GoPay Kini Tersedia Sebagai Metode Pembayaran di Ekosistem Apple

GoPay meresmikan kehadirannya sebagai metode pembayaran untuk layanan Apple di Indonesia, baik itu App Store, Apple Music, Apple Arcade, Apple TV app, iTunes Store, penyimpanan iCloud, dan lainnya. GoPay menjadi platform e-money lokal kedua yang digandeng Apple setelah DANA sejak awal tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CMO GoPay Fibriyani Elastria mengatakan, selama periode pembatasan aktivitas dan bekerja dari rumah, permintaan games dan pilihan-pilihan hiburan di masyarakat turut meningkat. Perusahaan menginginkan agar seluruh pengguna dapat menggunakan GoPay sebagai metode pembayaran yang aman.

“Sebagai layanan pembayaran yang terpercaya dan terkemuka kami sangat senang dapat menghadirkan GoPay sebagai salah satu metode pembayaran untuk layanan Apple,” ucapnya, Senin (6/9).

Kompetitor Apple, yakni Android (Google Play) jauh lebih ekspansif dalam bekerja sama dengan platform e-money lokal. Terhitung, sudah bekerja sama dengan DANA, DOKU, GoPay, dan ShopeePay.

OVO dan LinkAja menjadi dua platform yang belum hadir di kedua sistem operasi tersebut.

Masing-masing platform e-money berlomba meningkatkan utilitasnya dengan hadir di berbagai aplikasi mobile utama agar semakin dekat dengan para pengguna. Terlebih, selama pandemi aktivitas di plaform online cenderung meningkat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aplikasi seperti hiburan (streaming film, musik, games), belanja sehari-hari, pendidikan, e-commerce, kesehatan, investasi, dan lainnya menjadi ranah empuk buat para platform e-money masuki karena membutuhkan platform pembayaran untuk mengakomodasi seluruh transaksi di dalamnya.

Sebelumnya, GoPay juga telah dapat digunakan untuk membayar biaya berlangganan di Netflix. Perusahaan tersebut menjadi pelopor, sebab selama ini Netflix baru menyediakan opsi pembayaran dengan kartu kredit dan debit.

Bank Indonesia mencatat transaksi dengan uang elektronik mencapai Rp25,4 triliun pada Juli 2021. Jumlah itu meningkat sebesar Rp16 triliun secara YOY. Adapun secara volume transaksi tercatat sebanyak 415,2 juta transaksi.

Kenaikan tren tersebut diprediksi akan terus berlanjut, mengingat pemain e-money tersebut dapat menjadi jembatan untuk mempertemukan masyarakat dengan layanan perbankan.

Infografis transaksi uang elektronik / Katadata

Menurut riset e-Conomy SEA 2019, Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk unbanked terbesar di ASEAN, yakni sebanyak 92 juta jiwa. Sementara untuk unbanked sebanyak 47 juta jiwa, dan sisanya adalah banked sebanyak 42 juta jiwa.

Laporan yang sama menyebutkan pasar e-commerce di ASEAN diprediksi tumbuh dari $38,2 miliar di 2019 menjadi $153 miliar di 2025. Mayoritas dikontribusikan dari Indonesia yang nilainya diperkirakan naik dari $21 miliar menjadi $82 miliar.

Dua Tahun QRIS: Mengungkap Pengalaman Bertransaksi via “Mobile Banking” dan Uang Digital

Dua tahun perjalanan awalnya, fitur QRIS mulai menunjukkan pertumbuhan adopsi yang luar biasa sebagaimana diulas DailySocial di tulisan bagian pertama. Hal ini divalidasi data yang dibagikan Bank Indonesia (BI) tentang peningkatan transaksi selama satu tahun terakhir.

Selain peningkatan transaksi, kami juga melihat tren antusiasme dari para pengguna yang menyoroti berbagai macam isu terkait adopsi QRIS di lapangan. Isu ini terungkap lewat survei mini yang kami lakukan kepada 65 responden. Meski belum mewakili sebagian besar pengguna layanan pembayaran digital di Indonesia, survei ini tetap sesuai dengan semangat utamanya, yakni menyoroti isu yang dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan.

