Prototipe Mobil Listrik Lightyear One Catatkan Jarak Tempuh 710 Km dalam Sekali Charge

Masih ingat dengan Lightyear One, mobil listrik unik yang dibekali panel surya dari ujung depan sampai belakangnya? Mobil tersebut memang tidak jadi dikirimkan ke konsumen pada tahun ini seperti rencana awalnya, akan tetapi realisasinya terus mendekati kenyataan, terutama setelah pengujian terbaru yang dijalankan oleh tim pengembangnya.

Bertempat di sebuah sirkuit pengujian di Jerman, prototipe Lightyear One digeber tanpa henti dalam kecepatan 85 km/jam selama hampir sembilan jam. Selama itu, prototipenya berhasil mencatatkan jarak tempuh sejauh 710 km sebelum akhirnya baterainya kehabisan daya. Angka ini tidak terpaut terlalu jauh dari estimasi yang diberikan dua tahun lalu (725 km).

Istimewanya lagi, pencapaian ini bisa terwujudkan hanya dengan mengandalkan baterai berkapasitas 60 kWh, membuktikan bahwa Lightyear One benar-benar memiliki efisiensi yang sangat tinggi. Berdasarkan penghitungan tim Lightyear, prototipenya ini memiliki konsumsi energi hanya 85 Wh/km, atau kurang lebih sekitar 50 persen lebih rendah daripada mobil listrik paling efisien yang ada di pasaran saat ini.

Oke, mobil ini terbukti efisien, tapi bagaimana dengan kinerja panel suryanya, yang tidak lain merupakan salah satu nilai jual utamanya? Dari hasil pengujian ini, panel suryanya sukses menghasilkan total energi sebesar 3,45 kWh. Lightyear sendiri mengestimasikan bahwa panel suryanya mampu menyumbangkan 12 km jarak tempuh ekstra setiap jamnya pada kondisi ‘berjemur’ yang ideal.

Berhubung semua ini dicapai menggunakan prototipe, tim Lightyear antusias bahwa mereka masih bisa meningkatkan efisiensinya lebih jauh lagi. Mereka percaya efisiensi merupakan faktor terpenting dari sebuah mobil listrik, sebab baterai adalah komponen dengan ongkos produksi yang paling mahal. Kalau efisiensinya tinggi, berarti baterai yang disematkan tidak perlu terlalu besar kapasitasnya, sehingga pada akhirnya harga jualnya jadi bisa lebih terjangkau.

Lightyear sejauh ini masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, salah satunya uji tabrakan. Sebanyak 946 unit versi eksklusif Lightyear One bakal diproduksi mulai babak kedua tahun 2022, sedangkan penjualan massalnya dijadwalkan baru berlangsung di tahun 2024.

Sumber: New Atlas dan Lightyear.

Koalisi Rimac dan Bugatti Bakal Lahirkan Supercar Listrik Bugatti pada Dekade Ini Juga

Nama Rimac memang tidak sepopuler Tesla di industri mobil listrik. Namun ke depannya perusahaan asal Kroasia tersebut bakal semakin disegani di industri otomotif secara luas. Pasalnya, Rimac baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengambil alih kepemilikan atas brand Bugatti dari Volkswagen.

Koalisi antara kedua produsen supercar ini bakal membentuk perusahaan baru bernama Bugatti Rimac, dengan markas baru yang akan dibangun di Kroasia. Kehadiran Bugatti Rimac pada dasarnya memungkinkan kedua perusahaan untuk saling berbagi sumber daya dan upaya R&D. Meski demikian, Bugatti dan Rimac masih akan tetap beroperasi sebagai brand yang terpisah.

Secara struktur, Rimac bakal menguasai 55 persen dari saham Bugatti Rimac, sedangkan 45 persen sisanya dipegang oleh Porsche (yang sendirinya masih merupakan bagian dari Volkswagen). Rimac sendiri sebenarnya juga memiliki beberapa investor (salah duanya Porsche dan Hyundai), akan tetapi pemegang keputusan finalnya tetap Mate Rimac, pendiri sekaligus CEO Rimac.

Yang mungkin jadi pertanyaan terpenting adalah, apakah ini berarti ke depannya kita bakal berjumpa dengan supercar elektrik dari Bugatti? Pastinya. Kepada Financial Times, Rimac mengatakan bahwa Bugatti bakal meluncurkan mobil listrik di dekade ini juga, namun mereka juga masih akan memproduksi model hybrid pada akhir periode tersebut.

Buat Rimac sendiri, mereka masih akan terus mengembangkan dan memproduksi supercar-nya sendiri. Tahun ini, Rimac berniat meluncurkan Nevera, supercar elektrik yang digadang-gadang bakal menjadi mobil tercepat yang boleh melintas di jalanan secara legal, titel yang sebelumnya dipegang oleh Bugatti Chiron.

