Stelsel Pajak: Pengertian dan Implikasinya bagi Pelaku UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran vital dalam perekonomian suatu negara. Mereka menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, serta memberikan kontribusi dalam berbagai sektor industri. Dalam menjalankan usahanya, UMKM juga tunduk pada sistem perpajakan yang memengaruhi berbagai aspek operasional dan perkembangan bisnis.

Bagi pelaku bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pemahaman mengenai stelsel pajak memiliki peranan penting dalam menjalankan operasi bisnis mereka secara efektif dan berkelanjutan. Karenanya, artikel ini akan membahas tentang stelsel pajak yang berlaku bagi pelaku UMKM, serta implikasinya dalam bisnis. Simak sampai habis, ya!

Definisi Stelsel Pajak

Stelsel pajak adalah tata cara atau aturan yang digunakan oleh pemerintah dalam mengenakan dan memungut pajak dari warga negara atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Stelsel pajak mencakup berbagai komponen, seperti jenis-jenis pajak yang dikenakan, tarif pajak yang berlaku, sistem pemungutan, dan prosedur administratif yang harus diikuti oleh individu dan perusahaan dalam membayar pajak.

Bagi pelaku bisnis UMKM, stelsel pajak menjadi panduan dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan mengelola aspek keuangan yang terkait.

Jenis Stelsel Pajak di Indonesia

Menurut laman pajak.com, Indonesia saat ini menggunakan sistem stelsel pajak campuran. Stelsel campuran adalah stelsel yang menggabungkan elemen stelsel fiktif dan nyata. Sistem ini menerapkan penghitungan stelsel fiktif di awal tahun dan akhir tahun akan dilakukan koreksi berdasarkan stelsel nyata. Kelebihannya adalah pajak dapat dipungut pada awal tahun sesuai besaran sebenarnya. Namun, kelemahannya adalah meningkatnya beban administrasi bagi bendahara perusahaan karena perlu menghitung ulang pajak setelah tahun pajak berakhir.

Pengenaan Pajak Bagi Pelaku UMKM

Dikutip dari pip.kemenkeu.go.id, pelaku UMKM dikenakan tarif pajak penghasilan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018, tarif PPh (Pajak Penghasilan) bagi sektor UMKM telah mengalami penurunan yang signifikan. Awalnya, tarif PPh untuk UMKM adalah sebesar 1%, namun kemudian diturunkan menjadi hanya 0,5%.

Perubahan tarif ini memiliki tujuan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan dan partisipasi masyarakat khususnya pengusaha untuk berperan aktif dalam pembayaran pajak.

Lalu, apakah semua UMKM, baik dengan omzet besar maupun kecil, dikenakan pajak yang sama? Tidak. Dikutip dari online-pajak.com,  berdasarkan undang-undang HPP yang berlaku, UMKM orang pribadi dengan penghasilan per tahun kurang dari atau tidak melebihi Rp500 juta bisa tidak dikenakan pajak penghasilan final UMKM.

Berdasarkan laporan jurnal.bppk.kemenkeu.go.id, PP Nomor 23 tahun 2018 juga menentukan batasan waktu bagi Wajib Pajak yang tidak bisa terus menerus menggunakan tarif 0,5% dari peredaran bruto. Tarif 0,5% hanya bisa digunakan selama tujuh tahun. Selebihnya, Wajib Pajak Orang Pribadi pelaku UMKM akan dikenakan penghitungan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Selain itu, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto lebih dari 4,8 miliar per tahun juga tidak dapat lagi menggunakan tarif 0,5% walaupun belum mencapai batas waktu tujuh tahun.

Stelsel pajak merupakan panduan penting bagi pelaku bisnis UMKM dalam menjalankan kegiatan usaha mereka. Pemahaman yang baik mengenai jenis-jenis pajak, tarif, serta prosedur administratif dapat membantu UMKM untuk mematuhi kewajiban perpajakan, mengelola keuangan dengan efektif, dan menjalankan operasi bisnis secara legal dan berkelanjutan.

Cara Membuat NPWP Online Cepat dan Mudah!

NPWP merupakan singkatan Nomor Pokok Wajib Pajak. Ini berguna sebagai identitas yang Wajib Pajak berikan. NPWP juga memiliki tujuan lain seperti menjaga ketaataan warga untuk membayar pajak

Sekarang, kamu bisa mengurus NPWP secara online. Jika kamu ingin mengurus NPWP online, simak artikel ini hingga selesai ya!

Syarat Membuat NPWP Online

Syarat ini terbagi atas beberapa jenis. Bagi WNI, yang dibutuhkan adalah fotokopi KTP.

Bagi WNA, perlu forokopi Paspor, KITAS, dan KITAP. Bagi WNA yang mempunyai usaha, atau melakukan freelance, WNA perlu menyiapkan fotokopi paspor, KITAS, KITAP, dokumen mengenai tempat dan kegiatan usaha, dan surat penyataan bermaterai mengenai jenis serta tempat usaha.

Cara Membuat NPWP Online

Ada beberapa tahap yang perlu kamu lakukan ketika hendak membuat NPWP online. Berikut adalah tahapan yang perlu kamu lakukan.

Membuat Akun

Agar kamu bisa membuat NPWP online, pertama kamu perlu membuat akun di website DJP. Pertama, akses website DJP dengan link https://ereg.pajak.go.id/. Kemudian, pilih “Daftar”, dan input alamat email kamu yang aktif.

Isi Password yang dapat kamu ingat, isi kode Captcha, dan cek emailmu untuk melkukan verifikasi. Jika kamu sudah menyelesaikan semua tahapannya, maka lakukanlah login kembali. Gunakan email serta password yang kamu daftarkab.

Melengkapi Dokumen

Lengkapilah dokumen penting yang website DJP minta. Dokumen tesebut adalah KTP (atau KITAS/KITAP), Dokumen Izin Kegiatan Usaha serta Surat Keterangan Tempat Kegiatan Usaha bagi pengusaha.

Mengirim Dokuman

Apabila dokumen telah lengkap, unggah semuanya ke website e-Reg Pajak. Kemudian, muncul status pendaftaran NPWP Wajib Pajak pada bagian Dashboard. Pilih “Kirim Token” agar DJP mengirimkan nomor ke email. 

Setelahnya salin, dan input ke menu permohonan pembuatan NPWP. Pilih “Kirim Permohonan” dan setelah disetujui, kartu NPWP akan terkirim ke alamat Wajib Pajak.

Cek NPWP

Apabila kamu telah menyelesaikan proses membuat NPWP, kamu dapat melihat apakah NPWP kamu telah aktif atau tidak. Langkah-langkahnya adalah login ke link ini, ereg.pajak.go.id/ceknpwp, input NIK, KK, dan centang Captcha. Setelahnya, pilih “Cari:.

Nantinya, status NPWP akan terlihat. Kamu dapat mengeceknya juga du DJP Online, atau lewat customer service Kring Pajak.

Nah, itu tadi langkah-langkah untuk membuat NPWP Online.

Pajak Penjualan Rumah: Pengertian, Jenis dan Biayanya

Di Indonesia, membeli atau menjual rumah melibatkan berbagai pertimbangan finansial yang cukup rumit, termasuk pajak yang menjadi tanggungan pembeli dan penjual. Salah satu aspek penting dalam transaksi properti adalah pajak penjualan rumah, yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia.