Pada bagian kedua ini, DailySocial membeberkan isu-isu lain yang menyoroti lebih rinci dari perspektif pengguna, seperti kategori produk yang sering dibeli hingga platform pembayaran yang lebih digemari untuk melakukan transaksi dengan metode QRIS.

QRIS dalam penggunaannya

Pada tulisan sebelumnya, salah satu tantangan adopsi QRIS adalah keterbatasan merchant yang menerima pembayaran dengan metode ini. Tak mengherankan sebagian besar responden mengaku lebih banyak bertransaksi untuk pembelian makanan dan minuman (95,2%). Pada kategori lainnya, transaksi QRIS juga digunakan untuk pembelian kebutuhan pokok (35,5%), donasi (17,7%), dan layanan transportasi (11,3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial

Dari 93,8% responden yang pernah bertransaksi dengan metode QR Code, sebanyak 33,3% di antaranya menghabiskan Rp50.000-Rp300.001 untuk bertransaksi. Kemudian disusul 22,7% responden menghabiskan di atas Rp1 juta, Rp500.001-Rp1.000.000 (21,2%), Rp300.001-Rp500.000 (18,2%), dan di bawah Rp50.000 (4,5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial

Apabila transaksi QRIS sudah bisa digunakan untuk kategori yang lebih luas, misalnya transportasi publik yang lebih beragam, pedagang kaki lima, dan pasar, tentu adopsinya akan meningkat lebih pesat. Pasalnya, konsumen di segmen ini masih banyak yang bertransaksi dengan metode uang tunai daripada metode pembayaran yang belum terlalu familiar.

Mobile banking versus uang digital

Salah satu fakta menarik yang kami himpun dari survei ini adalah bagaimana pengguna lebih merasa nyaman bertransaksi dengan metode QRIS melalui aplikasi mobile banking (58,1%) ketimbang uang digital (e-money).

Jika dirinci berdasarkan merek platform, aplikasi mobile banking (28,8%) masih mengungguli e-money, seperti OVO (27,1%), GoPay (25,4%), dan ShopeePay (15,25%). Apa alasannya?

 

Platform untuk bertransaksi dengan QRIS / DailySocial

Menurut hasil elaborasi sejumlah responden, aplikasi mobile banking sudah otomatis terhubung dengan tabungan sehingga mereka tidak perlu top up dan mengeluarkan biaya administrasi. Tidak perlu repot mengunduh aplikasi e-money satu per satu, apalagi top up ke beberapa platform (jika memakai lebih dari satu).

Menariknya, kehadiran bank digital juga dinilai memberikan alasan kuat mengapa transaksi QRIS lebih digemari di aplikasi mobile banking. Menurut responden, fitur kantong dalam aplikasi mempermudah alokasi budget yang dapat dikhususkan untuk transaksi, seperti jajan makanan atau transportasi, tanpa mengganggu budget lain.

Sementara responden lainnya menilai transaksi QRIS melalui e-money menawarkan proposisi nilai yang mungkin tidak dimiliki mobile banking, yakni pembayaran dengan points atau rewards. Contohnya, aplikasi OVO. Secara experience pun, dompet digital dianggap lebih unggul karena proses login-nya lebih cepat dibanding mobile banking.

“Alasan lainnya, pengguna sudah terbiasa menggunakan e-moneyMerchant yang menerima QRIS dari e-money juga sudah lebih banyak. Selain itu, QRIS lebih sesuai untuk transaksi dengan nominal di bawah Rp500 ribu dan e-money dinilai pas untuk kebutuhan itu,” ungkap sejumlah responden.

Upaya edukasi

Elaborasi ini tampaknya cukup menjawab mengapa sebanyak 68,8% mengaku memperoleh informasi seputar QRIS dari platform pembayaran yang mereka gunakan sehari-hari. Sementara 60,9% menjawab dari merchant tempat mereka bertransaksi. Platform pembayaran dan merchant dapat menjadi sarana utama untuk mengedukasi pemakaian QRIS.

