Tips dan Hal-Hal yang Harus Dihindari untuk Mendapatkan Penghasilan dari Media Sosial

Di era digital seperti sekarang, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang, termasuk memonetisasi akun media sosial yang kita punya. Monetisasi media sosial juga merupakan pilihan yang tepat jika Anda merupakan seorang influencer atau content creator.

Apa Itu Monetisasi Media Sosial?

Monetisasi media sosial adalah proses memperoleh penghasilan dari audiens akun media sosial yang dimiliki. Memperoleh penghasilan dari media sosial ini sangat memungkinkan, terutama untuk Anda yang memiliki banyak pengikut aktif dan terbiasa berinteraksi dengan para pengikut Anda.

Lalu, bagaimana cara memulainya? Dan adakah tips untuk melakukan social media monetization ini? Untuk menjawab rasa penasaran Anda, Myre Gustam, Country Manager Impact.com membagikan informasi terkait topik ini yang selengkapnya akan dipaparkan secara lengkap pada artikel ini. Jadi, pastikan Anda membacanya hingga selesai!

Mengapa Monetisasi Media Sosial Itu Penting?

Monetisasi adalah cara seorang content creator mendapatkan penghasilan. Namun, menurut keterangan Myre, monetisasi bukanlah hal yang utama dalam bersosial media, melainkan konten itu sendiri.

“Media sosial adalah ruang di mana bersosialisasi dan keterlibatan komunitas terjadi. Pembuat konten membawa nilai ke ruang ini melalui konten yang bermanfaat dan menarik yang bermanfaat bagi audiens mereka,” ujar Myre.

Konten telah menjadi sarana hiburan dan informasi dari banyak pengguna media sosial. Untuk itu, idealnya, monetisasi dilakukan dengan tetap menghadirkan konten yang menghibur dan memberikan informasi lebih untuk audiens.

Strategi Membangun Akun Media Sosial yang Layak untuk Dimonetisasi

Pada dasarnya, setiap akun media sosial yang Anda miliki berpotensi untuk menghasilkan uang untuk Anda. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun akun media sosial tersebut agar nantinya layak untuk dimonetisasi.

Pertama, identifikasi tujuan awal. Media sosial memang merupakan salah satu platform untuk mencari hiburan. Namun, jika ingin mulai mendapatkan penghasilan dari media sosial, maka pastikan Anda menentukan goal yang akan dicapai di awal. Goal ini bisa berupa membangun branding, membangun komunitas, atau meningkatkan engagement dengan target audiens Anda.

“Anda harus terlebih dahulu mengidentifikasi tujuan yang ingin Anda capai bersama dengan target audiences Anda untuk memahami pendekatan yang perlu Anda lakukan dengan social media campaign Anda nantinya,” kata Myre.

Selain goal, Myre juga mengatakan bahwa memiliki keunikan dan gaya tersendiri sangat penting bagi sebuah akun media sosial. Gaya dan keunikan ini akan membantu menarik audiens dengan minat yang sama dan memudahkan Anda mengembangkan strategi social media campaign yang cocok untuk audiens Anda.

Haruskah Memiliki Followers yang Banyak untuk Monetisasi Media Sosial?

Kemampuan untuk menjangkau audiens dalam jumlah besar adalah salah satu keunggulan yang dapat memudahkan Anda dalam monetisasi media sosial. Namun, terkadang, jumlah tidak selalu menjadi hal yang penting asalkan Anda menjangkau audiens yang tepat.

“Audiens yang besar tidak selalu menghasilkan hasil terbaik untuk brand,” ujar Myre.

Ia juga memaparkan bahwa saat ini tidak jarang brand lebih terbuka untuk bekerja sama dengan nano influencers/content creators (<10K pengikut) dan micro influencers/content creators (10K-75K pengikut). Meski memiliki pengikut dengan jumlah sedikit, nano influencers tetap memiliki kemampuan untuk mempengaruhi audiensnya.

