Mengintip Proses Produksi Konten Pembelajaran Pemrograman Online

Ramai-ramai mempelajari hal baru adalah salah satu dampak selama pandemi setengah tahun terakhir ini. Beberapa laporan dan survei menyebutkan masyarkat mulai peduli tentang pengembangan kemampuan di masa-masa sulit seperti sekarang. Gayung bersambut, industri edtech di Indonesia sedang tumbuh subur.

DailySocial berkesempatan mengintip bagaimana proses produksi konten dua penyedia layanan belajar online Kode.id dan Dicoding. Keduanya sama-sama berada di segmen pengguna yang sama, coding atau programming dan teknologi.

Kode.id (Kode), yang merupakan bagian dari Hacktiv8, saat ini sudah memiliki 165 kelas dengan total pembelajaran lebih dari 305 jam. Ada 70% konten Kode yang diproduksi secara mandiri, namun ada beberapa yang diproduksi bekerja sama dengan Production House.

“Hacktiv8 Indonesia memiliki in-house production team yang memproduksi konten setiap harinya. Tidak hanya in-house team, tetapi studio dan perlengkapan shooting produksi pun dijalankan secara mandiri. Namun, dengan adanya penambahan konten yang pesat, kami pun mulai berkolaborasi dengan production house lokal untuk memproduksi kelas di Kode.id,” terang Founder Kode.id Ronald Ishak.

Kode.id saat ini memiliki tiga tahapan yang harus dilalui untuk memproduksi sebuah konten atau kelas. Tahap pertama dimulai dengan perancangan dan desain materi pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan produksi kelas, seperti shooting dan editing. Tahapan ini ditutup dengan proses quality assurance atau review. Semua tahapan ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 minggu.

“Ada dua jenis review atau QA yang dilakukan: Content QA dan Production QA. Content QA dilakukan dengan cara melihat dan mengevaluasi materi, meliputi relevansi dengan dunia kerja, penggunaan teori yang tepat, penggunaan study case dan contoh untuk mengilustrasikan suatu topik. Sedangkan, Production QA berfokus kepada produk audio visual yang akan diterbitkan di platform Kode.id, meliputi cross check audio leveling, evaluasi kualitas gambar, konsistensi dalam editing, dan lain-lain,” lanjut Ronald.

Proses serupa juga berlaku di Dicoding. Sebagai salah satu pionir platform pembelajaran pemrograman di Indonesia, semua konten pembelajaran mereka, dasar sampai mahir, diproduksi sendiri secara in-house.

Prosesnya dimulai dengan menentukan atau mendesain alur belajar yang hendak diterbitkan, kemudian membuat daftar apa saja yang akan dibuat. Daftar ini kemudian dikonsultasikan dengan pihak eksternal (expert) untuk selanjutnya dituangkan dalam modul atau tulisan. Selanjutnya proses ditutup dengan multi layer review yang memastikan kaidah penulisan, kualitas materi, referensi, dan lainnya agar sesuai dengan standar kualitas yang mereka miliki.

Semua proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan,” sambung Founder Dicoding Narenda Wicaksono.

Amanda Simandjuntak, Co-Founder Skilvul, menambahkan tentang apa yang ada di balik produksi konten mereka. Menurutnya, setiap konten atau kelas yang ada di dalam Skilvil diproduksi mandiri bersama dengan beberapa kreator konten yang merupakan praktisi di industri.

Ada beberapa tahap dalam pengembangan kelas dalam Skilvul, termasuk adalah riset tentang materi dan survei ke hiring partner dan industri. Langkah ini dilanjutkan dengan pengembangan dan review. Kelas akan tetap diawasi agar tetap relevan dengan kebutuhan.

“Untuk saat ini, karena masih kelas dasar, rata-rata waktu penyelesaian per kelas adalah 1 minggu. Untuk kelas yang lebih advanced [akan di-launch bulan depan] akan memakan waktu lebih lama,” terang Amanda.

Menjaga kualitas

Saat ini konten materi pembelajaran, terutama pemrograman, sudah tersedia di banyak tempat. Baik yang berbayar maupun yang gratis. Kode dan Dicoding paham betul hal tersebut. Itu mengapa tak masalah produksi konten memakan waktu yang lama, karena yang utama adalah kualitas konten yang diberikan.

Proses menjaga kualitas ini dimulai sejak pertama kali memutuskan untuk membuka kelas. Kode, dari penuturan Ronald,  memilih untuk membuat kelas yang relevan dengan dunia kerja dan dapat diterapkan. Hal ini dikombinasikan dengan instruktur yang passionate di bidangnya.

Sementara Dicoding memulainya dengan melakukan riset, kemudian melihat ketersediaan expert yang dapat diandalkan secara in-house untuk kelas baru tersebut. Tak lupa mereka melihat kebutuhan industri dan permintaan pengguna.

Di Skilvul, karena menargetkan anak SMK dan kuliah, perusahaan mengamati bahasa pemrograman apa yang banyak dipakai di industri.