Ada berbagai jenis pajak yang diberatkan baik kepada penjual rumah, maupun pembeli rumah. Artikel ini akan membahas berbagai jenis pajak yang penjual dan pembeli harus tanggung termasuk perhitungannya. Simak artikel ini hingga akhir, ya!

Pengertian Pajak Penjualan Rumah

Pajak penjualan rumah, yang juga dikenal sebagai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), adalah aspek penting dalam transaksi properti di Indonesia.

Pajak ini adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang mewah, termasuk properti tempat tinggal atau residensial bernilai tinggi. Tujuan dari pajak ini adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah dan mengatur pasar properti tanah serta bangunan.

Perhitungan pajak penjualan rumah di Indonesia didasarkan pada harga jual atau nilai kena pajak properti, sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Tarif pajak ditetapkan sebesar 20% dari harga jual atau nilai kena pajak.

Penting untuk dicatat bahwa nilai kena pajak dapat berbeda dari harga jual sebenarnya, dan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu. Oleh karena itu, sangat krusial bagi pembeli dan penjual untuk berkonsultasi dengan otoritas pemerintah untuk menentukan nilai kena pajak properti secara akurat.

Selain itu, ada pajak yang dibebankan, baik kepada pembeli, maupun penjual rumah. Masing-masing pajak tersebut juga memiliki perhitungannya masing-masing.

Biaya yang Harus Penjual Bayar dan Cara Menghitungnya

Pajak penjualan rumah adalah pajak yang dikenakan atas penjualan properti tempat tinggal atau rumah. Pajak penjual rumah merupakan sebuah kewajiban yang harus kamu jalankan, ketika melakukan transaksi jual beli rumah. Ini karena rumah menjadi bagian dari BKP, atau barang kena pajak.

Biaya ini tidak terbatas pada PPN saja, ada banyak biaya lain yang menjadi beban baik pihak penjual, maupun pembeli. Berikut adalah beberapa biaya yang penjual harus persiapkan ketika hendak menjual rumah.

Pajak Penghasilan

Ketika menjual rumah di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPH), berlaku atas hasil yang diperoleh dari penjualan. Undang-undang yang relevan yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).. Ketentuan khusus yang terkait dengan penjualan properti adalah Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PPh.

Menurut Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PPh, penghasilan yang berasal dari penjualan harta bergerak dan/atau harta tak bergerak dalam jangka waktu kurang dari lima tahun sejak saat kepemilikannya dikenai pajak penghasilan. Pajak penghasilan yang dikenakan atas keuntungan dari penjualan properti disebut sebagai PPh Keuntungan Modal.

Saat ini, tarif pajak yang berlaku untuk PPh Keuntungan Modal atas penjualan rumah adalah 5% dari keuntungan bersih. Keuntungan bersih dihitung dengan mengurangkan biaya perolehan dan biaya yang dapat dikurangkan dari harga jual properti.

Misalkan seseorang menjual sebuah rumah dengan harga jual Rp 1 miliar setelah memiliki properti tersebut selama 3 tahun. Harga perolehan rumah tersebut adalah Rp 800 juta, dan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sebesar Rp 50 juta. Keuntungan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Harga Jual: Rp 1 miliar
Harga Perolehan: Rp 800 juta
Biaya yang Dapat Dikurangkan: Rp 50 juta
Keuntungan Rp 150 juta (Rp 1 miliar – Rp 800 juta – Rp 50 juta)

PPh Keuntungan Modal yang dikenakan adalah 5% dari laba bersih sebesar Rp 150 juta. Dalam hal ini, PPh Keuntungan Modal yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 7,5 juta (Rp 150 juta x 5%).

Biaya Notaris

Biaya notaris adalah biaya profesional yang dibebankan oleh notaris untuk jasa mereka dalam memfasilitasi dan mendokumentasikan proses pengalihan properti. Biaya notaris di Indonesia ditentukan berdasarkan struktur biaya yang diatur oleh pemerintah.

Biaya ini biasanya dihitung sebagai persentase dari nilai transaksi properti. Persentase yang tepat dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk lokasi properti dan rumitnya transaksi.

Sangat penting untuk berkonsultasi dengan notaris yang memiliki reputasi baik untuk memahami berbagai biaya seperti biaya tambahan, hingga biaya layanan yang diberikan selama proses pengalihan properti.

Berikut ini adalah contoh cara menghitung biaya notaris:

Misalnya, kamu ingin menjual sebuah rumah dengan nilai transaksi sebesar Rp 1 miliar di sebuah lokasi tertentu, konsultasikan dengan notaris untuk mengetahui persentase biaya notaris yang berlaku di lokasi di mana properti dijual. Anggap saja persentase biaya notaris adalah 1,5%, maka kalikan nilai transaksi properti dengan persentase biaya notaris yang berlaku untuk menentukan jumlah biaya notaris.

Biaya Notaris = Nilai Transaksi x Persentase Biaya Notaris
Biaya Notaris = Rp 1.000.000.000 x 1,5% = Rp 15.000.000

Dalam contoh ini, biaya notaris untuk menjual rumah adalah Rp 15.000.000.

Pajak Bumi Bangunan

Pajak lain yang perlu kamu bayar adalah Pajak Bumi dan Bangunan, atau PBB. Kamu perlu membayar PBB sebelum menjual rumah, dan dengan jangka waktu satu tahun.PBB mempunyai besaran sejumlah 0,5%, dengan perhitungan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) kamu kalikan dengan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak.

Pemerintah telah menetapkan bahwa NJKP senilai 40% untuk rumah dengan harga lebih dari satu miliar rupiah, dan 20% untuk rumah kurang dari satu miliar rupiah.

Besaran PBB adalah 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dikalikan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak. NJKP yang ditetapkan pemerintah adalah 40% untuk rumah dengan harga di atas Rp1 miliar, dan 20% jika harga rumah di bawah Rp1 miliar.

Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat menjual rumah di Indonesia melibatkan berbagai faktor, termasuk nilai properti, tarif pajak, dan peraturan setempat. Berikut adalah contoh perhitungan PBB saat menjual rumah:


Anggap saja harga jual rumah adalah Rp 2 miliar, sebagai contoh, kita asumsikan tarif PBB yang berlaku adalah 0,5% dari nilai taksiran properti. Nilai taksiran properti ditentukan oleh otoritas pajak setempat berdasarkan faktor-faktor seperti lokasi, ukuran, dan kondisi properti. Dalam contoh ini, asumsikan nilai taksirannya adalah Rp 1,5 miliar.


Kalikan nilai taksiran dengan tarif PBB untuk menentukan jumlah PBB.

PBB = Nilai Taksiran x Tarif PBB
PBB = Rp 1.500.000.000 x 0,5% = Rp 7.500.000

Dalam contoh ini, jumlah PBB yang harus dibayarkan saat menjual rumah adalah Rp 7.500.000.

Biaya yang Harus Pembeli Bayar

Selain pajak bagi penjual rumah, juga terdapat pajak untuk pembeli rumah.Berikut adalah beberapa biaya yang pembeli harus persiapkan ketika membeli menjual rumah.