“Sementara selebritas memiliki jangkauan yang lebih luas, pembuat konten yang lebih kecil lebih unggul dalam hal keterlibatan yang berdampak karena mereka cenderung memiliki hubungan yang erat dengan komunitasnya. Jadi, menjangkau audiens tidak hanya tentang mendapatkan lebih banyak perhatian, tetapi juga benar-benar menarik dan terhubung dengan audiens yang tepat,” lanjutnya.

Tips Dalam Monetisasi Media Sosial

Dalam memonetisasi media sosial, Myre juga menyampaikan beberapa tips yang perlu diperhatikan. Di antaranya mengenai personal branding dan bagaimana Anda sebaiknya terhubung dengan brand.

Be Authentic

Hal pertama yang disebutkan Myre ketika berbicara mengenai tips menghasilkan uang dari media sosial adalah menjadi otentik. Menunjukkan diri sendiri dan konten secara otentik akan memudahkan Anda untuk membangun hubungan dengan audiens.

“Saya pikir hal pertama yang harus diperhatikan oleh content creators atau influencers adalah apakah mereka membuat konten dan menampilkan diri mereka secara otentik atau tidak. Membangun hubungan dan kepercayaan dengan audiens mereka adalah kunci untuk kesuksesan dalam pertumbuhan.”

Pahami Value

Menurut Myre, monetisasi sebaiknya dilakukan bersama brand yang memiliki value yang sama. Maka dari itu, sebaiknya Anda sendiri memahami value apa yang ingin Anda pegang dan sebarkan melalui konten atau personal branding.

“Memilik gambaran yang jelas akan value mereka akan memudahkan proses penyelarasan dengan klien atau brand,” ujar Myre.

Myre juga menegaskan bahwa umumnya brand akan senang bekerja sama dengan seseorang yang bersemangat di bidang yang menjadi ketertarikannya.

Monetisasi yang berorentasi pada tujuan, seperti meningkatkan traffic bisnis atau penjualan, adalah salah satu jenis monetisasi yang direkomendasikan oleh Myre dibandingkan monetisasi yang berfokus pada jumlah likes, komentar, dan shares

Ketika content creators dan influencers memiliki value yang sama, maka akan lebih mudah bagi keduanya mencapai tujuan yang diinginkan.

Ketahui Angka dan Data

Angka dan data hasil analisis adalah hal yang penting bagi seorang content creator ataupun influencer. Mengapa? Karena analisis dan data menjadi alat negosiasi terbaik yang bisa digunakan oleh content creators dan influencers dalam membangun kerjasama dengan brand.

Selain sebagai laporan dari performa kerjasama sebelumnya, analisis dan data ini juga penting bagi brand karena memudahkan brand dalam melacak kinerja kolaborasi yang dlakukan.

“Itulah sebabnya brand akan sering beralih ke teknologi untuk mengelola pemasaran influencer mereka karena kesuksesan sering kali diinformasikan oleh data. Selain itu, content creator yang memiliki pemahaman yang kuat tentang data mereka sendiri juga akan memiliki keunggulan meyakinkan merek untuk bekerja dengan mereka,” jelas Myre.

Permudah Akses dengan Brand

Selain menjadi otentik serta memahami value dan data, jangan lupa untuk membuka akses untuk terhubung dengan mudah kepada brand. Faktanya memang ketika content creators atau influencers telah berhasil membangun komunitasnya, akan mudah bagi mereka untuk mulai bekerja sama dengan brand. Namun, bagaimana cara brand dan influencers dapat terhubung?

“Jangan hanya menunggu kesempatan datang, terutama ketika ada banyak program afiliasi dari berbagai brands yang bisa Anda pilih,” ujar Myre.

Alih-alih hanya menunggu hingga brand menemukan Anda, sebaiknya Anda juga secara aktif mempermudah akses brand kepada Anda dengan bergabung ke media partner seperti Impact.com.