Namun membangun dan menjual supercar seharga jutaan dolar bukan satu-satunya bisnis yang dijalankan Rimac. Mereka selama ini juga konsisten menjadi pemasok teknologi elektrik buat sejumlah pabrikan otomotif, seperti misalnya Aston Martin dan Jaguar. Rimac bahkan sudah punya rencana untuk mengembangkan bisnis sampingannya ini lebih jauh lagi dengan mendirikan entitas terpisah bernama Rimac Technology.

Entitas baru ini sepenuhnya dikuasai oleh Rimac, dan bakal sepenuhnya berfokus pada pengembangan drivetrain, baterai, maupun komponen-komponen wajib lain dari sebuah mobil listrik. Jadi selain di mobil-mobil listrik besutan Bugatti dan Rimac sendiri, kita juga bakal menjumpai teknologi rancangan Rimac pada sejumlah merek lain.

Sumber: Rimac via Engadget.

Lucid Air Bakal Jadi Mobil Pertama yang Mengusung Integrasi Dolby Atmos

Ketika membicarakan mengenai mobil listrik, saya selalu mempunyai ekspektasi bahwa yang lebih modern bukan cuma sistem penggeraknya saja, melainkan juga sistem hiburan yang tertanam di dalam kabinnya. Kalau perlu contoh, kita bisa melihat Tesla Model S dan Model X versi terbaru yang sistem infotainment-nya mempunyai daya komputasi setara console next-gen.

Kedua mobil tersebut juga turut mengemas sistem audio yang sangat mumpuni, dengan 22 speaker dan total daya 960 watt, tidak ketinggalan pula teknologi active noise cancellation. Namun tentu saja Tesla bukan satu-satunya produsen mobil listrik yang serius perihal sistem hiburan. Contoh lainnya bisa kita lihat dari Lucid Motors.

Di ajang SXSW yang berlangsung secara online tahun ini, Lucid mengumumkan bahwa mobil perdananya, Lucid Air, bakal jadi mobil pertama yang dilengkapi sistem audio Dolby Atmos. Lucid menamai sistemnya dengan istilah Surreal Sound, dan nama tersebut merujuk pada pengalaman audio immersive yang mampu dihasilkan oleh 21 unit speaker yang tertanam di dalam kabin milik sedan mewah tersebut.

Integrasi teknologi Dolby Atmos berarti separasi suara tak hanya bisa dilakukan dari poros horizontal saja (depan ke belakang, atau kiri ke kanan), melainkan juga dari poros vertikal (atas ke bawah). Ini berarti distribusi suara bisa diarahkan lebih tinggi atau lebih rendah, baik itu musik maupun bunyi indikator dari beragam fungsi yang diaktifkan.

Ilustrasi integrasi Dolby Atmos pada sistem audio milik Lucid Air / Lucid Motors
Ilustrasi integrasi Dolby Atmos pada sistem audio milik Lucid Air / Lucid Motors

Dalam pengembangannya, tim engineering Lucid berkolaborasi langsung dengan Dolby guna memaksimalkan implementasi teknologi Atmos. Dengan begitu, Lucid pun mampu memikirkan skenario-skenario penggunaan yang spesifik, seperti misalnya ketika ada seorang penumpang yang duduk di belakang yang lupa mengenakan sabuk pengaman.

Berkat Atmos, bunyi peringatan yang terdengar bukan berasal dari dashboard, melainkan langsung dari tempat sang penumpang itu duduk di baris belakang. Skenario lainnya adalah ketika menyalakan mobil, di mana suara akan terdengar dari semua sudut ketimbang hanya dari depan sang pengemudi. Bahkan suara yang sesimpel bunyi indikator lampu sein pun juga akan terdengar berasal dari arah yang sesuai.

Seperti yang kita tahu, mobil listrik sangatlah hening jika dibandingkan dengan mobil bermesin bensin. Saking heningnya, sering kali suara yang terdengar di dalam kabin hanyalah suara gesekan ban dengan aspal saja. Mungkin itulah yang akhirnya mendorong produsen mobil listrik untuk berinvestasi lebih di bidang audio.

Saya berani berargumen seperti itu karena pada kenyataannya bukan cuma Lucid yang bermitra dengan perusahaan audio ternama dalam menggarap sound system untuk mobilnya. Belum lama ini, Audi dilaporkan telah bekerja sama dengan Sonos untuk mengembangkan sistem audio buat mobil listrik terbarunya, Q4 e-tron, yang akan menjalani debutnya pada bulan April mendatang.

Sumber: The Verge dan Lucid Motors.

