Lewat Prototipe Mobil Elektriknya, Sony Akan Bereksperimen dengan Konsep PlayStation untuk Mobil

Sony mengejutkan banyak orang di ajang CES 2020 dengan menyingkap sebuah prototipe mobil listrik bernama Vision-S. Wujudnya yang begitu keren – lebih keren daripada Tesla Model S kalau menurut saya pribadi – membuat sebagian dari kita bertanya-tanya: “Kapan Sony bisa memproduksinya secara massal?”

Sayangnya tidak. Di bulan Agustus 2020, Sony menegaskan bahwa mereka tidak berniat memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik, terlepas dari keputusan mereka untuk mengujinya di jalanan umum, sekaligus menyiapkan prototipe mobil yang kedua. Tujuan dari pengujian tersebut tidak lebih dari sebatas pengumpulan data, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang Sony buat.

Namun di event CES 2021 kemarin, Vision-S kembali muncul, kali ini bersama drone pertama Sony yang bernama Airpeak. Sony pun lagi-lagi harus meluruskan kabar yang simpang siur mengenai Vision-S. Kepada Car & Driver, juru bicara Sony memastikan bahwa untuk sekarang mereka sama sekali tidak punya rencana untuk memproduksi ataupun menjual Vision-S.

Vision-S tidak lebih dari sebatas test bed yang dapat Sony manfaatkan untuk bereksperimen. Lewat mobil ini, Sony pada dasarnya sedang mengeksplorasi bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap era kemudi otomatis nantinya. Salah satunya tentu dengan menyediakan beragam sensor kamera.

Pada kenyataannya, Vision-S datang membawa sebanyak 40 sensor di tubuhnya, dan 18 di antaranya merupakan kamera. Namun selain soal keselamatan dan reliabilitas sistem kemudi otomatis, Sony juga ingin punya kontribusi terhadap industri otomotif dari sisi hiburan.

Itulah mengapa mereka menyematkan teknologi 360 Reality Audio pada kabin Vision-S. Namun yang lebih menarik mungkin adalah tujuan jangka panjangnya, yakni mengintegrasikan PlayStation ke dalam kabin, lengkap bersama konektivitas 5G.

Interior Sony Vision-S / Sony
Interior Sony Vision-S / Sony

Eksekusi dari konsep “PlayStation untuk mobil” ini tentu bisa bermacam-macam. Apakah yang Sony maksud dengan PlayStation di sini adalah hardware console itu sendiri, atau cuma sebatas layanan cloud gaming yang bisa diakses dari sistem infotainment bawaan mobil? Sejauh ini semuanya baru sebatas spekulasi, dan Sony juga belum menyingkap rencana konkretnya.

Terlepas dari itu, ide akan sebuah game console yang terintegrasi ke mobil tentu kedengaran sangat menarik. Di saat mobil-mobil dengan sistem kemudi otomatis Level 4 atau Level 5 sudah siap untuk turun ke jalanan, itu artinya kita tidak perlu lagi siaga di depan lingkar kemudi, dan waktu selama perjalanan bisa kita habiskan dengan bermain Gran Turismo 12 (sekarang baru akan ada Gran Turismo 7).

Nyatanya, sekarang saja kita sudah bisa bermain video game di dashboard Tesla Model 3, dan saya kira tidak berlebihan seandainya ide ini akan terus dikembangkan ke depannya. Untuk sekarang, gamegame tersebut memang hanya bisa dimainkan ketika mobilnya berhenti, tapi bagaimana seandainya nanti mobilnya sudah bisa menyetir sendiri tanpa memerlukan sedikitpun input dari kita?

Well, di titik itu mungkin persaingan antara PlayStation dan Xbox bakal berpindah dari ruang keluarga menuju kabin mobil.

Sumber: Car & Driver.

Tinggalkan Bisnis Smartphone, Light Alihkan Teknologi Multi-Kameranya ke Ranah Otomotif

Tiga tahun lalu, sebuah perusahaan bernama Light sempat mencuri perhatian ketika merilis kamera saku yang dibekali 16 lensa yang berbeda. Lalu pada pertengahan tahun 2018, Light kembali menjadi buah bibir saat mengumumkan rencananya untuk membawa teknologi multi-kamera rancangannya ke ranah smartphone.