Cek Sertifikat

Terdapat biaya untuk mengecek sertifikat senilai seratus ribu rupiah. Ini perlu kamu lakukan dengan tujuan memahami bahwa sertifikat rumah yang akan kamu beli, terjamin legalitasnya. Biaya cek sertifikat dapat bervariasi tergantung pada lokasi properti, biaya notaris atau pengacara yang digunakan, dan kompleksitas pemeriksaan yang diperlukan.

Biaya untuk memeriksa sertifikat umumnya termasuk biaya untuk administrasi, biaya layanan, dan berbagai biaya lain yang meliputi proses pemeriksaan dokumen, Rincian dari biaya tersebut bervariasi dan tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang melakukan pemeriksaan sertifikat.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan tanah dan bangunan di Indonesia. Pajak ini diatur oleh Undang-Undang No. 21 tahun 1997 tentang Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tujuan utama dari BPHTB adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. BPHTB berlaku untuk pengalihan kepemilikan atau perolehan hak atas tanah dan bangunan, termasuk rumah, apartemen, dan properti komersial. BPHTB biasanya dipungut oleh pemerintah daerah di mana properti tersebut berada.

BPHTB dihitung berdasarkan nilai transaksi atau nilai pasar properti, mana yang lebih tinggi. Tarif pajak yang berlaku bervariasi tergantung pada wilayah dan dapat berkisar dari 1% hingga 5%. Tarif pajak dan cara penghitungannya ditentukan oleh peraturan daerah.

Anggap saja kamu hendak membeli rumah dengan nilai transaksi Rp 1,5 miliar di suatu wilayah, maka Periksa peraturan daerah untuk mengetahui tarif pajak BPHTB yang berlaku. Dalam contoh ini, asumsikan tarifnya adalah 5%.

Kemudian, hitung Nilai Jual Kena Pajak. Nilai Kena Pajak umumnya didasarkan pada nilai transaksi atau nilai pasar properti yang lebih tinggi. Anggap saja nilai pasar rumah tersebut adalah Rp 1,5 miliar.


Kalikan nilai kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku untuk menentukan jumlah BPHTB.

BPHTB = Nilai Jual Kena Pajak x Tarif Pajak
BPHTB = Rp 1.500.000.000 x 5% = Rp 75.000.000

Dalam contoh ini, jumlah BPHTB yang harus dibayarkan untuk pembelian rumah tersebut adalah Rp 75.000.000.

Pembuatan Akta Jual Beli

Pembuatan akta jual beli merupakan sesuatu yang krusial, karena akta tersebut melindungi hak-hak, serta kepentingan baik pihak penjual, maupun pihak pembeli.

Akta jual beli menjadi bukti sah tentang kepemilikan properti dan digunakan dalam proses pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Untuk memastikan proses pembuatan akta jual beli berjalan dengan lancar, disarankan untuk bekerja sama dengan notaris yang berpengalaman dan terpercaya serta memahami seluruh prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Pembeli membayar sejumlah 1% dari transaksi yang pembeli lakukan. Umumnya biaya ini pembeli yang menanggung, kecuali ada kesepakatan lain dengan penjual.

Balik Nama Sertifikat

Balik nama sertifikat, meliputi prosedur administratif yang dilakukan untuk mengubah nama pemilik yang terdaftar pada sertifikat tanah. Proses ini biasanya dilakukan setelah terjadi peralihan kepemilikan properti, seperti dalam transaksi jual-beli atau warisan.

Untuk memulai proses balik nama sertifikat, biasanya diperlukan beberapa persyaratan dan dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tersebut antara lain sertifikat tanah asli, salinan akta jual beli atau akta waris, dokumen identitas pemilik baru, NPWP, dan dokumen pendukung lainnya yang diwajibka instansi terkait.

Umumnya, biaya dari balik nama sertifikat ini mencapat 2 persen dari nilai transaksi yang ada.

PPN

PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan atas penjualan barang dan jasa, termasuk properti tempat tinggal atau residensial. PPN berlaku untuk penjualan rumah dan apartemen yang baru dibangun atau sedang dibangun. Biasanya tidak berlaku untuk pembelian properti bekas.

Tarif PPN untuk penjualan rumah umumnya ditetapkan sebesar 10% dari harga jual properti. Harga jual sudah termasuk harga pokok properti, biaya tambahan yang dikenakan oleh pengembang atau penjual, dan pajak atau bea yang terkait dengan pengalihan properti. Berikut ini adalah salah satu contoh dari perhitungan PPN ketika membeli rumah.

Asumsi bahwa kamu akan membeli rumah seharga 1.000.000.000 dan tarif PPN yang berlaku adalah 10%, maka:

Jumlah PPN = Harga Jual x Tarif PPN
Jumlah PPN = Rp 1.000.000.000 x 10% = Rp 100.000.000

Dalam contoh ini, jumlah PPN yang harus dibayarkan saat membeli rumah adalah Rp 100.000.000

Nah, itulah kewajiban pajak baik bagi penjual, maupun pembeli. Apabila kamu ingin membeli properti, pastikan kamu sudah menyiapkan biaya yang cukup membayar pajaknya, ya!

Kurs Pajak: Pengertian dan Fungsinya

Kurs pajak atau tax rates memainkan peran penting dalam kehidupan kita, karena menentukan berapa banyak kita harus membayar pajak kepada pemerintah.

Hal ini mengacu pada persentase pendapatan atau nilai barang yang harus dibayar sebagai pajak. Tarif ini ditetapkan oleh pemerintah dan dapat bervariasi tergantung pada jenis pajak dan tingkat pendapatan atau nilai barang yang dikenakan pajak.

Memahami bagaimana kurs pajak bekerja dan bagaimana pengaruhnya terhadap kita dapat membantu kita membuat keputusan keuangan yang tepat dan mengadvokasi kebijakan yang mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai pengertian dan fungsi dari kurs pajak

Pengertian Kurs Pajak

Kurs pajak merupakan aspek penting dari sistem pajak dan memainkan peran penting dalam membentuk perekonomian.

Hal ini dapat berdampak signifikan pada keuangan pribadi kita. Kurs pajak yang lebih tinggi berarti kita harus membayar lebih banyak untuk pajak, yang dapat mengurangi pendapatan kita dan membatasi kemampuan kita untuk menabung atau berinvestasi.

Di sisi lain, kurs pajak yang lebih rendah dapat meningkatkan pendapatan sekali pakai dan memberi lebih banyak fleksibilitas finansial.

Selain memengaruhi keuangan pribadi, kurs pajak juga berperan dalam membentuk perekonomian. Kurs pajak yang tinggi dapat mencegah bisnis berinvestasi dan mempekerjakan, karena mereka memiliki lebih sedikit uang untuk diinvestasikan kembali dalam operasi mereka.

Sedangkan, kurs pajak yang lebih rendah dapat mendorong bisnis untuk berinvestasi dan berkembang, yang dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Fungsi Kurs Pajak

Kurs pajak dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam berbagai hal. Berikut ini adalah beberapa fungsi dari kurs pajak untuk masyarakat:

Mendanai Layanan Publik

Pajak mendanai layanan publik seperti sekolah, rumah sakit, dan angkutan umum. Saat kita membayar pajak, kita berkontribusi pada penyediaan layanan ini yang penting untuk berfungsinya masyarakat.