Usung Dashboard Canggih, Audi Q4 e-tron Turut Dilengkapi Augmented Reality Heads-up Display

Petunjuk navigasi berbasis augmented reality (AR) adalah masa depan dunia otomotif. Tidak percaya? Silakan lihat salah satu fitur opsional yang diunggulkan oleh mobil listrik terbaru Audi, Q4 e-tron. Dashboard bernuansa futuristisnya tidak hanya dilengkapi heads-up display (HUD), melainkan yang bekerja sesuai dengan prinsip AR.

HUD sendiri bukanlah barang baru di industri otomotif, sebab sudah banyak mobil di jalanan yang menggunakan teknologi. Umumnya, HUD di mobil melibatkan sebuah panel kaca kecil yang berada persis di belakang kaca depan, lalu ada proyektor yang ‘menembakkan’ informasi ke panel tersebut.

Lain halnya dengan augmented reality heads-up display (AR HUD) seperti yang Audi kembangkan ini. Ketimbang memproyeksikan informasi ke sebuah panel kecil, justru kaca depan Q4 e-tron yang dijadikan bidangnya secara langsung. Menurut Audi, sistem AR HUD ciptaannya mampu meng-cover porsi kaca depan seluas 70 inci secara diagonal.

Ada dua macam informasi yang dapat ditampilkan. Yang pertama adalah indikator umum seperti kecepatan mobil maupun batas kecepatan untuk ruas jalan yang tengah dilalui. Pengemudi akan melihat informasi statis ini seperti sedang berada sekitar 3 meter di depannya.

Yang kedua adalah informasi dinamis yang bisa muncul di mana saja dalam cakupan 70 inci secara diagonal itu tadi. Yang paling relevan tentu adalah petunjuk arah, dan pengemudi bakal melihatnya seperti berada sekitar 10 meter di depan hidung mobil. Selain petunjuk arah, sistemnya juga dapat menampilkan indikator untuk memperjelas marka jalan.

Rahasia dari teknologi AR HUD ini terletak pada sebuah komponen bernama picture generation unit (PGU) yang Audi tanamkan ke dashboard Q4 e-tron. Hardware khusus tersebut juga hadir bersama software spesifik bernama AR Creator yang bertugas me-render semua informasi digital tersebut dalam kecepatan 60 fps, sekaligus memastikan posisinya tetap sinkron selagi mobil bergerak.

Dari kacamata sederhana, AR Creator bekerja dengan mengalkulasikan pergerakan mobil sekaligus memprediksi di mana letak objek-objek di sekitar mobil secara terus menerus berdasarkan informasi yang diterima dari beragam sensor eksternal. Informasi ini kemudian dipakai untuk mengubah peletakan grafik AR secara dinamis, mencegahnya agar tidak lompat ke sana-sini selagi posisi mobil berubah setiap sepersekian detik.

Kalau ditanya apa tujuan dari penerapan AR HUD, jawabannya sudah pasti adalah untuk membantu pengemudi tetap fokus ke jalanan. Agar misi ini lebih mudah tercapai, Audi pun tidak lupa melengkapi sistem infotainment Q4 e-tron dengan dukungan perintah suara sehingga kedua tangan pengemudi bisa terus berada di setir.

Audi bukan satu-satunya produsen mobil yang menerapkan teknologi AR HUD ini. Pertengahan 2020 kemarin, Mercedes-Benz juga sempat mendemonstrasikan beragam inovasi digital yang dimiliki seri S-Class generasi terbaru, salah satunya juga merupakan AR HUD.

Sumber: Engadget dan Audi.

Tesla Ungkap Versi Baru Model S dan Model X dengan Interior yang Dirombak Total

Tesla Model S memang bukan mobil listrik pertama bikinan Tesla, akan tetapi sedan premium itulah yang berhasil melambungkan nama Tesla sampai ke titik ini. Meski sudah dipasarkan sejak tahun 2012, wujud luar dan dalamnya tidak begitu banyak berubah. Namun Tesla rupanya sudah menyiapkan kejutan secara diam-diam.

Mereka baru saja menyingkap versi anyar Model S yang siap mengaspal mulai bulan Maret, dengan sejumlah perombakan di eksterior, dapur pacu, sekaligus interiornya. Perubahan di tampilan luarnya memang tidak terlalu kentara jika tidak benar-benar diamati dan dibandingkan langsung dengan versi sebelumnya. Yang mungkin agak mencuri perhatian adalah klaim bahwa Model S merupakan mobil produksi yang paling aerodinamis yang ada sekarang.

Untuk dapur pacunya, Model S kini hadir dalam varian “Plaid” yang dibekali tiga buah motor elektrik dengan sistem penggerak empat roda. Total output daya yang dihasilkan bisa mencapai angka 1.020 tenaga kuda, dan akselerasi 0 – 100 km/jam mampu dicatatkan dalam waktu 1,99 detik saja. Kalau Anda menilai Model S sudah sangat kencang, maka varian barunya ini bakal lebih ngebut lagi.

