Strategi OYO Jangkau Segmen Keluarga Klaim Tingkatkan Unduhan 10% di Jakarta

OYO, platform global penyedia layanan akomodasi, melaporkan lonjakan unduhan aplikasi sebesar 10% di Jakarta dalam kampanye terbaru bertajuk “Tempat Nongkrong Baru untuk Keluarga”. Kampanye ini berfokus pada jaringan properti premium yang dikelola oleh OYO, menampilkan kenyamanan dan keseruan liburan bagi keluarga.

Peningkatan unduhan ini mencerminkan kepercayaan konsumen terhadap OYO sebagai penyedia penginapan berkualitas, terutama dengan fokus pada pengalaman yang nyaman dan ramah keluarga. Salah satu daya tarik utama kampanye ini adalah visualisasi yang menonjolkan keseruan liburan keluarga di properti OYO, yang berhasil menarik perhatian publik di platform digital.

Country Supply and Head Operation OYO Indonesia Hendro Tan, menyatakan bahwa kampanye ini sengaja dirancang untuk menunjukkan keunggulan OYO dalam menyediakan pilihan penginapan yang terjangkau dan nyaman. “Kami sangat senang dengan pencapaian ini, yang membuktikan kepercayaan konsumen terhadap OYO dan meningkatnya permintaan terhadap pengalaman perjalanan yang mudah dan menyenangkan,” ujar Hendro.

Keberhasilan kampanye ini tidak lepas dari pendekatan pemasaran berbasis data yang dilakukan OYO. Dengan menggunakan data perilaku pengguna, OYO mampu menargetkan audiens dengan konten yang relevan dan meningkatkan keterlibatan pengguna secara signifikan. Selain itu, laporan terbaru dari Google juga menunjukkan peningkatan kesadaran merek yang sejalan dengan lonjakan unduhan aplikasi.

OYO berkomitmen untuk terus memperluas inovasi dan layanan yang dipersonalisasi bagi pengguna. Dengan musim liburan yang semakin mendekat, perusahaan optimis akan dapat melanjutkan momentum ini melalui kampanye dan inisiatif tambahan.

OYO adalah platform global yang mendukung pemilik properti dan pengusaha kecil dengan teknologi lengkap untuk meningkatkan pendapatan dan efisiensi operasional. Dengan kehadiran di lebih dari 35 negara, OYO menawarkan akomodasi yang mudah dipesan, terjangkau, dan terpercaya bagi pelanggan di seluruh dunia.

Juli lalu, OYO baru saja mengumumkan pencapaian lainnya dengan meraih pendanaan sebesar $50 juta atau setara Rp810 miliar. Pendanaan ini difasilitasi oleh InCred Wealth and Investment dan menarik minat tinggi dari para investor, dengan permintaan yang melebihi 2,5 kali dari yang ditawarkan. OYO melihat ini sebagai bukti kuat dari kepercayaan pasar terhadap proposisi nilai perusahaan.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OYO Umumkan Pendanaan Rp810 Miliar Difasilitasi InCred Wealth and Investment

OYO, platform global penyedia akomodasi budget, mengumumkan meraih pendanaan $50 juta atau setara Rp810 miliar dari jajaran investor yang difasilitasi InCred Wealth and Investment. Diklaim putaran ini menarik minat tinggi dari investor dengan permintaan melebihi 2,5x dari yang ditawarkan, mencapai $120 juta. Hal ini dinilai menunjukkan kepercayaan pasar yang kuat terhadap proposisi nilai perusahaan.

OYO juga telah mendapatkan persetujuan pemegang saham untuk meningkatkan modal saham dari $108 juta menjadi $161 juta, memberi perusahaan fleksibilitas untuk menawarkan saham baru dan mengejar peluang masa depan.

Di saat yang bersamaan, OYO sedang menyelesaikan re-payment untuk mengoptimalkan struktur permodalan dan mengurangi beban pembiayaan. Targetnya adalah mengumpulkan dana hingga $450 juta melalui penjualan obligasi dolar, yang diharapkan dapat menghemat bunga tahunan sebesar $15 juta.

Pada tahun pertama fiskal 2024, OYO melaporkan laba bersih setelah pajak sebesar $12 juta. Keberhasilan ini mendorong Fitch Rating untuk meningkatkan peringkat OYO dari ‘B-‘ menjadi ‘B’. Moody’s Investor Service juga memberikan rating B3 kepada OYO, mencatat pengendalian biaya dan pertumbuhan bisnis yang diharapkan akan meningkatkan EBITDA menjadi $125 juta pada tahun fiskal 2025.

Bersamaan dengan berita ini, OYO mengumumkan penunjukan Sumer Juneja dari SoftBank Vision Fund sebagai Direktur non-eksekutif. Saat ini OYO menawarkan lebih dari 40 produk dan solusi kepada lebih dari 170.000 pemilik properti di India, Eropa, Asia Tenggara, dan 35 negara lainnya untuk menyediakan akomodasi hemat budget kepada pelancong.

Di Indonesia, OYO bersaing langsung dengan sejumlah penyedia layanan serupa. Beberapa di antaranya Reddoorz, Singgahsini by Mamikos, dan Bobobox.

Seperti diberitakan sebelumnya RedDoorz sendiri cukup optimis untuk bisa meningkatkan bisnisnya tahun ini. Mereka membidik profitabilitas secara penuh pada 2024 usai merealisasikan arus kas positif (secara grup) pada kuartal akhir 2023. Terlepas dengan situasi pasar yang tengah tidak menentu, RedDoorz mencatat pertumbuh pendapatan sebesar 30% pada 2023 dan menjaga momentum pertumbuhannya di kisaran 30%-50% pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OYO Kembali Jadwalkan IPO di India Jelang Akhir Tahun 2023

Setelah sempat tertunda, startup jaringan hotel bujet OYO dikabarkan kembali mengajukan dokumen baru untuk penawaran umum perdana saham atau IPO di India. Menurut sumber Skift, media lokal India, OYO mengurangi target dana segar yang diincar antara $400 juta-$600 juta, menurun tajam dari rencana awal sebesar $1 miliar.