Dengan bergabung dengan platform seperti impact.com, konten, audiens, dan metrik penting lainnya akan dapat dilhat oleh berbagai brand dan dijadikan pertimbangan untuk melakukan kerja sama. 

Ketika akhirnya brand berhasil menjangkau dan terhubung dengan Anda, selanjutnya brand akan menentukan tipe monetisasi terbaik untuk Anda.

Hal-Hal yang Harus Dihindari Dalam Monetisasi Media Sosial

Bagi Anda yang tertarik untuk mulai mendapatkan penghasilan dari akun media sosial Anda, Anda juga perlu memperhatikan serta menghindari hal-hal berikut ini.

Bekerja Sama dengan Brand yang Berbeda Value

Seperti yang telah disebutkan di atas, bekerja sama dengan brand yang memiliki core value yang sama akan memudahkan baik influencer dan brand mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk menghindari ketidaksesuaian antara produk atau jasa yang ditawarkan dengan target audiens, influencer atau content creator dapat melakukan sedikit riset mengenai brand tersebut sebelum mulai bekerja sama.

“Hal ini dapat diminimalisir dengan sedikit riset tentang brand sebelum menandatangani kerjasama. Lagi pula, Anda tidak ingin bekerja untuk tujuan yang tidak Anda yakini, atau menjual produk dan layanan yang tidak relevan dengan citra dan target audiences Anda,” jelas Myre.

Berkolaborasi dengan Brand yang Tidak Memiliki Infrastruktur Memadai

Selain value, pastikan juga brand yang akan bekerja sama dengan Anda memiliki infrastruktur untuk berkolaborasi yang memadai. Salah satu contoh infrastruktur yang tidak memadai di sini adalah dokumen syarat dan kesepakatan yang memiliki objectives kurang jelas.

Meski terdengar sepele, namun hal ini nantinya dapat berkembang menjadi masalah yang lebih besar, termasuk dalam mendapatkan bayaran yang adil dan tepat waktu.

“Salah satu cara terbaik untuk melindungi kepentingan tersebut adalah bekerja dengan jaringan dan platform yang akan menguraikan sifat hubungan bisnis dengan jelas sambil menghubungkan Anda ke brand yang tepat untuk media sosial Anda.”

Ternyata untuk mulai mendapatkan penghasilan dari media sosial terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan dihindari, termasuk dalam membangun akun media sosial itu sendiri.

Menjadi otentik, memahami value dan membuka akses kepada brand adalah tiga hal yang paling ditekankan oleh Myre. Bagaimana? Tertarik mulai menerapkan tips di atas untuk menghasilkan uang dari media sosial?

“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

SHAREit Indonesia: Menyeimbangkan Pengalaman Pengguna Jadi Strategi Krusial saat Monetisasi Konten Digital

Di tengah pandemi, tren peningkatan konsumsi konten digital terbentuk akibat kebiasaan-kebiasaan baru yang dilakukan masyarakat. Menurut beberapa riset, salah satunya e-Conomy SEA 2020, sektor online media masih disorot memberikan sumbangsih besar untuk GMV ekonomi digital nasional. Di tahun 2020 nilainya diperkirakan $4,4 miliar atau setara 61,7 triliun Rupiah.

Untuk membahas hal ini lebih jauh, DailySocial berkesempatan secara mewawancara Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi. SHAREit adalah salah satu platform penyedia konten digital global yang juga sudah menjangkau 200 negara.

Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit
Country Sales Director SHAREit Indonesia Aat Pangestu Hadi / SHAREit

Mengawali perbincangan, Aat memaparkan, perubahan perilaku yang terjadi di tengah pembatasan sosial akibat Covid-19 cukup berpengaruh pada peningkatan konsumsi aplikasi. Di SHAREit sendiri, ia melihat peningkatan yang cukup signifikan dari layanan transfer data dan konsumsi video. Bahkan kondisi tersebut juga berhasil membentuk audiens baru dari kalangan yang mungkin sebelumnya tidak terlalu intensif dalam mengonsumsi konten digital.