Menurut CEO BCA Digital Lanny Budiati, salah satu upaya untuk meningkatkan awareness kepada pengguna adalah lewat promo-promo menarik yang hanya didapatkan apabila bertransaksi di merchant dengan metode QRIS. Data perusahaan mencatat sekitar 10% dari total nasabah BCA Digital telah bertransaksi dengan QRIS dengan total volume mencapai Rp1 miliar sejak aplikasi blu dirilis pada 2 Juli 2021.

“Kami terus encourage para nasabah untuk menikmati kemudahan bertransaksi dengan QRIS. Kami juga siapkan konten edukasi di berbagai kanal media sosial terkait cara penggunaan hingga manfaatnya. Ke depan, BCA Digital akan terus mendorong pengembangan QRIS sesuai roadmap dari Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI),” papar Lanny kepada DailySocial.

Sementara, Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menilai bahwa segala macam teknologi baru tentu membutuhkan waktu lama untuk mendorong adopsinya. Ia mengaku optimistis adopsi QRIS akan cepat terserap mengingat tren pembayaran cashless semakin menjamur dalam satu tahun terakhir. Ditambah lagi, semakin banyak merchant dan aplikasi keuangan yang menyediakan fitur QRIS.

“Bank Neo Commerce akan aktif dalam melakukan edukasi finansial kepada masyarakat, tidak hanya familiarisasi terhadap fitur QRIS, tetapi juga gaya hidup digital secara aman dan nyaman,” ungkapnya kepada DailySocial.

ShopeePay Kini Menjadi Pilihan Metode Pembayaran di Google Play

Penyedia layanan pembayaran digital dibawah Sea Group, ShopeePay, mengumumkan integrasi dengan Google Play Store untuk mendukung tren pertumbuhan penggunaan layanan digital di Indonesia. ShopeePay kini bisa digunakan untuk transaksi berbagai kebutuhan gaya hidup digital seperti pembelian aplikasi, top up game, hingga berlangganan layanan Video on Demand (VOD).

Head of Strategic Merchant Acquisition ShopeePay Eka Nilam Dari mengungkapkan, “Kerja sama ini merupakan pencapaian inovasi terbaru dari ShopeePay dalam menyediakan solusi pembayaran digital yang terintegrasi, khususnya di platform kelas dunia seperti Google Play Store. [..] Dengan penawaran yang memuaskan dan akses yang tak terbatas akan transaksi pembayaran digital di dalam Google Play Store, kami harap kolaborasi ini dapat semakin mendorong antusiasme masyarakat terhadap transaksi digital.”

Pengguna hanya perlu menambahkan ShopeePay di menu metode pembayaran lalu memasukan pin ShopeePay atau konfirmasi melalui sidik jari/Face ID. Setelah berhasil diaktivasi, pengguna bisa mulai melakukan pembelian aplikasi di dalam Google Play.

Sebelumnya, GoPay sudah lebih dulu masuk sebagai metode pembayaran di Google Play sejak tahun 2019. Dengan strategi yang tidak jauh berbeda, kedua platform ini menawarkan nilai tambah berupa cashback yang bisa digunakan user untuk pembelian in-app dan aplikasi premium.

Selain menggunakan saldo Google Play, transaksi juga bisa melalui kartu Kredit/Debit serta tagihan ponsel. Namun, dilansir dalam rilisan pers Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat, untuk setiap pembelian aplikasi Google Play akan dikenakan tambahan pajak 10% dan biaya jasa sekitar 2%. Artinya, pengguna harus menyediakan saldo pulsa yang mencukupi sebelum bertransaksi di Google Play.

