Primeskills Hadirkan Platform Edtech Berbasis “Extended Reality” dan Gamifikasi

Perkembangan teknologi telah menciptakan transformasi di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Proses belajar-mengajar yang semula tradisional kini semakin melibatkan teknologi, seperti yang tengah dikembangkan oleh Primeskills, startup edtech berbasis extended reality (XR) dan gamifikasi.

Startup ini didirikan di 2020 oleh William Irawan dengan misi menciptakan masa depan di mana masyarakat bisa mendapat pendidikan merata dan terdistribusi. Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada 2030 mendatang. Populasi penduduk usia kerja diperkirakan melebihi 208 juta jiwa dengan sekitar 69% masuk dalam angkatan kerja.

Meski begitu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 5,83% dari total penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, hampir 14% di antaranya merupakan lulusan jenjang pendidikan diploma dan sarjana (S1). Primeskills melihat skill gap sebagai salah satu penyumbang tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, William mengungkapkan, “berangkat dari masalah tersebut, kami mengembangkan inovasi training berbasis XR dan gamifikasi untuk mempersempit jarak keterampilan antara lulusan dan industri saat ini, seperti pembuatan modul dan konten menggunakan teknologi virtual reality (VR) demi meningkatkan kualitas pembelajaran.

Hal ini didukung oleh riset global Price Waterhouse Cooper (PwC) di mana para peserta pelatihan dengan menggunakan AR dan VR mengaku empat kali lebih cepat dan fokus berlatih dibanding di dalam kelas, 275% lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pembelajaran keterampilan setelah training, dan 3,75 kali lebih terkoneksi secara emosional dengan materi yang diajarkan. Hal ini membuktikan AR dan VR dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas.

Primeskills memosisikan diri sebagai enabler modul pembelajaran menggunakan teknologi terkini, yaitu Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Learning Experience Platform, menjadikan pelatihan menjadi lebih imersif, lebih mudah dipahami, dan lebih efisien dalam proses pembelajarannya.

Melalui model bisnis B2B, Primeskills menyediakan kebutuhan mitra bisnisnya, mulai dari penyediaan perangkat VR Headset, pengembangan modul pembelajaran interaktif yang terkostumisasi dengan kebutuhan mitra bisnis, hingga layanan purna jual secara berkala, serta beberapa sistem pendukung pembelajaran yang memungkinkan mitra bisnis menggabungkan pembelajaran yang sudah ada dan modul yang dihasilkan oleh Primeskills dengan mudah.

Perusahaan membentuk ekosistem teknologi VR, dari proses menyediakan kurikulum, development, penyediaan hardware, hingga after sales. Primeskills telah merampungkan modul untuk beberapa industri, di antaranya industri perbankan, pendidikan, hospitality, dan healthcare.

Teknologi XR yang dikembangkan Primeskills merupakan gabungan dari seluruh immersive technology, seperti AR, VR, dan mixed reality (MR). Primeskills percaya dengan tidak hanya berfokus pada satu atau dua gaya belajar, melainkan menggabungkan dari auditori, visual, serta kinestetik sehingga diharapkan delivery pembelajaran jauh lebih efektif dan lebih mudah dipahami.

Target bisnis

Sepanjang 2022, Primeskills telah bekerja sama dengan beberapa institusi perbankan. Salah satunya, bersama CIMB Niaga telah menyelesaikan total lebih dari 1.500 jam pelatihan modul VR Training dan mendistribusikan total 325 unit VR Headsets ke 95 kota di seluruh Indonesia. Kerja sama ini merupakan salah satu penerapan VR training business-to-business (B2B) terbesar di Asia Tenggara.

Perusahaan juga telah bermitra dengan Universitas Kristen Petra untuk mengembangkan platform pembelajaran dan modul-modul XR interaktif untuk menjangkau pasar B2C. Salah satunya membuat metode pembelajaran berbasis digital yang mengombinasikan visual novel dan XR agar semakin menarik.

Di samping itu, termasuk dalam portofolio Primeskills, salah satu perusahaan retail terbesar Kawan Lama Group. Primeskills berperan menyediakan public showcase pada offline store mereka yang menggabungkan teknologi imersif khususnya VR yang dibuat, seperti situasi kehidupan asli untuk mempromosikan produk-produk unggulan mereka.

