret dari yang saya lihat di ekosistem kita sekarang. Namun demikian, terlalu picik juga rasanya jika kita tidak mencoba mencari tahu akar permasalahannya. Daniel J. Boorstin, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.”

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Joey. “Banyak juga orang esports yang sangat tertutup mengenai input dari luar pemahaman mereka mengenai esports. Tidak sekali dua kali saya mendengar dari orang yang dianggap ‘ahli’ bahwa “ini kan esports”, berbeda dengan olahraga atau bidang lainnya. Ada semacam pandangan di antara beberapa komponen ekosistem bahwa esports itu bidang yang unik dan berbeda yang tidak bisa dipahami oleh orang dari luar ekosistem esports.

Menurutnya, hal itu juga lah yang menyebabkan banyak pelaku di esports yang hanya punya parameter kesuksesan itu-itu saja.

Berhubung saya memang fans beratnya Socrates, saya percaya bahwa hal terpenting yang harus dimiliki setiap manusia untuk berkembang adalah kesadaran diri bahwa kita memang belum tahu apa-apa tentang hidup, dunia ini, dan segala macam yang ada di dalamnya. Sebaliknya, merasa sudah tahu dan berhenti bertanya membuat kita terjebak dalam kebodohan kita sendiri.

Sebenarnya ada satu lagi penyebab yang diutarakan oleh Yohannes mengenai minimnya kompetensi di antara para pelaku esports. “Overall, the whole esports industry is lacking experience; and I’m not just talking esports experience but things like life experience and maturity as well. The average age in the esports industry is pretty low in comparison to other fields that have similar amounts of money flowing through it.

Di satu sisi, saya setuju dengan pendapatnya bahwa usia dari kebanyakan para pelaku esports yang relatif muda – jika dibandingkan dengan nominal uang yang berputar di dalam industri ini – memang bisa berarti minimnya pengalaman, baik soal pengalaman hidup ataupun pengalaman sebagai seorang profesional. Saya percaya minimnya pengalaman hidup (personal) dan bekerja (profesional) memang berpengaruh terhadap kekayaan perspektif ataupun tingkat kesadaran menjalani proses namun, di sisi lain, saya harus menambahkan perspektif saya agar hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Pertama, saya percaya bahwa usia dan kedewasaan berpikir itu bisa saja tidak berbanding lurus. Maksudnya, ada orang-orang yang masih muda tapi cukup dewasa dalam berpikir. Sebaliknya, ada juga generasi tua yang berpikir kekanak-kanakan. Di sisi lainnya, usia muda ataupun minimnya pengalaman itu tidak bisa jadi alasan untuk malas belajar dan lamban menyadari proses.

The Solution

Lalu, bagaimana solusinya?

Sumber: Instagram ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Sebelum ke sana, saya harus tegaskan bahwa bukan berarti tulisan ini menihilkan pentingnya passion di esports. Bagaimana pun juga, saya percaya passion tetap bisa jadi landasan yang baik untuk menggeluti dan belajar di satu bidang. Namun, seperti judulnya, tujuan saya menuliskan artikel ini adalah untuk menyuguhkan argumentasi agar kita semua tidak terjebak dalam romantisme passion yang terlalu hiperbolis karena ada hal-hal lanjutan yang harus disadari dan dipelajari.

Jika kita berbicara soal solusi, ada 2 yang opsi yang sebenarnya bisa dipilih atau dijalankan bersama-sama. “Salah satunya menarik SDM berkualitas masuk. Karena orang bagus akan menarik orang-orang bagus juga. Namun pertanyaannya adalah bagaimana caranya membuat orang-orang tersebut tertarik masuk ke esports.” Ujar Bekti.

Hal ini sebenarnya jugalah yang sudah dilakukan oleh MET Indonesia. Selain kawan saya Kris tadi, ada juga beberapa nama profesional berpengalaman dari industri terkait yang ditarik ke MET Indonesia, seperti Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing MET Indonesia) ataupun Herry Wijaya (Head of Operation MET Indonesia).