Bekraf Game Prime 2019 Siap Digelar, Beri Panggung Developer Game Lokal Unjuk Gigi

Bekraf Game Prime 2019 kembali digelar untuk keempat kalinya, tepatnya tanggal 13-14 Juli 2019 di Jakarta. Bekraf bekerja sama dengan Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan portal berita esports GGWP.id dalam menggelar pameran game tahunan terbesar di Indonesia ini.

“Saat ini game bukan hanya sekadar hiburan, melainkan dapat menjadi alat edukasi, periklanan bahkan bisa memberikan kontribusi dalam ekonomi nasional. Selain itu, industri game telah menjadi salah satu profesi baru dengan jenjang karier yang jelas,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari, Jumat (5/7).

Pihaknya telah menyiapkan 50 game developer dalam negeri yang sudah terkurasi untuk unjuk game terbaru mereka, sampai turnamen esports. Tak hanya buka booth, mereka akan berbagi pandangan terkait industri game serta jenjang kariernya di sana. Harapannya akan semakin banyak talenta muda yang tertarik terjun.

Menurut Presiden AGI Narenda Wicaksono, banyak developer lokal yang berbakat tapi jauh dari radar publikasi. “Semua game developer terbaik di sini akan berkumpul, mereka bisa saling berkolaborasi dan memperkenalkan produknya. Inginnya yang datang bisa terinspirasi untuk buat game,” katanya.

Game developer yang diajak Bekraf untuk unjuk gigi ini sekitar 10% di antaranya datang dari luar Jawa. Ini memperlihatkan bahwa game yang mereka hasilkan punya kualitas yang tidak kalah dengan game developer di dalam Jawa.

“Kami lakukan kurasi bukan dari lokasi tapi lihat kualitasnya. Ketika melihat hasilnya, ternyata ada partisipan dari luar Jawa yang masuk, ini artinya kualitas game di Indonesia sudah melebar,” tambah CEO GGWP.id Ricky Setiawan.

Selama dua hari, pengunjung akan disuguhkan dengan area khusus untuk bermain game VR dan AR. Di samping itu, juga disediakan berbagai macam board game hasil karya desainer lokal dan area dingdong untuk sekadar nostalgia game masa lalu.

Pengunjung bisa mencoba simulator balap Arcade Retro yang biasa digunakan pembalap profesional untuk latihan. Bagi para artist, baik itu komikus, ilustrator, dan artist game, disediakan area khusus untuk memamerkan koleksinya.

Hari menuturkan Bekraf menyiapkan penghargaan untuk game developer yang berprestasi selama beberapa tahun terakhir sebagai bentuk apresiasi. Bahkan berkesempatan untuk memamerkan karyanya di luar negeri.

Diprediksi jumlah kunjungan pada tahun ini dapat tembus antara 25 ribu sampai 30 ribu dari total pendaftaran yang masuk sekarang ada sekitar 19 ribu. Angka ini membludak dari gelaran di tahun sebelumnya sebanyak 16 ribu orang yang datang.

Sesi B2B ditiadakan

Satu hal yang paling mencolok dari BGP tahun ini adalah ditiadakannya sesi B2B. Padahal sebelumnya, secara rutin BGP punya dua konsep dengan target yang berbeda, untuk kalangan B2B dan B2C.

Sesi B2B ini memberikan kesempatan buat game developer untuk pitching di hadapan calon investor dan memberikan kesempatan bertukar pikiran dan membangun relasi untuk potensi kolaborasi jangka panjang.

Hari beralasan, sesi ini ditiadakan karena berkaca dari tahun lalu, realisasi investasi yang diberikan untuk game developer sangat minim. Investor lokal diasumsikan belum memiliki minat yang cukup untuk berinvestasi di segmen ini, beda halnya dengan investor di luar negeri.

Sebagai gantinya, Bekraf memutuskan untuk mengganti sesi B2B ini dengan mengajak developer pitching ke luar negeri.

“Dari segi ekosistem, investor lokal belum memiliki taste untuk berinvestasi ke perusahaan game. Justru [investor] lebih banyak datang dari luar negeri, makanya nanti mau kita ajak mereka ke sana.”

BGP tahun ini akan difokuskan untuk pemasaran produk game yang selama ini belum terlalu dikuasai oleh para developer. Kendati produk yang mereka hasilnya punya kualitas yang bagus, tapi banyak dari mereka yang belum tahu cara mengemasnya.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Bekraf Game Prime 2019

Dicoding Pertajam Fitur Job Marketplace, Bantu Perusahaan Temukan Lulusan Terbaik

Dicoding, startup edukasi dan komunitas pemrograman, mempertajam fitur job marketplace yang baru dirilis pada tahun ini agar semakin memberikan dampak positif demi mengurangi ketimpangan antara kebutuhan industri dengan talenta berkualitas.

Co-Founder dan CEO Dicoding Narenda Wicaksono menjelaskan, situs job marketplace ini dibutuhkan oleh tiap perusahaan yang ingin mencari talenta IT. Menurut hasil riset yang ia kutip, dari seluruh lulusan IT di Indonesia, hanya 7% di antaranya yang bekerja di perusahaan IT yang diinginkan.

