Produsen Mobil Listrik Vietnam “VinFast” Gandeng Otoklix Lancarkan Ekspansinya di Indonesia

Otoklix menandatangani kerja sama dengan produsen kendaraan listrik asal Vietnam, VinFast. Kesepakatan ini menetapkan Otoklix sebagai penyedia layanan resmi untuk kendaraan VinFast di seluruh Indonesia.

VinFast, yang baru saja memasuki pasar Indonesia pada awal tahun ini, akan menginvestasikan $1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun untuk membangun pabrik perakitan lokal dengan kapasitas produksi 60.000 unit per tahun di Depok, Jawa Barat. Langkah ini merupakan bagian dari strategi ekspansi untuk memperkuat kehadirannya di Asia Tenggara.

Menurut CEO Otoklix Martin Reyhan Suryohusodo, Indonesia merupakan salah satu negara yang pemerintahnya aktif mendukung adopsi kendaraan listrik. Pemerintah Indonesia telah memperbarui peta jalan transisi kendaraan listrik dengan target produksi 600.000 mobil listrik pada tahun 2025. Dukungan ini mencakup perluasan jaringan stasiun pengisian daya dan peningkatan opsi pembiayaan bagi konsumen.

Namun, tantangan terbesar dalam transisi ini adalah pengembangan infrastruktur yang memadai untuk mendukung layanan purnajual dan perbaikan kendaraan listrik. Otoklix, yang selama ini berfokus pada digitalisasi pasar aftermarket otomotif, telah berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan infrastruktur untuk memastikan mereka siap mendukung kebutuhan khusus kendaraan listrik.

Otoklix juga telah meluncurkan akademi pelatihan yang didedikasikan untuk mekanik, dengan fokus pada servis dan pemeliharaan kendaraan listrik. Inisiatif ini bertujuan untuk memastikan mekanik memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menangani teknologi baterai dan komponen kelistrikan yang kompleks.

Selain itu, Martin menyatakan bahwa Otoklix akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan pembuat suku cadang untuk menyediakan komponen berkualitas dengan harga lebih terjangkau bagi bengkel independen. Hal ini diharapkan dapat memberikan lebih banyak pilihan bagi pemilik kendaraan listrik di Indonesia.

Martin juga menyoroti pentingnya investasi berkelanjutan dalam infrastruktur pendukung, termasuk stasiun pengisian daya dan pasar sekunder yang kuat, untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan dari pasar kendaraan listrik. “Ini adalah situasi ayam dan telur klasik: penjualan kendaraan listrik tidak dapat melampaui pengembangan infrastruktur pendukung,” tambahnya.

Dengan kemitraan ini, Otoklix berharap dapat memainkan peran penting dalam mendukung transisi Indonesia menuju era kendaraan listrik, sambil terus memperluas jangkauan dan layanan mereka di seluruh negeri.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Mendekati Profitabilitas, Otoklix Berambisi Pimpin Sektor Aftermarket Otomotif

Startup otomotif Otoklix mengumumkan telah mengantongi pertumbuhan pendapatan 2x lipat secara tahunan (YoY) dalam dua tahun terakhir dan kini tengah mendekati profitabilitas.

Untuk memperkuat posisinya sebagai pelopor aftermarket otomotif Indonesia, mereka berencana membuka bengkel sendiri untuk meningkatkan margin dan tengah menjajaki kemitraan B2B dengan korporasi–Telkom salah satunya.

Otoklix juga memasuki kemitraan strategis dengan Pertamina untuk memulihkan kembali jaringan layanan Bright Olimart di stasiun bensin
perseroan.

“Pertumbuhan dua digit kami dalam unit ekonomi positif menunjukkan bahwa kami berada di jalur yang benar. Begitu mendekati keuntungan, kami siap merebut pangsa pasar yang lebih besar dan menetapkan standar industri baru. Ini akan membuat Otoklix menjadi pilihan utama perawatan otomotif di Indonesia,” tutur Founder & CEO Otoklix Martin Reyhan Suryohusudo.

Pertumbuhan ini disebut terealisasi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan utamanya. Otoklix menargetkan dapat mencapai keuntungan dalam satu tahun dengan melihat dari model bisnis dan tingginya permintaan atas layanan mereka di pasar.