Lockdown membuat masyarakat harus memenuhi kebutuhan konsumsi dan hiburannya secara online, [hampir] semua kegiatan ekonomi offline dilarang atau dibatasi. Orang yang tinggal di rumah harus mengambil bentuk hiburan lain dan melawan kebosanan yang dibawa oleh virus, yang dalam arti merangsang sejumlah besar hiburan online dan lonjakan permintaan konsumen,” ujarnya.

Tahun 2021, ia cukup optimis bahwa permintaan konten digital masih akan terus meningkat. Untuk itu, bagi perusahaan penyedia konten harus bisa memaksimalkan momentum, salah satunya dengan tetap menjaga kualitas, membawa nuansa yang lebih lokal, dan memberikan pengalaman yang apik di aplikasi.

“Kami melihat peningkatan waktu dan permintaan konsumsi konten yang terus meningkat, tapi kami yakin tidak ada yang mau menonton video yang membosankan dan berulang-ulang. Artinya, persyaratan dan standar produk konten juga akan meningkat bersamaan dengan itu,” jelas Aat.

Strategi monetisasi yang relevan

Jumlah pengguna internet yang terus bertambah dan konsumsi digital yang tinggi nyatanya tidak menjamin para pelaku pasar meraup untung. Ada beberapa perusahaan atau startup yang justru mengalami turbulensi di tengah pandemi – terlebih bagi model bisnis yang lamban dalam bertransformasi.

Aat pun turut melihat hal tersebut. Di tengah peningkatan konsumsi, tidak hanya melahirkan peluang, namun juga tantangan yang cukup besar pagi pelaku industri. Lantas, ketika disinggung tentang strategi monetisasi yang paling relevan saat ini, menurutnya ada beberapa variabel yang harus dilihat.

“Untuk monetisasi konten, pasar Indonesia memiliki banyak variabel yang terlibat dan sangat dinamis. Di SHAREit, pengalaman pengguna selalu menjadi perhatian pertama kami, pendekatan yang paling sesuai dan relevan akan didasarkan pada minat konten. Karena hanya ketika pengguna memiliki loyalitas dan rasa kepercayaan kepada produk, brand yang direkomendasikan dapat memenangkan hati pengguna dan membawa klien mencapai dampak yang mereka inginkan,” jelas Aat.

Ia melanjutkan, “Kami menghabiskan banyak waktu dan investasi untuk mempelajari kebutuhan konten dan konsumsi pengguna lokal di Indonesia, termasuk kultur dan kebiasaan pengguna di pasar tersebut, untuk menjawab ‘bagaimana cara membuat SHAREit dan layanan monetisasi bisnis kami lebih cocok untuk pasar lokal?’. Karena, hanya dengan memenuhi poin ini kami dapat mencapai komersialisasi yang sukses. itulah sebabnya kami memperkerjakan banyak tim lokal.”

Selain itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan pengalaman pengguna dan monetisasi konten. Dalam strategi yang disusun bersama perusahaan, ia tidak menganjurkan metode “langsung dan kasar” untuk menghasilkan uang — misalnya melakukan kampanye iklan yang terlalu mencolok dan berlebihan. Pelaku bisnis perlu mengeksplorasi proposisi yang pas sembari menghadirkan cara yang memuaskan untuk mengakomodasi kebutuhan mitra bisnis.

“Bagi pengguna, penggambaran cerita brand yang dapat dipercaya dan cara rekomendasi yang tepat, tidak akan merusak pengalaman mereka. Dan untuk mitra bisnis, basis pengguna yang kuat dan kepercayaan pengguna menjadi favorit mereka.”

Pentingnya pelokalan

Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit
Aplikasi SHAREit tawarkan berbagai jenis konten hiburan / SHAREit

SHAREit adalah aplikasi yang menyajikan beragam konten digital, mulai dari video, game, musik, dan lain-lain. Pangsa pasarnya di negara berkembang, dengan basis pengguna terbesarnya di Indonesia. Untuk mitra bisnis, mereka pemilik bisnis mempromosikan brand mereka dengan pendekatan unik melalui fitur-fitur di aplikasi.