Sayangnya, nama-nama di atas memang berasal dari industri terkait. Reza sebelumnya dari ASUS dan Acer. Sedangkan Herry merupakan salah satu senior di ranah EO esports Indonesia yang paling dipandang. Menarik saja rasanya, menurut saya, andai ada para senior dari industri non-endemik (perbankan, hukum, properti, dkk.) yang berubah halauan ke esports karena ada perspektif baru yang bisa ditawarkan. Itulah sebabnya, Yohannes Siagian sering jadi target narasumber saya di banyak artikel berat (wkakwkkwa) karena ia sudah mengantongi belasan tahun pengalaman dari industri pendidikan.

Mencari orang-orang yang tepat dan punya jam terbang tinggi di spesialisasi tertentu itu, bagi saya, salah satu cara yang tepat untuk memperbesar peluang kesuksesan sebuah perusahaan ataupun keseluruhan ekosistem. Sayangnya sampai hari ini, tidak sedikit juga yang masih meremehkan ranah-ranah tertentu.

Mungkin memang gampang kalau yang dikejar adalah kualitas KW 2; namun untuk tingkatan yang benar-benar dapat dijaga konsistensi kualitas atau performanya, saya kira hal tersebut tidak mudah diberikan. Ibaratnya, anak SD saja juga bisa masak mie instant ataupun merebus air. Tapi untuk meracik hidangan yang sekelas hotel ataupun restoran bintang 5?

Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian
Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian

Selain solusi pertama menarik orang-orang yang memang sudah punya kapasitas (baik dari industri endemik ataupun non-endemik), solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksa para profesional yang sudah ada di industri esports sekarang (ataupun akan datang) untuk belajar dengan cepat dan terbiasa untuk melihat segala sesuatunya dari beragam perspektif.

Ada banyak sekali hal yang bisa dikejar untuk meningkatkan kemampuan, tergantung dari skill yang diinginkan. Menurut Bekti, misalnya, buat yang ingin jadi orang bisnis, mereka bisa baca Never Eats Alone (Keith Ferrazi & Tahl Raz) ataupun buku-buku lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan skill jualan. Di sisi lain, jika yang dibutuhkan adalah posisi Project Manager (PM), “PM itu kan paling utama ada di organizational skill nyaJadi, harus belajar terstruktur. PM itu juga harus mempelajari semua hal yang dikerjakan oleh anak buahnya sehingga bisa menakar beban kerja masing-masing anggotanya. Belajar stress management dan self development itu juga saya kira penting buat yang mau jadi PM berkualitas.” Ujarnya.

Buku-buku teori tentunya bisa jadi sumber utama bagi mereka-mereka yang memang serius ingin belajar. Namun, berhubung saya tahu kadang waktu kita sebagai para pekerja sudah tidak sebanyak dibanding saat kita kuliah dulu, berbagai video seminar bisa jadi semacam ‘cemilan sehat’. Artikel-artikel panjang seperti yang kami coba tawarkan di Hybrid (Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah OpiniUpaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 IndonesiaRegenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi, dkk.) juga sebenarnya bisa jadi langkah awal untuk mengusik rasa keingintahuan. Promosi dulu yak… Wkwkawkwak.

Berbicara soal belajar, saya kira saya juga harus membahas soal ilmu yang kita dapatkan dari institusi pendidikan formal. Pasalnya, menurut saya, ada salah kaprah yang terjadi di pola pikir kaum muda termasuk di para pekerja esports. Dari perbincangan saya dengan banyak orang, tidak sedikit yang percaya bahwa ilmu yang didapat di bangku kuliah itu tidak relevan lagi termasuk di bidang esports.

Memang, belajar itu bisa dilakukan di mana pun kita berada; tak harus terkurung di ruang-ruang edukasi formal. Memang, tidak semua teori yang kita dapatkan saat sekolah dan kuliah itu punya nilai pragmatis di setiap desk job kita sebagai seorang profesional. Namun, saya sungguh percaya mindset dan logika berpikir yang bisa dipelajari dari ruang pendidikan formal itu bisa digunakan di setiap keputusan kita (jika memang disadari dan dipahami).