Berdiri pada 2019, Otoklix pernah memperoleh pendanaan seri A senilai $10 juta (setara Rp143,5 miliar) yang dipimpin Alpha JWC Ventures dan AC Ventures pada 2021. Investor lain yang ikut berpartisipasi antara lain Surge (Sequoia Capital India), Ex-CEO Astra International Prijono Sugiarto, Co-Founder YouTube dan Google Executives di XA Network Steve Chen.

Platform Otoklix menawarkan proses pemeliharaan kendaraan bagi pemilik kendaraan dengan klaim proses yang lebih mudah, terstandardisasi, dan transparan. Pengguna dapat menemukan bengkel independen yang direkomendasikan di sekitarnya dan menerima jaminan untuk transaksi di lokasi yang bekerja sama dengan Otoklix.

Sementara bagi bengkel, Otoklix menyediakan perangkat lunak manajemen hubungan pelanggan dan rantai pasokan yang dikembangkan untuk dapat meningkatkan pendapatan, margin, dan efisiensi operasional.

Pelopor aftermarket kendaraan listrik

Martin menilai sektor aftermarket otomotif Indonesia terhambat oleh sejumlah tantangan usang. Layanan perbaikan kendaraan di Indonesia terbilang rumit. Dealer resmi menghadapi biaya yang tinggi dan waktu tunggu yang panjang.

Di sisi lain, sektor bengkel independen yang menguasai 80% pasar, mengalami masalah lain seperti risiko penipuan, kurangnya standardisasi, dan pelayanan purnajual yang tidak memuaskan. Bahkan, banyak bengkel independen menggunakan metode manual untuk mengelola transaksi yang dapat menghambat perkembangan dan profitabilitas mereka.

Namun, ada potensi besar yang belum tergali di sektor ini, misalnya mengembangkan solusi digital untuk mempermudah pemeliharaan kendaraan dan operasional bengkel independen. Sektor aftermarket otomotif Indonesia disebut sebagai salah satu yang terbesar di Asia Tenggara dengan perkiraan nilai mencapai $16 miliar.

Pihaknya menilai pasar Indonesia telah siap mengadopsi inovasi teknologi yang dapat mengatasi permasalahan di sektor otomotif. Untuk itu, Otoklix tengah mempersiapkan sejumlah strategi dan layanan untuk menjadi pelopor pertama di sektor aftermarket kendaraan listrik yang akan segera hadir.

Pihaknya akan mengembangkan AI secara eksklusif untuk mengotomatisasi proses data sehingga dapat meningkatkan efisiensi di bengkel. Selain itu, Otoklix juga akan mendorong kapabilitas tim bengkel untuk melayani sepeda motor listrik. “Rencana kami untuk memegang peran sentral dalam perbaikan infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Otoklix Bags 143.5 Billion Rupiah Series A Funding

After receiving $2 million seed funding or equivalent to 28 billion Rupiah in late 2020, the online-to-offline solution platform that digitizes the automotive aftermarket industry in Indonesia, Otoklix, has received another series A funding worth of $10 million or equivalent to 143.5 billion Rupiah.

This round was led by Alpha JWC Ventures and AC Ventures. The previous investors, including Surge (Sequoia Capital India), Astra International’s Ex-CEO, Prijono Sugiarto, YouTube’s Co-founder and Google’s Executives at XA Network, Steve Chen also participated in this funding.

The company will use the fresh funding to improve touchpoint technology by managing flagship workshops with the O2O concept throughout Indonesia.

Otoklix’ Co-founder & CEO, Martin Suryohusodo revealed to DailySocial that his team is trying to build an automotive ecosystem, not just as a platform. Therefore, Otoklix can provide an O2O Managed Flagship Workshop which is required as a customer experience guarantee.

“After we build a flagship workshop ecosystem with expected customer experience, that is the beginning for us to start using the ecosystem to expand to other adjacent markets. In every business, anyone with an ecosystem will become a market champion. That’s why Indomaret cannot be replaced until now,” Martin said.

In the past year, Otoklix claims to have grown from 100 to more than 1,900 partner workshops, providing services to more than 100,000 customers annually.