Di pemerintahan, Primeskills memenuhi kebutuhan VR Assessment untuk Kemendagri guna kebutuhan penilaian karyawan. Selain itu, pada awal tahun 2022 Primeskills telah menjalin kerjasama lanjutan dengan Kemenag RI untuk mendukung acara tahunan Hari Santri Nasional.

Secara spesifik, di tahun 2023 Primeskills akan terus mendorong peningkatan kualitas keterampilan lulusan universitas agar relevan dengan kebutuhan industri demi menekan angka skill gap di Indonesia, melalui pengalaman praktik dan soft skill training menggunakan teknologi XR dan gamifikasi.

Dalam wawancara terpisah, perusahaan mengungkapkan tengah fokus  adalah pada industri yang membutuhkan banyak pelatihan soft skills karena beberapa produk dan para ahli yang bekerja sama dengan kami bergerak pada bidang pelatihan tersebut seperti pelatihan leadership, coaching, customer services, sales, manners, public speaking, dsb.

“Sasaran target kami dimulai dari industri pendidikan hingga industri yang berfokus pada pengembangan SDM. Harapannya, kami dapat berperan aktif untuk meminimalisasi skill gap dan mendukung lulusan dari industri pendidikan untuk siap kerja,” tambah William.

Pihaknya meyakini teknologi teknologi imersif mampu menjadi solusi untuk tantangan skill gap di masa mendatang. Oleh karena itu, Primeskills akan terus meningkatkan performa kualitas teknologi dan berfokus dengan industri yang relevan, juga disesuaikan dengan tujuan di atas, yakni peningkatan kualitas SDM dengan menyasar human resources dan universitas.

“Sesuai visi kami, untuk memberikan edukasi immersive yang juga menyenangkan bagi masyarakat, kami akan terus berupaya menghadirkan teknologi imersif dan support system-nya menjadi solusi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Dan dapat dinikmati bagi mitra bisnis kami saat ini maupun untuk calon mitra kami kedepannya baik dari sisi B2B maupun B2C,” tutup William.

Primeskills merupakan salah satu portofolio dari UMG Idealab Indonesia. Berdiri sebagai venture capital, UMG Idealab menyebutkan telah bertransformasi menjadi venture builder pada 2020. Saat ini perusahaan fokus mengembangkan tiga hal krusial, yaitu mengatasi perubahan iklim, mengatasi kesenjangan pendapatan, dan membantu UMKM bersaing secara global.

Nreal Light Adalah Satu dari Segelintir Kacamata AR yang Dapat Dibeli oleh Konsumen Umum

Terlepas dari begitu menjanjikannya premis yang ditawarkan kacamata AR, nyatanya hingga kini belum banyak perangkat di kategori ini yang tersedia untuk konsumen secara umum. Bahkan perusahaan sebesar Magic Leap pun sejauh ini hanya tertarik untuk memasarkan kacamata AR di kalangan enterprise saja.

Kondisi seperti itu pada akhirnya membuat kacamata AR bernama Nreal Light ini mendapat sorotan publik. Perangkat ini sebenarnya sudah dijual secara luas di Korea Selatan sejak tahun lalu dan di beberapa negara lainnya. Namun baru-baru ini, pengembangnya berhasil menggandeng Verizon untuk memasarkan di Amerika Serikat. Di sana, konsumen dapat membelinya seharga $599.

Secara fisik, Nreal Light lebih kelihatan seperti kacamata dengan bingkai dan tangkai yang tebal ketimbang sebuah gadget. Bobotnya pun cuma 106 gram. Namun saat dilihat dari depan, sepasang kamera yang tertanam di lensanya dengan jelas menunjukkan kalau ini bukan kacamata biasa, melainkan yang menawarkan tracking 6DoF ala VR headset.