Cepat sekaligus efisien sudah menjadi pegangan Tesla selama ini, dan varian anyar Model S ini pun tidak luput dari arahan tersebut. Varian termahalnya, “Plaid+” yang dihargai mulai $139.000, bisa menempuh jarak sejauh 836 km sebelum baterainya perlu diisi ulang. Bahkan varian termurahnya yang dibanderol mulai $79.990 pun sudah bisa menempuh jarak 663 km dalam sekali charge.

Interior baru dan kapabilitas gaming yang lebih mumpuni

Namun semua itu kalah menarik jika dibandingkan dengan perubahan yang Tesla terapkan pada interiornya. Nuansa kabin Model S versi anyar ini jauh lebih minimalis ketimbang sebelumnya. Memang tidak sampai sesimpel interior milik Model 3, tapi kita bisa melihat filosofi desain yang sama di sini.

Perubahan yang paling mencolok bisa dilihat pada layar dashboard-nya, yang kini diposisikan dalam orientasi landscape ketimbang portrait. Layar ini jauh lebih besar daripada iPad Pro sekalipun, dengan bentang diagonal 17 inci dan resolusi 2200 x 1330 pixel. Tidak seperti Model 3, Model S masih mempunyai satu layar ekstra di depan lingkar kemudinya.

Seperti yang bisa kita lihat, setirnya pun juga sudah diperbarui dengan bentuk yang menyerupai setir milik KITT, mobil canggih dari serial TV lawas Knight Rider. Tidak ada lagi tuas di sebelah kiri maupun kanannya, dan semua kontrolnya kini mengandalkan tombol-tombol pada setir.

Juga sangat menarik adalah penambahan layar 8 inci di kabin belakangnya. Mengingat Tesla memang menyediakan sejumlah video game pada sistem infotainment-nya, keputusan ini jelas tidak terdengar mengejutkan. Lalu, supaya penumpang di belakang bisa bermain dengan nyaman, Tesla pun memastikan bahwa sistemnya kompatibel dengan controller nirkabel.

Tesla Model S

Bicara soal game, ada satu pemandangan yang sangat menarik menurut saya. Coba Anda lihat baik-baik layar dashboard-nya, di situ terpampang jelas ada The Witcher 3 yang ditawarkan sebagai salah satu game-nya. Kedengarannya mungkin konyol, tapi apakah ini berarti penumpang Model S nantinya bisa memainkan salah satu RPG terbaik karya CD Projekt Red tersebut?

Baik Tesla maupun CD Projekt Red belum mau berkomentar soal ini, tapi saya yakin Tesla tidak sembarangan mencantumkan detail seperti ini kalau memang maksudnya hanya bercanda. Satu informasi penting yang Tesla beberkan adalah, sistem infotainment yang terintegrasi di kabin Model S ini punya daya komputasi sebesar 10 teraflop, setara dengan yang ditawarkan oleh console next-gen.

Sebagai referensi, PlayStation 5 tercatat mempunyai daya sebesar 10,28 teraflop, sedangkan Xbox Series sebesar 12 teraflop. Meski memang ini tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan, setidaknya ini bisa memberikan sedikit gambaran bahwa sistem bawaannya memang cukup kuat untuk menjalankan game sekelas The Witcher 3, yang bisa dibilang tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan game AAA yang dirilis dalam satu atau dua tahun terakhir.

Apakah gaming di dalam mobil merupakan masa depan industri otomotif, terutama jika melihat visi akan mobil yang bisa menyetir sendiri sepenuhnya (sehingga kita sebagai penumpang bisa memanfaatkan waktu selama perjalanan untuk bermain game)? Bisa jadi begitu. Kalau perlu bukti lain, coba lihat Sony: salah satu tujuan mereka menciptakan prototipe mobil elektrik adalah untuk bereksperimen dengan konsep “PlayStation untuk mobil”.

Demi menyuguhkan pengalaman hiburan yang terbaik, Tesla pun tidak lupa soal audio. Total ada 22 speaker yang tertanam di kabin Model S yang membentuk sebuah sistem audio berdaya 960 watt, dan Tesla juga melengkapi semuanya dengan teknologi active noise cancellation.

Buat yang lebih suka dengan model SUV ketimbang sedan, tentu mereka bisa memilih Model X yang dibangun di atas platform yang identik, dan yang kebetulan juga sudah diperbarui interiornya dengan arahan yang sama.