“Through an all-in-one application and an integrated ecosystem of manufacturers, distributors, retailers, and workshops, Otoklix provides answers to customers’ and workshops’ challenges at the same time. We are excited to join the Otoklix team to build the best company and product for the market,” Alpha JWC Ventures’ Co-founder & General Partner, Jeffrey Joe said.

Business in time of pandemic

Founded in 2019, Otoklix bridges the gap between automotive vehicle owners and Indonesia’s fragmented independent auto repair sector. They are trying to transform the vehicle maintenance experience for consumers and equip workshops with business software solutions and procurement savings. With the current business growth, Otoklix has the potential to become the largest after-sales service network in Indonesia.

During the pandemic, the automotive industry was one of the most affected markets. With reduced mobility, which resulted in many workshop closures during PPKM.

“To date, we have not only recovered business growth, we have grown even bigger. Our revenue has increased by 5x in November 2021 compared to November 2020,” Martin said.

He also said that due to the rapid recovery of the automotive industry, Otoklix aimed to grew even faster. Also, focus on strengthening the core. Therefore, in the first and second quarters of 2022 the company will focus on being top of mind in car maintenance. This will be Otoklix’s strategy playbook for penetration into other markets outside Jabodetabek.

“In 2022, we will develop from a platform to become a consumer brand. In 2022, we will establish Otoklix flagship workshop, launch private label products, seamless experience using technology for all consumers in all major cities in Java island,” Martin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Otoklix Kantongi Pendanaan Seri A Senilai 143,5 Miliar Rupiah

Setelah menerima pendanaan awal bernilai $2 juta atau setara 28 miliar Rupiah akhir tahun 2020 lalu, platform solusi online-to-offline yang mendigitalkan industri aftermarket otomotif di Indonesia “Otoklix” kembali menerima pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 143,5 miliar Rupiah.

Putaran ini dipimpin Alpha JWC Ventures dan AC Ventures. Turut berpartisipasi investor sebelumnya yaitu Surge (Sequoia Capital India), Ex-CEO Astra International Prijono Sugiarto, Co-founder YouTube dan Google Executives di XA Network Steve Chen.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk meningkatkan teknologi touchpoint dengan mengelola bengkel flagship dengan konsep O2O di seluruh Indonesia.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Otoklix Martin Suryohusodo mengungkapkan, pihaknya berusaha membangun sebuah ekosistem otomotif, bukan hanya sebagai platform. Maka dari itu, diperlukan O2O Managed Flagship Workshop yang Otoklix dapat berikan sebagai garansi customer experience.

“Setelah kita membangun ekosistem flagship workshop dengan customer experience yang kita harapkan, itu merupakan awal permulaan sebelum kita menggunakan ekosistem tersebut untuk ekspansi ke adjacent market lainnya. Di setiap bisnis, siapa pun yang mempunyai ekosistem akan menjadi market champion. Itulah sebabnya Indomaret sampai detik ini pun belum bisa tergantikan,” kata Martin.

Dalam satu tahun terakhir, Otoklix mengklaim telah berkembang dari 100 menjadi lebih dari 1.900 bengkel mitra, menyediakan layanan kepada lebih dari 100.000 pelanggan setiap tahunnya.

“Melalui aplikasi all-in-one dan terintegrasi ekosistem produsen, distributor, pengecer, dan bengkel, Otoklix memberikan jawaban untuk tantangan yang dihadapi oleh pelanggan dan bengkel sekaligus. Kami bersemangat untuk bergabung dengan tim Otoklix untuk membangun perusahaan dan produk terbaik untuk pasar,” kata Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jeffrey Joe.

Pertumbuhan bisnis saat pandemi

Didirikan pada tahun 2019, Otoklix menjembatani kesenjangan antara pemilik kendaraan otomotif dan sektor bengkel mobil independen Indonesia yang terfragmentasi. Mereka mencoba mengubah pengalaman pemeliharaan kendaraan bagi konsumen dan melengkapi bengkel dengan perangkat lunak bisnis solusi dan penghematan pengadaan. Dengan pertumbuhan bisnis yang telah dicapai, Otoklix memiliki potensi untuk menjadi jaringan layanan purnajual terbesar di Indonesia.