Ditambah lagi, mengacu pada survei internal yang dibuat Dicoding bulan lalu untuk 150 ribu developer IT di 460 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hanya 56% SDM IT yang sukses mendapatkan karier sebagai IT developer atau engineer di perusahaan.

Sedangkan 44% sisanya masih bekerja lepas. Salah satu penyebabnya karena tertinggalnya kemampuan yang dimiliki lulusan IT dan belum sesuai dengan kebutuhan industri terkini.

Survei menyebutkan, meski mayoritas responden merupakan lulusan IT, tapi dua dari tiga orang merasa bahwa mereka baru “mulai belajar” pemrograman dasar seperti Android, Java, dan Web saat mengikuti kelas online Dicoding Academy.

Bahkan, satu dari tiga orang merasa bahwa materi yang diberikan oleh Kelas Pemula di Dicoding setara dengan materi yang diterima saat mereka kuliah.

“Ini jadi fakta yang miris. Untuk itu kita harus do something untuk memberi semangat dengan memberikan kesempatan belajar untuk semua orang. Makanya kami buat program beasiswa mulai bulan ini,” terangnya, Rabu (15/5).

Situs job marketplace ini disebutkan hanya untuk pelajar Dicoding Academy yang telah lulus menyelesaikan seluruh tugasnya dan aktif dalam komunitas Dicoding. Namun, setiap orang dari latar belakang manapun memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing mendapatkan pekerjaan di bidang IT sesuai spesialisasinya.

Narendra menyebutkan beberapa perusahaan yang sudah memanfaatkan Dicoding Jobs di antaranya BNI, Biznet, Telkom, dan Gojek.

“Kami ingin pastikan talenta yang bisa pakai situs ini hanya mereka yang sudah lulus. Banyak sekali dari mereka yang sudah keburu di-hire perusahaan meski belum lulus. Ini menunjukkan demand yang begitu tinggi terhadap talenta khusus di bidang IT apalagi yang bisa coding.”

Buat program beasiswa

Sejalan dengan upaya tersebut, Dicoding terus berusaha menjaring lebih banyak talenta baru untuk tertarik mendalami ilmu pemrograman dengan kelas edukasi yang telah disiapkan. Perusahaan kini giat menggelar program beasiswa, juga gaet mitra korporasi agar semakin banyak menelurkan talenta berbakat.

“Target kita adalah relevan dengan kebutuhan industri, bagaimana bisa cetak talenta terbaik agar bisa di-hire oleh perusahaan terbaik, talenta pun bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,”

Sepanjang tahun ini Dicoding bekerja sama dengan berbagai institusi pemerintah seperti Bekraf dan Kemkominfo, juga level swasta seperti perusahaan telekomunikasi untuk program beasiswa yang diadakan oleh masing-masing institusi. Harapan akhirnya adalah ketimpangan antara kebutuhan dan permintaan di bidang IT semakin menipis.

Hingga Mei 2019, Dicoding telah memiliki 150 ribu anggota yang berhasil membuat 820 startup. Startup ini maksudnya produk, bisa berupa aplikasi sebagai ketentuan kelulusan. Secara total ada 5.500 aplikasi yang telah dihasilkan oleh seluruh startup tersebut. Bila ditotal, seluruh aplikasi ini telah diunduh sampai 225 juta kali.

Adapun kelas yang ditawarkan terdiri dari 19 kelas berbeda dengan ragam jenjang dari pemula hingga mahir, meliputi Membuat Aplikasi Android, Membuat Game, Membangun PWA, Cloud, Flutter, Kotlin for Android, Blockchain, Java, Web, Chatbot, Cognitive, serta Manajemen Source Code.

Seluruh kelas ini ada yang bisa diakses secara gratis namun ada juga yang harus berbayar sampai Rp2,2 juta.

Secara perusahaan, Dicoding melakukan monetisasi secara B2B lewat bekerja sama dengan berbagai korporasi dan B2C lewat penjualan kelas edukasi Dicoding Academy kepada end user. Narenda menyebut perusahaan masih menggunakan dana dari kantong sendiri untuk operasionalnya dan belum terbuka untuk pendanaan dari pihak eksternal.

Entering the Fifth Year, Dicoding Is Set to Accommodate Indonesian Developers

In early March 2019, a startup iin education and programming community, Dicoding has celebrated its early fifth year. In an ocassion at Asian Insight Coonference 2019, Dicoding’s Co-Founder & CEO, Narenda Wicaksono shared some of the achievements. They’ve acquired more than 140 thousand developers, 800 local startups, and produce 5200 digital content. Dicoding community members come from various area, of 454 cities and regencies in Indonesia.

“Dicoding vision is to be the best network for Indonesian developers. Therefore, they have two main objectives. First is to help developer becoming entrepreneur that capable to develop world-class products. Second is to deliver as much digital talents available. In its fifth year, it becomes an important milestone in achieving Dicoding’s vision and mission, also supporting digital-based creative economy development program,” he said.

Since the beginning, Dicoding use the web-platform to reach developer and potential ones in Indonesia. There are some activities to follow through Dicoding, from developer competition, events, and learning channel in programming. Recently, they also launch job marketplace feature that allows partners to connect with the alumni.