Mungkin bakal lucu kedengarannya jika ada yang mengulas kedua mobil ini, lalu menyebutnya sebagai mobil terbaik buat para gamer. Lucu untuk sekarang, tapi bisa saja bakal terdengar biasa di masa yang akan datang.

Sumber: Electrek.

Aptera Paradigm Adalah Mobil Listrik Berpenampilan Unik dengan Panel Surya Terintegrasi

Tujuan utama mobil listrik diciptakan adalah untuk mengeliminasi emisi karbon yang selama ini dihasilkan oleh mesin bensin. Kendati demikian, di saat energi listriknya sendiri masih berasal dari sumber yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakarnya, mungkin gagasan soal nol emisi itu masih belum dapat terwujud sepenuhnya.

Ceritanya bakal berbeda saat mobil listrik sudah bisa menciptakan energinya sendiri, dan kita sepertinya sedang dalam proses menanti tren baru itu terealisasikan. Tahun lalu, kita sempat membahas mengenai Lightyear One, sebuah mobil listrik dengan panel surya yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakangnya.

Mobil tersebut memang belum mengaspal secara resmi, dan kalau melihat situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, mungkin pengembangnya bakal sulit memenuhi target “awal 2021”. Namun Lightyear One bukanlah satu-satunya ‘mobil bertenaga surya’ yang diproyeksikan bakal hadir tahun depan. Di tempat lain, ada sebuah perusahaan bernama Aptera yang sedang mengejar target serupa.

Aptera bukanlah perusahaan baru. Aptera sudah didirikan sejak 2005, tapi mereka sempat bangkrut di tahun 2011. Barulah pada tahun 2019 Aptera dibentuk ulang oleh para pendiri aslinya, dan sekarang mereka sudah siap untuk memperkenalkan mobil pertamanya kepada publik: Aptera Paradigm.

Sepintas, wujudnya terkesan tidak umum. Rodanya cuma tiga, dan bentuknya mirip badan pesawat tanpa sayap, dan ini rupanya menjadi alasan di balik nilai koefisien hambatannya yang begitu kecil: 0,13. Menggunakan basis angka ini, Aptera optimis bahwa Paradigm hanya memerlukan energi listrik sebesar 100 Wh per milnya (1,6 km).

Dengan kata lain, pada varian yang dibekali baterai berkapasitas 100 kWh, jarak tempuhnya diyakini bisa mencapai angka 1.000 mil (1.600 km) per charge. Namun efisiensi baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab Aptera Paradigm juga dibekali dengan kemampuan untuk menciptakan energinya sendiri, kurang lebih sama seperti Lightyear One itu tadi.

Metode yang diterapkan pun hampir sama, yakni dengan menambatkan panel surya pada atap mobil beserta kap bagian depan dan belakangnya. Dalam sehari – dengan asumsi cuaca tidak mendung dan matahari bersinar begitu terang – panel surya milik Aptera Paradigm diklaim bisa menghasilkan energi listrik yang setara dengan jarak tempuh 64 mil (± 103 km).

Tentunya ini bisa diartikan bahwa Aptera Paradigm bukan sepenuhnya mobil bertenaga surya dan masih perlu di-charge seperti biasa, tapi setidaknya kehadiran panel surya tersebut bisa membantu mengeliminasi rasa khawatir bahwa energi yang dimiliki mobil tidak akan cukup untuk mencapai tujuan, atau yang lebih dikenal dengan istilah keren “range anxiety“.

Proses charging-nya sendiri sangat cepat jika menggunakan DC fast charger; satu jam pengisian cukup untuk menempuh jarak 500 mil (800 km). Performanya pun juga memukau di atas kertas, dengan klaim akselerasi 0 – 100 km/jam dalam waktu 5,5 detik, atau 3,5 detik saja jika memilih varian yang berpenggerak semua roda.

Andai tidak meleset, Paradigm kabarnya bakal mulai diproduksi pada tahun 2021, dan Aptera sudah menerima pemesanan dari konsumen di Amerika Serikat mulai sekarang. Banderol harganya berada di kisaran $25.900 – $46.900. Tentu saja harga paling murah itu bukan untuk yang berkapasitas 1.000 kWh, melainkan 250 kWh.

Sumber: Car and Driver dan Aptera.

BMW Ungkap SUV Elektrik Baru, BMW iX

Masih ingat dengan mobil konsep bernama iNext yang BMW pamerkan dua tahun silam? Seperti yang sudah dijanjikan, mobil itu akhirnya bakal diproduksi secara massal sebagai sebuah mobil elektrik. Namun ada sedikit revisi pada namanya, yang kini dikenal sebagai BMW iX.

Secara estetika, iX banyak mempertahankan elemen futuristis yang diperkenalkan iNext. Beberapa bagian memang harus disederhanakan demi memudahkan tahap produksi, akan tetapi iX tetap kelihatan paling modern di antara mobil-mobil BMW lainnya.