Selama pandemi industri otomotif merupakan salah satu pasar yang sangat terdampak. Dengan penurunan mobilitas, yang mengakibatkan banyak penutupan bengkel selama PPKM.

“Namun saat ini, kami bukan hanya telah memulihkan pertumbuhan bisnis, bahkan telah bertumbuh lebih. Pendapatan kami telah meningkat sebesar 5x di bulan November 2021 jika dibandingkan dengan November 2020,” kata Martin.

Ditambahkan olehnya, melihat pemulihan industri otomotif yang cukup pesat, Otoklix ingin memastikan tumbuh lebih pesat lagi. Namun memfokuskan diri untuk strengthening the core. Maka di kuartal 1 dan 2 tahun 2022 perusahaan akan fokus untuk menjadi top of mind ketika melakukan servis mobil. Hal tersebut akan menjadi playbook strategi Otoklix untuk penetrasi ke pasar-pasar lainnya di luar Jabodetabek.

“Di tahun 2022 ini, kami akan berkembang dari sebuah platform menjadi sebuah consumer brand. Di tahun 2022, kami akan mendirikan Bengkel flagship Otoklix, peluncuran produk private label, seamless experience menggunakan teknologi bagi seluruh konsumen di seluruh kota besar di Pulau Jawa,” kata Martin.

Application Information Will Show Up Here

Edward Tirtanata’s New Role: An Angel Investor through Kenangan Kapital

The new retail startup Kopi Kenangan has received a lot of attention, thanks to the Indonesian coffee chain business which has received large funding from a number of well-known VCs, including Sequoia Capital and Facebook Co-Founder Eduardo Saverin.

The success of this business cannot be separated from the efforts of its founders, Edward Tirtanata and James Prananto. Kopi Kenangan has now transformed into one of the top-tier coffee brands, especially among young adults in Indonesia.

DailySocial had the opportunity to interview Edward Tirtanata, not as a business founder, but his new experience as an angel investor through Kenangan Kapital. How does Edward define his new role?

Passion for entrepreneurship

Edward’s role as an angel investor has been going on since last year. Through his angel fund (called the Kenangan Investment Fund), he has invested in some of Indonesian startups, including BukuKas, GudangAda, OtoKlix, and Medigo (Smart Clinic).

From the beginning, he declared his big passion for entrepreneurship. This is visible from his efforts to build Kopi Kenangan. However, his success in building a business does not end there.

For him, entrepreneurship can be said as “good wealth management” which involves asset class in diverse. This means that if he wants to make a distinction, he doesn’t want to invest in just blue chips or deposits.

“A good investor must be able to diversify. Angel investing class assets, to increase ten times in a year is normal. I find it interesting,” Edward said.

Through Kenangan Kapital, he expects to contribute more to the Indonesian startup industry. This also encourages Edward to experience new role by being involved in startup funding.

Interest in the consumer tech

Consumer tech is one of the business verticals that attracts many investors. Consumer products combined with technology are the reasons why this business can be easily scalable.

The most obvious example is the mushrooming startups entering traditional businesses and utilizing technology with a direct-to-consumer (DTC) approach. Either eyewear or beauty products can now be marketed without having to build distribution channels.

Realizing this trend, Edward admits that he is interested to top up in the consumer tech sector through Kenangan Kapital. He said that there is still a missing gap in Indonesian consumer tech.

He said Indonesia needs more disruption, considering that products/services targeting the consumer segment are still underrated in terms of technology. On the other hand, Edward curious to what extent this vertical leads him to new experiences in entrepreneurship.

This is reflected in a number of his portfolios that mostly running in the B2C segment. A somewhat different hypothesis is taken when investing in Medigo.

Medigo’s business model is considered to have an impact on the consumer segment. Clinics are the main pillars of the health ecosystem in Indonesia. Currently, there are many clinics that are yet to be standardized, while being hospitalized costs quite expensive and is yet to reach the grassroots segment.

“We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” Edward said.

Challenges

Apart from his main focus on consumer tech, Edward revealed that he did not set any portfolio targets in 2021. Likewise, the target range of investment for Kenangan Kapital.