Oravel Stays, induk dari OYO, telah mengajukan ulang Draft Red Herring Prospectus (DRHP) dengan Securities and Exchange Board of India (Sebi). Direncanakan IPO akan dilaksanakan sekitar November 2023 setelah Sebi memberikan persetujuan.

Sebelumnya, upaya untuk IPO diungkap pada 2021, OYO menargetkan dapat mengumpulkan 84,3 miliar Rupee ($1 miliar). Valuasi OYO sempat tembus ke angka $10 miliar pada 2019, tetapi ambles menjadi $2,7 miliar pada tahun lalu.

Rute pra-pengajuan (pre-filing) akan memberikan OYO fleksibilitas dalam hal waktu dan ukuran IPO. Biasanya dengan rute tradisional, perusahaan harus melaksanakan IPO dalam waktu 12 bulan sejak persetujuan Sebi. Sementara dalam jalur pra-pengajuan, IPO dapat diajukan dalam waktu 18 bulan sejak tanggal dari respons final Sebi.

Rute ini juga memberikan fleksibilitas untuk mengubah ukuran masalah utama sebesar 50 persen hingga tahap Updated Draft Red Herring Prospectus (UDRHP).

Nominal dana segar yang diincar $400 juta-$600 juta akan menjadi penerbitan utama (saham baru yang diterbitkan perusahaan untuk publik), akan digunakan untuk membayar sebagian besar utang perusahaan, menurut sumber Skift.

Pengajuan terakhir OYO ke Sebi pada November 2022 adalah hasil keuangan terbarunya untuk paruh pertama tahun keuangan 2022-2023, yang menunjukkan peningkatan signfikan dalam kinerja perusahaan sejak pengajuan IPO awal pada September 2021. Secara topline, ada peningkatan margin kotor yang berkelanjutan, dan pengurangan kerugian secara keseluruhan.

Founder OYO Ritesh Agarwal menyampaikan, perusahaan menargetkan EBITDA yang disesuaikan hampir ₹800 crore ($98 juta) di 2024. Untuk itu, perusahaan akan mengambil langkah-langkah untuk menjaga arus kas yang sehat dan terus beroperasi dengan menghemat banyak pengeluaran.

“Kami memiliki saldo kas saat ini sekitar ₹2.700 crore ($330 juta) dan kami berharap pada akhirnya dapat menggunakan sangat sedikit dana kas untuk operasi yang ada. Arus kas kami telah menunjukkan peningkatan dan ketergantungan kami pada dana eksternal secara bertahap menurun dari waktu ke waktu,” kata Agarwal dalam townhall baru-baru ini.

Dia mengaitkan peningkatan kinerja tersebut didukung oleh bisnis OYO di India, Indonesia, Amerika Serikat, dan UK serta pengoptimalan yang relevan dalam bisnis rumah liburan di Eropa.

Sepanjang pandemi, OYO mundur dari sejumlah pasar di luar India, memangkas staf demi bertahan hidup. Perusahaan juga beralih dari model bisnis padat modal dan aset fisik, mengalihkan fokusnya untuk membangun teknologi sebagai layanan.

OYO Indonesia

Perusahaan baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk menggandakan jumlah hotel premium di India pada tahun 2023 dengan menambahkan sekitar 1.800 hotel premium. Fokus OYO pada hotel premium dimulai pada kuartal terakhir tahun 2022 dengan menambahkan lebih dari 400 hotel premium baru antara Oktober dan Desember.

Sejumlah brand akomodasi untuk segmen mid-premium, yakni Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O sudah tersebar di lebih dari 35 negara, termasuk Indonesia. Perusahaan juga meluncurkan program akselerator untuk pelaku bisnis perhotelan generasi pertama dengan lebih dari lima hotel operasional di platformnya.

Di Indonesia saja, segmen pengguna dari korporasi menyumbang kontribusi bisnis terbesar di OYO. Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi.

Para klien tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Sejak hadir di Indonesia sejak 2018, OYO memiliki 2.500 properti yang tersedia di 180 kota, termasuk di antaranya Jakarta, Bandung, Medan, Palembang, Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Pertumbuhan bisnisnya diklaim naik 15 kali lipat dengan peminat lebih dari 12 juta pelanggan.

Berdasarkan tren pemesanan tertinggi, Bandung, Bali, Yogyakarta, Malang, dan Lampung merupakan kota destinasi liburan sepanjang 2022. Sementara, Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan adalah kota dengan kunjungan bisnis tertinggi.

Application Information Will Show Up Here

Imbas Pariwisata Lokal Meningkat, Bisnis Hotel Bujet Melesat

Genap tiga tahun terkena dampak pandemi, industri pariwisata tanah air diprediksi memasuki babak baru tahun ini. Pemulihan sudah terlihat dan industri ini perlahan mulai bangkit. Hal ini juga tercermin dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia serta peningkatan jumlah perjalanan domestik..

Berdasarkan data BPS, dari Januari hingga Oktober 2022, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,92 juta kunjungan, naik 215,16 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama di tahun 2021. Peningkatan juga terlihat dari angka perjalanan domestik di Indonesia.

Di akhir tahun 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan bahwa Indonesia telah memecahkan all time record dengan lebih dari 800 juta pergerakan wisatawan domestik sepanjang tahun. Angka ini melampaui jumlah perjalanan domestik sebelum pandemi sebanyak 722,16 juta pada 2019.