Peta pembayaran digital di Indonesia

Riset “Digital 2021” yang dikeluarkan We Are Social dan HootSuite mengungkapkan peningkatan jumlah masyarakat yang mengonsumsi layanan digital di Indonesia. Sebanyak 86,2% pengguna internet mengaku menggunakan aplikasi hiburan dan video, meningkat dari 83% di tahun sebelumnya. 60,4% mengaku menggunakan aplikasi mobile game, meningkat dari 59% di tahun sebelumnya.

Peningkatan tren ini mendorong integrasi ShopeePay dan Google Play Store untuk menyediakan akses pembayaran yang lebih aman dan menyeluruh, khususnya bagi pengguna Android yang mendominasi lebih dari 90% pasar smartphone di Indonesia.

Kehadiran teknologi dan digitalisasi di Indonesia mampu mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan alat pembayaran. Diakselerasi pandemi Covid-19, penggunaan uang tunai kini kian beralih menjadi pembayaran via digital.

Hasil survei konsumen secara online yang dilakukan oleh Snapcart selama kuartal pertama tahun 2021 menunjukkan ShopeePay sebagai platform pembayaran digital yang paling banyak digunakan (76%), disusul GoPay (57%), Ovo (54%), Dana (49%), dan LinkAja (21%).

Application Information Will Show Up Here

What Happens If Gojek to Merge with Grab

The rumor of potential merger between the two Southeast Asia’s giant on-demand players Grab and Gojek backs on air. After The Ken (paywall) and Tech InAsia (paywall), now The Information (paywall) also informed the “first talk” of the issue.

It was said that the management of the two companies had met over the past two years and had intensified in recent months, including news of a meeting between Grab’s President Ming Maa with Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo.

Furthermore, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

The basic question is why. Aren’t they both want to win the Southeast Asian market? The answer is clear. The key to domination is a monopoly and this is not one unique case.

“Burn Money” and profitable plans

In the last 4-5 years, the battle between players in this industry has been characterized by the “burning money” strategy for the sake of a very fast market acquisition. Despite having a very large market in Southeast Asia, both have not yet reached the point of a profitable business. With investor funds wearing down, by 2020 promos have been decreased, both companies have to “change the game”. They must reach the level of profitability and satisfy the investors.

Uber has made it in China, Russia, and Southeast Asia. The sense of being unable to compete created a win-win solution through acquisition – with significant value of shareholder as one condition. Didi in China was formed as a result of the merger of two big local players.

The rule of monopoly is to create one winner. As for the investors that back the company.

Monopolize Southeast Asian market has been quite delish
Monopolizing Southeast Asian market has been quite delish

Monopolizing the Southeast Asian market, the potential merger between Gojek and Grab has been quite delish. Both have dominated the on-demand transportation market, food delivery, and online payments (GoPay and Ovo). The value may be greater than the two companies combined (more than $ 20 billion).

Imagine if both of them monopolized the market. There is no longer a price war. There is only one cost that must be paid by consumers and it will not be cheap in order to achieve economic value. There are not many choices left (except taxis, but Blue Bird and Gojek have just agreed on a strategic alliance).

Competition is good for consumers, but not for the players in it. What happens if the position is reversed. No more competition?

A concrete case is when Didi acquired the Uber business in China in 2016. After the acquisition, Didi controlled 90% of the market. In 2018, a complaint often comes from the driver’s partner as their incentive declining.

On the other hand, consumers find it difficult to quickly get a vehicle and it comes with a higher price. The survey in 2017 stated that 81.7% of respondents believed that it was more difficult to get a vehicle than the previous year (when Uber was still operating), while 86.6% considered the price more expensive.

The challenges

There are three main challenges. First, is about ego. As fellow leading players, it’s not easy to combine both companies in one direction. There must be one dominant party. Solving this issue will be a crucial key.

The second is regulatory issues. Market monopoly in Indonesia is listed in the KPPU domain. Usually, this issue is not likely to escape the KPPU examination, but reflecting from other countries’ experience and other cases, as for example Grab acquisition of Uber business in Southeast Asian countries, it all leads to fines. There are no more severe sanctions than this.