Selain desain, hal lain yang paling mencolok dari fisik iX adalah ukurannya. Mobil ini besar, dengan panjang dan lebar setara SUV BMW X5, serta ukuran ban sekelas milik BMW X7. Kalau mengacu pada dimensi BMW X5 dengan panjang 4.922 mm dan lebar 2.004 mm, berarti iX bakal menjadi yang paling bongsor di antara kedua rivalnya yang juga berdarah Jerman, yakni Audi e-tron dan Mercedes-Benz EQC, sekaligus mendekati ukuran Tesla Model X.

Kalau eksteriornya terlihat agresif, interior iX malah terbilang kalem. Saking minimalisnya kabin iX, kita hanya akan menjumpai satu buah layar saja, meski memang layar itu menutupi lebih dari separuh dashboard-nya. Seperti biasa, layarnya dibagi menjadi dua: porsi kiri dengan bentang diagonal 12,3 inci sebagai panel instrumen, porsi kanan dengan dimensi 14,9 inci untuk sistem infotainment.

Dilihat sepintas, penampilan interiornya lagi-lagi tidak berbeda drastis dibanding versi konsepnya dulu. Teknologi “Shy Tech” yang diusung memang tidak secanggih yang dijanjikan sebelumnya, tapi BMW tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menyamarkan sejumlah komponen interiornya sehingga terlihat membaur dengan material yang digunakan.

BMW membangun iX di atas platform mobil elektrik generasi kelimanya. Sepasang motor elektrik yang terpasang pada iX sanggup menghasilkan output daya maksimum lebih dari 370 kW (500 hp), dan untuk urusan akselerasi 0-100 km/jam, iX diyakini mampu mencatatkan waktu di bawah 5 detik.

Untuk baterainya, BMW masih enggan menyebut kapasitas persisnya, namun mereka bilang ada di kisaran 100 kWh. Baterai sebesar itu diperkirakan cukup untuk menenagai iX hingga menempuh jarak sekitar 482 kilometer dalam sekali pengisian, dan proses pengisiannya pun sangat cepat berkat dukungan teknologi DC fast charging.

Secara teknis, iX diklaim sanggup menerima asupan daya dengan output maksimum 200 kW. Dalam skenario ini, baterainya dapat terisi dari 10 sampai 80 persen dalam waktu kurang dari 40 menit. Kalau dilihat dari perspektif lain, iX sanggup menempuh jarak 120 km dalam setiap 10 menit charging.

Sebagai model flagship, BMW iX jelas terdengar menjanjikan. Sayang mobil ini baru akan diproduksi mendekati akhir 2021, dan sejauh ini juga belum ada informasi soal banderol harganya. Kalau boleh menebak, harganya bakal lebih mahal daripada BMW X5, yang sendirinya berada di kisaran $60.000.

Sumber: Electrek dan BMW.

Renault Pamerkan Konsep Mobil Elektrik Megane eVision, Siap Diproduksi Tahun Depan

Renault kembali memperkenalkan sebuah mobil konsep yang cukup menarik bernama Megane eVision. Menarik karena ia pada dasarnya merupakan gambaran dari masa depan seluruh lini mobil elektrik yang tergabung dalam aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi.

Sepintas, mobil ini tampak begitu futuristis, dengan sejumlah inspirasi desain yang diambil dari konsep Renault Morphoz, serta mobil listrik terbaru Nissan, Ariya. Meski demikian, Renault memastikan bahwa fisik versi konsepnya ini 95 persen sama seperti versi produksinya nanti, yang dijadwalkan hadir pada akhir 2021.

Secara teknis, Megane eVision dibangun di atas platform Common Module Family-Electric Vehicle (CMF-EV) yang sama seperti Nissan Ariya. Wujudnya sepintas kelihatan seperti SUV, tapi Renault bilang ukurannya lebih menyerupai sebuah compact crossover. Perkara dimensi ini penting mengingat Megane sendiri adalah lini hatchback yang sudah berusia dua dekade lebih.

Kecil di luar, lapang di dalam, kira-kira seperti itu motto yang dipegang oleh Megane eVision, dan itu dicapai lewat dua hal. Yang pertama adalah wheelbase yang cukup panjang, persisnya sepanjang 2,7 meter. Kedua, lantai kabinnya sangat rendah berkat modul baterai yang tebalnya tidak lebih dari 11 cm.

Sayang sejauh ini Renault belum membeberkan foto interiornya, sehingga agak sulit mendapat gambaran terkait seberapa lega kabin Megane eVision jika dibandingkan dengan hatchback pada umumnya. Seandainya mobil ini benar-benar satu DNA seperti Nissan Ariya, semestinya kabinnya akan terkesan seperti lounge dengan tampilan yang minimalis dan sejumlah bagian yang modular.