Di sini, SHAREit juga sudah memiliki tim lokal untuk di berbagai lini, termasuk komersial, konten, dan pengembangan bisnis. “Kami percaya langkah pertama pelokalan adalah memahami dan menghormati budaya, humaniora, kondisi industri, kebiasaan komunikasi pasar lokal, dll., Dan tidak ada cara yang lebih efektif dan efisien daripada mendirikan kantor lokal secara langsung.”

“Di satu sisi, kami memiliki pemahaman yang baik tentang budaya dan peraturan bisnis Indonesia melalui karyawan lokal kami. Di sisi lain, kami mendorong perkembangan dan persaingan industri yang lebih baik. Melalui karyawan lokal ini, kami juga dapat membuat pasar Indonesia mengenal SHAREit lebih baik. Pelokalan selalu saling menguntungkan,” imbuhnya.

Diklaim pertumbuhan bisnis SHAREit konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Terakhir, aplikasi tersebut menempati peringkat pertama di Google Play beberapa negara untuk kategori Tools, termasuk Indonesia. Salah satu konten yang diminati adalah video berkualitas tinggi dengan bahasa lokal, terutama bergenre komedi.

Aat meyakini, tahun ini akan menjadi waktu yang krusial bagi seluruh industri konten digital. Pandemi berhasil mendorong perkembangan industri konten lokal hingga taraf tertentu. Tahun 2021 dampak dari rangsangan ini akan semakin nyata. “Bagi SHAREit, cara cepat memenangkan kepercayaan pengguna dan mitra bisnis, serta mengembangkan strategi Indonesia dan global selama periode ini akan menjadi poin utama kami. Membuat konten digital dapat diakses oleh semua orang selalu menjadi tujuan untuk dikejar.”


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Monetisasi Pengembang Aplikasi Mobile di Tengah Hingar Bingar Bisnis Berbasis Layanan

Jika kita melihat ke belakang sekitar 10 tahun yang lalu, ketika pertumbuhan startup digital masih di tahap yang sangat awal, pengembangan aplikasi mobile menjadi salah satu bisnis yang memulai tren startup. Model aplikasi hiburan, aplikasi permainan, aplikasi produktivitas banyak ditemukan dari pengembang lokal sebagai basis bisnis. Namun sekarang keadaannya sudah sangat berbeda. Startup baru umumnya mengusung sistem bisnis berbasis layanan, sangat jarang yang menjual kreasinya dalam bentuk aplikasi. Terlebih saat kita melihat startup yang berada di top level.

Kendati demikian sejatinya ekosistem pengembang aplikasi mobile tersebut masih ada, dan terus berkreasi. Nama-nama aplikasi seperti PicMix, Catfiz atau liteBIG masih berkarya sampai saat ini. Mereka memulai debutnya sejak platform “BlackBerry berjaya”, era baru perubahan habit pengguna ponsel menuju smartphone. Artinya dengan kualitas produk yang apik, inovasi berbasis aplikasi tersebut membuktikan dirinya masih mampu bertahan dengan bisnis proses yang bergantung pada kreasinya dalam mobile app.

DailySocial mencoba mengulas kembali tentang model bisnis yang saat ini diterapkan oleh para pengembang aplikasi mobile. Kami berdiskusi bersama beberapa pengembang aplikasi dengan beragam karakteristik, baik dari sisi bisnis, jenis aplikasi hingga model monetisasi yang diterapkan.