In his opinion, angel investors do not have a certain pressure in providing funding. This is in contrast to the way VCs work, which is to follow KPIs. He tends to choose to invest if there’s a sight of opportunities.

“I think being an angel investor doesn’t require an investment target [issued]. It all depends on the deal per deal. In fact, if there are exceptions for certain companies, I can invest as much as I can,” he added.

Without any specific KPI, Edward emphasized that the most important thing in following the growth of his portfolio business is the product-market fit. If a startup is gaining organic traction, the metric is at least customer acquisition cost (CAC).

However, Edward admits that the challenge of becoming an angel investor is not that different from a venture capitalist. The most common issue is selecting portfolios. He tends to choose founders who can run/find the right business.

“There are many good founders, but not many of them pick a good business. Better to invest in a good business even though the founder is quite Mediocre. The most important thing for me is conviction. That is, no matter what happens, they stick around and make the best out of it. The term is determination,” he said.

Become the CEO and investor at a time

How come Edward manages his role as CEO and angel investor as the number of Capital Memories portfolios grows in the future?

“First, I need to emphasize that my main full-time job is the CEO of Kopi Kenangan. I don’t want my passion to help entrepreneurs interfere with my main job at Kopi Kenangan,” he said.

Second, he thinks it is not good for every businessman to be too dependent on their investors for a long time. Ideally, these founders are expected to be independent and focused on their business in three to six months.

“Because Kenangan Kapital is like a family office and there are no outside investors, I have no pressure to deploy capital like private equity or VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” he said.

In fact, he admits that he is happy when his portfolio joins a well-known accelerator program. According to Edward, that could mean they won’t need his further involvement in terms of business.

Accommodating the angel investor ecosystem

It can’t be denied that the angel investor ecosystem in Indonesia is quite silent. Even though angel investors play a big role in providing startup funding in the early phase.

Edward said, the existence of angel investors in Indonesia is very different from the one in the United States (US). The country which is the mecca for the startup industry has a database platform that attracts thousands of angel investors. That way, startups can get direct access and find it easier to find funding from angel investors.

“Here, access to angel investors is rather difficult, so they tend to look for funding options from their families. Therefore, this is what makes them unable to provide [relevant] experience to invested startups because the investors are not from a startup background,” Edward said.

He is aware of the situation. He thought the phenomenon is similar to when the new VC industry has emerged and popular in recent years. As the industry develops, he expects the angel investor ecosystem to develop along the way in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Otoklix Secures 28 Billion Rupiah Funding, Bridging Car Owners and Repair Shops through Application

An online-to-offline solution startup that digitizes the automotive aftermarket industry in Indonesia (including car service or repair services), Otoklix, announced initial funding of $2 million or the equivalent of 28 billion Rupiah. This round is led by Surge, the accelerator program of Sequoia Capital India. Also participating in this round GK Plug and Play, Kenangan Investment Fund 1, Lentor Ventures, Noble Star Ventures, and Andree Susanto as the founder of Waresix.

Surge is an acceleration program by Sequoia Capital aimed at startup companies in Southeast Asia and India. This program is held twice a year, Otoklix has successfully become a representative from Indonesia to participate in the fourth batch of Surge with other selected startups from India, Singapore, Vietnam, Indonesia, and Australia.

The Indonesian car aftermarket market is projected to grow up to $15 billion, with 20 million cars being part of the industry market by 2025. This is one of the reasons for Martin Reyhan Suryohusodo, Joseph Alexander Ananto, and Benny Sutedjo to start the largest automotive aftermarket network in Southeast Asia.

Otoklix was founded in 2019, with a mission to bridge the gap between vehicle owners and Indonesia’s fragmented general workshop industry. Transforming the vehicle maintenance experience for consumers and equipping workshops by increasing their visibility, providing business solutions through software, and reducing procurement costs.

Otoklix co-founder Martin Suryohusodo said, “The fragmented condition of the Indonesian automotive aftermarket creates difficulties for consumers due to the lack of information transparency. On the same side, the industry is also a large potential market that is often underestimated. Learning from the US market, shared mobility was able to increase aftermarket industry spending by 150% and this inspires us for the future of the Indonesian automotive aftermarket industry.”