The last challenge is on the stakeholders. This is related to driver-partners and consumers. The risk to occurs when there is no longer a competition is a decreasing number of driver-partners (imagine there is only one company on the road) and the service costs in line with the economic unit (read: more expensive as without subsidies).

The bigger question is not about whether Grab and Gojek can merge. The must-asked question is, are we ready to have our various needs of services monopolized by just one company. What would your answer be?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

The Integration of E-money and Apps Marketplace Resulting an Easy Access for Public Purchasing

The total credit card distribution as recorded in June 2019 is at 17.21 million. Debit cards available for online transactions are also limited. These two become the obstructions to all Indonesian users in buying or paying for digital products on the app market platform, such as Google Play and App Store.

The app market integration with local e-money platforms becomes an alternative to increase app purchasing. According to Bank Indonesia, in November 2019, the nominal for transactions using electronic money exceeded 16 trillion Rupiah, it’s 8 times higher from January’s record at less than 2 trillion Rupiahs.

Google Play was prior to collaborating with GoPay, while the App Store officially took a similar step with Dana this week.

GoPay quoted a huge number of transactions. The total expense of Indonesians spending on mobile apps in 2018 is to reach $313.6 million (more than 4.3 trillion Rupiah).

Based on iPrice’s data compilation, GoPay and Dana are on the top three positions for the largest monthly active users in Indonesia. The integration of both platforms with the app marketplace is likely to increase the consumption of digital products in Indonesia because Google Play and iOS App Store are worldwide’s two biggest marketplace(s) for applications.

Asia Pacific, including Indonesia, is a treasure market for Google Play’s app market, in terms of users and developers. App Annie noticed the significant growth in download and consumer spend rate. In 2017, the Asia Pacific Region has contributed over $11 billion of Google Play’s total income of $22 billion, in the games and dominating apps categories.

Consumer record download / App Annie
Consumer record download / App Annie

As quoted in App Annie’s report titled “State of Mobile 2020”, in terms of global gross app revenue, both Google Play and Apple’s App Store are improving. Google Play with 13.2% in the first quarter of 2019 (compared to the previous year), while the App Store made a similar increase by 19.6%.

Worldwide gross app revenue / AppIntentiv
Worldwide gross app revenue / AppIntentiv

If there is one thing to expect from the e-money integration with the app marketplace is the opportunities for local developers to have acceptance. The easy payment is to encourage the app development ecosystem growth.

With the average rate of $1-$2 per app, there shouldn’t be any obstacles for local consumers to pay for the digital content. This is a key to unlock the door to market education in order to support anti “digital products piracy”. Not only the applications and games, but also movies, music, and books.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

 

Integrasi Uang Elektronik dan Pasar Aplikasi Mudahkan Pengguna Indonesia Lakukan Pembelian

Data jumlah kartu kredit yang beredar pada tahun Juni 2019 ada di angka 17,21 juta. Jumlah kartu debit yang bisa digunakan untuk bertransaksi online juga masih terbatas. Dua hal ini yang selama ini menghambat pengguna di Indonesia untuk membeli atau membayar produk digital di marketplace aplikasi, seperti Google Play dan App Store.

Integrasi marketplace aplikasi dengan platform e-money lokal menjadi langkah alternatif menarik untuk menggenjot pertumbuhan pembelian aplikasi. Menurut data Bank Indonesia di bulan November 2019, tercatat nominal transaksi menggunakan uang elektronik mencapai lebih dari 16 triliun Rupiah, melonjak 8 kali lipat dibanding bulan Januari yang tercatat kurang dari 2 triliun Rupiah.

Google Play sudah lebih dulu hadir merangkul GoPay, sedangkan App Store mulai melangkah menggandeng Dana secara resmi minggu ini.

Data yang dikutip pihak GoPay cukup fantastis. Total pengeluaran masyarakat Indonesia untuk belanja aplikasi mobile tahun 2018 mencapai $313,6 juta (lebih dari 4,3 triliun Rupiah).