Layanan ini menguntungkan semua orang, terlepas dari pendapatan atau status sosial mereka. Misalnya, pajak mendanai pendidikan publik, yang memberikan akses ke pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu masyarakat meningkatkan taraf hidup mereka.

Mengatasi Ketimpangan Pendapatan

Pemerintah dapat menggunakan kurs pajak progresif, dimana mereka yang mampu membayar lebih, akan membayar pajak lebih tinggi.

Pendapatan yang dihasilkan kemudian dapat digunakan untuk menyediakan program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti perumahan yang terjangkau dan layanan kesehatan.

Mendorong Perilaku Positif

Pemerintah dapat menggunakan tarif pajak untuk memberi insentif kepada orang dan bisnis agar terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Misalnya, pemerintah dapat memberikan kredit pajak untuk investasi sumber daya, yang dapat membantu mengurangi emisi karbon dan memitigasi perubahan iklim.

Stabilitas Ekonomi

Pemerintah dapat menggunakan kurs pajak untuk mengatur pertumbuhan ekonomi dan mencegah penurunan ekonomi.

Misalnya, selama resesi, pemerintah dapat menurunkan kurs pajak untuk meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan dan merangsang belanja konsumen. Hal ini dapat membantu meningkatkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja.

Demikianlah penjelasan selengkapnya mengenai kurs pajak, semoga bermanfaat.

Cara Menghitung Pph, Terbaru 2023

Pajak penghasilan adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah atas penghasilan yang diperoleh individu dan bisnis.

Pajak ini dihitung sebagai persentase dari penghasilan yang kamu peroleh selama tahun tersebut. Persentase yang harus kamu bayar tergantung pada jumlah pendapatan yang kamu peroleh.

Pemerintah menggunakan uang pajak ini untuk membayar hal-hal seperti sekolah, jalan, dan layanan publik lainnya.

Cara Menghitung Pph

Penting untuk menghitung pajak penghasilan karena membantu pemerintah menghasilkan pendapatan untuk mendanai layanan dan program publik.

Selain itu, menghitung dan membayar pajak penghasilan secara akurat sudah diwajibkan oleh undang-undang. Jika kamu tidak melakukannya, kamu akan mendapat hukuman, denda, dan bahkan konsekuensi hukum.

Berikut ini adalah beberapa cara menghitung Pph kamu:

  • Pph dari gaji = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak
  • Pph dari Pendapatan Lainnya = Penghasilan Bruto – PTKP x Tarif Pajak
  • Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto x Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Kamu dapat memilih cara hitungan sesuai dengan status yang kamu miliki.

Penghasilan Tidak Kena Pajak 2023

Di tahun 2023 ini, PTKP menyesuaikan UU HPP No 7 Tahun 2021, Bab III tentang Pajak Penghasilan angka 3 tentang perubahan Pasal 7 ayat (1) UU PPh.

PTKP per tahun diberikan paling sedikit:

  • Rp54.000.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi
  • Rp4.500.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
  • Rp54.000.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
  • Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Demikianlah cara menghitung Pph di tahun 2023, semoga bermanfaat.

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT): Definisi, Tujuan, dan Cara Membuatnya

Pajak adalah kewajiban seorang warga negara untuk membayar upeti atas pelayanan yang diberikan oleh Negara. Pajak adalah uang yang harus dipungut oleh Negara atas bisnis, usaha, pekerjaan, jasa, dan lainnya yang dilakukan oleh warga negara.

Pajak tidak hanya berlaku untuk orang-orang yg sudah menjadi pegawai negeri ataupun pengusaha di bidang usaha maupun bisnis, tetapi juga bagi mereka yang bekerja sebagai wirausaha sendiri (bisnis sendiri).

Surat Pemberitahuan Tahunan atau biasa disingkat menjadi SPT merupakan surat yang digunakan para Wajib Pajak untuk melaporkan segala bentuk perhitungan dan/atau pembayaran pajak.

SPT dapat membantu kamu mengetahui apa yang harus kamu bayar, berapa besar pembayaran itu, dan berapa besar uang yang diperoleh dari penerimaan pajak.

Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai SPT.

Definisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

Surat Pemberitahuan Tahunan (Annual Tax Return) adalah formulir yang dimana kamu melaporkan pendapatan dan pengeluaran dari tahun sebelumnya.

Artinya, jika kamu memiliki bisnis, kamu harus melaporkan penjualan dan pengeluaran kamu. Jika memiliki properti, kamu harus melaporkan pendapatan dan pengeluaran sewa. Jika memiliki investasi atau pendapatan bunga, juga harus dilaporkan.

Bahkan, jika kamu seorang wiraswasta sebagai pekerja lepas atau kontraktor, penghasilan kamu dari pekerjaan ini juga harus dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Pelaporan SPT Tahunan ini wajib dilakukan oleh seluruh Wajib Pajak (WP) yang memiliki NPWP. Ini termasuk:

  • Individu yang dipekerjakan oleh pemberi kerja atau wiraswasta
  • Perorangan yang menerima penghasilan dari sumber lain seperti bunga, dividen, capital gain, sewa properti dan lain-lain
  • Kemitraan dan korporasi

Perlu diingat, jika kamu tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan, kamu akan mendapatkan sanksi administrasi atau bahkan pidana.

Tujuan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

Tujuan SPT Tahunan adalah agar suatu organisasi melaporkan kegiatan keuangannya, serta informasi lain yang mungkin diperlukan oleh otoritas pajak.

Informasi keuangan mencakup pendapatan kotor, pengeluaran dan pengurangan, keuntungan dan kerugian, dan data relevan lainnya.

Artinya, tujuan dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) adalah:

  • Melaporkan pendapatan, keuntungan dan kerugian dari semua sumber
  • Mengklaim biaya yang diperbolehkan, pengurangan dan keringanan pajak
  • Menentukan laba atau rugi kena pajak untuk tahun tersebut

Langkah Pembuatan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

Pelaporan SPT pribadi cukup dilakukan secara online melalui e-Filing (electronic filing).

Proses pembayaran kepada pemerintah tidak perlu lagi melalui prosedur yang rumit, karena pelaporan SPT pribadi juga bisa dilakukan secara online. Hal ini juga berarti lebih praktis dan mudah dimengerti.

Berikut ini adalah langkah-langkah pembuatan SPT:

Sebelum memulai, kamu harus mendaftarkan diri untuk membuat akun terlebih dahulu di https://djponline.pajak.go.id/account/login

Setelah memiliki akun, kamu akan mendapatkan nomor EFIN (Electronic Filing Identification Number) agar dapat melanjutkan pelaporan pajak e-filing.