Jumlah perjalanan domestik di Indonesia selama 2012-2021 (dalam juta). Sumber: Statista

Bangkitnya industri pariwisata turut menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi para pelaku industri. Pasalnya selama pandemi ada pergeseran kebiasaan berlibur pada masyarakat dan para pelaku usaha terkait yang ingin mengembangkan bisnisnya harus berusaha untuk tetap relevan dengan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Pergeseran tren pariwisata

Pada 2021, ketika pembatasan interaksi mulai longgar dan akses vaksin sudah merata, wisatawan domestik menjadi penggerak kinerja sektor ini. Mengingat risiko virus masih tinggi, alih-alih melakukan perjalanan internasional, wisatawan gencar mengeksplorasi wisata domestik. Menurut data Statista, terdapat lebih dari 603 juta perjalanan domestik terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Pegipegi Travel Report 2022 , hasil survei secara online terhadap lebih dari 450 pelanggan menunjukkan bahwa 49 persen responden telah traveling lebih dari lima kali, dan 44 persen lainnya traveling sebanyak 2–4 kali sepanjang tahun. Sebagian besar dari mereka menyukai traveling di dalam kota maupun menuju destinasi-destinasi di luar kota.

Terkait perencanaan kegiatan liburan, mayoritas responden atau sekitar 82 persen, mengalokasikan budget secara rinci untuk kebutuhan traveling, mencakup biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Adapun rentang alokasi budget yang dikeluarkan responden untuk satu kali perjalanan yaitu sekitar Rp1 juta–Rp3 juta (sebesar 36 persen) dan Rp3 juta–Rp5 juta (sebesar 25 persen).

Sumber: Pegipegi Travel Report 2022

Melihat data di atas, salah satu yang diproyeksi akan menjadi tren masa depan industri pariwisata adalah budget travel yang berarti bepergian dengan biaya minim. Dari sini, lahir beberapa konsep liburan baru. Salah satunya staycation, konsep ini mengedepankan sisi praktis liburan yang dilakukan di rumah atau area dalam kota.

Di samping itu, satu hal yang juga memengaruhi pariwisata lokal semakin meningkat adalah konsep kerja di beberapa perusahaan yang masih menerapkan WFA atau work from anywhere. Hal ini memungkinkan para pekerja untuk lebih fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja, termasuk area wisata. Tren liburan sambil bekerja ini juga disebut workation.

Laporan dari Asia Travel Leaders Summit juga menyebutkan bahwa karakter wisatawan milenial Indonesia merupakan yang paling memperhatikan keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan karakter wisatawan China, Singapura, dan India. Pertumbuhan tren budget travel ini tentunya mendorong bisnis hotel bujet yang sebagian besar dipilih karena keterjangkauan harga.

Industri hotel bujet mulai ekspansi

Di Indonesia sendiri, industri hotel bujet mulai ramai ketika pemain global masuk dan menyasar pasar Indonesia. RedDoorz menjadi salah satu pionir yang masuk ke Indonesia di tahun 2015. Perusahaan menganut model bisnis bekerja sama dengan properti yang bersifat kecil dan independen.

Pada dasarnya, model bisnis ini tidak jauh berbeda dengan pemain hotel bujet terbesar di India, OYO, yang akhirnya ikut masuk ke pasar Indonesia di tahun 2018. Kedua platform ini menawarkan renovasi, pengelolaan manajemen hotel, serta pemberdayaan bagi pegawai dalam mengelola akomodasi.

Selain mengakibatkan perubahan tren, kehadiran pandemi juga melahirkan fenomena baru yang tengah berlangsung di industri hotel bujet. Jika sebelumnya kebanyakan hotel berbintang memperluas jangkauan dengan membuka cabang hotel bujet, kini hotel bujet mulai memperluas jangkauan dengan menambahkan segmen pelanggan, termasuk premium.

RedDoorz mulai menerapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan new age hospitality dengan membangun merk hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020. Melalui brand ini, perusahaan menargetkan pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design inspired, dan warmth, memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti menghantarkan perusahaan mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

“Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022,” ujar Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring.

Selain Sans Hotel, RedDoorz juga memiliki Urbanview Hotel untuk para urban traveler, Sunerra Hotel yang cocok bagi keluarga yang menginginkan layanan berkelas, KoolKost yang cocok untuk akomodasi jangka panjang, serta The Lavana yang akan segera diluncurkan. Selama tujuh tahun beroperasi, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia.

Country Operation Head OYO Indonesia Hendro Tan mengungkapkan, “Tren perjalanan saat ini menunjukkan bahwa wisatawan mencari tempat menginap yang nyaman, sehingga permintaan pada akomodasi premium diperkirakan akan naik secara signifikan.”

OYO sendiri disebut tengah menggenjot akomodasi di segmen bisnis dan premium di Indonesia sebagai core market-nya di Asia Tenggara dan global. “Indonesia menjadi kunci dari rencana pertumbuhan bisnis dalam skala global, OYO telah membuktikan transformasinya, dan berfokus pada properti premium,” tegasnya.

Beberapa pilihan akomodasi segmen premium OYO, termasuk Townhouse OAK, Townhouse, Collection O, dan Capital O. “Kami juga ingin menjalin kemitraan yang kuat dengan pelanggan kami di kota-kota bisnis dan kota tujuan rekreasi, dengan penetrasi yang lebih kuat ini kami yakin untuk terus menambah portofolio kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, serta menerapkan lokalisasi produk dan layanan,” tutupnya.

Dengan konsep yang berbeda, bobobox menyasar pasar hotel bujet di Indonesia dengan menawarkan layanan hotel kapsul yang mengutamakan efisiensi ruang. Didirikan pada 2018, bisnis hotel kapsul Bobobox telah melejit dengan total okupansi sebanyak 922 kamar di 16 lokasi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Perusahaan juga memiliki cabang premium yang diberi nama bobocabin. Tahun ini, Bobocabin menjadi fokus ekspansi Bobobox dengan menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia, diantaranya Padusan, Jawa Timur, dan Ubud, Bali. Harapannya, ekspansi yang dilakukan Bobobox dapat berkontribusi terhadap perekonomian serta pemberdayaan sosial daerah setempat.