“We’re focus to produce more relevant digital talents with market’s demand. We’ll keep working with world-class tech principals to develop the most updated technical curriculum. Their target is to produce new product every month. In the next few months, we’ll create subscription model for more access to the high-quality class at affordable price,” Dicoding’s Co-Founder & COO, Kevin Kurniawan said to DailySocial.

Kevin also said, although their members are in all over Indonesia, Dicoding has no plan to build new branches in other areas. Their headquarter is located in Bandung.

Tim di balik layar Dicoding / Dicoding
Tim di balik layar Dicoding / Dicoding

Connecting developer and industry

Dicoding partners with industry players, the government, and tech enthusiasts for its activities and learning materials. Bekraf, Microsoft, Google, and Samsung is some of Dicoding’s strategic partners.

Currently, there’s an online class to be an Android, Kotlin, Game, Azure Cloud, AWS Associate, and Progressive Web Apps developer. If the participants can pass the final test, they will get graduation certificate approved by IT industry players and will be considered in the recruitment.

In its fifth year, Dicoding plans to add some online classes with the latest topic to support the active classes verified by industry players, such as Google and Indonesian Game Association.

“Speaking of Indonesian public interest on programming, coding can be mastered by anyone, even though those without any IT background. For example, Junia Firdaus, a Gojek’s driver who made it into an Android Developer in one of the company in Jakarta. The competency standard for developer in Indonesia is merely low. Due to digital competency that is not very updated in formal academic institution,” Kevin added.

However, Dicoding team is optimistic that Indonesian resources can compete with overseas players in the future. As long as they have high fighting spirit and learn using the right curriculum.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Masuki Tahun Kelima, Dicoding Berkomitmen Terus Jadi Wadah Developer di Indonesia

Awal Maret 2019 ini, startup di bidang edukasi dan komunitas pemrograman Dicoding merayakan awal tahun kelimanya. Dalam sebuah kesempatan pada pagelaran Asian Insights Conference 2019, Co-Founder & CEO Dicoding Narenda Wicaksono menyampaikan berbagai capaian yang telah diraih. Mereka telah merangkul lebih dari 140 ribu developer, 800 startup lokal, dan menghasilkan 5200 karya digital. Anggota komunitas Dicoding berasal dari berbagai daerah, dari 454 kota dan kabupaten di Indonesia.

“Visi Dicoding menjadi jaringan terbaik untuk developer di Indonesia. Untuk itu, Dicoding memiliki dua misi utama. Pertama adalah membantu developer menjadi entrepreneur yang mampu mengembangkan produk kelas dunia. Kedua adalah melahirkan sebanyak mungkin talenta digital siap kerja. Di tahun kelima, pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam mewujudkan visi misi Dicoding, serta untuk mendukung program peningkatan ekonomi kreatif berbasis digital,” ujar Narenda.

Sejak awal, Dicoding memanfaatkan platform website yang dimiliki untuk menjangkau pengembang dan calon pengembang di Indonesia. Ada beberapa kegiatan yang bisa diikuti melalui web Dicoding, mulai dari kompetisi developer, acara developer, hingga kanal pembelajaran dengan topik pemrograman. Baru-baru ini Dicoding juga meluncurkan fitur job marketplace, memungkinkan rekanan untuk terhubung dengan para lulusan.

“Kami fokus untuk memproduksi lebih banyak talenta digital yang relevan dengan kebutuhan pasar. Kami akan terus bekerja sama dengan principal teknologi dunia untuk mengembangkan kurikulum teknis yang paling update. Setiap bulan ditargetkan akan ada produk baru yang dirilis. Dalam beberapa bulan ke depan, kami pun akan membuka model subscription yang akan memberikan akses ke lebih banyak kelas berkualitas dan harga yang bersahabat,” terang Co-Founder & COO Dicoding Kevin Kurniawan kepada DailySocial.

Kevin turut menyampaikan, kendati jangkauan anggota sudah menyebar di berbagai wilayah di Indonesia, namun Dicoding belum ada rencana untuk membangun markas baru di daerah lain. Saat ini kantor utama Dicoding berada di Bandung.

Dicoding
Tim di balik layar Dicoding / Dicoding

Menghubungkan developer dengan industri

Dicoding bekerja sama langsung dengan pelaku industri, badan pemerintahan, dan penggiat teknologi dalam melakukan aktivitas dan menyediakan materi pembelajaran. Bekraf, Microsoft, Google, dan Samsung adalah nama-nama besar yang kini telah menjadi mitra strategis Dicoding.

Saat ini tersedia kelas pembelajaran online untuk menjadi developer Android, Kotlin, Game, Azure Cloud, AWS Associate, dan Progressive Web Apps. Jika berhasil lulus ujian dan tugas akhir, peserta akan mendapatkan sertifikat kelulusan yang diakui oleh pelaku industri IT dan menjadi salah satu pertimbangan dalam perekrutan tenaga kerja.

Di tahun kelimanya, Dicoding berencana untuk menambah beberapa kelas online dengan topik materi coding terbaru untuk mendukung kelas aktif yang terverifikasi oleh pelaku industri seperti Google dan Asosiasi Game Indonesia.