  1. Buka website resmi https://djponline.pajak.go.id , ketik nomor NPWP dan password serta kode captcha, lalu login.
  2. Pada bagian layanan DJP Online, pilih e Filing.
  3. Setelah muncul Daftar SPT, klik Buat SPT.
  4. Pada bagian Formulir SPT, kamu harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan sampai selesai. Jika sudah, klik (Jenis SPT) dengan formulir. Website secara otomatis akan memandu kamu untuk mengisi formulir sesuai pendapatan yang kamu miliki.
  5. Setelah masuk ke laman baru, pada bagian Tahun Pajak, pilih tahun yang kamu inginkan. Lalu pilih Status Normal, dan klik langkah selanjutnya.
  6. Kamu akan mendapatkan informasi mengenai Daftar Pemotongan/Pemungutan PPh Oleh Pihak Lain dan PPh Yang Ditanggung Pemerintah. Semua informasi mengenai pajak ada disini. Jika sudah selesai melihat klik langkah selanjutnya.
  7. Kolom harta ini nantinya akan menentukan keberhasilan pelaporan SPT, pada pertanyaan “Apakah Anda Memiliki Harta?” klik Ya. Lalu klik ikon Tambah+
  8. Jika sudah muncul Harta Baru/New Asset, kamu dapat mengisinya sesuai dengan jumlah nominal tabungan, uang tunai, maupun piutang. Isi bagian Nama Harta sesuai dengan yang kamu punya. Kemudian klik Simpan dan klik Langkah Berikutnya.
  9. Pertanyaan selanjutnya adalah “Apakah Anda Memiliki Utang?” jika kamu memiliki utang, kamu dapat menyebutkannya apakah itu KTA, KPR, dan lainnya kecuali kartu kredit.
  10. Isi Status Perkawinan sesuai dengan statusmu sekarang, lalu klik Lanjut Ke A.
  11. Kamu akan mengisi Pengisian Netto, Penghasilan Kena Pajak, PPh Terutang, Kredit Pajak (jika ada), PPh Kurang/Lebih Bayar (jika ada), Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak Berikutnya (jika ada). Jika sudah, centang pada bagian Setuju/Agree. Lalu klik Langkah Berikutnya.
  12. Jika kamu mengisi langkah-langkah pengisian dengan benar, di laman terakhir akan ada informasi “Nihil” pada Status SPT kamu.
  13. Masukan kode verifikasi yang sudah dikirim melalui email yang terdaftar, lalu klik Kirim SPT dan klik Selesai.

Untuk menjadi warga negara yang baik, kita harus melaporkan segala bentuk perhitungan dan/atau pembayaran pajak dengan jujur.

Tidak hanya itu, kita juga harus menyadari bahwa kewajiban membayar pajak diambil dari upaya kita untuk membantu negara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan rakyatnya.

Demikian informasi mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan, semoga bermanfaat

PPh Final dan PPh Non Final, Apa Perbedaannya?

Pajak merupakan salah satu pengeluaran yang harus dibayarkan oleh para wajib pajak. Saat ini mungkin kamu sudah mengenal berbagai macam jenis pajak pada misalnya Pajak Penghasilan  (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh sendiri memiliki banyak sekali jenis sesuai dengan yang diatur oleh pasal yang berlaku. 

PPh adalah salah satu pajak yang melekat pada wajib pajak, baik itu seorang individu maupun badan usaha. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dewasa ini telah memfasilitasi pembayaran pajak mandiri melalui E-billing online. Bagi kamu yang seringkali membayar sendiri pajak baik untuk pajak penghasilan sendiri maupun untuk UMKM, mungkin kamu akan sangat familier dengan PPh final dan PPh tidak final.

Pembayaran pajak atas UMKM sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dikenai pajak PPh final dengan tarif 0,5%. Tarif pajak PPh final ini berlaku per 1 Juli 2018, dihitung dari omzet UMKM dan dibayarkan setiap bulannya. 

Apa sebenarnya PPh final ini? Apakah perbedaan antara PPh final ini dengan PPh tidak final? Apa saja kah objek pajak bagi PPh final dan PPh tidak final? Simak pembahasan terkait dengan PPh final dan PPh tidak final serta perbedaan keduanya berikut ini. 

Apa Itu Pajak Penghasilan (PPh)?

apa itu pph
Ilustrasi Perbedaan PPh final vs PPh non final | Unsplash

PPh adalah singkatan dari Pajak Penghasilan. PPh merupakan pajak yang dibebankan pada wajib pajak (orang perseorangan maupun badan usaha) atas penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun pajak. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki kewenangan dalam membayar, memotong, dan memungut pajak.

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari manapun itu asalnya yang mampu digunakan untuk menambah kekayaan sang wajib pajak. PPh memiliki beberapa macam jenis dan diatur dalam berbagai pasal. Untuk mengetahui tarif pajak dari seorang wajib pajak, perlu dilakukan identifikasi dahulu jenis PPh yang berlaku untuk wajib pajak.

Jenis Pajak Penghasilan (PPh)

Jenis dari pajak PPh ada berbagai macam bergantung pada berbagai pasal yang mengaturnya. Berikut ini adalah beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan penjelasan dari jenis pajak tersebut.

  • PPh Pasal 15; PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada wajib pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan ketentuan khusus. Pajak PPh ini memberikan tarif berbeda bergantung pada industri mana perusahaan bergerak. Kategori wajib pajak yang masuk pada jenis pajak ini di antaranya adalah perusahaan yang berada pada industri penerbangan internasional.
  • PPh Pasal 21; merupakan pajak yang dikenakan pada penghasilan yang mana itu berupa gaji, tunjangan, upah, komisi, honorarium, dan lain-lainnya. 
  • PPh Pasal 22; adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak yang melaksanakan kegiatan ekspor dan impor. 
  • PPh Pasal 23; merupakan pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan (hal lain di luar yang telah tercatat di PPh Pasal 21)
  • PPh Pasal 25; adalah pajak yang pembayarannya dapat diangsur. Pajak ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib pajak.
  • PPh Pasal 26; adalah pajak penghasilan yang dibebankan atas pendapatan yang sumbernya dari Indonesia dan didapatkan oleh wajib pajak yang berasal dari luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (BUT). 
  • PPh Pasal 29; merupakan pajak kurang bayar yang mana perlu untuk dibayarkan oleh wajib pajak dan beban pajak tersebut telah tertulis dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). 
  • PPh Pasal 4 ayat (2); PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikenal dengan PPh final.  Pajak Penghasilan Final merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapat. 

Pengertian PPh Final

pph final
Ilustrasi PPh final vs PPh non final | Pexels

Seperti yang telah dijelaskan dalam jenis-jenis PPh di atas, salah satu jenis dari PPh adalah PPh final. Apa sebenarnya PPh final ini? PPh final adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dalam satu periode tahun berjalan dengan tarif serta dasar pengenaan tertentu.

Pemotongan pajak ini bersifat final (hanya sekali dalam satu periode pajak) seperti namanya. Pengenaan PPh final tidak dihitung sebagai pembayaran di muka atas PPh terutang, akan tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang pada penghasilan wajib pajak. PPh final diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

Penghasilan Apa Saja yang Dikenai PPh Final?