Lanjut ke ajang Mobile World Congress 2019, visi besar Light itu akhirnya terwujud. HMD Global menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi multi-kamera Light pada produk bikinannya, spesifiknya Nokia 9 PureView yang mengemas lima kamera sekaligus. Sayangnya, ulasan demi ulasan yang beredar mengenai Nokia 9 Pureview menyimpulkan bahwa tidak ada yang terlalu istimewa dari kamera milik smartphone tersebut.

Nokia 9 PureView / HMD Global
Nokia 9 PureView / HMD Global

Apa yang kelima kameranya lakukan pada dasarnya tidak lebih dari teknik image stacking, dan seperti yang Ars Technica jelaskan secara mendetail, ini sebenarnya sudah bisa dicapai via software. Bedanya tentu saja adalah kelengkapan datanya; kalau mengandalkan software, data depth map yang ditangkap tidak akan bisa selengkap yang diambil oleh kelima kamera Nokia 9 PureView.

Dalam fotografi smartphone, informasi kedalaman (depth) sendiri paling sering digunakan untuk memberikan efek bokeh buatan. Google, lewat seri Pixel-nya, telah membuktikan kalau efek bokeh buatan ini bisa tetap bagus walaupun cuma mengandalkan software. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah teknologi multi-kamera rancangan Light ini punya tempat di industri smartphone?

Berhubung biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi dan berujung pada harga jual perangkat yang mahal — Nokia 9 PureView dihargai $700, padahal spesifikasinya setara ponsel flagship keluaran setahun sebelumnya – saya kira jawabannya jelas tidak. Teknologi ini mungkin akan lebih cocok diterapkan di bidang yang betul-betul membutuhkan informasi depth yang amat presisi, bidang otomotif misalnya.

Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light
Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light

Benar saja, kepada Android Authority, Light menyampaikan bahwa mereka tak lagi terlibat dalam industri smartphone. Halaman utama situs Light kini menunjukkan bahwa mereka sedang membangun platform 3D depth perception untuk industri otomotif, lebih tepatnya untuk dimanfaatkan dalam sistem kemudi otomatis (self-driving).

Ini sebenarnya bukan pertama kali Light menyampaikan ketertarikannya untuk terjun ke ranah otomotif. Saat prototipe smartphone multi-kameranya menjadi bahan pembicaraan di tahun 2018 lalu, Light juga sempat menyinggung soal potensi pengaplikasian teknologi rancangannya di bidang otomotif, spesifiknya untuk menjadi ‘indera penglihatan’ mobil tanpa harus mengandalkan bantuan sensor-sensor khusus.

Singkat cerita, Light pada akhirnya memutuskan untuk pivot. Nokia 9 PureView tampaknya bakal menjadi smartphone pertama sekaligus terakhir yang dibekali teknologi multi-kamera besutan Light, sebab sejauh ini tidak ada informasi lebih lanjut terkait kemitraan antara Light dan Xiaomi yang diumumkan tahun lalu.

Pivot masih jauh lebih bagus daripada harus benar-benar gulung tikar, dan ini sejatinya sudah bisa dibilang cukup umum buat perusahaan yang mengembangkan teknologi kamera. Lihat saja Lytro, salah satu pelopor teknologi kamera light-field yang pada akhirnya harus tutup meski teknologinya terdengar menjanjikan.

Sumber: Android Authority.

Lidar Bikinan Luminar Berpotensi Mempercepat Pengembangan Mobil Kemudi Otomatis

Saat membicarakan tentang mobil kemudi otomatis, sudah pasti ada bahasan mengenai suatu komponen yang amat esensial bernama lidar. Lidar merupakan singkatan dari “Light Detection and Ranging”, atau umum juga diibaratkan sebagai radar berbasis laser. Peran lidar begitu penting karena pada dasarnya komponen inilah yang menjadi mata untuk mobil kemudi otomatis.

Lidar bukanlah barang yang murah. Model paling top dari produsen lidar ternama seperti Velodyne misalnya, disebut bisa mencapai harga $75.000 per unitnya. Kalau harga satu dari seabrek komponennya saja begitu mahal, bagaimana dengan harga mobilnya sendiri?