Otoklix service covers two user segments. For car owners, Otoklix has developed a mobile application to facilitate car maintenance. Car owners can order service at a recommended independent repair shop nearby and receive standard rates and service levels. Car owners also get a guarantee for every transaction at Otoklix partner workshops and can track their repair and maintenance history in the application.

Within one year of operation, Otoklix has facilitated service for 10 thousand cars per month by more than 100 active workshop partners. The team believes that it is currently on a growth trajectory to become the largest and most trusted aftermarket service network in Indonesia, with 20 million cars that will become part of the automotive aftermarket market in the next five years.

With the funding obtained, Otoklix targets 500 partner workshops to join and serve 100 thousand cars per month, and 75% of the revenue share of the total procurement of goods and spare parts by partner workshops by December 2021.

Previously, there were three startups that had already tried out the previous batch of Surge acceleration programs from Indonesia. The three of them are Storie, Chilibeli, and Rukita.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peran Baru Edward Tirtanata: Jadi “Angel Investor” Lewat Kenangan Kapital

Startup new retail Kopi Kenangan telah menuai banyak sorotan berkat bisnis coffee chain Indonesia yang memperoleh pendanaan besar dari sederet VC ternama, termasuk Sequoia Capital dan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin.

Menjulangnya bisnis ini tak lepas dari upaya para pendirinya, Edward Tirtanata dan James Prananto. Kini Kopi Kenangan telah menjelma menjadi salah satu brand minuman kopi terkuat, terutama di kalangan anak muda di Indonesia.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Edward Tirtanata, bukan sebagai pendiri bisnis, melainkan pengalaman barunya sebagai angel investor melalui Kenangan Kapital. Bagaimana Edward memaknai peran barunya ini?

Passion di bidang kewirausahaan

Kiprah Edward menjadi angel investor sebetulnya telah berlangsung sejak setahun terakhir. Melalui angel fund miliknya (dengan nama dana kelolaan Kenangan Investment Fund), ia telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, antara lain BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Medigo (Klinik Pintar).

Sejak awal, ia mengaku sangat menekuni bidang enterprenuership. Hal ini terbukti dari upayanya membangun Kopi Kenangan. Namun,  kesuksesannya membangun bisnis tak ingin berhenti sampai di situ saja.

Baginya, kewirusahaan dapat diibaratkan sebagai “a good wealth management” yang mana melibatkan asset class yang berbeda. Artinya, apabila ingin melakukan pembedaan, ia tak ingin berinvestasi pada aset bagus (blue chip) atau deposit saja.

A good investor itu harus bisa diversify. Asset class angel investing, dalam satu tahun naik sepuluh kali lipat itu normal. Buat saya itu menarik,” ujar Edward.

Lewat Kenangan Kapital, ia berharap dapat berkontribusi lebih terhadap industri startup Indonesia. Hal ini juga yang mendorong Edward untuk menjajal pengalaman baru dengan terlibat dalam pendanaan startup.

Ketertarikan ke sektor consumer tech

Consumer tech merupakan salah satu vertikal bisnis yang dilirik investor. Produk consumer yang dipadukan dengan teknologi menjadi alasan mengapa bisnis ini dapat di-scale up dengan mudah.

Contoh paling lekat adalah menjamurnya startup yang masuk ke bisnis tradisional dan memanfaatkan teknologi dengan pendekatan direct-to-consumer (DTC). Produk kacamata atau kecantikan kini bisa dipasarkan tanpa perlu membangun jalur distribusi.

Menyadari tren ini, Edward mengaku tertarik bermain lebih banyak pada sektor consumer tech lewat Kenangan Kapital. Ia menilai masih ada missing gap di consumer tech Indonesia.

Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak mengingat produk/layanan yang menyasar segmen consumer masih terbilang underrated dari sisi teknologi. Di sisi lain, Edward ingin melihat sejauh mana vertikal ini membawanya kepada pengalaman baru dalam berwirausaha.

Hal ini tercermin dari sejumlah portofolionya yang rata-rata bergerak di segmen B2C. Hipotesis yang agak berbeda diambil ketika berinvestasi ke Medigo.