Contoh objek pajak dari PPh Final di antaranya adalah sebagai berikut

  • Penghasilan dari perusahaan modal ventura
  • Pendapatan yang berasal dari transaksi jual saham
  • Penghasilan dari kupon atau bunga obligasi
  • Pendapatan dari usaha jasa konstruksi
  • Penghasilan atas pengalihan hak atas properti seperti bangunan atau tanah dan lain sebagainya

Pengertian PPh Tidak Final

pph final
Ilustrasi Apa perbedaan PPh final dan PPh non final | Pixabay

Kontras dengan PPh final, PPh tidak final atau yang seringkali disebut dengan PPh non final merupakan suatu pajak dari penghasilan yang tidak akan dipotong pada saat itu juga. Wajib pajak dianggap belum lunas menyetor pajak sebelum melaporkan pajaknya. Untuk itu, transaksi baru baru akan dianggap lunas apabila penghitungan dan pelaporan pajak telah selesai (di akhir periode pajak).

Penghasilan Apa Saja yang Dikenai PPh Tidak Final?

Contoh objek pajak dari PPh tidak final yang paling mudah untuk diidentifikasikan adalah PPh selain yang diatur oleh Pasal 4 ayat (2). Contoh dari PPh tidak final di antaranya adalah sebagai berikut

  • PPh Pasal 21: Gaji, tunjangan, upah, honorarium untuk wajib pajak di dalam negeri
  • Pajak Penghasilan Pasal 22: pajak atas impor, Migas, kegiatan lelang
  • PPh Pasal 23: royalti atas karya, pendapatan sewa di luar tanah dan bangunan, pendapatan atas dividen
  • Pajak Penghasilan Pasal 24: penghasilan dari WNI di luar negeri
  • PPh Pasal 25: adanya angsuran PPh oleh wajib pajak
  • Pajak Penghasilan pasal 26: penghasilan dari wajib pajak luar negeri, dan lain sebagainya

Perbedaan PPh Final dan PPh Tidak Final

Ilustrasi Perbedaan PPh final dan PPh tidak final | Unsplash

Pajak penghasilan final atau PPh final dan PPh tidak final memiliki beberapa perbedaan mendasar yang membedakan antara kedua pajak ini. Beberapa perbedaan dari PPh final dan PPh tidak final adalah sebagai berikut

Sistem Penghitungan

Perbedaan pertama dari PPh final dan PPh non final dari sistem penghitungan keduanya. PPh final dihitung secara langsung di mana penghitungan PPh final dijadikan satu kesatuan dan tidak dapat dikaitkan dengan penghitungan dengan penghasilan lain. Sementara itu, PPh non final dihitung secara tidak langsung, di mana PPh non final dapat dihitung dengan penghasilan bruto dan dapat ditambah dengan penghasilan lain.

Kemudian, pada PPh non final, biaya menghasilkan, biaya menagih, dan biaya memelihara penghasilan yang dikenai PPh dapat dikurangkan dalam penghitungan pajak. Akan tetapi, biaya-biaya tersebut tidak dikurangkan dalam penghitungan pajak PPh final. Selain itu, PPh non final dapat memperhitungkan bukti potong sebagai kredit pajak dari wajib pajak. Sedangkan, PPh final tidak dapat melakukan hal demikian.

Tarif Pajak

Pada PPh final, tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak biasanya adalah berupa tarif umum seperti halnya tercantum dalam pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan. Sementara itu, PPh tidak final tarifnya diatur dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Keuangan. 

Waktu Penyetoran Pajak

Waktu penyetoran juga merupakan salah satu hal yang membedakan antara PPh final dan PPh non final. Penyetoran pajak PPh final dapat dilakukan sendiri atau oleh pihak lain yang bersangkutan dan akan dikreditkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara itu, pelaksanaan kewajiban pajak untuk PPh non final hanya dapat dilakukan dengan melaporkan SPT. PPh non final baru dianggap lunas ketika wajib pajak selesai melakukan penghitungan pajak akhir tahun.

Berikut ini adalah rangkuman dari perbedaan karakteristik PPh final dan non final.

pph final dan pph tidak final
Rangkuman Perbedaan PPh final vs PPh non final | Dailysocial.id

Wah, ternyata kedua pajak penghasilan ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan ya. Kedua pajak ini mungkin sudah cukup familier bagi kamu yang sering melakukan kalkulasi pajak untuk melakukan pembayaran pajak secara online melalui E-billing. Semoga artikel ini dapat membantu pemahaman kamu terkait dengan PPh final dan PPh non final ya.

Sumber gambar header: Pexels

Kenali PPh dan PPN: Pengertian, Perbedaan, Jenis, dan Tarif Penghitungannya

Ketika belanja di suatu restoran cepat saji atau toko di suatu Mall, kamu pasti menemukan baris uraian pajak di struk belanja kamu. Fenomena ini membuktikan bahwa pajak merupakan hal yang ternyata sangat dekat dengan kita. Pajak yang biasa ditemukan ketika berbelanja itu merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika berbincang mengenai PPN, kurang afdal rasanya apabila tidak dibarengi dengan membahas Pajak Penghasilan (PPh). 

Istilah PPh dan PPN mungkin bukan merupakan hal yang asing bagi kamu. PPh dan PPN tidak hanya istilah yang familiar bagi para wajib pajak saja. Akhir-akhir ini, masyarakat banyak dihebohkan pengenaan PPN pada platform hiburan elektronik seperti Netflix, Spotify, Zoom, hingga Steam melalui peraturan PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Apakah sebenarnya PPh dan PPN ini? Apa perbedaan antara PPh dan PPN? Bagaimana tarif perhitungan kedua pajak tersebut? Berikut ini adalah pembahasan mengenai perbedaan PPh dan PPN beserta definisi dan jenis kedua pajak tersebut.

Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah kepanjangan dari Pajak Penghasilan. Dari kepanjangan tersebut, dapat diketahui bahwa PPh merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak (dapat berupa orang perseorangan maupun badan usaha) atas penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun pajak. PPh dikenal sebagai pajak subjektif karena pajak ini dibebankan sesuai dengan kondisi subjek yakni si wajib pajak. 

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki kewenangan dalam membayar, memotong, dan memungut pajak. Wajib pajak pun memiliki seperangkat hak dan kewajiban terkait dengan pajak sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Sementara itu, penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari manapun itu asalnya yang mampu digunakan untuk menambah kekayaan sang wajib pajak. 

PPh memiliki beberapa macam jenis dan diatur dalam berbagai pasal. Tarif dari pajak PPh akan menyesuaikan dengan PPh. Sehingga, untuk mengetahui tarif pajak dari seorang wajib pajak, perlu dilakukan identifikasi dahulu jenis PPh yang berlaku untuk wajib pajak.

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Jenis Pajak Penghasilan (PPh)

Berikut ini adalah beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan penjelasan dari jenis pajak tersebut.

PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada wajib pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan ketentuan khusus. Kategori wajib pajak yang masuk pada jenis pajak ini di antaranya adalah perusahaan yang berada pada industri penerbangan internasional, pelayaran, perusahaan asuransi asing, wajib pajak dari luar negeri dengan kantor yang ada di dalam negeri, wajib pajak dengan industri yang bergerak di bidang jasa maklon (kegiatan manufaktur untuk memenuhi kebutuhan pihak lain), dan lain sebagainya. Pajak PPh ini memberikan tarif berbeda bergantung pada industri mana perusahaan bergerak.