Namun tentu saja Velodyne bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengembangkan lidar. Pada kenyataannya, TechCrunch melaporkan ada lusinan perusahaan baru yang berfokus di bidang pengembangan lidar. Dari sekian banyak startup dan perusahaan, ada satu yang cukup mencuri perhatian, yakni Luminar.

Startup asal Silicon Valley ini baru saja mengumumkan bahwa mereka telah memulai pengembangan Iris, lidar generasi baru yang diproyeksikan bisa merambah mobil produksi untuk konsumen. Iris punya banyak kelebihan, salah satunya perihal dimensi.

Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar
Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar

Dibandingkan unit uji coba yang selama ini dikerjakan oleh Luminar, ukuran Iris cuma sekitar sepertiganya. Kalau Anda pernah melihat foto mobil kemudi otomatis yang tengah diuji coba, yang di atapnya terdapat semacam sensor berukuran besar, itulah wujud lidar yang kita kenal sekarang.

Iris tidak demikian. Kalau Anda lihat gambar di awal artikel, dua kotak kecil berwarna putih yang terletak sekitar 30 cm di bawah lampu depan itu adalah Iris. Ukuran merupakan salah satu faktor penting, sebab ruang kosong yang terdapat di mobil jelas sangat terbatas, dan pabrikan mobil tentunya tak ingin menjual mobil dengan bagian atap yang begitu jelek kepada konsumen.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah ongkos. Luminar Iris kabarnya akan dihargai kurang dari $1.000 per unit, menjadikannya salah satu solusi paling terjangkau untuk pabrikan yang tertarik memproduksi mobil kemudi otomatis. Ongkos produksi yang murah tentu akan berujung pada harga jual yang lebih murah pula.

Faktor penting yang ketiga adalah software. Luminar berencana mengembangkan software-nya sendiri guna melengkapi Iris, dan ini krusial untuk memaksimalkan kinerja hardware-nya dalam menjalankan tugas-tugas seperti object detection, gaze direction, maupun kalibrasi otomatis.

Kita tahu bahwa mobil kemudi otomatis harus bisa mendeteksi beragam objek di sekitarnya, dan di sinilah salah satu fungsi utama dari lidar. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Luminar berharap bisa memasok Iris ke pabrikan-pabrikan mobil yang tertarik paling cepat mulai tahun 2022.

Sumber: TechCrunch.

Lupakan Rivalitas, BMW dan Daimler Bekerja Sama Kembangkan Teknologi Kemudi Otomatis

BMW dan Mercedes-Benz, dua brand Jerman ini merupakan salah satu dari pasangan rival terbesar di industri otomotif. Namun ketika membicarakan soal masa depan industri, keduanya memutuskan untuk melupakan sejenak persaingan di antaranya, dan justru memilih untuk berkolaborasi.

Ranah yang hendak mereka garap bersama adalah seputar teknologi kemudi otomatis. Wacana ini sebenarnya sudah BMW dan Daimler (induk perusahaan Mercedes-Benz) umumkan sejak bulan Februari lalu, akan tetapi kontrak kerja samanya baru saja diselesaikan, dan ini bersifat jangka panjang.

Kerja sama antara BMW dan Daimler ini bakal berfokus pada pengembangan teknologi driver assistance, kemudi otomatis di jalan tol, serta parkir otomatis, dengan merujuk pada standar SAE Level 4 (Level 5 adalah yang paling tinggi). Setelah semua ini tercapai, kolaborasinya masih akan berlanjut sampai ke teknologi kemudi otomatis di area urban dan perkotaan.

Selain memang lebih kompleks, teknologi kemudi otomatis di area urban juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur. Regulasi masing-masing daerah juga memegang peran yang tak kalah penting, itulah mengapa kolaborasi jangka panjang merupakan hal yang krusial dalam perwujudan ekosistem otomotif masa depan.

BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW
BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW

Sinergi antara mobil dan infrastruktur ini sebenarnya sudah mulai ditanam benih-benihnya oleh masing-masing pabrikan. Dalam kasus BMW, salah satu contohnya adalah sistem cruise control yang dapat mendeteksi lampu lalu lintas. Teknologi semacam ini tentu saja bakal semakin efektif jika ditunjang oleh infrastruktur yang tepat.