Agar bisa beroperasi, Nreal Light membutuhkan bantuan sebuah smartphone, spesifiknya smartphone yang dilengkapi chipset 5G bikinan Qualcomm. Ia menyambung ke ponsel via kabel USB-C yang terpasang di tangkai sebelah kirinya, dan setelah tersambungkan, pengguna bisa memilih antara me-mirror konten di smartphone atau masuk ke mode mixed reality. Saat berada dalam mode mixed reality, ponsel yang terhubung otomatis merangkap peran sebagai controller.

Nreal Light memproyeksikan gambar AR ke hadapan pengguna dengan memanfaatkan panel display micro OLED. Field of view yang disajikan memang cuma 53° saja, akan tetapi pengembangnya bilang ini sudah lebih luas daripada yang ditawarkan Magic Leap One maupun Microsoft HoloLens 2. Pada masing-masing tangkainya, kita juga bisa menemukan speaker sekaligus mikrofon.

Andai sukses, Nreal sejatinya berpotensi menciptakan preseden bahwa kacamata AR juga punya peluang di pasar non-enterprise. Namun agar ini bisa terwujud, Nreal Light juga membutuhkan dukungan ekosistem software yang lengkap sehingga konten AR yang tersaji pun melimpah.

Kabar baiknya, salah satu nama terbesar di industri AR saat ini, Niantic, baru-baru ini resmi meluncurkan platform pengembangan konten AR bernama Lightship yang bisa digunakan oleh komunitas developer secara cuma-cuma. Semoga saja ini bisa mengakselerasi pertumbuhan industri AR, dan pada akhirnya memicu kelahiran lebih banyak perangkat seperti Nreal Light.

Sumber: The Verge via ScreenRant.

[Tekno] Microsoft Perkenalkan Mesh for Teams Sebagai Prekursor Akan Metaverse

Sejak Facebook mengumumkan pergantian namanya menjadi Meta beberapa hari lalu, Anda pasti telah mendengar istilah metaverse dibahas di sana-sini. Berhubung hype-nya sedang tinggi, perusahaan lain pun tidak mau melewatkan momentum pembicaraan tentang metaverse ini, tidak terkecuali Microsoft.

Melalui sebuah blog post, Microsoft mengumumkan Mesh for Microsoft Teams. Buat yang tidak tahu, Mesh merupakan sebuah platform kolaborasi untuk mixed reality yang Microsoft umumkan bulan Maret lalu. Dengan memadukan beragam teknologi sekaligus, Mesh memungkinkan kita untuk bekerja atau sekadar berinteraksi dalam sebuah virtual shared space, baik sebagai sebuah avatar 3D atau malah hologram.

Dari penjelasan sederhana itu, bisa kita lihat bahwa Mesh memang sejalan dengan konsep metaverse yang kita kenal dalam beberapa tahun terakhir ini, dan Microsoft sudah punya rencana untuk mengintegrasikannya ke Microsoft Teams mulai tahun depan.

Jadi ketimbang mematikan atau menyalakan tampilan kamera selagi mengikuti sesi video conference, pengguna Teams nantinya bakal punya opsi untuk tampil sebagai avatar 3D yang bisa bergerak-gerak. Menggunakan AI, Microsoft akan menyesuaikan animasi dan ekspresi wajah avatarnya dengan suara masing-masing pengguna.

Ini berarti pengguna tidak diwajibkan memakai mixed reality headset ataupun perangkat khusus lainnya. Microsoft memastikan bahwa Mesh for Teams dapat dinikmati di semua perangkat, mulai dari laptop sampai smartphone.

Selain dalam tampilan video call standar, pengguna Teams nantinya juga bisa masuk ke dalam sebuah virtual spacemetaverse — yang dibangun oleh masing-masing organisasi atau perusahaan tempatnya bekerja, dan berkolaborasi langsung menggunakan aplikasi-aplikasi besutan Microsoft. Microsoft bahkan juga akan mengintegrasikan fitur-fitur yang bakal sangat membantu melancarkan komunikasi, macam real-time translation dan transcription.