Tantangan dan peluang

Industri pariwisata memang sempat mengalami titik terendah pada awal pandemi yang memicu pembatasan mobilitas masyarakat secara besar-besaran. Pada 2020, salah satu pelaku industri, Airy, memutuskan untuk menutup bisnis secara permanen setelah dilaporkan telah memberhentikan 70 persen jumlah karyawannya.

Hal ini juga menimpa pelaku industri lainnya seperti OYO yang mencatat tingkat okupansi mitra hotel anjlok sebanyak 60%. Tidak hanya kondisi fisik, mental pun juga terdampak. RedDoorz sendiri sempat meluncurkan program Hope Hotline untuk menyediakan layanan sesi penyuluhan kepada mitra secara online.

Di samping pandemi, CEO Bobobox Indra Gunawan juga mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, ada beberapa hal yang masih menjadi penghambat terbesar dari bisnis akomodasi, seperti modal yang tinggi, standar yang tidak konsisten, dan profitabilitas yang rendah. “Hal inilah yang ingin kami lawan di Bobobox,” tegasnya.

Selain skena jaringan hotel kapsul, bobobox juga menawarkan model bisnis kemitraan untuk investor yang berminat masuk ke bisnis bobobox. Mereka dapat terlibat pendanaan proyek, maupun bekerja sama terkait kepemilikan lahan.

Di tengah isu perlambatan ekonomi global, perekonomian nasional terus menunjukkan resiliensi dan beranjak pulih lebih cepat. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang tumbuh solid sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2022 bahkan mencapai 5,31% (ctc), kembali mencapai level sebelum pandemi.

Melihat hal ini, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi wisatawan domestik yang cukup besar untuk menyokong industri pariwisata tanah air. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan sekitar 1,2-1,4 miliar pergerakan perjalanan wisatawan domestik serta 3,5-7,4 juta kunjungan wisata mancanegara.

Pada awal Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengumumkan total 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2022 penuh. Angka ini memang masih jauh dari total kunjungan sebelum Covid-19 sebanyak 16,11 juta wisatawan pada 2019. Namun, krisis COVID-19 telah merusak jumlah wisatawan Indonesia secara struktural. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan proses yang tidak instan untuk bisa pulih secara menyeluruh.

OYO Indonesia Genjot Akomodasi di Segmen Bisnis dan Premium

Oravel Stays Ltd, induk usaha dari operator hotel bujet OYO, mengungkap bahwa EBITDA positif diperkirakan bakal terealisasi untuk pertama kalinya pada tahun buku 2023. Pihaknya mengestimasi EBITDA yang disesuaikan pada semester II tahun buku 2023 naik tiga kali lipat menjadi $24 juta dibandingkan semester I.

Mengutip pemberitaan Inc42, kenaikan tersebut terjadi berkat pengurangan sejumlah elemen biaya sehingga perusahaan dapat menikmati efisiensi operasional, pertumbuhan di segmen bisnis, dan profitabilitas operasional yang terus berlanjut.

Dalam keterangan resminya, OYO mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi. OYO juga menambah tim di Business Development untuk mendongkrak penambahan jumlah properti sekitar 15% pada semester II tahun buku 2023. 

Segmen bisnis memang tengah digencarkan OYO di Indonesia sebagai salah satu core market-nya di Asia Tenggara dan global. Disampaikan di blog resminya, Global CBO & CEO di Asia Tenggara dan Timur Tengah Ankit Tandon mengatakan permintaan terhadap kebutuhan akomodasi business travel mulai meningkat.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melaporkan bahwa pergerakan wisatawan domestik mencapai 633 juta-703 juta per Oktober 2022. Di tahun ini, pergerakan wisatawan domestik diestimasi meroket 1,2 miliar-1,4 miliar. Kemudian, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) memperkirakan volume investasi bisnis hotel di Indonesia mencapai $300 juta di 2023.

Selain korporasi, pihaknya berencana melipatgandakan volume hotel premium di tahun ini. Saat ini, OYO menghadirkan akomodasi di segmen mid-premium melalui Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O.

Di samping itu, Ankit menilai Indonesia adalah pasar paling matang dalam skala dan unit ekonomi. Pihaknya berupaya untuk mengambil peran sebagai katalisator demi memaksimalkan potensi pasar lokal dan inovasi teknologi untuk mengatasi kebutuhan pasar. “Kami siap untuk melayani customer dengan memaksimalkan pertumbuhan portofolio, inovasi teknologi, dan pilihan perjalanan domestik yang lebih accessible,” tuturnya.

Akomodasi bisnis

Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi. Pemesanan tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa business travel mulai berangsur bangkit dikarenakan pemerintah Indonesia bertahap melonggarkan travel restriction. Tingkat vaksinasi Covid-19 di kalangan masyarakat juga terus bertambah.

OYO juga mulai memperkuat inovasi untuk menghadirkan pengalaman dan fitur baru kepada para pelancong. Menurut Ankit, kemampuan beradaptasi masa kini dapat menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi. Pihaknya memberikan keleluasaan kepada tim teknologi untuk bereksperimen dan menemukan cara baru dalam mengurangi kompleksitas dan meningkatkan penghematan biaya.

Saat ini, OYO menawarkan opsi storefront yang luas mulai dari aplikasi OYO, web dan mobile web, hingga platform OTA. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan OYO 360 atau tool berbasis AI untuk self-onboarding dengan two-click platform.

Navigasi strategi

Sejumlah platform penyedia akomodasi atau OTA telah menavigasi strateginya agar dapat keluar dari tekanan situasi yang sempat menurunkan layanannya. RedDoorz yang merupakan pesaing kuat OYO juga baru saja mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat.