Juga menarik untuk disoroti adalah sifat kerja sama ini yang non-eksklusif. Artinya, hasil kolaborasi BMW dan Daimler di ranah teknologi kemudi otomatis ini juga bakal bisa dimanfaatkan oleh pabrikan-pabrikan otomotif lain dengan mengandalkan sistem lisensi. Kedua perusahaan sebenarnya bisa saja merahasiakan hasil kerja samanya, tapi rupanya mereka memilih untuk bersaing secara sehat dengan pemain lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi sifat non-eksklusif itu adalah hasil studi BMW dan Daimler bersama sejumlah pabrikan lain seperti Audi dan Volkswagen, di mana mereka mencoba menetapkan semacam standar keselamatan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi kemudi otomatis.

Masalah keselamatan ini merupakan topik yang sangat penting, apalagi mengingat sebagian besar publik masih menganggap teknologi kemudi otomatis belum siap untuk diaplikasikan secara luas. Dengan adanya standar yang jelas, setidaknya pabrikan tidak jadi saling berlomba mengembangkan sistem yang kelewat canggih, tapi ternyata belum siap untuk konsumsi publik.

Problem yang terakhir ini sejatinya sudah beberapa kali ditunjukkan oleh Tesla melalui sistem Autopilot-nya. BMW, Daimler, serta pabrikan-pabrikan lainnya pada dasarnya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan menumbuhkan image yang buruk di hadapan publik.

Terlepas dari itu, BMW dan Daimler menargetkan teknologi kemudi otomatis hasil racikannya bersama dapat dinikmati oleh konsumen paling cepat mulai tahun 2024. Sekali lagi tentu saja ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kesiapan infrastruktur dan regulasi setempat.

Sumber: Electrek.

Respon Nvidia Terhadap Klaim Tesla yang Baru Mengungkap Chip AI Bikinannya Sendiri

Penyingkapan chip AI bikinan Tesla kemarin merupakan pukulan telak terhadap Nvidia. Selama ini, Tesla sepenuhnya mengandalkan chip buatan Nvidia demi mewujudkan sistem Autopilot-nya, namun sekarang Tesla membuktikan bahwa mereka juga bisa merancang chip sendiri yang bahkan diklaim lebih superior.

Bukan, Tesla bukanlah musuh Nvidia, dan sebaliknya, Nvidia pun tak pernah menganggap Tesla demikian. Namun ternyata Nvidia agak kesal dengan klaim-klaim yang disampaikan Tesla, terutama klaim yang mengatakan bahwa chip bikinan Tesla sanggup mengatasi 144 triliun pengoperasian per detik (TOPS), sedangkan chip Nvidia Xavier yang mereka gunakan sebelumnya cuma mampu mencatatkan 30 TOPS saja.

Menurut Nvidia, Tesla tidak memaparkan cerita lengkapnya, bahwa Xavier hanyalah satu bagian dari platform lengkap yang bernama Nvidia Drive AGX Pegasus. Seperti halnya Full Self-Driving Computer buatan Tesla yang terdiri dari dua chip sekaligus, Nvidia Drive pun juga demikian, dan dalam konteks paket lengkap itu, Nvidia Drive mampu mengatasi 320 TOPS.

Nvidia pun juga tak lupa mengingatkan bahwa mereka sedang dalam proses menyiapkan chip generasi terbaru mereka yang bernama Orin. Tentunya ini didasari oleh klaim Tesla bahwa mereka juga tengah mengerjakan chip yang bahkan lebih canggih lagi ketimbang yang baru saja diumumkan.

Namun yang menarik menurut saya adalah bagaimana Nvidia bisa menyikapi semua ini dengan cara yang cukup elegan. Di samping mengoreksi klaim Tesla, mereka juga menegaskan bahwa setidaknya untuk sekarang, pihak paling dominan di ranah pengembangan chip AI untuk kepentingan otomotif hanyalah Nvidia dan Tesla.