Mesh for Teams mungkin belum bisa mewujudkan konsep metaverse secara utuh, tapi setidaknya ia bisa menjadi prekursor akan tren baru tersebut. Microsoft berharap inisiatif ini bisa membuka mata sekitar 250 juta pengguna Teams akan pendekatan baru di bidang remote dan hybrid working yang tengah berjalan.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Microsoft Perkenalkan Platform Mixed Reality Berbasis Cloud, Microsoft Mesh

Bukan rahasia apabila Microsoft begitu antusias terhadap teknologi mixed reality. Anggapan tersebut mereka buktikan lagi baru-baru ini. Di event Microsoft Ignite semalam, mereka memperkenalkan sebuah platform mixed reality baru yang sangat menarik bernama Microsoft Mesh.

Dari kacamata sederhana, Mesh merupakan sebuah platform kolaboratif yang memungkinkan lebih dari satu orang untuk menikmati pengalaman virtual yang sama, entah ketika orang-orangnya berada di dalam satu ruangan, atau tinggal di berbeda negara sekalipun. Menurut Microsoft, ini sebenarnya sudah menjadi gagasan awal mereka semenjak menyeriusi ranah mixed reality.

Untuk mencontohkan kapabilitas Mesh, Microsoft memakai istilah holoportation, yang memungkinkan orang untuk tampil sebagai hologram di sebuah virtual space. Jadi ketika Anda memakai headset HoloLens 2, Anda akan melihat saya muncul di sebelah Anda sebagai hologram, demikian pula sebaliknya, meski pada kenyataannya kita tinggal di beda negara, misalnya.

Untuk sekarang, holoportation masih belum sepenuhnya tersedia buat konsumsi publik. Sebagai gantinya, versi awal Microsoft Mesh akan menggunakan virtual avatar dari platform AltspaceVR yang Microsoft akuisisi di tahun 2017.

Namun premis utama Mesh tidak berubah. Meski Anda cuma melihat saya hadir sebagai avatar, kita berdua masih bisa berinteraksi dengan objek-objek virtual (hologram) yang sama, seakan-akan kita benar-benar bersebelahan. Anggap saja ini sebagai versi yang jauh lebih advanced dari fitur share screen di banyak aplikasi video conference.

Mesh dibangun di atas arsitektur cloud Microsoft Azure. Artinya, konten hologram yang kita lihat sebenarnya bukan berasal dari perangkat yang kita gunakan, melainkan di-stream dari cloud. Karena berbasis cloud, Mesh pun dirancang agar dapat diakses dari banyak perangkat sekaligus, mulai dari VR headset sampai smartphone. meski memang yang bakal terasa paling immersive adalah ketika menggunakan mixed reality headset seperti HoloLens 2 tadi.

Kalau Anda mengira Mesh hanya cocok untuk konteks bekerja, Anda salah besar. Di acara pengumumannya, Microsoft juga sempat mengundang orang-orang dari Niantic Labs untuk mendemonstrasikan pengalaman bermain Pokemon GO menggunakan HoloLens 2 dan platform Mesh. Demonstrasinya memang tidak lebih dari sebatas proof-of-concept, tapi tetap bisa menunjukkan potensi pengaplikasian Mesh yang begitu luas.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

HTC Perkenalkan 3 Varian Baru Headset VR Vive Cosmos

Dirilis di bulan Oktober 2019, Vive Cosmos merupakan pembaruan dari versi orisinal head-mounted display HTC. Perangkat ini menawarkan resolusi lebih tinggi dan menjanjikan efek screen-door yang minimal. Beberapa aspek di sana memang tidak berubah, misalnya pemanfaatan refresh rate 90Hz dan sudut pandang 110-derajat. Keunikan lain Cosmos dibanding Vive standar adalah, headset tak memerlukan base station agar bisa bekerja.

Minggu ini, HTC memperkenalkan tiga varian baru Vive Cosmos, terdiri dari Play, XR dan Elite. Pengembangan tiga model anyar ini merupakan upaya mengekspansi konsep Cosmos yang difokuskan pada fleksibilitas pemakaian. Mereka semua mengusung konsep modular, memungkinkan pengguna melepas bagian faceplate (pelat di sisi depan), membubuhkan adaptor wireless, serta membuka kesempatan untuk melakukan upgrade di masa depan.