Lalu untuk baterainya sendiri, meskipun tipis, kapasitasnya ternyata masih cukup lumayan di angka 60 kWh, serta kompatibel dengan teknologi fast charging dengan daya maksimum 130 kW. Jarak tempuhnya sendiri diprediksi mencapai 450 km per charge, tapi kemungkinan besar versi produksinya nanti bakal hadir dalam beberapa varian kapasitas baterai.

Baterai tersebut memasok tenaga untuk motor elektrik bertenaga 215 hp, dengan klaim torsi sebesar 300 Nm dan akselerasi 0-100 km/jam dalam waktu 8 detik. Kalau melihat segmentasinya, Renault Megane eVision pada dasarnya bakal bersaing langsung dengan VW ID.3.

Sumber: Engadget dan Renault.

Nissan RE-LEAF Adalah Mobil Tanggap Darurat Sekaligus Sumber Listrik Dadakan

Tahukah Anda bahwa sejak tahun 2011, mobil elektrik Nissan LEAF telah dimanfaatkan sebagai sumber listrik darurat ketika ada bencana alam yang melanda di Jepang? Kita tahu bahwa Jepang memang bisa dibilang langganan bencana alam, dan sering kali jaringan listrik di lokasi akan terputus selama 24 – 48 jam sebelum akhirnya normal kembali.

Dalam rentang waktu tersebut, adanya sumber listrik darurat jelas akan sangat membantu proses penanganan di area yang terkena musibah, dan di sinilah sebuah mobil elektrik bisa ikut mmpunyai andil yang besar. Nissan pun memutuskan untuk mengeksekusi ide ini di level yang lebih tinggi lagi.

Dari situ lahirlah Nissan RE-LEAF, sebuah prototipe mobil yang secara spesifik dirancang untuk kebutuhan tanggap darurat. Tidak seperti LEAF standar, RE-LEAF telah didesain agar sanggup bermanuver di jalanan yang dipenuhi oleh puing-puing atau reruntuhan bangunan. Berbekal suspensi yang lebih tinggi dan ban tipe offroad, RE-LEAF pada dasarnya siap melahap segala medan.

Modifikasi lainnya mencakup perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjadi semacam command center dadakan. Namun senjata utama RE-LEAF terletak pada colokan charger-nya yang bersifat bidirectional, yang bisa menerima asupan listrik sekaligus menyalurkan energi listrik.

Jadi selagi jaringan listrik di lokasi terputus, RE-LEAF dengan baterai 62 kWh-nya dapat menyuplai daya untuk beberapa perangkat sekaligus seperti ventilator, lampu sorot, bor jackhammer, dan lain sebagainya yang umum dipakai oleh regu penyelamat.

Ketika jaringan listrik sudah kembali normal, tentu saja RE-LEAF dapat di-charge dan kembali ke fungsi asalnya sebagai medium transportasi tanpa emisi. Menariknya, colokan bidirectional ini sebenarnya sudah menjadi fitur standar Nissan LEAF sejak generasi pertamanya diperkenalkan di tahun 2010.

RE-LEAF sejatinya dibuat untuk mendemonstrasikan potensi mobil elektrik, spesifiknya Nissan LEAF dalam konteks ini, sebagai produk yang sangat fleksibel. Jadi kalau memang terpaksa harus menjadi sumber listrik dadakan untuk suatu rumah berukuran standar di dataran Eropa, LEAF bisa menjalankan tugas tersebut selama 6 hari berturut-turut sebelum akhirnya kehabisan daya.

Di saat produsen mobil elektrik lain saling berlomba dalam hal efisiensi, menurut saya sangat menarik melihat Nissan mengalihkan fokusnya ke aspek yang tidak kalah penting seperti ini. Sebuah mobil elektrik yang dapat menempuh jarak di atas 500 km dalam sekali charge jelas terdengar mengesankan, tapi bisakah mobil itu menyumbangkan sebagian energinya di saat sekitarnya membutuhkan?

Sumber: Nissan via SlashGear.

Siap Diproduksi, Polestar Precept Adalah Mobil Elektrik Pertama Polestar yang Tidak Mewarisi DNA Volvo

Februari lalu, Polestar memperkenalkan sebuah mobil konsep yang sangat menarik bernama Precept. Saat diumumkan, Precept disebut bakal mendikte filosofi desain yang bakal Polestar terapkan pada mobil-mobil mereka ke depannya.

Namun ternyata sub-brand Volvo tersebut bohong. Bukannya menjadi indikator masa depan Polestar, Precept justru akan diproduksi secara massal. Respon publik yang sangat positif terhadap Precept rupanya berhasil mendorong Polestar untuk merealisasikan mobil elektrik yang sangat istimewa ini.