PPh Pasal 21

Pajak Penghasilan selanjutnya adalah adalah PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan pada penghasilan yang mana itu berupa gaji, honorarium, upah, komisi, tunjangan, dan lain-lainnya. Beberapa kategori yang dibebani pajak PPh 21 di antaranya adalah pegawai, penerima pensiun, anggota dewan komisaris, mantan pekerja, dan lain sebagainya.

Penghitungan Pajak PPh Pasal 21 akan sangat berkaitan dengan tarif pajak, ketentuan biaya jabatan, dan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Biaya jabatan adalah biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan yang mana biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan setiap individu yang bekerja sebagai pegawai tetap. Biaya jabatan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 250/PMK.03/2008 adalah sebesar 5 persen maksimal Rp6 juta setahun atau Rp500.000 sebulan.

PTKP merupakan besaran pendapatan pribadi dari wajib pajak yang dibebaskan dari PPh. Cara untuk menghitung PTKP adalah sebagai berikut.

  • Wajib pajak pribadi dapat membebaskan sejumlah Rp54 juta per tahun untuk tidak dimasukkan dalam perhitungan PPh.
  • Ketika wajib pajak telah menikah, wajib pajak dapat mengurangkan sejumlah Rp4,5 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami, wajib pajak dapat mengurangkan lagi sebanyak Rp54 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Setiap tambahan tanggungan (pada misalnya anak atau anggota keluarga lain) membuat wajib pajak dapat mengurangi pendapatannya yang dihitung PPh sebanyak Rp4,5 juta per tahun.

 Tarif dari pajak PPh 21 adalah berikut ini.

  1. Apabila penghasilan selama satu tahun pajak adalah Rp50 juta, maka tarif pajaknya adalah sebanyak 5%
  2. Jika penghasilan berada di antara Rp50 juta – Rp250 juta, maka tarif pajak yang dibebankan adalah 15%
  3. Ketika penghasilan berkisar di antara Rp250 juga hingga Rp500 juta, maka tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak adalah sebesar 25%
  4. Terakhir, sewaktu penghasilan wajib pajak berada di atas Rp500 juta, tarif pajak yang dibebankan yakni 30%

PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak yang melaksanakan kegiatan ekspor dan impor. Pajak ini biasanya berlaku untuk badan usaha baik itu merupakan badan usaha milik negara atau badan usaha swasta yang melakukan kegiatan perdagangan barang. Tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak PPh Pasal 22 bervariasi berdasarkan objek pajak dan jenis transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak.   

PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan, atau hal lain di luar yang telah tercatat di PPh Pasal 21. Pada dasarnya PPh Pasal 23 dibebankan pada wajib pajak yang sedang melakukan transaksi. Tarif yang dikenakan untuk PPh Pasal 23 berdasar pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau nilai bruto dari penghasilan. 

PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak yang pembayarannya dapat diangsur. Pajak ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib pajak dalam pembayaran pajak yang biasa dilakukan tahunan. Pembayaran pajak ini harus dibayar sendiri tanpa diwakilkan oleh orang lain. Jika pembayaran atas pajak ini terlambat, wajib pajak akan mendapat sanksi denda sebanyak 2% per bulan. 

PPh Pasal 26

Pajak ini adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan yang sumbernya dari Indonesia dan didapatkan oleh wajib pajak yang berasal dari luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (BUT). 

PPh Pasal 29

Pajak Penghasilan Pasal 29 merupakan pajak kurang bayar yang perlu untuk dibayarkan oleh wajib pajak, dan beban pajak tersebut telah tertulis dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Secara sederhana, pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sisa PPh yang terutang pada tahun pajak tertentu dan dikurangi dengan jumlah kredit PPh.

PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikenal dengan PPh final. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapat. Pemotongan pajak ini bersifat final (hanya sekali dalam satu periode pajak) seperti namanya jadi pajak ini tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang. 

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Kepanjangan dari PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai. PPN adalah pajak yang dikenakan pada proses produksi serta distribusi suatu produk dan pajak ini dibebankan pada konsumen akhir dari produk. Melalui informasi ini, kita dapat melihat bahwa perbedaan PPh dan PPN pada dasarnya adalah pada pembebanan kedua pajak ini. PPh membebankan pajak pada subjek yakni orang yang menerima penghasilan. Akan tetapi PPN membebankan pajak pada objek di mana pajak ini tidak melihat pada kondisi wajib pajak akan tetapi ia melihat pada sifat objek pajaknya (berupa barang konsumsi).

Pajak Pertambahan Nilai dapat dikenakan pada siapa saja yang membeli suatu barang tertentu. Pada misalnya, kamu membeli paket makanan dan minuman di suatu restoran cepat saji, kamu dapat melihat sebagian dari uang yang kamu keluarkan digunakan untuk membayar pajak ini. 

Objek dari PPN

  1. Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di area pabean tempat pengusaha melakukan proses bisnis
  2. Impor BKP
  3. Pemanfaatan BKP yang tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  4. Pemanfaat JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  5. Ekspor BKP baik berwujud maupun tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP. PKP merupakan pihak yang diwajibkan 

PPN dikenakan oleh barang dan jasa di antaranya sebagai berikut. 

  • Barang hasil tambang atau barang hasil pengeboran yang ia langsung diambil dari sumbernya
  • Makanan serta minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan, dan lain sebagainya
  • Kebutuhan pokok yang banyak menjadi kebutuhan orang
  • Uang, emas batangan serta surat berharga.
  • Produk layanan digital yang berasa dari luar negeri seperti langganan Netflix, Spotify, Game Steam, dan lain sebagainya.

PPN kurang lebih memiliki dua jenis tarif. Tarif PPN 10% dikenakan pada objek PPN, Sementara itu, tarif PPN 0% dikenakan kepada ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. Dulunya, produk transaksi dengan transaksi online seperti Spotify dan Netflix tidak dikenai pajak PPN, akan tetapi, pemberlakukan PPN kepada produk digital ini ditetapkan mulai Agustus 2020.

Pengenaan pajak ini berdasar pada PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Aturan tersebut menyebutkan bahwa Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau dikenal sebagai PMSE dikenai PPN sebesar 10%. Pun objek pajak yang dibebani oleh PPN PMSE di antaranya adalah layanan streaming musik, film, aplikasi, dan game digital.

Perbedaan PPh dan PPN

Dari definisi serta jenis masing-masing pajak yang telah dijelaskan di atas, mungkin kamu telah menemukan perbedaan dari dua jenis pajak yakni PPh dan PPN. Berikut ini adalah perbedaan PPh dan PPN.

  • PPN dan PPh memiliki objek pengenaan pajak yang berbeda. PPN membebankan pajak pada proses produksi maupun distribusi dari suatu barang dan jasa. Sementara itu, PPh dikenakan terhadap penghasilan yang dimiliki oleh wajib pajak.
  • Tarif dari kedua pajak ini berbeda. Tarif PPN atas objek pajak PPN adalah senilai 10% sementara itu perhitungan tarif PPh cenderung lebih kompleks karena menyesuaikan kepada jenis PPh yang cenderung banyak jenisnya.
  • PPh dibebankan kepada wajib pajak yang memiliki penghasilan, sedangkan PPN dibebankan kepada konsumen dari suatu barang dan jasa.
  • Jenis PPh lebih banyak yakni PPh pasal 21, 22, 23, 25 dan lainnya sedangkan pajak PPN memiliki jenis yaitu pajak masukan (pajak atas pembelian barang atau jasa) dan dan keluaran (pajak atas penjualan barang dan jasa yang dikenai pajak). 