Dalam paparannya, petinggi RedDoorz mengumumkan strategi bisnis menjadi new-age hospitality. Salah satunya masuk ke bisnis properti lewat merek “Sans Hotel” yang telah digaungkan dari akhir 2020. Sans Hotel mengincar pelancong dari generasi Z dan milenial yang memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

RedDoorz mengklaim telah mengakomodasi sekitar 3.000 properti di 257 kota di Indonesia. Jumlah tersebut tumbuh 55% sejak 2019. Pihaknya juga menyebut bahwa perubahan strategi ini membuktikan resiliensi bisnis RedDoorz di tengah pandemi.

Sementara, OYO mencakup pencapaian baru dengan 100 juta unduhan di global pada 2021. Per Januari 2020, OVO mengakomodasi sebanyak 43.000 properti dan 1 juta kamar di 800 kota di dunia. Pesaing lain yang tersisa kini adalah Zen Rooms. Sebelumnya, ada Airy yang akhirnya menyerah pada Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here

Apa itu OYO Hotel? Rekomendasi Penginapan Murah bagi Budget Traveler

Kini semakin marak tren wisata dengan anggaran murah yang turut serta mendorong kemunculan beberapa platform penyedia akomodasi penginapan terjangkau. Budget travel menjadi istilah bagi pilihat berwisata bagi siapapun yang menganggarkan guna perjalanan termasuk memilih kamar hotel.

Tren wisata lokal ini cenderung memiliki keinginan tinggi berwisata meski anggarannya minim, sehingga hotel yang dipilih pun tak perlu mewah. Kebanyakan bahkan memilih hotel murah demi berhemat.

Akhirnya, tren kamar hotel murah ikut marak didorong kemudahan teknologi sebagai sarana pemesanan. Hal inilah yang mendorong kemunculan sektor usaha startup berbasis teknologi bagi perhotelan atua yang dikenal dengan istilah virtual hotel operator (VHO).

Fenomena VHO berkembang pesat beberapa tahun terakhir termasuk di Indonesia. Baik itu pengusaha lokal dan dari negara lain kian meramaikan, salah satunya adalah OYO yang berasal dari India.

Mengenal OYO Rooms, Usaha Perhotelan asal India

OYO Rooms, umumnya dikenal sebagai OYO adalah jaringan layanan perhotelan dan hotel hemat asal India. Didirikan pada 2013 oleh Ritesh Agarwal dan sejak itu berkembang menjadi lebih dari 8.500 hotel di 230 kota baik itu di India, Malaysia, Nepal, Cina, dan Indonesia.

OYO Rooms secara aktif hadir di Indonesia pada Oktober 2018. Cukup dengan jangka waktu delapan bulan, OYO berhasil menguasai lebih dari 720 hotel dan 20 ribu kamar di 80 kota. Pertumbuhan bisnis OYO terbilang sangat signifikan karena mencapai 20 kali lipat atau 1900% dalam kurun waktu yang relatif singkat.

Model bisnisnya sendiri yaitu pemilik properti bermitra dengan OYO, kemudian mengoperasikannya model manchise (manajemen dan franchise). Semua properti akan dioperasikan dalam perjanjian sewa atau mengizinkan pemilik properti menjalankannya dalam kesepakatan waralaba.

Kontrol dan manajemen hotel akan dipegang penuh OYO. Model ini juga diterapkan di India dan Tiongkok.

Produk dan Layanan

OYO memiliki beberapa produk seputar rumah dan penginapan:

OYO Townhouse

Produk ini dipromosikan sebagai hotel lingkungan yang berada di segmen menengah berupa akomodasi ekonomi premium.

OYO Home

Berikutnya adalah OYO Home yang diklaim oleh OYO sebagai sistem manajemen rumah perdesaan India.

OYO Vacation Homes

Selanjutnya adalah produk bernama OYO Vacation Homes. Sesuai namanya, produk ini menyediakan sewa rumah untuk berlibur. Dikutip dari laman resminya, yakni oyovacationhomes.com, OYO Vacation Homes adalah salah satu perusahaan persewaan liburan terkemuka di Eropa.

SilverKey

Produk terbarunya adalah Silverkey yang diluncurkan pada bulan April 2018. Silverkey adalah produk yang melayani kebutuhan perjalanan bisnis.

OYO Life

Terakhir adalah OYO Life, yakni layanan penyewaan rumah yang dikelola penuh untuk jangka panjang.

Layanan Akomodasi OYO Rooms

Saat ini hotel-hotel dan akomodasi yang tergabung dengan jaringan OYO terus mengalami peningkatan. OYO hadir dengan penawaran harga yang terjangkau tetapi dengan kualitas yang sangat baik.

Selain itu, jaringan OYO juga semakin menjamur hampir di seluruh kota di Indonesia. Untuk meyakinkan kamu mengenai kualitas akomodasi ini, berikut ini adalah beberapa kelebihan hotel OYO.

Jaringan Hotel Luas

Saat ini berlibur ke berbagai kota di Indonesia tidak perlu pusing lagi mencari tempat untuk menginap karena OYO Hotel hadir dengan penawaran harga bersahabat dan fasilitas yang lengkap. Tarif hotel OYO ditawarkan mulai dari Rp 150 ribuan saja.

Dengan jaringan hotel yang luas, kamu dapat menikmati pengalaman mendapatkan akomodasi liburan di manapun tujuan liburanmu.

Harga yang Kompetitif

Tidak dipungkiri bahwa saat ini memang sudah banyak hotel-hotel murah yang bermunculan. Tetapi OYO menawarkan lebih dari itu. Meskipun menawarkan akomodasi dengan harga terjangkau, fasilitas yang ditawarkan sangat bagus dan tidak kalah dibandingkan hotel-hotel lain yang memiliki tarif lebih mahal.