Menurut kompilasi iPrice, GoPay dan Dana merupakan top three untuk jumlah pengguna bulanan platform uang elektronik terbesar di Indonesia. Integrasi keduanya dengan marketplace aplikasi akan membuka peluang meningkatnya konsumsi produk digital di Indonesia, karena de facto Google Play dan iOS App Store merupakan dua marketplace aplikasi paling besar di dunia.

Asia Pasifik, termasuk Indonesia, merupakan pasar penting bagi ekosistem aplikasi di Google Play. Tidak hanya pengguna tetapi juga pengembang. App Annie mencatat adanya pertumbuhan signifikan pada pertumbuhan download dan consumer spend. Di tahun 2017 regional Asia Pasifik menyumbang lebih dari $11 miliar dari total $22 miliar pendapatan Google Play, dengan kategori games dan aplikasi yang banyak mendominasi.

Consumer record download / App Annie
Consumer record download / App Annie

Menurut laporan App Annie bertajuk “State of Mobile 2020”, secara global gross app revenue, baik Google Play maupun Apple App Store, mengalami peningkatan. Google Play mengalami peningkatan 13,2% di paruh pertama 2019 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sedangkan App Store meningkat 19,6% di paruh pertama 2019 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Worldwide gross app revenue / AppInventiv
Worldwide gross app revenue / AppInventiv

Salah satu yang diharapkan dari integrasi e-money dengan marketplace aplikasi adalah terbukanya peluang pengembang lokal untuk mendulang penerimaan. Kemudahan pembayaran menjadi pintu untuk mendorong tumbuhnya ekosistem pengembangan aplikasi.

Dengan rata-rata harga aplikasi berkisar antara $1-$2, seharusnya tidak ada lagi penghalang bagi konsumen lokal untuk membayar konten-konten digital yang diminatinya. Ini merupakan senjata paling ampuh mengedukasi pasar dalam membantu memerangi penggunaan “produk digital bajakan”. Tak hanya soal aplikasi dan permainan, tetapi juga film, musik, dan buku.

LinkAja Introduces New CFO and Plans for Series B Funding in 2020

The e-money platform LinkAja aims for doubling its business growth by next year. As the CEO, Danu Wicaksana said, the company has now acquired 40 million registered users per November 2019.

“We’ve seen the e-money industry is getting crowded next year. We’ll be more expansive, especially with the current achievement,” he said at the launching of LinkAja Outlook 2020, Tue (2/17).

In order to accelerate expansion, Wicaksana added, the company is to add more talents, from only 80 people in the beginning until now become 400 people on board, 250 of them are engineers.

In terms of service, LinkAja’s Chief Marketing Officer, Edward Kilian said there will be more “use case” development in 2020, including features/services for consumers and merchants. The latest one to be launched is LinkAja Syariah.

“The financial service must be around the wealth, loan, and protection product. Our use case development will be around that too and focused on transportation. For us, building a complete ecosystem is very important,” Kilian said.

LinkAja is to increase the number of cash-in corners which is currently reached 1 million. For the local ecosystem, the company will enter the 35 clusters in micro and ultra micro segment.

Post the commercial as an e-payment product in February, LinkAja is moving faster with the maneuver as a solution platform, not just an option.

Since its debut, LinkAja is targeting “mass and aspirant” market which is defined as the underbanked and unbanked segment looking at e-money as a solution for daily needs.

Some initiative use case as LinkAja’s main target is products related to daily usage, such as transportation, bill payment, and gas shopping.

In terms of product, LinkAja has secured 200 payment transactions for telco products, 400 bill payment transactions, 3,000 transactions for donation and religious building, 250 thousand offline merchants, 380 e-commerce partners, and also an option at 2,500 gas station.

In the transportation line, LinkAja is now available in Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, soon to be available in MRT Jakarta.

Based on Fintech Report 2019, Gopay has been the most used digital wallet with 83.3%, followed by Ovo (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The new CFO and fundraising plan

In the Outlook 2020 disclosure, Ikhsan Ramdan as the new Chief Financial Officer has ensured that Series B Funding is to be held next year.