Lebih lanjut, pernyataan ini juga mereka manfaatkan sebagai salah satu trik pemasaran, bahwa pada kenyataannya, dari dua pihak dominan itu, cuma satu (Nvidia) yang platform-nya bersifat terbuka dan siap dimanfaatkan oleh pabrikan mobil lain. Tesla tentunya tidak berniat menjadi pemasok buat pabrikan lain yang bakal menyaingi bisnisnya.

Sumber: Nvidia.

Tesla Resmi Ungkap Chip AI Bikinannya Sendiri

Sekitar setahun lalu, Tesla mengumumkan niatnya untuk merancang chip AI sendiri, menghapuskan ketergantungannya terhadap Nvidia. Rencananya tersebut akhirnya terwujud. Bukan cuma menyingkapnya ke publik, Tesla bahkan sudah menyematkan chip bikinannya itu ke Model S, Model X dan Model 3 yang diproduksi belum lama ini.

Paket lengkapnya Tesla sebut dengan istilah “full self-driving computer” atau FSDC. Pada papan sirkuit tersebut, bernaung dua chip yang identik. Mengapa harus dua dan tidak disatukan saja supaya daya komputasinya lebih hebat lagi? Karena bukan itu prioritas utama yang diincar.

Eksistensi dua chip itu didasari oleh prinsip redundancy. Sederhananya, ketika satu chip mengalami malfungsi, chip lainnya bisa mengambil alih semua kendali, mengingat masing-masing chip dilengkapi dengan manajemen daya dan storage-nya sendiri. Ini sangat krusial demi tidak membahayakan penumpang mobil.

Yang menarik, Tesla mengaku desain chip ini sudah selesai mereka buat sejak sekitar dua tahun lalu, dimotori oleh sosok bernama Pete Bannon yang merupakan mantan chip engineer Apple. Proses produksinya sendiri mengandalkan bantuan Samsung melalui salah satu pabriknya di Texas, Amerika Serikat.

Pekerjaan tim desainer chip Tesla pun kini telah dialihkan ke chip generasi yang lebih baru lagi, yang diklaim tiga kali lebih baik daripada yang mereka gunakan sekarang, dan diperkirakan bakal siap diproduksi dan digunakan paling tidak dua tahun lagi.

Juga sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya, chip ini tak hanya bisa dinikmati oleh konsumen Tesla baru. Mereka yang sudah terlanjur meminang Model S, Model X maupun Model 3 sebelum ini juga bisa ikut menikmatinya dengan membayar ongkos upgrade. Ya, Tesla dengan sengaja merancang chip ini agar backwards-compatible dengan sistem lama yang masih mengandalkan chip bikinan Nvidia.

Tesla cukup percaya diri dengan pencapaian mereka di bidang pengembangan chip sekaligus sistem kemudi otomatis secara menyeluruh. Begitu optimisnya Tesla, mereka juga berencana meluncurkan armada taksi robot dengan prinsip ride-sharing di tahun 2020. Kita tunggu saja kehadiran taksi online tanpa sopir dan tanpa bensin ini.

Sumber: TechCrunch.

VW ID. Roomzz Adalah SUV Elektrik Tujuh Penumpang Sekaligus Lounge Berjalan

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, VW bakal memasarkan SUV elektriknya, ID. Crozz mulai tahun depan. Meski dikategorikan SUV, Crozz sebenarnya lebih pantas digolongkan sebagai crossover (seperti tersirat dari namanya) mengingat kabinnya hanya mampu menampung lima penumpang saja.

Itulah mengapa VW memutuskan untuk menyingkap mobil konsep yang lain lagi. Namanya ID. Roomzz, dan ia merupakan SUV tujuh penumpang dengan panjang bodi yang mencapai angka lima meter. Terkait desain, VW sengaja membuatnya agar tampil senada dengan adiknya yang berdimensi lebih kecil.

VW ID. Roomzz

VW terkesan tak mau menyia-nyiakan keunggulan Roomzz perihal space atau ruang. Dipadukan dengan sistem kemudi otomatis (Level 4), Roomzz dapat beralih fungsi menjadi lounge berjalan. Jadi ketika sistem kemudi otomatisnya aktif, penumpang dapat memutar posisi joknya menjadi berhadap-hadapan seperti di sebuah lounge.