“Bicara soal ketertarikan masyarakat Indonesia dengan dunia pemrograman, saat ini coding dapat dikuasai oleh siapa pun, bahkan yang bukan berlatar belakang IT. Salah satu contoh adalah Junia Firdaus, seorang driver Gojek yang berhasil menjadi Android Developer di salah satu perusahaan di Jakarta. Standar kompetensi developer di Indonesia sangat rendah. Karena kompetensi digital tidak diajarkan secara update di institusi pendidikan formal,” lanjut Kevin.

Kendati demikian tim Dicoding cukup optimis, bahwa ke depan SDM Indonesia dapat berkompetisi dengan SDM dari luar. Selama memiliki fighting spirit yang tinggi dan belajar dengan kurikulum yang tepat.

Bekraf Bersama Asosiasi Mulai Rumuskan Roadmap untuk Industri Game Indonesia

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) telah selesai menyelenggarakan Bekraf Developer Conference (BDC) 2018 dengan menghadirkan pengembang game dan aplikasi tanah air. Acara tahunan ini juga dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan roadmap pengembangan industri digital untuk tahun mendatang, salah satunya fokus pada industri game.

“Indonesia adalah salah satu negara paling berpotensi sebagai negara produsen game bermutu. Penghasilan yang diperoleh Indonesia setiap tahun dari industri game mencapai 1 triliun Rupiah. Itulah mengapa jumlah studio game di Indonesia juga semakin meningkat. Melihat potensi ini, game developer menjadi salah satu profesi yang sangat dicari,” terang Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Sungkari, dalam ketarangan resminya.

Narenda Wicaksono, Founder Dicoding sekaligus Ketua Umum AGI, menjelaskan perumusan roadmap merupakan langkah para pelaku industri untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Harapannya dapat dipertimbangkan dalam kebijakan yang diambil untuk memajukan industri digital.

“Industri game di Indonesia masih dalam tahap berkembang, masih banyak yang harus dibenahi; market lokal juga masih dikuasai asing. Namun di sisi lain, terjadi peningkatan yang sangat signifikan, terutama di platform konsol. Banyak game yang di-publish oleh anak bangsa di konsol-konsol ternama, sebut saja seperti Valthirian Arc, Ultra Space Battle Brawl, Fallen Legion, dan lain-lain,” terang Narenda.

Menurut Narenda peningkatan industri game lokal turut dipengaruhi beberapa hal. Pertama adalah faktor edukasi, melibatkan institusi pendidikan untuk menghasilkan talenta pengembang dan pendukung kreativitas game. Kedua adalah investasi, karena ini menjadi salah satu hal penting untuk mengakselerasi jalannya industri.

“Harapannya dengan adanya roadmap ini dapat memberikan insight kepada pemerintah, sehingga membuahkan akselerasi pertumbuhan industri digital, khususnya game. Peningkatan industri game lokal juga diharapkan dapat mengambil alih pasar di negeri sendiri. Selain itu diharapkan pula adanya kolaborasi lebih lanjut dengan sub sektor lainnya, misal film, dan komik,” imbuh Narenda.

Google Developers Kejar 2018 Resmi Diluncurkan

Google kembali meluncurkan program Google Developers Kejar tahun ini. Diperkenalkan dengan nama Google Developers Kejar 2018, Google menggandeng Dicoding sebagai mitra dan menargetkan bisa melatih 2000 pengembang aplikasi mobile Android dan mobile web.

Program ini memiliki tujuan untuk mengasah kemampuan developer Indonesia dalam mengembangkan aplikasi mobile Android menggunakan bahasa pemrograman Kotlin dan mobile web sesuai dengan standar industri. Ia dikemas dalam bentuk panduan pembelajaran dengan materi berbahasa Indonesia yang terverifikasi oleh Google Training Partner dengan kegiatan mentoring atau kelompok belajar.

“Harapan kami, program ini akan mampu menumbuh kembangkan industri teknologi informasi di Indonesia melalui generasi baru developer bangsa Indonesia yang dapat menghasilkan produk berkualitas dengan teknologi termutakhir,” ujar Developer Training Program Google William Florance.

Pada tahun 2016, Google mengumumkan komitmen untuk melatih 100.000 pengembang mobile di Indonesia di tahun 2020 dalam rangka membantu menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terkuat di Asia Tenggara. Tahun ini Google berkomitmen untuk melatih 2000 pengembang.

“Salah satu outcome program Google Developers Kejar 2018 adalah terciptanya employable talent yang mampu menjadi tenaga kerja berdaya saing tinggi untuk menggerakan roda industri TI nasional,” lanjut William.

Tahun ini peserta Google Developers Kejar 2018 akan terbagi dalam dua angkatan, pertama untuk bulan Agustus-September 2018 dan yang kedua pada bulan Oktober-November 2018. Peserta yang mendaftar kelas pemrograman aplikasi mobile Android akan mendapatkan kurikulum online, dan buku cetak “Kotlin Android Developer Expert” dari Google Authorized Training Partner, Dicoding.

“Dicoding sebagai Google Authorized Training Partner menjadi penyedia materi kurikulum Kotlin On Android di Google Developer Kejar 2018,” terang Founder Dicoding Narenda Wicaksono.