Ada beberapa alasan menurut saya yang membuat Polestar Precept spesial. Yang pertama, ia merupakan mobil perdana Polestar dengan desain yang orisinal, tidak seperti Polestar 1 ataupun Polestar 2 yang memakai mobil besutan Volvo sebagai basisnya. Boleh dibilang, Precept adalah titik balik yang menandai lepasnya Polestar dari warisan DNA Volvo.

Kebetulan Precept memang tidak kelewat canggih seperti mobil konsep pada umumnya, terutama beberapa yang bahkan tidak memiliki setir sama sekali. Kendati demikian, setidaknya ada satu elemen desain yang membuat Precept terkesan futuristis, bahkan jika dibandingkan dengan mobil-mobil elektrik yang saat ini sudah mengaspal sekalipun: absennya spion dan kaca belakang.

Ya, spion kiri, kanan, dan tengahnya sudah ditukar dengan kamera. Berhubung tidak punya spion tengah, Precept pada akhirnya juga tidak memerlukan kaca belakang. Alhasil, ruang kepala bagi penumpang di kabin belakangnya pun bisa terasa lebih lega walaupun atapnya melandai seperti mobil coupé.

Lebih lanjut soal kabin, Precept menawarkan interior yang tidak kalah istimewa dari eksteriornya. Istimewa karena interiornya sepenuhnya vegan, alias tidak ada satu pun material yang berasal dari seekor hewan. Lapisan yang membalut joknya misalnya, terbuat dari hasil daur ulang botol plastik yang umum dipakai oleh produsen air mineral, sedangkan karpetnya menggunakan bahan yang berasal dari jaring-jaring nelayan.

Yang menarik, penekanan pada tema sustainability ini tidak semata untuk menunjukkan kepedulian terhadap bumi saja, melainkan juga menawarkan manfaat dari segi fungsionalitas. Contohnya adalah serat komposit besutan Bcomp, material unik lain yang juga Polestar gunakan pada panel pintu maupun sisi belakang jok milik Precept, yang terbukti lebih kokoh ketimbang plastik meskipun ternyata bobotnya jauh lebih ringan.

Secara estetika, interior Precept memang langsung menggambarkan nuansa minimalis khas Skandinavia. Seperti halnya Polestar 2, Precept turut mengandalkan sistem infotainment berbasis Android yang Polestar garap sendiri langsung bersama Google, meski tentu dengan beberapa pembaruan.

Satu fitur yang paling saya suka adalah pemanfaatan proximity sensor pada layar 15,5 inci yang ada di tengah dashboard-nya. Jadi dalam kondisi normal, layar ini akan menampilkan informasi seminimal mungkin demi tidak menjadi pengalih perhatian bagi sang pengemudi. Lalu ketika pengemudi atau penumpang depan mendekatkan tangannya dan hendak menyentuh layar, secara otomatis tampilan layarnya akan berubah dan menyajikan informasi tambahan, termasuk halnya tombol-tombol ekstra yang berukuran besar demi semakin memudahkan pengoperasian.

Bentuk layar yang vertikal juga sudah dipikirkan agar pengguna dapat menampilkan dua aplikasi sekaligus dalam ukuran yang proporsional, semisal Spotify dan Google Maps. Panduan navigasi turn-by-turn pada Precept juga secara otomatis akan ditempatkan di panel instrumen di balik lingkar kemudi ketimbang di layar tengahnya.

Terakhir, Precept turut mengemas sebuah sistem eye tracking di dashboard-nya yang berguna untuk memantau kesiagaan pengemudinya. Jadi seandainya sistem mendeteksi pengemudi mulai kelelahan, secara perlahan sistem akan mengambil alih kendali, mulai dari memberikan peringatan sampai menurunkan kecepatan mobil dengan sendirinya.

Mengenai performa, sayangnya Polestar sejauh ini masih bungkam; wajar mengingat Precept masih berstatus konsep sampai beberapa hari lalu. Pun begitu, setidaknya kita bisa melihat jarak roda depan dan belakang yang cukup panjang pada Precept, yang berarti ia menyimpan ruang yang cukup luas untuk menyimpan baterai. Kalau memang harus menebak, saya cukup yakin Precept bakal lebih efisien lagi ketimbang Polestar 2 yang diklaim sanggup menempuh jarak 500 km dalam sekali pengisian baterai 78 kWh-nya.

Sejauh ini Polestar belum bilang kapan tepatnya Precept bakal mulai diproduksi. Kemungkinan besar versi finalnya juga tidak akan memakai nama Precept, melainkan nama berbasis angka seperti dua mobil Polestar yang sudah dijual sekarang.

Via: CNET.