Didominasi oleh pengembang aplikasi permainan

Ketika berbincang soal bisnis atau pengembangan yang memfokuskan pada “menjual aplikasi”, kategori permainan (game) saat ini paling banyak diminati oleh mobile app developer lokal. Dari data narasumber yang berhasil kami himpun, mulai dari indie developer hingga startup, minat unduhan untuk aplikasi permainan menunjukkan angka statistik yang cukup memuaskan. Dari para pengembang, sebagian besar dari mereka menunjukkan data bahwa aplikasinya telah diunduh lebih dari 30 ribu kali, bahkan sudah ada yang menembus hingga puluhan juta.

Dari pengakuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peminat aplikasi lokal sejatinya masih banyak. Masih ada ekosistem konsumen yang besar untuk para pengembang aplikasi mobile. Tantangannya justru sekarang pada monetisasi, sehingga aplikasi tersebut dapat memberikan keuntungan secara finansial kepada pengembang untuk menyelaraskan laju bisnis. Saat ini ada beberapa opsi yang umum digunakan untuk monetisasi aplikasi, baik oleh indie developer ataupun startup. Mulai dari model bisnis freemium, ads-placement hingga aplikasi berbayar.

Iklan masih diandalkan sebagai pemasukan

Saat diskusi tentang bagaimana mereka membisniskan aplikasi, model iklan digital mendominasi jawaban, disusul oleh model freemium, in-app purchase hingga brand placement. Pemilihan model iklan diungkapkan oleh para pengembang karena pasar Indonesia dinilai belum siap dengan B2C (Business to Consumer).

Muhamad Nur Awaludin dari Kakatu mengungkapkan masih tertanam kuat mindset “ketika ada yang gratis, buat apa bayar, untuk harga murah sekalipun”.

Pemasangan iklan pun juga bukan berarti tanpa tantangan. Beberapa pengembang mengaku bahwa ia dihadapkan pada kesadaran konsumen yang rendah terkait strategi monetisasi ikalan tersebut, salah satunya Anwar Fuadi pengembang game dari Madura. Ia mengatakan konsumen umumnya acuh dan tidak peduli dengan iklan tersebut sebagai pemasukan pengembang, sehingga banyak yang memberikan masukan untuk menghilangkan iklan. Taruhannya pada rating aplikasi. Di sini para pengembang harus berpikir keras untuk menempatkan iklan sesuai dengan porsinya.

Di sisi implementasi, iklan digital memang yang paling mudah. Jika harus menetapkan aplikasi berbayar, maka kualitas produk harus teruji betul. Ketika menerapkan premium, maka dari awal aplikasi harus memiliki digital item menyesuaikan flow aplikasi yang dirancang. Menyasar B2B (Business to Business) maka pengembang harus memiliki proses bisnis yang jelas.

Beberapa yang menyajikan konten premium merasa bahwa diperlukan energi lebih besar untuk memberikan edukasi kepada pasar. Target pasar untuk pengguna premium sedikit berbeda. Begitupun untuk in-app purchase. Proses optimasi dan desain agar konversi dari player ke purchase tinggi menjadi tantangan para pengembang.

Di mata pengembang, mereka banyak yang menilai ekosistem aplikasi mobile (khususnya untuk karya lokal) belum begitu matang, bahkan dikatakan merangkak. Namun di sisi lain, berkat tren baru dari industri digital, seperti e-commerce dan on-demand, ada sebuah kesempatan bisnis yang baik. Masyarakat semakin aware dengan mobile payment, kanal pembayaran semakin luas, artinya memberikan kesempatan bagi produk premium untuk mudah diterima oleh masyarakat.

Dukungan yang dibutuhkan untuk pengembang aplikasi lokal

Mulai dari dukungan pemerintah, investor, media, dan berbagai kalangan lain sangat ditunggu para pengembang aplikasi mobile lokal. Selain terkait dengan promosi dan edukasi pasar, menurut Adam Ardisasmita dari Arsanesia, banyaknya pagelaran (baik berupa kompetisi, workshop, hingga inkubator) sangat berarti untuk menumbuhkan pengetahuan mereka, baik dari sisi teknis pengembangan maupun berbagai hal lain yang perlu mereka perhatikan untuk mempertahankan bisnisnya.