Misalnya, mereka-mereka yang belajar dan memahami aljabar linear bisa mencari logika apa yang ada di balik sistem itu. Saya sendiri yang lulusan Fakultas Sastra juga bisa menggunakan mindset storytelling (atau malah teori Hegemoni dari Gramsci) yang saya dapatkan saat saya kuliah dulu dalam banyak hal yang saya lakukan sebagai seorang pekerja sekarang: bagaimana bercerita tentang perusahaan, produk, event, atau apapun. Setidaknya menurut Yuval Noah Harari, cerita dengan kekuatan narasi yang istimewa bahkan mampu menguasai dunia.

Saya sungguh percaya ada banyak benang merah yang bisa ditemukan dari teori-teori yang kita dapat di institusi pendidikan formal dengan yang kita hadapi sehari-hari (personal ataupun profesional), asalkan kita memang mampu memahaminya di tingkat yang paling dalam.

The Good News

Meski penjabaran dan argumentasi saya tadi mungkin terasa pesimistis, perspektif positif sebenarnya juga bisa digunakan untuk membaca kondisi esports kita sekarang ini.

Dengan kapasitas SDM saat ini saja, esports Indonesia sudah berhasil menarik perhatian banyak pihak dan mengalirkan dana yang lumayan. Bayangkan jika SDM nya bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi…

Saya sudah berada di industri ini cukup lama dan melihat naik turunnya bak jungkat-jungkit. Bagi saya, hal ini tidak bisa dimaklumi, apalagi dijadikan pembenaran. Jujur saja, ambisi pribadi saya saat ini adalah bagaimana industri ini tidak kehilangan momentumnya sehingga bisa terus berkembang dan memakmurkan semua pihak yang terkait di dalamnya.

Semoga saja, artikel ini bisa menjadi memancing kesadaran dan keinginan belajar bagi semua orang yang berkepentingan dan berkeinginan melihat industri game dan esports Indonesia bisa terus berkembang dan bertahan. Satu hal yang saya percayai sejak lama, belajar itu bisa juga menyenangkan. Apalagi buat mereka-mereka yang memang punya passion bermain game, proses pembelajaran itu sendiri juga bisa dimaknai sebagai sebuah permainan.

Akhirnya, izinkan saya menutup artikel panjang ini dengan sebuah kutipan dari salah satu tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan bermain game.

The spirit of playful competition is, as a social impulse, older than culture itself and pervades all life like a veritable ferment. Ritual grew up in sacred play; poetry was born in play and nourished on play; music and dancing were pure play….We have to conclude, therefore, that civilization is, in its earliest phases, played. It does not come from play…it arises in and as play, and never leaves it.” Johan Huizinga (Homo Ludens: A Study of the Play-Elements in Culture).

Mengukur Peta Pertempuran MPL ID S4 dan Dampaknya untuk Ekosistem Esports MLBB

MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) Indonesia Season 4 akhirnya mulai berjalan akhir pekan kemarin (23-25 Agustus 2019). Menariknya, ada beberapa kejutan yang terjadi di Week 1 MPL ID S4 kemarin.

Selain ONIC Esports yang langsung menduduki puncak klasemen sementara, yang memang sudah diprediksi banyak orang, ada 2 tim yang berisikan banyak pemain baru yang ada di papan atas. Kedua tim tersebut adalah Aura Esports dan Bigetron Esports.

EVOS Esports juga sebenarnya punya poin yang sama dengan Aura dan Bigetron namun tim berlogo singa putih itu sekarang masih berisikan sejumlah pemain yang pernah merasakan megahnya panggung MPL sebelumnya, seperti Four (Afrindo), Donkey (Yurino), Oura (Eko), ataupun Rekt (Gustian).