Model bisnis yang diusung Medigo dinilai dapat memberikan impact terhadap segmen consumer. Klinik merupakan pilar utama ekosistem kesehatan di Indonesia. Saat ini, masih banyak klinik yang belum tersandarisasi, sedangkan biaya perawatan di rumah sakit masih terbilang mahal dan belum dapat menjangkau segmen grassroot.

We took an early bet when the numbers are still small, but now they are [Medigo] showing promising results even during the pandemic,” ungkap Edward.

Tantangan

Di luar fokus utamanya di consumer tech, Edward mengungkap ia tidak menetapkan berapa target portofolio yang akan dikejar di tahun 2021. Demikian pula target range investasi yang akan dikucurkan Kenangan Kapital.

Menurutnya, angel investor tidak memiliki pressure tertentu dalam memberikan pendanaan. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja VC yang punya KPI tersendiri. Ia cenderung memilih berinvestasi jika melihat peluang yang ada di depan mata.

“Saya pikir menjadi angel investor tidak harus punya target investasi [yang dikeluarkan]. Semua tergantung dari deal per deal. Tentu saja jika ada pengecualian untuk perusahaan tertentu, saya bisa investasi sebanyak mungkin,” paparnya.

Meskipun tidak memiliki KPI tertentu, Edward menekankan bahwa hal terpenting dalam mengikuti pertumbuhan bisnis portofolionya adalah product to market fit. Apabila startup mendulang traksi organik, paling tidak metrik yang ia ukur adalah customer acquisition cost (CAC).

Kendati demikian, Edward mengakui bahwa tantangan menjadi angel investor sebetulnya tak jauh berbeda dengan venture capitalist. Yang paling umum adalah perihal menyeleksi portofolio. Ia cenderung memilih founder yang dapat menjalankan/menemukan bisnis yang tepat.

“Banyak good founder, tapi tak banyak good founder yang pick a good business. Lebih baik berinvestasi di bisnis yang oke meski founder-nya mediocre. Yang utama buat saya sih conviction. Artinya, no matter what happens, mereka tetap bertahan and make the best out of it. Istilahnya ada determination,” tuturnya.

Menjadi CEO dan investor sekaligus

Lalu bagaimana Edward mengelola perannya menjadi CEO dan angel investor seiring berkembangnya jumlah portofolio Kenangan Kapital di masa depan?

“Pertama, saya perlu menegaskan bahwa full time job utama saya adalah sebagai CEO Kopi Kenangan. Saya tidak ingin passion saya untuk membantu para entrepreneur justru menganggu pekerjaan utama saya di Kopi Kenangan,” ucapnya.

Kedua, ia menilai tidak baik bagi setiap pebisnis untuk terlalu bergantung pada investor mereka dalam jangka waktu lama. Idealnya, para founder ini diharapkan bisa menjadi independen dan fokus terhadap bisnisnya dalam tiga hingga enam bulan.

“Karena Kenangan Kapital itu seperti family office atau tidak ada investor luar, saya tidak ada pressure untuk deploy modal seperti halnya private equity atau VC. I can invest in a very few but exceptional founders and help 2-3 founders at a time,” ungkapnya.

Justru ia mengaku senang apabila portofolionya ada yang bergabung di program akselerator ternama. Menurut Edward, itu dapat berarti mereka tidak bakal memerlukan keterlibatannya lebih banyak di bisnis.

Mengakomodasi ekosistem angel investor

Tak dimungkiri bahwa ekosistem angel investor di Indonesia terbilang tak terdengar gaungnya. Padahal angel investor berperan besar dalam memberikan pendanaan startup di fase awal.

Menurut Edward, eksistensi angel investor di Indonesia sangat jauh berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Negara kiblat industri startup ini memiliki platform database yang menjaring ribuan angel investor di sana. Dengan begitu, startup bisa mendapatkan akses langsung dan lebih mudah mencari pendanaan ke angel investor.

“Di sini akses ke angel investor agak sulit, makanya mereka cenderung cari opsi pendanaan ke keluarga. Makanya, ini yang membuat mereka juga ga bisa kasih pengalaman [yang relevan] ke startup yang diinvestasi karena investor-nya bukan dari background startup,” jelas Edward.