CEO HTC Yves Maître menjelaskan bahwa mereka sengaja menyediakan pilihan-pilihan ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen berbeda – dari mulai pengguna awam yang mulai tertarik dengan VR hingga user kelas bisnis. Apapun versi yang dipilih, tidak ada kompromi terhadap kemampuan headset dalam menyajikan konten, kenyamanan, serta build quality. Menariknya lagi, Vive Cosmos baru tak hanya difokuskan pada VR, tetapi juga cross reality (XR) secara umum.

Cosmos 1

Play ialah model entry-level, opsi paling terjangkau di antara empat tipe Vive Cosmos. Headset dilengkapi empat kamera untuk menunjang sistem pelacakan inside-out (Cosmos standar punya enam kamera), kembali mengusung desain flip-up (jadi mudah dikenakan sendiri), dan memanfaatkan panel LCD jenis baru dengan pixel yang lebih padat serta menyuguhkan resolusi total 2880x1700p. Setup layar ini diterapkan ke seluruh versi Cosmos.

Cosmos XR

Elite ialah headset Cosmos paling high-end – tampaknya disiapkan buat menyaingi Valve Index. Varian ini dibundel secara lengkap: ditunjang External Tracking Faceplate, dua unit SteamVR base station dan sepasang Vive controller. Ia juga mendukung Vive Tracker serta Wireless Adapter sehingga pengalaman menikmati konten VR tak lagi terikat di satu tempat. HTC menyampaikan, Cosmos Elite dirancang untuk menangani game-game yang menuntut keakuratan seperti Pistol Whip dan Superhot.

Sedikit berbeda dari saudara-saudaranya, perancangan Cosmos XR lebih diarahkan ke segmen mixed reality, ala Microsoft HoloLens. Berbekal dua kamera pass-through, XR bisa berperan jadi perangkat VR dengan field-of-view 100-derajat serta mampu mengintegrasikan konten virtual dan dunia nyata (via Vive Sync). XR rencananya akan mulai didistribusikan di kuartal dua 2020 sebagai developer kit. HTC berjanji buat menyingkap detail lebih jauh mengenai XR di ajang GDC tahun ini.

Di antara tiga headset baru tersebut, Cosmos Elite dijadwalkan buat meluncur lebih dulu di triwulan pertama 2020, dijajakan seharga US$ 900. External Tracking Faceplate akan dijual secara terpisah mulai kuartal kedua nanti, dibanderol US$ 200. Aksesori ini kompatibel dengan Vive Cosmos (US$ 700) serta Cosmos Play.

Via Eurogamer.

Bagaimana Microsoft Membantu Penderita Gangguan Penglihatan Lewat Project Tokyo

Berdasarkan data WHO di bulan Oktober 2019, ada sekitar 2,2 miliar orang di dunia yang mengidap gangguan penglihatan, termasuk kebutaan. Bagi separuh dari angka tersebut (kurang lebih satu miliar jiwa), masalah penglihatan sebetulnya masih bisa diobati, sayangnya mereka belum mendapatkan penanganan yang tepat. Kabar baiknya, sejumlah raksasa teknologi menaruh perhatian besar pada kondisi ini, salah satunya ialah Microsoft.

Empat tahun silam, Microsoft memulai sebuah inisiatif bertajuk Project Tokyo. Dilakukan bersama tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan Jepang, perusahaan asal Redmond itu bermaksud untuk mengkaji serta menemukan jalan keluar terbaik demi membantu kaum difabel berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Dan di bulan Januari ini, Microsoft akhirnya menyingkap buah dari proyek ambisius tersebut. Solusinya hadir lewat kombinasi hardware dan AI.

Project Tokyo 2

Basis dari Project Tokyo adalah headset mixed reality HoloLens. Microsoft dan para peneliti memodifikasi perangkat tersebut, melepas bagian lensa, menyambungkannya ke PC dengan unit proses grafis, kemudian pakar machine learning menanamkan algoritma istimewa di sana. Selanjutnya, tim Project Tokyo mengundang orang-orang yang menyandang masalah penglihatan dan kaum tunanetra buat mencobanya serta memberikan masukan.