Kenyamanan sebagai Landasan Berdiri

Setiap pelancong tentunya ingin beristirahat di kamar yang nyaman dan bersih ketika melakukan liburan. Itulah yang dipikirkan Ritesh Agarwal dengan mendirikan OYO Rooms.

Kamu dapat memperoleh hotel dengan tarif murah dan kamar yang nyaman serta bersih. Saat ini hampir semua mitra OYO telah dilengkapi dengan fasilitas terbaik seperti TV, AC, dan kamar mandi yang bersih.

Banyak Promo Menarik

Bagi para pecinta kegiatan traveling tentu sangat diuntungkan dengan adanya promo. Promo tersebut memungkinkan traveler untuk menginap dengan tarif yang lebih murah. Dengan menyewa penginapan OYO, kamu juga bisa memperoleh berbagai promo menarik yang tidak ditawarkan oleh akomodasi lainnya khususnya pada waktu liburan.

Pemesanan Mudah

Pemesanan akomodasi yang sangat mudah dan praktis karena dapat dilakukan di mana saja. Beberapa situs pemesanan hotel juga sudah melayani pemesanan OYO Rooms melalui situsnya. Selain pemesanan yang mudah, proses pembayarannya juga fleksibel karena bisa melalui situs booking hotel atau bisa juga dengan sistem bayar di tempat.


Itulah beberapa hal mengenai OYO Hotel yang mungkin ingin kamu ketahui. Bagi seseorang yang harus menganggarkan dengan bijak pengeluaran travelling, OYO mungkin bisa jadi pilihan utama tempat penginapan.

Di samping itu, semoga kamu bisa menemukan banyak hal yang cocok untuk liburanmu ya!

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here

The Story of Overpaid Talents in Indonesia’s Tech Startup Ecosystem

It is quite common to find most startups offering substantial salaries for a series of expertise. Software Engineer, for example, is a type of work that is often associated with a high salary in startups.

Not only engineers but some other occupations are also tempted by a large sum of salaries. All this is inseparable from the combination of imbalanced supply-demand human resources and startup culture that emphasized rapid growth compared to traditional companies.

Recently, there was a problem as we observed the startup habit of giving exorbitant salaries to their employees. First, when funding dried up, employees’ layoffs can occur quickly. Second, their previously high salary can make it harder for companies to recruit due to their grade which is considered above average.

The budget hotel startup, OYO, has recently made the news after firing thousands of its employees in India, China, and also in the United States. Similar official announcements have not yet been heard from their operations in Indonesia. However, rumors have been spreading on social media.

We discuss with several people from the headhunter’s office to find out more whether it is true that startups are to “blame” for resources’ too expensive labels and considered “damaging prices”.

Lack of Resources

David Wongso, who works as Transearch International’s Managing Director, a human resources recruitment company, said that the first thing to understand is the availability of human resources which is sadly not getting along with the growing number of startups in Indonesia, at least until 2030. Not only startups, but the rise of conventional companies to digitize their businesses also add to the imbalance of the supply-demand of digital talent.

David also discovered another factor on the lean structure of startups that often caused some employees to level up so quickly from junior to senior management. Therefore, David said it is not surprising that such a large gap can causes remuneration for some human resources swelling.

“Some of them get leapfrog promotions jumping from middle to senior management,” David told DailySocial.

Rendi – an alias – is Gojek alumnus with expertise in marketing. The ex-Gojek status has successfully paved the way to join other startups. Although, not exactly as stated by David, Rendi managed to jump over mid-level management when moving to another startup.

Rendi agrees on the startup habit that is willing to pour out a large amount of remuneration of the desired talents. However, this does not apply at all levels and places. As Rendi said, his previous office only provides fantastic remuneration at the senior management level, not the junior and middle levels.

“For example, entry-level marketing for the strategic category has quite low offering. Nevertheless, other marketing positions such as Head or VP or any kind can be the real deal because mostly hijacked from big companies,” Rendi said.

High Demand

Another story comes from Haryotomo Wiryasono who works as a senior consultant at Glints, a recruitment platform. Haryo claimed that the term overpaid for startup talents is quite debatable.

According to Haryo, the demands and workload of startup employees are the main factors of the high salary. Investors’ pressure to achieve growth and impact leads to the extra work of the startup members. This is different from the conventional business model of the company which focuses on profits and the company’s long-term survival even though the results are slower growth.

“They don’t have the privilege of conventional companies. While we know that one of the startups that we know the oldest, like Facebook, is still in its teens but it has a huge impact,” he explained.

The three people above admit that startup culture influences the workforce climate. Haryo claimed to get a story from his client that the price tag of startup talents is too expensive. Rendi, in his new place, had failed several times to acquire talents of well-known startups because of the different standard salary.

However, David who has a long journey in the HR recruitment sector said the expensive price tag was not everlasting sweet. It’ll soon be a burden for the workers if they are unable to meet the expectations of their price tags. In the end, exorbitant salaries for digital talents who have worked in startups can be justified if they succeed in bringing their expertise, which is actually needed by many companies.

“Indeed, digital talents selected and eliminated from startup, when they return to work in large companies, they must be able to adapt to the company’s culture. Whether they are overpaid and have no leadership and managerial skills, it will be an obstacle for them,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fenomena Talenta “Overpaid” di Ekosistem Startup Teknologi Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tak sedikit startup menawarkan gaji yang cukup besar bagi sejumlah bidang keahlian. Software Engineer misalnya adalah jenis pekerjaan yang identik dengan bayaran mahal di startup.

Tak hanya engineer, beberapa talenta di keahlian lain pun tak luput dari iming-iming gaji besar. Semua ini tak lepas dari kombinasi supply-demand sumber daya manusia yang masih berat sebelah dan kultur operasional startup yang menekankan pertumbuhan yang cepat jika dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

Belakangan ada masalah yang terlihat dari kebiasaan startup memberi gaji selangit kepada karyawannya. Pertama, ketika sumber pendanaan mengering, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi dengan cepat. Kedua, gaji tinggi mereka di tempat sebelumnya dapat menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut talenta tadi karena dianggap jauh di atas rata-rata yang mereka sanggupi.