Salah satu pengembang game Tebak Gambar Irwanto Widyatri mengatakan hal lain terkait dukungan, menurutnya penting adanya pihak yang mampu mengurasi aplikasi dan melakukan hubungan dengan brand potensial. Hal ini akan membantu pengembang menemukan alur bisnis yang lebih mapan dan memiliki sinergi yang baik dari sisi penyampaian konten dan iklan.


Randi Eka terlibat dalam penulisan artikel ini

MilaMili Facilitates Product Marketing through Online Catalogue

As e-commerce market in Indonesia getting more and more crowded, it becomes a challenge for the players within, especially when there are more and more products offered by a brand. Therefore, MilaMili serves as a bridge between brand and endorser so that they may collaborate in producing a collection that tells stories, in form of online catalogue, in order to inspire buyers while purchasing items they deserve. Continue reading MilaMili Facilitates Product Marketing through Online Catalogue

Ohdio and Tees Present E-Commerce Service at Ohdio’s Themed Music Sites

Ohdio keeps experimenting in order to scale up its brand value in 2015. After building a number of niche music sites with certain themes, the platform now jumps into a partnership with Tees by establishing a themed e-commerce segment at LaguGalau, Lagu70an, Lagu80an, Lagu90an, and Musikselamanya. The service is best accessed through desktop. Continue reading Ohdio and Tees Present E-Commerce Service at Ohdio’s Themed Music Sites

[DS Notes] Documents Show How Line Makes Its Money

The Next Web got its hands on a document which reveals what some of us have been suspecting for a while with regards to the company’s revenue. People are generally aware that Line makes its money from selling stickers but most don’t realize that companies and organizations with official accounts on Line must pay a periodical fee and that they also have to pay for every text message sent and received through their accounts. Corporate stickers are also a major source of income for Line which charges more than USD 30,000 publishing fee per pack. Maybe they also charge celebrities and other public figures? Read the full story on The Next Web for more details.

Aplikasi Mobile Berbayar Meraup Lebih dari 8 Miliar Dolar pada 2012

Lembaga riset pasar Research2Guidance baru-baru ini merilis laporan mengenai angka penjualan aplikasi mobile berbayar di lima application store teratas. Lima application store teratas ini adalah Apple App Store, Google Play, BlackBerry App World, Nokia Ovi Store, dan Windows Phone Store. Aplikasi-aplikasi berbayar di kelima application store tersebut, menurut Research2Guidance, berhasil mencatatkan angka penjualan hingga lebih dari 8 miliar dolar AS selama tahun 2012, meningkat 27% dari pendapatan tahun 2011.

Continue reading Aplikasi Mobile Berbayar Meraup Lebih dari 8 Miliar Dolar pada 2012

[Manic Monday] Your Fans Are Your Monetization Strategy [Part 2]

I’m revisiting this article simply because it just touched the surface on how fans of any type of creative content, which could be movies, music, games, software and so on. The decentralized nature of the internet has helped make a lot of things simpler – production, aggregation, distribution, payment – and many internet-based services can help you with these needs cheaply or even for free. The trick is, since every creative content is unique and probably has a similarly unique fan base or consumer segment, you need to come up with the business strategy behind it yourself.

Continue reading [Manic Monday] Your Fans Are Your Monetization Strategy [Part 2]

[Manic Monday] Your Fans Are Your Monetization Strategy

I come from a corporate background, but somehow I really hate the word ‘monetization’. The word is somehow soulless in its way that categorizes everything into things that can make money for you, and things that cannot. As if, the merit of a certain idea, creation, program, strategy, or product, solely depends on how it can make money for you. And the people who are the object of monetization – the consumers – are somehow treated just as a factor, that they would mindlessly spend money for no reason. But of course, this is all in my head. The ‘monetization’ term is not a greedy capitalist term, but it’s a business term that we should get used to.

Continue reading [Manic Monday] Your Fans Are Your Monetization Strategy