Microsoft HoloLens versi Project Tokyo memiliki LED strip di bagian atas rangkaian kamera, berfungsi untuk melacak individu yang berada paling dekat dengan pengguna. LED akan menyala hijau ketika berhasil mengidentifikasi orang tersebut, sebagai tanda bahwa ia telah dikenali. Project Tokyo juga ditunjang sistem computer vision yang mampu membaca gerak-gerik orang-orang di sekitar, sehingga pengguna (secara kasar) bisa tahu di mana mereka berada dan seberapa jauh posisinya.

Project Tokyo 1

Seluruh informasi tersebut disampaikan ke user lewat suara. Misalnya, ketika HoloLens Project Tokyo mendeteksi seseorang di sebelah kiri dengan jarak satu meter, headset akan mengeluarkan bunyi klik yang seolah-olah muncul dari area kiri. Jika ia mengenal wajah orang itu, headset segera menghasilkan efek suara seperti benturan. Lalu seandainya individu itu terdaftar di sistem (seperti anggota keluarga atau sahabat), HoloLens akan menyebut namanya.

Tim juga tengah bereksperimen dengan sejumlah fitur notifikasi lain via bunyi-bunyian, contohnya saat seseorang melihat/menatap pengguna HoloLens Project Tokyo. Alasan mengapa fungsi ini cukup krusial ialah, mayoritas orang (yang tidak punya masalah penglihatan) biasanya akan melakukan kontak mata terlebih dahulu sebelum memulai percakapan. Selain itu, Project Tokyo memperkenankan pihak non-user memilih agar identitasnya tidak masuk ke dalam sistem.

Project Tokyo 3

Selain diracang untuk memudahkan interaksi bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan, Microsoft dan tim ilmuwan juga berharap Project Tokyo dapat membantu anak-anak dengan problem serupa mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasinya. Sebanyak dua pertiga anak yang tak bisa melihat normal atau menderita kebutaan umumnya terlihat malu dan menahan diri saat berdialog.

Via VentureBeat.

Microsoft HoloLens 2 Resmi Diluncurkan, Unggulkan Penyempurnaan di Sektor Kenyamanan dan Immersion

Rumor mengenai Microsoft HoloLens 2 yang sempat berseliweran bulan lalu sama sekali tidak meleset. Di hadapan para pengunjung Mobile World Congress 2019, Microsoft resmi menyingkap generasi kedua dari mixed reality headset andalannya tersebut.

Sepintas wujud HoloLens 2 kelihatan mirip seperti pendahulunya, akan tetapi Microsoft sebenarnya sudah menerapkan sejumlah penyempurnaan di sektor desain. Secara keseluruhan, dimensi perangkat kini lebih kecil, dan bobotnya pun lebih ringan berkat penggunaan material serat karbon yang menyeluruh.

Juga berbeda adalah mayoritas komponen elektronik yang kini diposisikan di bagian belakang, sehingga perangkat tidak terasa berat sebelah saat digunakan. Bagian belakangnya ini dilengkapi sebuah kenop yang dapat diputar untuk mengencangkan atau merenggangkan strap yang mengikat kepala pengguna.

Masih seputar fisiknya, bagian depannya kini bisa dilipat ke atas saat sedang tidak digunakan, tidak perlu melepas perangkat sepenuhnya. Pengguna berkacamata pun kini juga bisa mengenakan HoloLens 2 dengan nyaman. Namun tentu saja ergonomi baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab Microsoft juga telah menyempurnakan HoloLens 2 dari segi performa.

Microsoft HoloLens 2

Pada HoloLens orisinal, keluhan terbanyak yang disampaikan para reviewer adalah field of view yang begitu kecil (hanya sekitar 30 derajat secara horizontal). Dampaknya, hologram sering sirna dari pandangan meski pengguna hanya menoleh sedikit.

Problem tersebut sudah dibenahi. Field of view HoloLens 2 kini diklaim lebih dari dua kali lebih luas ketimbang pendahulunya, dan itu tanpa berkompromi soal resolusi – masih setara dengan resolusi 2K per mata. Bicara soal mata, Microsoft rupanya juga sudah menyematkan sistem eye tracking pada HoloLens 2, sehingga interaksi bisa berjalan secara lebih alami.