Belum lama startup hotel bujet, OYO, masuk ke dalam pembicaraan ini setelah memecat ribuan karyawan mereka di India, Tiongkok, juga di Amerika Serikat. Pengumuman resmi serupa memang belum terdengar dari operasional mereka di Indonesia. Meski demikian desas-desus mengenai hal itu sudah berkeliaran di media sosial.

Kami berbicara dengan beberapa orang dari kantor headhunter untuk mengetahui lebih jauh apakah benar startup pantas “disalahkan” atas label SDM yang terlalu mahal sehingga dianggap “merusak harga”.

Kelangkaan sumberdaya

David Wongso yang bekerja sebagai Managing Director Transearch International, sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia, mengatakan pertama-tama yang harus dipahami adalah ketersediaan SDM belum mengimbangi jumlah startup yang terus bertambah di Indonesia setidaknya hingga 2030 nanti. Tak hanya startup, gelombang perusahaan konvensional mendigitalisasi bisnis mereka juga menambah jomplangnya neraca permintaan dan suplai talenta digital.

Faktor lain yang ditemukan David adalah struktur ramping startup kerap kali menyebabkan sejumlah personel mengalami lompatan yang relatif lebih cepat dari level manajemen junior ke manajemen senior. Maka, menurut David, tak mengherankan gap yang sedemikian besar itu menyebabkan remunerasi bagi sejumlah SDM jadi membengkak.

“Sebagian dari mereka mendapatkan leapfrog promosi melompati jenjang middle management ke senior management,” ujar David kepada DailySocial.

Rendi–bukan nama sebenarnya–merupakan alumni Gojek dengan keahlian di bidang pemasaran. Status alumni Gojek berhasil memuluskan jalannya bergabung ke startup lain. Meski tidak persis seperti yang diutarakan David, Rendi berhasil melompati manajemen level menengah saat pindah ke startup lain.

Rendi mengamini kebiasaan startup yang rela menggelontorkan uang yang cukup besar untuk remunerasi SDM yang diinginkan. Meskipun demikian, hal itu tak berlaku di semua level dan tempat. Menurut Rendi, di tempat ia bekerja sebelumnya remunerasi fantastis hanya terjadi di level manajemen senior, namun tidak di level junior dan menengah.

“Misal ya entry level marketing yang masih kategori strategic, itu offering-nya lumayan rendah. Tapi marketing yang misal Head atau VP atau apapun bisa gede banget karena kebanyakan hijack dari perusahaan besar,” ucap Rendi.

Tuntutan tinggi

Cerita lain datang dari Haryotomo Wiryasono yang bekerja sebagai konsultan senior di Glints, sebuah platform rekrutmen. Haryo mengaku istilah overpaid untuk para talent asal startup masih bisa diperdebatkan.

Menurut Haryo, tuntutan dan beban kerja personel startup menjadi penyebab utama bayaran yang mereka terima jadi sangat tinggi. Tekanan investor untuk mencapai target pertumbuhan dan dampak yang diincar berujung pada kerja ekstra para punggawa startup. Ini berbeda dengan model bisnis perusahaan konvensional yang menitikberatkan profit dan keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang meski hasilnya pertumbuhan mereka lebih lambat.

“Mereka tidak punya privilese seperti perusahaan konvensional. Sementara kita tahu salah satu startup yang kita kenal paling tua, seperti Facebook, itu umurnya masih belasan tahun tapi dampaknya sudah besar banget,” jelasnya.

Ketiga orang di atas mengakui bahwa kultur startup berpengaruh terhadap iklim tenaga kerja. Haryo mengaku mendapat cerita dari kliennya bahwa label harga tenaga kerja dari startup terlampau mahal. Rendi di tempat barunya beberapa kali gagal mendaratkan talenta dari startup ternama karena standar gajinya yang berbeda cukup jauh.

Namun David yang sudah lama bekerja di sektor rekrutmen SDM berujar label harga mahal tak selalu manis. Label harga mahal akan jadi beban bagi si pekerja ketika mereka tak mampu memenuhi ekspektasi dari label harga mereka. Pada akhirnya gaji selangit bagi talenta digital yang pernah bekerja di startup dapat terjustifikasi jika berhasil membawa keahlian mereka yang sejatinya kian dibutuhkan banyak perusahaan.

“Tentunya talenta digital yang terseleksi dan gugur dari startup, ketika mereka kembali bekerja di perusahaan besar, harus bisa beradaptasi dengan budaya yang unik dari perusahaan. Bila mereka overpaid dan tidak memiliki kemampuan leadership dan manajerial, maka akan menjadi kendala bagi mereka,” pungkas David.

Oyo Resmikan Vertikal Bisnis Hunian Indekos “Oyo Life” di Indonesia

Oyo memboyong vertikal bisnis yang bergerak di hunian jangka panjang atau indekos ke Indonesia dengan brand “Oyo Life.” Indonesia adalah negara ketiga yang disambangi Oyo Life, setelah India dan Jepang.

Country Head for Emerging Business Oyo Indonesia Eko Bramantyo menjelaskan, pasar indekos di Indonesia terus bergeliat, didorong oleh permintaan yang tinggi dan potensi pengembangan rantai bisnis yang besar termasuk katering, laundry, housekeeping, dan lain-lain.

Di Asia, pemanfaatan co-living space menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup milenial. Studi yang ia kutip menunjukkan bahwa 70 juta orang Asia memilih tinggal di kos, dengan total sepertiganya ada di Indonesia (estimasi 23 juta jiwa).

Data Property Affordability Sentiment Index H1 2019 menunjukkan kenaikan harga rumah menjadi salah satu alasan utama orang Indonesia tidak terburu-buru membeli rumah. Makanya sebagian besar yang baru memulai karier cenderung memilih tinggal di kos sampai mendapat tempat tinggal permanen.