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Sedangkan Bigetron, tim ini memang selalu mengikuti MPL dari Season 1 (kala itu namanya Bigetron Player Kill) namun roster mereka sekarang sudah berbeda jauh dari musim-musim sebelumnya. Dari formasi mereka saat ini, hanya ada Arya “Hexazor” Hans yang senior di dunia persilatan MLBB Indonesia. Di sisi satunya, Aura juga turut meramaikan MPL ID di Season 3. Namun musim kemarin mereka tak mampu berbicara banyak dan hanya bisa berakhir di peringkat 9 klasemen akhir Regular Season (dari total 12 tim). Nama pemain senior yang ada di Aura saat ini adalah YAM yang di Season 1 bermain untuk Bigetron PK.

Lalu pertanyaannya, apakah para pemain-pemain muda ini nanti yang akan menguasai dunia persilatan MPL ID S4?

Jika melihat klasemen sementara di pekan pertama, RRQ, yang jadi juara MPL ID S2, justru berada di papan bawah. Dari 2x bertanding, RRQ harus pulang dengan tangan hampa meski memang lawan mereka di pekan pertama ini adalah EVOS dan ONIC. Padahal, di atas kertas, formasi tim RRQ musim ini sangat menarik karena semuanya punya pengalaman berharga. Ada para pemain juara MPL ID S1 (LJ, Billy, dan Rave) dan juara MPL ID S2 (AyamJago, Lemon, Tuturu, dan Liam). Ada pemain yang sebelumnya jadi andalan tim Star8 di MPL ID S3, Yesaya “Xin” Yehuda. Ada juga VYN (Calvin) yang mengawali petualangannya di MPL ID sejak S2, bersama BOOM Jr. Plus, ada Rivaldi “R7” Fatah yang bahkan bisa dibilang salah satu bintang di esports Dota 2 Indonesia, yang pindah ke MLBB.

Frans “Volva” Riyando, salah satu shoutcaster kawakan di MLBB, sempat memberikan komentarnya kepada saya mengenai roster RRQ musim ini beberapa waktu silam. “Mantan trio Aerowolf (LJ, Billy, dan Rave) ini memang terbilang cukup kuat dan memiliki performa yang luar biasa pada saat Playoff MPL ID S3 walau hasilnya kurang memuaskan.” Ujar Volva.

Meski memiliki formasi tim yang kuat, Volva juga beranggapan bahwa tim ini masih jauh di bawah para pemain ONIC. “ONIC memiliki draft yang bisa dibilang gak berbeda jauh dengan RRQ tapi mekanik dan skill individu ONIC sungguh di atas rata-rata pemain Indonesia.”

KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster sejak MPL ID S1
KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster langganan sejak MPL ID S1. Sumber: RevivalTV

Menurut Volva, formasi ini mungkin bisa mengejar level para pemain ex-Louvre yang sekarang di Genflix Aerowolf asalkan chemistry di tim ini bisa dibangun. Selain berbincang dengan Volva, saya juga mengajak Afrindo “Four” Valentino untuk menyuarakan pendapatnya. Afrindo adalah salah satu pemain MLBB senior yang jadi juara MPL ID S1. Saat ini, selain jadi Assistant Coach untuk Pelatnas SEA Games 2019 cabang Mobile Legends, ia juga masuk dalam formasi tim EVOS Esports MPL ID S4.

Afrindo menyebutkan 4 tim yang menurutnya layak diperhatikan di Season 4 kali ini. 4 tim tersebut adalah ONIC, EVOS, RRQ, dan Aerowolf. “ONIC karena merupakan tim paling stabil dibanding yang lain sampai hari ini. EVOS karena kekompakan para pemainnya di dalam dan di luar game yang sudah sangat solid. RRQ juga menarik karena roster barunya sangat menakutkan dan susah ditebak berkat bisa rotasi pemainnya setiap saat. Terakhir, ada Aerowolf dengan permainan yang agresif dan draft-pick tak terduga yang akan membuat musuhnya kesulitan menebak arah permainan.”

Penting dicatat, pendapat tadi memang saya tanyakan ke Afrindo sebelum Week 1 berjalan. Jadi, pengamatannya memang masih sebatas di atas kertas, alias belum menilainya langsung dari semua pertandingan di minggu pertama. Satu pertanyaan terakhir yang saya tanyakan ke Afrindo adalah, apakah ONIC mampu jadi juara lagi di Season 4? Apalagi mengingat juara MPL ID selalu berganti setiap musim.