Kelebihan dalam hal interaksi ini turut didukung oleh pengenalan gesture yang lebih komplet. Pada HoloLens 2, memanipulasi objek hologram menggunakan tangan jauh lebih menyerupai di dunia nyata, dan itu menumbuhkan kesan bahwa versi pertamanya sangatlah terbatas dalam hal pengenalan gesture.

Microsoft HoloLens 2

Tidak seperti sebelumnya, Microsoft sudah mantap dengan posisi HoloLens 2 sebagai produk enterprise, sebab potensinya memang akan jauh lebih terasa di tangan para profesional ketimbang konsumen secara umum. Itulah mengapa Microsoft tak segan mematok harga $3.500 untuk HoloLens 2, lebih mahal $500 ketimbang pendahulunya.

Ini ternyata berlawanan dengan yang dirumorkan selama ini, di mana Microsoft disebut bakal menyiapkan solusi supaya harga jual HoloLens 2 tidak melambung. Terlepas dari itu, $3.500 untuk ukuran produk enterprise masih tergolong wajar. Untuk pengguna kasual, mungkin Magic Leap One bisa menjadi pilihan yang lebih bijak.

Sumber: VentureBeat dan Microsoft.

HP Sedang Siapkan VR Headset Baru dengan Resolusi di Atas Rata-Rata

HP meluncurkan VR headset pertamanya di tahun 2017 bersamaan dengan sejumlah produsen lain. Headset tersebut merupakan bagian dari platform Windows Mixed Reality, dan desain beserta spesifikasinya banyak mengacu pada standar yang ditetapkan Microsoft. Singkat cerita, tidak banyak perbedaan di antara deretan headset Windows Mixed Reality generasi pertama kecuali dari segi estetika.

Untuk VR headset keduanya, HP ingin menciptakan sesuatu yang berbeda. Setahun terakhir ini HP habiskan untuk mengumpulkan saran dan kritik dari para konsumennya guna mengembangkan headset Windows Mixed Reality pamungkas, yang sejauh ini baru dikenal dengan codename “Copper”.

Road to VR cukup beruntung menjadi satu-satunya media yang dipersilakan menjajal prototipenya. Jurnalisnya mengatakan bahwa sepintas Copper tampak sangat mirip dengan Oculus Rift, utamanya berkat strap pada bagian atas kepala, seperti yang bisa kita lihat pada gambar render-nya di atas.

Desain strap seperti ini diyakini lebih nyaman ketimbang rancangan sebelumnya yang hanya melingkari kepala. Menurut HP, peningkatan dalam hal ergonomi memang menjadi salah satu masukan terbanyak dari konsumen, akan tetapi di atasnya masih ada lagi masukan mengenai resolusi.

Itulah mengapa HP menyematkan display yang sangat berkualitas pada Copper, dengan resolusi 2160 x 2160 pixel per mata. Resolusinya ini bahkan jauh di atas Samsung HMD Odyssey+, yang sejauh ini merupakan headset Windows Mixed Reality dengan display paling tajam (resolusi 1440 x 1600 pixel per mata).

Seperti halnya Odyssey+, Copper turut mengunggulkan pengalaman penggunaan yang terbebas dari efek screen door. Bedanya, HP sama sekali tidak memanfaatkan semacam diffuser pada Copper untuk mencapai hal tersebut, sehingga pada akhirnya tidak ada kompromi sama sekali pada ketajaman gambar.

Sayangnya untuk urusan field of view, Copper masih berada di level yang sama seperti Oculus Rift maupun HTC Vive, meski itu sebenarnya bukanlah hal yang buruk apabila dibandingkan dengan Microsoft HoloLens yang lebih terbatas lagi perihal field of view. Terkait dimensinya, HP masih merahasiakannya, akan tetapi Road to VR mendapati Copper cukup ringan ketika sedang dikenakan.

Rencananya, Copper bakal dipasarkan sebagai produk profesional, akan tetapi di saat yang sama HP juga tidak akan membatasi kalangan konsumen yang tertarik. Harganya masih belum diketahui, demikian pula jadwal perilisannya. Semoga saja tahun ini.