Ia memahami situasi ini. Menurutnya fenomenanya sama ketika industri VC baru bermunculan dan populer beberapa tahun belakangan. Seiring berkembangnya industri, ia berharap ekosistem angel investor bakal ikut berkembang juga nanti.

Otoklix Raih Pendanaan 28 Milliar Rupiah, Hubungkan Pemilik Mobil dan Bengkel Melalui Aplikasi

Startup solusi online-to-offline yang mendigitalisasi industri aftermarket otomotif di Indonesia (termasuk di dalamnya layanan servis atau perbaikan mobil), Otoklix, mengumumkan pendanaan awal bernilai $2 juta atau setara 28 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Surge, program akselerator milik Sequoia Capital India. Turut berpartisipasi GK Plug and Play, Kenangan Investment Fund 1, Lentor Ventures, Noble Star Ventures, dan Andree Susanto selaku founder Waresix.

Surge adalah sebuah program percepatan oleh Sequoia Capital yang ditujukan untuk perusahaan startup di Asia Tenggara dan India. Program ini diadakan sebanyak dua kali dalam setahun, Otoklix berhasil menjadi wakil dari Indonesia untuk mengikuti Surge batch keempat bersama startup terpilih lainnya dari India, Singapura, Vietnam, Indonesia, dan Australia.

Pasar aftermarket mobil Indonesia diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan hingga $15 miliar dengan jumlah 20 juta mobil menjadi bagian pasar industri tersebut pada tahun 2025. Hal ini menjadi salah satu yang mendorong Martin Reyhan Suryohusodo, Joseph Alexander Ananto, dan Benny Sutedjo untuk memulai jaringan aftermarket otomotif terbesar di Asia Tenggara.

Otoklix didirikan pada tahun 2019, dengan misi untuk menjembatani kesenjangan antara pemilik kendaraan dan industri bengkel umum Indonesia yang terfragmentasi. Mentransformasi pengalaman perawatan kendaraan untuk konsumen dan memperlengkapi bengkel-bengkel dengan meningkatkan visibilitas mereka, penyediaan solusi bisnis melalui software, serta penghematan biaya pengadaan.

Co-founder Otoklix Martin Suryohusodo menyampaikan, “Kondisi industri aftermarket otomotif Indonesia yang cukup terfragmentasi memunculkan kesulitan bagi para konsumen karena kurangnya transparansi informasi. Di sisi yang sama, industri tersebut juga merupakan sebuah pasar berpotensi besar yang sering kali diremehkan. Belajar dari pasar Amerika Serikat, mobilitas bersama mampu meningkatkan pengeluaran industri aftermarket sebesar 150% dan hal ini menginspirasi kami untuk masa depan industri aftermarket otomotif Indonesia.”

Layanan Otoklix sendiri mencakup dua segmen pengguna. Untuk pemilik mobil, Otoklix telah mengembangkan aplikasi seluler yang memudahkan perawatan mobil. Pemilik mobil dapat memesan layanan di bengkel independen yang direkomendasikan di dekatnya dan menerima harga dan tingkat layanan standar. Pemilik mobil juga mendapatkan garansi untuk setiap transaksi di bengkel mitra Otoklix dan dapat melacak riwayat perbaikan dan pemeliharaan mereka di dalam aplikasi.

Selama kurang lebih satu tahun beroperasi, Otoklix telah memfasilitasi servis bagi 10 ribu mobil per bulan oleh lebih dari 100 mitra bengkel yang aktif. Pihaknya meyakini bahwa saat ini telah berada pada lintasan pertumbuhan untuk menjadi jaringan layanan aftermarket terbesar dan paling terpercaya di Indonesia, dengan 20 juta mobil yang akan menjadi bagian pasar aftermarket otomotif dalam lima tahun ke depan.

Dengan pendanaan yang didapat, Otoklix menargetkan 500 mitra bengkel yang tergabung serta melayani 100 ribu mobil per bulan, dan 75% bagian pendapatan dari total pengadaan barang dan suku cadang oleh bengkel-bengkel mitra pada Desember 2021.

Sebelumnya, ada tiga startup yang sudah lebih dulu menjajal program percepatan Surge batch sebelumnya dari Indonesia. Ketiganya adalah Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Application Information Will Show Up Here