“Keputusan kami untuk bawa Oyo Life ke Indonesia, salah satunya karena permintaan para mitra properti kami yang mendorong Oyo untuk ikut mengelola properti ke segmen kos. Melihat dari pencapaian kami dalam kurang dari setahun, kami percaya ini adalah saat yang tepat,” terang dia, Rabu (9/10).

Perlu ditekankan ekspansi Oyo ke indekos ini adalah bagian dari investasi $300 juta (setara 4,2 triliun Rupiah) di Indonesia yang telah diumumkan sebulan lalu.

Status Oyo kini resmi menyandang sebagai decacorn (valuasi di atas $10 miliar), setelah mengantongi pendanaan dari CEO-nya sendiri Ritesh Agarwal, SoftBank, dan investor lainnya sebesar $1,5 miliar (sekitar Rp21 triliun).

Di global, Oyo Life baru hadir di tiga negara dan diklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang pesat dalam kurang dari setahun terakhir. Sejak beroperasi di India pada Oktober 2018, Oyo Life telah mengakuisisi lebih dari 500 gedung, menyediakan 30 ribu kasur, dan tiap bulannya menambah 5 ribu kasur baru.

Sementara di Jepang baru diresmikan pada April 2019, telah mengakuisisi 1000 kunci tersebar di 20 titik sekitar Tokyo. Pada peluncurannya di Indonesia, Eko menyebut pihaknya hadir di delapan kota dengan 2500 kamar. Lokasinya di Jakarta, Bekasi, Bogor, Padang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Diklaim tingkat okupansinya berada di angka 80% dalam 30 hari.

Tidak tanggung-tanggung, dia menargetkan sampai akhir tahun Oyo Life dapat memiliki 10 ribu kamar di 10 kota utama di Indonesia yang memiliki populasi profesional muda dan mahasiswa yang tinggi sebagai konsumen utamanya. Di 10 kota ini, punya potensi 2 juta kamar kos yang bisa diakuisisi.

Model bisnis Oyo Life

Meski berangkat dari luar negeri, Oyo tidak semata-mata langsung copy paste model bisnis Oyo Life ke Indonesia. Ada perbedaan yang menonjol dari gaya hidup penghuni kos di luar negeri, yang akhirnya disesuaikan dengan kebiasaan orang Indonesia.

Di antaranya adalah konsep kunci, berapa banyak kunci yang bisa disewakan. Ini adalah hitungan untuk memperlihatkan pencapaian bisnis Oyo Life. Lantaran, di luar negeri itu, berbagi kamar (sharing room) dengan orang asing adalah hal yang normal.

“Beda dengan Indonesia, di sini tidak terbiasa dengan sharing room. Makanya kami pakai istilah kamar, bukan kunci karena orang Indonesia suka privasi.”

Berikutnya adalah kebiasaan untuk berinteraksi satu sama lain. Di luar negeri tidak ada itu karena masyarakatnya lebih individualis. Makanya di sini Oyo menyediakan kegiatan berbasis komunitas untuk saling engage satu sama lain antar penghuni.

Bila tertarik asetnya dikelola Oyo, persyaratan umumnya memiliki properti dengan langit-langit yang tinggi, ruangan yang cukup luas, dan minimal memiliki 10-15 kamar di dalam satu gedung.

“Nanti ada tim QC di lapangan yang akan memeriksa, lalu ada paperwork untuk perjanjiannya. Setelah setuju, tim kami yang akan renovasi properti, kami berinvestasi di situ, kurang lebih dua minggu selesai.”

Tidak hanya pugar properti, staf dari mitra properti akan dilatih secara rutin agar bisa memberi pelayanan yang terstandar hotel.

Dari segi teknologi dan layanan yang disediakan Oyo Life untuk para mitra properti, tidak ada perbedaan yang mencolok dengan Oyo Rooms. Mitra properti disediakan aplikasi yang dapat memantau seluruh proses bisnisnya dari jarak jauh. Nilai lebih inilah yang diklaim membedakan Oyo Life dengan kompetitornya.

“Layanan Oyo itu tergolong full stack dari hulu ke hilir, setelah aset dipugar kami pula yang akan memasarkan, mengelola operasional, hingga pembayaran, pemilik tidak perlu mengurusnya lagi.”

Eko enggan mengungkap bagaimana persentase pembagian hasil antara pemilik properti dengan Oyo karena rentangnya cukup bervariasi. Namun penentuan harga dilihat dari kisaran lokasi kos di sekitarnya, harga sewa di Oyo Life mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp4,5 juta per bulannya.

Fasilitas yang disediakan mulai dari koneksi internet, pendingin ruangan, televisi, jasa housekeeping, kamera CCTV, dan layanan 24 jam. Apabila ada keluhan, penghuni cukup menghubungi tim Oyo Support tanpa biaya tambahan dari harga sewa bulanan.

“Kalau mau extend kos cukup fleksibel. Opsi pembayarannya juga bervariasi. Kalau ada yang telat bayar, tentu ada approach yang kami lakukan langsung dari Oyo, bukan dari pemilik kosnya.”

Eko mengungkap Oyo Life bakal tersedia sebagai aplikasi terpisah dari Oyo Rooms. Rencananya dalam waktu dekat akan meluncur. Sementara ini bisa diakses melalui situs resminya, dan situs OTA lain yang dimanfaatkan Oyo untuk memasarkan propertinya.

Di Indonesia, Oyo hadir di 100 kota dengan total 35 ribu kamar yang tersebar di lebih dari 1.000 hotel dari Sabang hingga Kupang.

Pemain indekos belakangan ini makin ramai, sebelumnya ada RedDoorz, Mamikos, dan RoomMe.

Application Information Will Show Up Here