Sumber: Road to VR.

Microsoft HoloLens 2 Kabarnya Bakal Diumumkan pada Event MWC 2019

Kalau ditanya apa kekurangan terbesar Microsoft HoloLens di samping viewing angle yang sempit, saya yakin banyak yang bakal menjawab harganya kelewat mahal. Dengan banderol paling murah $3.000, HoloLens jelas bukan produk untuk kalangan mainstream, dan Microsoft sendiri menyadari bahwa itu harus diwujudkan secara bertahap.

HoloLens tidak lain dari produk generasi pertama, jadi wajar kalau ia memiliki banyak kekurangan. Microsoft tentu sudah belajar banyak, dan untuk HoloLens 2, mereka kabarnya sudah menyiapkan solusi agar harga jualnya tidak melambung seperti pendahulunya, yakni dengan menggunakan chipset Qualcomm Snapdragon 850.

Andai benar, ini berarti HoloLens 2 punya performa yang setara dengan laptop yang berprinsip always-on. Namun tentu chipset saja baru secuil dari cerita utuhnya, dan sejauh ini hampir semua kabar yang beredar baru sebatas spekulasi.

Yang lebih menarik justru adalah rumor mengenai kapan Microsoft bakal menyingkap HoloLens 2. Laporan terbaru menunjuk tanggal 24 Februari, tepatnya pada event Mobile World Congress 2019 di kota Barcelona.

Keyakinan publik didasari oleh nama salah satu pembicara yang akan mengisi acara tersebut: Alex Kipman, sosok yang dikenal akan pengalamannya mengerjakan HoloLens generasi pertama. Sesi beliau sudah pasti akan mengangkat topik HoloLens, meski tidak ada yang berani memastikan apakah Microsoft bakal mengumumkan HoloLens 2 secara resmi ketika itu, atau sekadar memberikan teaser saja.

Sumber: VentureBeat dan Neowin.

Star Wars: Project Porg Diumumkan untuk Magic Leap, Ibaratnya Tamagotchi tapi dalam Medium AR

AR headset Magic Leap One memang baru dipasarkan ke kalangan developer saja selagi ekosistem kontennya dibangun. Terkait konten ini, Magic Leap rupanya telah ‘mengamankan’ dua franchise dengan popularitas yang mendunia. Yang pertama adalah Angry Birds, dan yang kedua Star Wars.

Namun jangan keburu membayangkan Anda bisa menyulap sofa di ruang tamu menjadi kokpit pesawat X-wing Starfighter dengan Magic Leap. Konten bertema Star Wars ini lebih mengarah ke lucu-lucuan daripada keren. “Porg” adalah kata kuncinya.

Bagi yang tidak tahu, Porg adalah makhluk sejenis unggas berpenampilan imut-imut yang pertama muncul di film “Star Wars: Episode VII – The Force Awakens”. Dalam permainan berjudul “Star Wars: Project Porg” ini, pengguna Magic Leap diajak berinteraksi langsung dengan penghuni planet Ahch-To itu di kediamannya masing-masing.

Pemain pada dasarnya bakal memelihara sejumlah Porg, memberinya makan, mengajaknya bermain dan mengawasinya satu per satu. Konsepnya kurang lebih seperti Tamagotchi, akan tetapi dengan tema Star Wars dan dalam medium augmented reality. Di sepanjang permainan, pemain akan dipandu oleh robot C-3PO, lengkap dengan pengisi suara aslinya.

Yang unik dari Project Porg adalah kemampuan makhluk-makhluk tersebut untuk bereaksi terhadap objek fisik yang ada di sekitarnya. Ini dikarenakan ada aset AR yang ditambatkan pada masing-masing objek, sehingga kumpulan Porg itu dapat, misalnya, tertidur selagi menonton TV.

Star Wars: Project Porg dikembangkan oleh ILMxLAB, divisi hiburan immersive Lucasfilm. Rencananya, Project Porg bakal dirilis di bulan Desember mendatang secara cuma-cuma buat seluruh pengguna Magic Leap One.

Sumber: Variety dan ILMxLAB.