Narenda menambahkan, “Kami mendukung penuh langkah Google untuk memberikan fasilitas pembelajaran kepada seluruh developer di Indonesia. Harapan kami kelak akan muncul banyak talenta baru yang dapat membantu menggerakan industri teknologi di Indonesia maupun membuat produk kelas dunia.”

Promosikan Pengembang Game Lokal, Bekraf Game Prime Kembali Digelar

Masih rendahnya minat investor hingga kualitas talenta pengembang game lokal saat ini, menjadi sorotan dari Asosiasi Game Indonesia (AGI). Dalam acara konferensi pers Bekraf Game Prime 2018, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono mengungkapkan, kegiatan ini bisa dijadikan kesempatan bagi pengembang lokal untuk mempromosikan sekaligus memperluas networking dengan pihak terkait.

“Lakukan juga uji coba game yang saat ini sedang dikembangkan kepada publik. Dengan demikian feedback langsung dari target pengguna bisa didapatkan. Selain itu siapkan elevator pitch saat bertemu dengan investor yang hadir di acara tersebut,” kata Narenda.

Tahun ini Bekraf bersama AGI dan Idea Network memiliki misi untuk mempromosikan karya pengembang lokal, bukan hanya di tanah air namun juga secara global. Dengan demikian diharapkan bisa memancing lebih banyak lagi minat dari generasi muda untuk menjadi pengembang game.

“Jika kita lihat tahun ini eSport mulai banyak digemari oleh pecinta mobile game di Indonesia. Selain memberikan kesempatan untuk melihat langsung karya pengembang lokal, pengunjung juga bsa bertemu langsung dengan pengembang game asing,” kata CEO Idea Network Ricky Setiawan.

Nantinya sekitar 70-80 booth akan diisi oleh pengembang game lokal untuk mempromosikan karya game mereka. Mulai dari mobile game, console hingga PC Game, Semua bisa ditemui saat acara Bekraf Game Prime, yang bakal digelar pada tanggal 13-15 Juli 2018. Serupa dengan tahun sebelumnya, kegiatan ini akan dibagi menjadi dua konsep, yaitu untuk kalangan B2B dan B2C.

Peranan AGI untuk pengembang game lokal

Sebagai asosiasi yang fokus kepada pertumbuhan pengembang game lokal, AGI kerap memberikan dukungan keada pengembang lokal yang kebanyakan adalah entitas, untuk bisa mempromosikan karyanya secara global. Tercatat saat ini Indonesia menduduki peringkat 20 sebagai negara pengembang game yang memiliki potensi cerah.

“Memang tidak mudah untuk mengembangkan game yang sukses dan disukai pengguna. Sedikitnya dibutuhkan waktu sektar tiga tahun, hingga game tersebut berhasil seperti yang telah dilakukan oleh Agate dan pengembang game Tahu Bulat,” kata Narenda.

Meskipun AGI tidak menuntut semua pengembang game untuk masuk kedalam asosiasi, namun dengan bergabungnya mereka yang kebanyakan dari kalangan individu atau kurang dari 3 orang, bisa mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan hingga meningkatkan kualitas talenta. Dengan demikan, produk yang baik dan tepat sasaran bisa diciptakan.

AGI sendiri bersama dengan Bekraf saat ini tengah menyiapkan platform untuk pengembang lokal mendapatkan pelatihan hingga kesempatan untuk mengembangkan produk game.

“Tentunya tidak ada formula yang efektif untuk game yang ideal dan berpotensi untuk laku di pasaran. Semua mengikuti tren dan tentunya tergantung dari kualitas game itu sendiri,” kata Narenda.

Cerita MailTarget dan Dicoding Soal Rekrutmen Talenta

Selalu ada hal menarik yang bisa dipelajari dari startup yang sedang berkembang. Dalam seri tips merekrut karyawan kali ini, DailySocial berkesempatan mendapatkan beberapa informasi dan tips dari dua startup yang tengah berkembang di Indonesia, yakni MailTarget (startup yang menyediakan solusi otomasi email marketing) dan Dicoding (platform untuk belajar pemrograman. Keduanya secara garis besar memiliki kesamaan perihal merekrut karyawan, tetapi memiliki pendekatan masing-masing.

MailTarget yang tengah berkembang dan merencanakan ekspansi  membutuhkan sumber daya yang tidak hanya banyak tetapi juga berkompetensi. Untuk itu tak heran jika Yopie Suryadi, Founder MailTarget, menyebutkan bahwa MailTarget is always hiring. Mereka selalu membuka kesempatan untuk menemukan talenta-talenta yang cocok dan melengkapi tim MailTarget saat ini.

Ada beberapa kondisi mengapa MailTarget terlihat agresif. Pertama untuk menggantikan mereka yang mengundurkan diri atau demi investasi untuk mengerjakan lini produk baru, perluasan dan percepatan bisnis, dan beban pekerjaan yang terus bertambah. Hal ini juga yang melatarbelakangi MailTarget tidak hanya membuka lowongan melalui situs pencari kerja dan email, tetapi mencari talenta dengan pendekatan personal, seperti pada saat event offline.

Pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan Dicoding. Dari penuturan Narenda Wicaksono, pendiri Dicoding, mereka biasanya mengumumkan lowongan melalui newsletter. Selanjutnya kandidat harus sudah pernah lulus di salah satu academy Dicoding. Hal ini dinilai sangat penting oleh Narenda karena bisa membuktikan kemampuan self learning dari kandidat.

“Lulusnya seseorang kandidat dari kelas academy online kami adalah indikasi dia memiliki kemampuan self learning yang bagus. Tentu kami hanya memanggil lulusan terbaik saja. Tahap kedua adalah magang dengan durasi maksimum satu tahun on the job training memberikan impact edukasi 80% dibandingkan teori. Jadi selama ini program magang cukup efektif memberikan edukasi kepada calon pegawai sambil melihat dia fit untuk role apa. Tahap ketiga adalah probation dengan durasi maksimum tiga bulan. Pada tahap ini kandidat sudah mendapatkan benefit maksimal sebagai karyawan,” terang Narenda.

Bagi MailTarget, mereka memiliki proses tersendiri untuk menyeleksi pelamar. Mulai dari memproses lamaran tidak lebih dari satu minggu, interview, tes psikologi  dan proses-proses lainnya.

“Jika ada email lamaran yang masuk, akan kami proses tidak lebih dari seminggu, setelah itu interview, tes psikologi, dan lain-lain yang diperlukan untuk mengetahui personality-nya, skill dan kompetensinya, dan kecocokannya pada tim, dan terahir ada tes yang dibawa pulang untuk dikerjakan tidak lebih dari 24 jam. Tidak kurang dari seminggu akan kami kabari lulus atau tidaknya di seleksi kami,” terang Yopie.

Sejauh ini Dicoding kurang lebih sudah 10 kali melakukan perekrutan karyawan. Sementara MailTarget sudah lebih dari 20 kali. Kedua startup tersebut tentu punya prioritas masing-masing dalam membangun tim mereka, seperti kedewasaan dalam bekerja bagi MailTarget dan kemampuan self learning bagi Dicoding.

Selain self learning, Narenda menjelaskan, saat ini mereka mencari kandidat yang memiliki kemampuan-kemampuan lain meliputi loyalitas dan seorang pejuang. Bahkan Dicoding bersedia mengembangkan bakat talenta mereka dengan memberikan pendidikan ke luar negeri.

“Kalau loyal dan pejuang, kami rela untuk mendidik mereka. Kami tidak segan untuk mengirimkan karyawan ke Singapura, Malaysia, India, hingga Amerika untuk menuntut ilmu,” lanjut Narenda.

Tips untuk merekrut karyawan baru

Selain berbagi mengenai bagaimana perjalanan dan kisah mengenai startup-nya, pihak MailTarget juga membagikan beberapa poin yang bisa dijadikan pertimbangan kapan seharusnya startup mempekerjakan anggota baru. Disampaikan Masas Dani, co-founder sekaligus CTO MailTarget berikut beberapa poin yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk menambah anggota tim:

  • Menambah orang akan menambah cost. Apakah value yang diberikan orang tersebut di team jauh lebih besar?
  • Merekrut anggota baru seperti membawa orang ke dalam kapal, artinya kita bertanggung jawab atas hidupnya di lautan. Seberapa besar kapal sekarang, untuk berapa orang kapal ini?
  • Apakah sanggup menampung kesejahteraannya sampai pensiun ?
  • Apakah siap ditinggal di tengah jalan ?

Sementara itu Narenda memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan startup yang memulai bisnisnya secara bootstrap seperti yang dilakukan Dicoding hingga saat ini. Menurutnya startup yang berstatus bootstrap tidak bisa berkompetisi dengan iming-iming uang.

“Bagi yang ingin mengambil jalur seperti kami, perlu diketahui bahwa kita tidak bisa berkompetisi mencari talenta dengan iming iming benefit uang. Biarkan para unicorn yang bertarung disana. Perlu diketahui ada banyak talenta bagus yang mencari benefit seperti keberkahan rezeki, bisa shalat di masjid tepat waktu, atau kedamaian dalam bekerja. Carilah talenta yang hidupnya “berjuang”. Biasanya mereka sangat menghargai setiap jerih payah yang dilakukan. Loyalitas dan kemampuan self learning seorang talenta adalah mandatory. Agar kita semua bisa mencapai puncak bukit dengan kecepatan yang sama tanpa perlu takut ada yang tertinggal,” tutur Narenda.

Narenda juga menceritakan di Dicoding mereka memiliki beberapa hal dalam membentuk tim yang meliputi:

  • Pertama, harus berusaha untuk mengerti personality setiap anggota. Apa yang mereka butuhkan, seperti keakraban dan kepastian.
  • Kedua, mempelajari teknik persuasif agar tim paham kenapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan. Keinginan mereka untuk mengerjakan adalah indikasi teknik kita berhasil.
  • Ketiga, usahakan untuk tetap sopan (menjaga emosi) dan profesional. Jangan sampai menjatuhkan harga diri seseorang di depan anggota tim yang lain.
  • Keempat, harus sering mendelegasikan pekerjaan dan mempercayakan tim untuk mengerjakan task yang sulit.
  • Terakhir, kita sebagai composer tidak boleh takut tim kita salah salah. Musik dalam sebuah orkestra harus terus mengalir dan sejak awal harus memiliki ekspektasi bahwa nothing is perfect. Growing ke arah perfect adalah keniscayaan dan harus dirancang agar dapat berjalan secara kontinyu.