“We’re still in the growth stage, and need funding to expand. Direction from our shareholder is to be open with private partners. It can be through partnership or capital injection,” he added.

Mentioning the strategy to burn money which also been adopted by some leading players, he emphasized on the company’s strategy that is going to be focused on the vision and mission, not the valuation for becoming unicorn,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

LinkAja Perkenalkan CFO Baru dan Siapkan Pendanaan Seri B di Tahun 2020

Platform uang elektronik LinkAja akan mengejar pertumbuhan bisnis hingga dua kali lipat tahun depan. Sebagaimana disampaikan CEO Danu Wicaksana, perusahaan kini sudah mengantongi 40 juta pengguna terdaftar per November 2019.

“Kami lihat industri e-money akan semakin marak tahun depan. Kami akan lebih ekspansif, terutama dengan pencapaian saat ini,” ujarnya saat membuka acara LinkAja Outlook 2020, Selasa (17/2).

Untuk mempercepat upaya ekspansi, ungkap Danu, perusahaan bahkan menambah jumlah SDM yang ada, dari 80 orang dari awal didirikan hingga sekarang mencapai 400 orang, dengan 250 di antaranya adalah engineer.

Sementara dari sisi layanan, Chief Marketing Officer LinkAja Edward Kilian menyebutkan akan ada pengembangan use case lebih banyak di 2020, termasuk fitur/layanan untuk consumer dan merchant. Salah satu yang akan diperkenalkan dalam waktu dekat adalah layanan LinkAja Syariah.

”Layanan finansial pasti berkutat pada produk wealth, loan, dan protection. Pengembangan use case kami akan mengikuti itu dan fokus di transportasi. Bagi kami, membangun ekosistem lengkap itu sangat penting,” ucap Edward.

LinkAja akan meningkatkan jumlah titik cash-in dari saat ini yang mencapai 1 juta titik. Untuk ekosistem lokal, perusahaan akan masuk ke 35 kluster di segmen mikro dan ultra mikro.

Pasca komersial sebagai produk pembayaran elektronik pada Februari lalu, LinkAja bergegas memulai manuver untuk menjadikan platform-nya sebagai solusi bukan sebatas opsi.

Sejak awal, LinkAja membidik pasar “mass and aspirant” yang didefinisikan sebagai segmen underbanked dan unbanked yang melihat e-money sebagai solusi untuk kebutuhan sehari-hari.

Sejumlah inisiatif use case yang menjadi sasaran utama LinkAja adalah produk yang penggunaannya berkaitan dalam kehidupan sehari-sehari, seperti transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian bensin.

Per November 2019, pertumbuhan Gross Transaction Value (GTV) atau nilai transaksi yang berputar mencapai 4,8 kali per bulan dibandingkan pada awal beroperasi di Februari 2019. Kemudian, pengguna aktif bulanan tumbuh mencapai 5,1 kali dan transaksi bulanan berkisar 4,7 kali dibanding Februari 2019.

Dari kategori produk, LinkAja telah mengantongi 200 transaksi pembayaran produk telekomunikasi, 400 transaksi pembayaran tagihan, 3.000 transaksi untuk donasi dan rumah ibadah, 250 ribu merchant offline, 380 mitra e-commerce, dan tersedia sebagai opsi pembayaran di 2.500 SPBU.

Dari lini tranportasi, saat ini LinkAja sudah bisa dipakai di Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, dan menyusul segera di MRT Jakarta.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

CFO baru dan rencana penggalangan dana

Pada paparan Outlook 2020, Ikhsan Ramdan yang didapuk sebagai Chief Financial Officer memastikan rencana penggalangan pendanaan Seri B yang akan dilakukan tahun depan.

“Kami masih tahap pertumbuhan, butuh modal untuk ekspansi. Arahan dari shareholder kami adalah membuka diri ke pihak swasta. Caranya bisa partnership atau injeksi capital,” ungkapnya.