Terkadang mungkin kita tidak menyadari seberapa sering kita bertemu dengan pajak pada kehidupan sehari-hari. Pada nyatanya, produk yang biasanya kita pakai saat ini, Spotify dan Netflix, telah dikenai dengan PPN. Nah, sekarang apakah kamu sudah dapat mengidentifikasikan perbedaan dari PPh dan PPN?

Sumber gambar header: Pixabay.

Cara Hitung PPN Tarif Baru 11 Persen, UMKM Wajib Tahu!

Mulai 1 April 2022 lalu, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah naik menjadi 11 persen, dari sebelumnya 10 persen. Kebijakan baru itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pemungutan PPN sering kali ditemui dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya, saat berbelanja di mall, makan di restoran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, penting bagi masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha untuk paham perhitungannya.

Dengan adanya perubahan tarif PPN, perhitungannya juga turut berubah. Sehingga, penting untuk mengetahui rumus menghitung PPN tarif baru 11 persen. Berikut ini penjelasan lengkap terkait pengertian PPN hingga langkah-langkah perhitungannya.

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pemungutan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi atas barang dan jasa yang memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya, dari konsumen dan produsen. PPN disebut juga Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST).

PPN merupakan jenis pajak yang bersifat tidak langsung, objektif dan kumulatif. Maksud tidak langsung di sini adalah iuran pajak tidak disetorkan langsung oleh penanggung pajak kepada pemerintah.

Melainkan, iuran pajak tersebut dibayarkan oleh konsumen selaku penanggung pajak, lalu diterima oleh pelaku usaha sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang kemudian akan menyetorkan dan melaporkannya kepada pemerintah.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Beberapa objek yang dikenakan PPN, antara lain sebagai berikut:

  • Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) maupun JKP (Jasa Kena Pajak) di dalam daerah Pabean yang dilakukan pengusaha.
  • Impor BKP (Barang Kena Pajak).
  • Pemanfaatan BKP (Barang Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah Pabean, namun berasal dari luar daerah Pabean.
  • Pemanfaatan JKP (Jasa Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah Pabean, namun berasal dari luar daerah Pabean.
  • Ekspor BKP (Barang Kena Pajak) berwujud atau tidak berwujud oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).
  • Ekspor JKP (Jasa Kena Pajak) berwujud atau tidak berwujud oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Langkah Menghitung PPN Tarif Baru

Pada kebijakan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN resmi naik menjadi 11 dan 12 persen, dari sebelumnya hanya 10 persen.

Rumus Perhitungan

Ada pun untuk menghitung besaran PPN yang perlu ditanggung, dapat menggunakan rumus berikut:

Tarif PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa

Contoh Perhitungan

Budi merupakan konsumen yang membeli makanan di sebuah restoran. Budi memesan beberapa jenis makanan dengan total harga Rp240 ribu. Jika transaksi yang dilakukan Budi senilai Rp240 ribu, dengan DPP sebesar 11%, besaran yang perlu dibayar Budi adalah:

PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa

= 11% x 240.000

= 26.400

Lalu, 240.000 + 26.400 = 266.400

Dari perhitungan tersebut, maka tarif PPN yang perlu dibayarkan Budi adalah Rp 26.400. Lalu, jika ditambah dengan total harga pesanan Budi Rp 240.000, maka jumlah uang yang perlu diberikan Budi kepada restoran yakni sebesar Rp 266.400.

Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Terutang Karyawan

Bagaimana cara menghitung PPh terutang karyawan? Sebagai owner bisnis, terutama bisnis skala menengah, Anda perlu mengetahui cara menghitung pajak penghasilan terutang karyawan.

Pada bisnis besar, perhitungan PPh karyawan ini menjadi tanggung jawab HR. Namun, pada beberapa bisnis skala kecil dan menengah, kewenangan ini masih milik owner.

Sebelum masuk ke cara menghitung pajak penghasilan karyawan, apakah Anda sudah tahu apa itu PPh terutang? Jika belum, simak rangkumannya berikut ini.

Pengertian PPh Terutang

 

cara menghitung pph terutang
Sumber: Pixabay

 

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan kepada suatu badan atau individu atas penghasilan yang diterima selama satu tahun.

Sedangkan, pajak penghasilan (PPh) terutang adalah pajak yang wajib dibayarkan oleh WP badan atau WP pribadi kepada negara.

Pajak penghasilan terutang ini juga memiliki Undang-Undang yang mendasarinya. Dasar hukum ini juga penting untuk Anda ketahui. Berikut ini adalah Undang-Undang Perpajakan yang mendasari pajak terutang:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  • Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Terutang Karyawan

Terdapat dua cara untuk menghitung pajak penghasilan terutang, yakni menghitung PPh orang pribadi atau menggunakan metode nett. Di bawah ini akan disampaikan rumus menghitung PPh terutang untuk masing-masing cara.

Rumus Menghitung Pajak Penghasilan Terutang Orang Pribadi

Perhitungan PPh terutang orang pribadi ini telah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17. Dalam UU tersebut, persentase pajak tergantung dari penghasilan masing-masing pribadi yang sudah memiliki NPWP dengan ketentuan sebagai berikut:

  • 5% untuk penghasilan kena pajak untuk penghasilan hingga Rp.50.000.000,- per tahun.
  • 15% untuk penghasilan kena pajak Rp.50.000.000,- hingga Rp.250.000.000,- per tahun.
  • 25% untuk penghasilan kena pajak Rp.250.000.000,- hingga Rp.500.000.000,- per tahun.
  • 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp.500.000.000,- per tahun.

Kemudian, untuk orang pribadi yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pajak 20% lebih tinggi dari tarif pajak di atas.

Menghitung PPh Terutang dengan Metode Nett

Metode ini digunakan apabila perusahaan menanggung pajak karyawan. Sehingga, gaji yang diterima oleh karyawan merupakan gaji bersih yang telah dipotong pajak.

Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh karyawan dengan gaji bersih sebesar Rp.11.000.000,- per bulan dengan metode nett:

Gaji pokok setahun = Rp.11.000.000 x 12 bulan = Rp.132.000.000

Biaya jabatan setahun = 5% x Rp.11.000.000 x 12 bulan = Rp.6.600.000

Penghasilan neto = Rp.132.000.000 – Rp.6.600.000 = Rp.125.400.000

Penghasilan kena pajak = Penghasilan neto setahun – pendapatan tidak kena pajak (PTKP) TK/0

Penghasilan kena pajak = Rp.125.400.000 – Rp.54.000.000 = Rp.71.400.000

(Jumlah pajak penghasilan > Rp.50.000.000)

PPh terutang setahun = (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp.21.400.000) = Rp.5.710.000

Potongan pajak karyawan per bulan = Rp.5.710.000 : 12 bulan =  Rp.475.833

Demikian informasi mengenai cara menghitung PPh terutang karyawan. Semoga informasi di atas dapat membantu Anda dalam menghitung pajak penghasilan terutang karyawan dengan mudah.

Header by Pixabay.com