Inilah yang menjadi kelebihan utama Roomzz dibandingkan Crozz. Interiornya boleh kelihatan minimalis, tapi fungsionalitasnya superior berkat kemampuannya beradaptasi dengan keinginan penumpang sekaligus mode berkendara yang sedang aktif.

VW ID. Roomzz

Selebihnya, Roomzz cukup identik dengan Crozz, terutama di sektor performa. Dua motor elektrik yang terpasang siap menghasilkan output daya sebesar 302 hp. Meski bongsor, Roomzz masih bisa mencatatkan waktu 6,6 detik untuk urusan akselerasi 0 – 100 km/jam.

Dipadukan dengan baterai berkapasitas 82 kWh, Roomzz dapat menempuh jarak sekitar 450 km dalam satu kali pengisian, selisih sedikit dibandingkan Crozz mengingat ada perbedaan dimensi. Baterainya pun juga telah mendukung teknologi fast charging, di mana 80% kapasitasnya dapat terisi dalam waktu sekitar setengah jam saja.

Rencananya, VW berniat merealisasikan Roomzz dan memasarkannya pada tahun 2021, dimulai di pasar Tiongkok terlebih dulu. VW boleh terlambat mencicipi segmen mobil elektrik, namun mereka sepertinya lebih memilih menyiapkan portofolio yang komplet terlebih dulu.

Sumber: VW.

Jaguar Land Rover Uji Sistem Proyeksi untuk Menunjukkan Arah Pergerakan Mobil Kemudi Otomatis

Mengembangkan mobil kemudi otomatis tentunya ada banyak sekali tantangan, namun salah satu yang terbesar yang dihadapi pabrikan otomotif adalah masalah kepercayaan; bagaimana mereka bisa meyakinkan publik bahwa mobil kemudi otomatis itu aman dikendarai, sekaligus aman untuk pengguna jalan lain di sekitarnya, termasuk para pejalan kaki.

Menurut Jaguar Land Rover (JLR), salah satu caranya adalah membuat mobil kemudi otomatis yang dapat memberitahukan ke sekitar apa yang sedang dan akan dilakukannya. Sistem yang mereka kembangkan mengandalkan proyektor untuk menampilkan indikator visual ke jalanan di depannya.

Indikatornya berupa garis-garis horizontal yang berjajar. Ketika mobil melaju, jarak antar garisnya akan melebar. Sebaliknya, ketika mengerem, jarak antar garis akan menyempit hingga akhirnya nyaris berdempet ketika berhenti total.

Jaguar Land Rover self-driving car projection system

Lalu ketika hendak membelok, garis-garis yang diproyeksikan juga akan melengkung mengikuti arah belokan. Harapannya, baik pengemudi lain atau pejalan kaki di sekitar dapat memahami ke mana arah pergerakan sang mobil kemudi otomatis. Ibaratnya seperti lampu sein, tapi untuk lebih dari sekadar arah membelok saja.

Saat ini sistemnya tengah dicoba bersama sebuah autonomous pod garapan Aurrigo. Implementasinya masih belum diketahui, sebab JLR untuk sekarang baru sekadar ingin mempelajari seberapa banyak informasi yang harus dibagikan sebuah mobil kemudi otomatis agar bisa memperoleh kepercayaan dari para pejalan kaki di sekitarnya.

Sumber: SlashGear dan Jaguar Land Rover.

Robomart Adalah Minimarket Berjalan yang Otomatis dan Tanpa Kasir

Baru-baru ini, saya sempat membahas soal Caper, troli belanja pintar untuk pasar swalayan tanpa kasir. Caper sejatinya dapat dilihat sebagai solusi alternatif atas teknologi yang diterapkan Amazon Go, dan yang namanya alternatif sering kali bukanlah satu-satunya pilihan yang ada.

Alternatif lainnya datang dari startup bernama Robomart. Premis yang ditawarkan sebenarnya sedikit berbeda: ketimbang mengharuskan konsumen berkunjung ke toko, kenapa tidak tokonya saja yang dibawa ke konsumen? Sederhananya, Anda bisa menganggap Robomart sebagai perpaduan Uber dan Amazon Go.