Disinggung soal strategi bakar uang yang banyak dilakukan oleh pemain dominan, ia menegaskan bahwa strategi yang akan dijalankan perusahaan akan tetap mengacu pada visi dan misi perusahaan, yakni meningkatkan inklusi finansial.

Sementara Edward justru menilai bahwa LinkAja sebagai produk pembayaran memiliki posisi yang menguntungkan karena lebih netral. Ia mencontohkan bahwa LinkAja tersedia juga sebagai opsi pembayaran Gojek.

Kami bisa masuk lintas use case. Jadi kami tidak perlu bakar uang lebih banyak di posisi kami saat ini. Goal kami adalah bagaimana mencapai visi-misi perusahaan, bukan valuasi untuk menjadi unicorn,” tambahnya.

LinkAja Mulai Uji Coba Fitur Syariah

LinkAja kini mulai uji coba fitur LinkAja Syariah untuk sebagian penggunanya. Fitur ini terdapat di dalam aplikasi LinkAja, sehingga tidak menjadi aplikasi terpisah.

“LinkAja Syariah belum kami luncurkan, yang sekarang masih sedang testing,” terang CEO LinkAja Danu Wicaksana kepada DailySocial.

Danu menjelaskan, dalam fitur teranyarnya ini ada perbedaan perlakuan untuk penyimpanan dana (floating fund) yang di-top up pengguna menggunakan bank syariah yang berafiliasi dengan bank BUKU IV. Akad transaksi, produk, layanan, dan promosi sudah disesuaikan dengan ketentuan syariah.

Dipastikan seluruh merchant LinkAja bisa menerima pembayaran dengan LinkAja Syariah. Diskon dan cashback yang diberikan ke pengguna sepenuhnya ditanggung merchant, bukan LinkAja.

Oleh karena itu, dia memastikan, dari segi pengalaman konsumen tidak ada yang berbeda. Seluruh proses tersebut terletak di back end sistem untuk pengguna yang mengaktifkan fitur ini.

Tampilan LinkAja Syariah
Tampilan LinkAja Syariah

LinkAja juga menyediakan opsi untuk menonaktifkannya atau mengaktifkan kembali lewat tautan khusus. “Akan kembali ke normal, bila pengguna menonaktifkan fitur syariah.”

Untuk mengaktifkan fitur ini, pengguna bisa membuka tab “Akun”. Lalu buka bagian LinkAja Syariah, akan ditemukan tombol “Aktifkan”. Tidak perlu waktu lama, pada saat itu seluruh sistem LinkAja dari pengguna akan beralih sepenuhnya ke syariah.

Berencana galang dana eksternal

Dikutip dari Katadata, Danu menyebut akan menyelesaikan pendanaan Seri A pada akhir tahun ini. Pada tahun selanjutnya akan menggalang seri berikutnya dengan membuka opsi melibatkan investor eksternal.

“Belum tahu akan dari sektor mana saja, karena belum mulai,” kata Danu.

Sebelumnya, ia sempat mengatakan bahwa perusahaan tidak pernah menutup pintu bagi swasta yang ingin menjadi investor. “Kami terbuka dengan siapapun, kami tidak pernah bilang tidak mungkin swasta (bisa masuk). Kenapa tidak?,” katanya di sela-sela Perbanas Indonesia Banking Expo 2019, Rabu (6/11).

Saat ini, ada sekitar delapan BUMN yang tertarik berpartisipasi dalam pendanaan Seri A yang tengah digalang, termasuk Garuda Indonesia, Angkasa Pura I & II, Pegadaian, Taspen, Jasa Marga, Kereta Api Indonesia, dan Perum Damri. Seluruh calon ini akan masuk melalui penerbitan saham baru.

Saat ini 25% saham LinkAja dikuasai Telkomsel. Bank Mandiri, BNI, BRI masing-masing memegang 20%. Lalu BTN dan Pertamina masing-masing 7%, dan Asuransi Jiwasraya 1%.

Application Information Will Show Up Here