“Kalo dari saya, selama ONIC tidak ada masalah internal, mereka pasti bisa jadi juara lagi . Walaupun sepanjang sejarah MPL ID belum ada yang bisa juara berturut-turut tapi mereka membuktikan bisa juara 3 kali berturut-turut di turnamen besar berbeda. Tapi, pesaing terberat dari ONIC untuk musim ini adalah EVOS.” Tutup Afrindo.

Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL
Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL

Setelah ke Afrindo, saya pun menghubungi Ryan “KB” Batistuta yang juga seorang shoutcaster langganan untuk MPL ataupun turnamen MLBB lainnya. Menariknya, KB juga memberikan pendapat yang tak jauh berbeda dengan Afrindo. Ia bahkan berani memprediksi bahwa Grand Final MPL ID S4 adalah antara ONIC melawan EVOS.

Selain itu, KB juga menyebut dua pemain dari RRQ. “Vyn dan Xin dari RRQ akan mendapatkan spotlight yg luar biasa pada MPL S4 ini.” Kata KB. “Darkness, Tanker Aura Esports, juga akan jadi salah satu pemain yang akan diperhitungkan.” Seperti Afrindo tadi, saya juga sebenarnya bertanya pada KB sebelum Week 1 dimulai namun, hebatnya, ada 2 prediksinya yang tepat.

“Jika sebelumnya EVOS selama 3 Season belum pernah mendapatkan kemenangan 1x pun melawan RRQ, mereka bisa melepaskan kutukan El Classico mereka di Week 1 MPL mendatang.” Tutur KB. Selain itu, KB juga memprediksi bahwa Bigetron akan jadi tim kuda hitam yang akan menyulitkan 7 tim lainnya di MPL ID S4. Kedua prediksi tadi terbukti karena EVOS memang berhasil mengalahkan RRQ di hari ketiga pekan pertama. Sedangkan Bigetron berhasil memenangkan semua pertandingan mereka di pekan pertama. Mereka menang lawan Alter Ego (2-0) dan Geek Fam (2-1).

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Dari perbincangan saya dengan ketiga kawan saya tadi, ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas dari dunia persilatan MLBB kasta tertinggi alias MPL. Pertama, sampai musim keempat ini, dunia persilatan MPL memang sangat dinamis. EVOS Esports memang berhasil menjadi Runner-Up berturut-turut di S1 dan S2. Namun mereka harus pulang di hari pertama Grand Final MPL ID S3. RRQ memang berhasil jadi juara di Season 2 namun performa mereka di Season 1 dan 3 kurang maksimal. Apakah ONIC mampu mempertahankan gelarnya dan menjadi tim pertama yang meraih gelar tim terhebat lebih dari 1 musim?

Dunia persilatan yang dinamis ini mungkin memang bagus untuk para pecinta esports MLBB seperti saya. Namun hal ini bisa jadi mengkhawatirkan untuk para pemainnya. Jika pengalaman bermain yang lebih lama tak mampu menunjang performa dan bahkan mudah tergantikan oleh para pemain baru, usia produktif para pemain MLBB bisa jadi lebih singkat ketimbang game esports lainnya.

Selain itu, dinamika MLBB yang tinggi berarti menuntut proses belajar yang lebih intensif untuk para pro player-nya. Hal ini juga bisa dilihat positif ataupun negatif. Positif karena memang sudah seharusnya kasta tertinggi dari scene esports sebuah game menuntut komitmen dan keseriusan untuk terus berkembang. Namun, hal ini juga bisa mengakibatkan lebih banyak pro player yang memutuskan untuk menjadi streamer ataupun content creator seperti JessNoLimit ataupun Emperor.

Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia
Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

Untuk yang tertarik menonton semua pertandingan MPL ID S4, Anda bisa menyaksikannya langsung di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Jika Anda juga tertarik melihat statistik, hasil pertandingan lengkap, ataupun detail lainnya dari MPL ID S4, Anda bisa mengunjungi website resmi MLP ID S4 di id-mpl.com.