Uber dikarenakan pasar berjalan ini harus dipanggil menggunakan aplikasi pendampingnya terlebih dulu sebelum akhirnya ia datang ke lokasi konsumen. Setibanya ia di lokasi, konsumen dapat membuka pintu gesernya dan mengambil produk-produk yang hendak dibelinya, kemudian menutup kembali pintunya dan membiarkannya pergi meninggalkan lokasi.

Robomart

Robomart memanfaatkan perpaduan teknologi computer vision dan RFID untuk mendeteksi produk-produk yang diambil oleh konsumen. Dari situ sistem akan langsung menagihkan belanjaan ke kartu kredit konsumen, sekaligus mengirimkan struk belanjanya via email. Prosesnya kurang lebih mirip seperti Amazon Go, hanya saja ini berlangsung di pinggir jalan ketimbang di satu lokasi permanen.

Robomart pun bukan lagi sebatas konsep; jaringan swalayan asal AS, Stop & Shop, telah mengumumkan rencananya untuk mengoperasikan armada Robomart mulai musim semi mendatang di kawasan Boston. Di samping buah dan sayuran segar, Stop & Shop juga akan membekali pasar berjalan ini dengan stok makanan kotak instan serta sejumlah produk lainnya.

Semua unit Robomart murni mengandalkan energi listrik, dan kapabilitas otonomnya turut dibarengi oleh kendali jarak jauh dari fasilitas Robomart, sehingga operator bisa langsung turun tangan seandainya ada kendala dengan sistem otomatisnya.

Sumber: SlashGear dan Globe Newswire.

Waymo Umumkan Layanan Taksi Online Tanpa Sopir, Waymo One

Sudah bukan rahasia apabila banyak sopir taksi dan ojek di tanah air yang merasa terancam dengan adanya layanan seperti GO-JEK atau Grab. Namun seandainya mereka memutuskan untuk ikut menjadi mitra pengemudi kedua perusahaan tersebut, apakah profesi mereka otomatis jadi terbebas dari ancaman?

Untuk sekarang mungkin jawabannya iya, tapi kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana ada banyak pihak yang mati-matian mewujudkan armada taksi tanpa sopir. Salah satunya Waymo, anak perusahaan Alphabet yang sejak April tahun lalu sudah mengerahkan ratusan mobil tanpa sopir di jalanan kota Phoenix, Arizona.

Tidak lama lagi, program tersebut akan ‘lulus’ dan berevolusi menjadi layanan taksi online bernama Waymo One. Layanan ini sebenarnya masih bersifat uji coba, sebab masih ada satu karyawan Waymo yang mengawasi di balik setir setiap mobil. Yang bakal menjadi konsumen pun juga orang-orang yang sebelumnya sempat berpartisipasi dalam program Waymo.

Waymo One

Yang berbeda, mereka sekarang bebas membagikan kesan-kesannya menggunakan layanan ini kepada publik. Mereka juga dipersilakan mengajak rekan atau anggota keluarganya yang sebelumnya tidak termasuk sebagai partisipan program Waymo. Lalu kalau sebelumnya mereka cuma diminta umpan balik, sekarang mereka diharuskan membayar tarif yang tertera pada aplikasi.

Aplikasi? Ya, cara memesannya tidak berbeda dari layanan taksi online yang kita kenal selama ini. Yang menarik, selagi dalam perjalanan, konsumen bisa melihat visualisasi pergerakan mobil beserta kondisi di sekitarnya pada aplikasi maupun layar tablet yang terpasang di kabin mobil.

Waymo One

Seperti yang saya bilang, untuk sekarang kesannya terlalu prematur menganggap layanan seperti Waymo One ini sebagai ancaman terhadap layanan taksi online konvensional. Regulasi setempat akan selalu menjadi penghalang terbesar, dan ini bukan tantangan yang mudah dilalui meskipun teknologi kemudi otomatis sudah bisa dibilang benar-benar matang.

Terlepas dari itu, Waymo One sejatinya bisa menjadi indikasi bahwa di masa yang akan datang, angkutan umum bakal sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja robot (AI). Sekarang saja saya sudah berani menyebut Uber dan Grab sebagai layanan taksi online “konvensional” dengan hadirnya Waymo One.

Sumber: 1, 2, 3.