Bea Cukai Barang Impor Digital, Apakah akan Berdampak pada Produk Digital Lokal? (Updated)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sudah memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk bagai barang tak berwujud (intangible goods). Beberapa barang tak terwujud yang dimaksud termasuk e-book, perangkat lunak, musik digital, film digital dan sebagainya. Darmin menyebutkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menata dan mulai mengembangkan bisnis para pelaku usaha. Sejauh ini belum diberlakukan, karena terikat moratorium dengan World Trade Organization (WTO). Sementara moratorium tersebut berakhir di tahun ini.

Sebelumnya dalam moratorium disebutkan negara-negara berkembang tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Di tengah meningkatnya perdagangan digital, baik melalui situs e-commerce atau layanan distribusi digital lain, adanya bea masuk terhadap barang tak berwujud dinilai akan berpotensi menjadi penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengusulkan ke WTO perihal pengenaan biaya ini yang akan dimulai pada tahun 2018 mendatang.

Menjadi kesempatan untuk pengembang lokal?

Salah satu dampak di sisi konsumen untuk pengenaan cukai barang tak berwujud (digital) ialah terhadap harga jual. Harga jual pasti akan menjadi lebih mahal, misalnya untuk produk perangkat lunak. Sejauh ini isu yang banyak diutarakan oleh para pengembang produk lokal ialah persaingan yang cukup berat dengan produk korporasi dari luar, khususnya untuk produk perangkat lunak yang menyasar bisnis.

Namun sayangnya draft aturan terkait hal tersebut belum disampaikan detailnya. Karena di lapangan untuk distribusi produk perangkat lunak nyatanya cukup kompleks. Saat ini produk tidak hanya didistribusikan dalam bentuk installer – misal dikemas dalam DVD atau diunduh melalui internet lalu dipasang di perangkat. Ada juga model SaaS, yang mana statusnya ke konsumen adalah sewa, bukan kepemilikan utuh layaknya licensed software.

Menanggapi tentang rencana ini, kami coba berbincang dengan salah satu pengembang perangkat lunak lokal. Kali ini kami menghubungi Yopie Suryadi selaku CEO Mailtarget –sebuah aplikasi yang membantu bisnis dalam mengelola email marketing.

“Dari apa yang saya baca, tujuan dari pengenaan bea masuk ini adalah untuk menggenjot target bea masuk. Sangat sulit untuk melihat hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan produk digital dalam negeri. Untuk mendongkrak produk digital dalam negeri yang diperlukan adalah support dari pemerintah, mendukung para pembuat produk digital dalam negeri dalam bentuk kemudahan di regulasi, mendukung ekosistem, grooming programmer berkualitas, menggenjot penggunaan karya anak bangsa dll,” ujar Yopie.

Memang pemerintah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya bea masuk ini juga dalam upaya memajukan produk digital buatan lokal.

“Salah satu hal penting buat saya adalah bagaimana implementasinya. Bagaimana pemerintah mengenakan bea masuk dari setiap e-book yang kita beli dari luar negeri. Apakah pemerintah akan punya akses penuh dari semua data aktivitas kita di internet? Apakah pemerintah akan bekerja sama dengan semua e-commerce/institusi dari luar yang menjual produk digital untuk mengenakan bea masuk di setiap transaksi? Kalau menurut Menkominfo adalah dengan melakukan self assessment kelihatan mudah tetapi penerapannya akan sangat sulit,” imbuh Yopie.

Narenda Wicaksono selaku CEO Dicoding turut memberikan komentar. Menurutnya aturan ini dapat berimplikasi pada dua hal (melihat dari sudut pandang konsumen perangkat lunak). Pertama konsumen akan mencari alternatif yang lebih terjangkau, bisa jadi non legal, seperti perangkat lunak bajakan. Kemungkinan yang kedua, konsumen akan mencari perangkat yang lebih terjangkau dan legal. Namun demikian rata-rata perangkat lunak yang dijual langsung ke konsumen adalah yang pengembangannya membutuhkan biaya tinggi. Belum banyak alternatif pengganti yang bisa dibuat oleh pengembang lokal untuk perangkat lunak tersebut saat ini.

“Harapan saya agar lebih banyak pengembang lokal yang mulai membangun software kelas dunia untuk pasar lokal. Butuh waktu 3 tahun bagi pengembang untuk membangun software pertama yang bisa dimonetisasi. Bila telah 3 tahun lewat dan belum juga bisa monetisasi, mungkin bisa mulai beraliansi atau bergabung dengan pengembang lokal yang membutuhkan talenta agar bisa mengembangkan software kelas dunia,” ujar Narenda.

Update: Penambahan opini dari Narenda Wicaksono.