India blokir Mobile Legends, TikTok, dan 57 Aplikasi asal Tiongkok

Ekosistem esports di India mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang berkembang dengan pesat. Ini terbukti salah satunya, dari catatan data yang mengatakan bahwa total hadiah turnamen esports di tahun 2019 meningkat 118 persen dari tahun sebelumnya. India juga bahkan sampai bisa menarik perhatian organisasi esports Fnatic, yang membuat divisi esports PUBG Mobile di sana.

Namun, seperti di Indonesia, India juga mengalami kendala blokir memblokir dari pemerintah, yang berpengaruh pada perkembangan ekosistem esports. Januari 2020 lalu, India sempat akan blokir PUBG Mobile, karena dianggap menyebabkan kecanduan dan membuat pemainnya menjadi lebih agresif.

Kini pemblokiran kembali terjadi di India, dan Mobile Legends yang menjadi korbannya. Game MOBA besutan Moonton tersebut tidak sendirian, mengutip media lokal, dikatakan bahwa setidaknya ada 58 aplikasi Tiongkok lain yang juga turut diblokir. Selain Mobile Legends, game lain yang juga kena blokir dalam daftar tersebut Clash of Kings. Selain itu, 57 aplikasi sisanya yang diblokir adalah aplikasi Tiongkok yang populer seperti TikTok, UC Browser, DU recorder, dan lain sebagainya.

TikTok kini menjadi semakin populer. | Sumber: 9to5mac
Selain Mobile Legends, TikTok juga jadi korban aksi blokir aplikasi Tiongkok yang digagas oleh pemerintah India. Sumber: 9to5mac

Dikatakan, bahwa alasan memblokir ini adalah untuk melindungi pengguna internet India dari serangan privasi aplikasi-aplikasi tersebut. “Kompilasi data yang dikumpulkan oleh aplikasi tersebut menjadi sesuatu yang mengancam bagi keamanan nasional India. Hal tersebut tentu akan berdampak negatif bagi integritas negara, yang mana ini menjadi perhatian besar bagi negara, serta membutuhkan tindakan yang segera.” Tulis Kementerian Teknologi dan Informasi India membahas soal pemblokiran ini.

Mengutip dari IndianExpress, dikatakan bahwa walau telah diblokir, aplikasi TikTok masih bisa digunakan jika smartphone sang pengguna sudah terinstall aplikasi tersebut. Namun TikTok menjadi hilang di Google Play Store setelah pemblokiran. Jadi pengguna tidak dapat melihat TikTok di Google Play Store jika melakukan uninstall atau belum memiliki aplikasi tersebut di dalam smartphone. Masih dari IndianExpress, dikatakan bahwa beberapa aplikasi Tiongkok lainnya yang masuk dalam daftar blokir masih tersedia di Google Play Store. Namun tidak ada informasi lebih mendetil soal aplikasi apa yang masih bisa di-download.

Terkait pemblokiran di India, TikTok juga sudah memberikan sebuah pernyataan yang mereka sematkan lewat postingan twitter di akun resmi TikTok India.

Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa TikTok mematuhi segala kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan India, termasuk hukum soal privasi data dan keamanan digital. Juga dikatakan bahwa TikTok India sudah mendapat undangan dari badan pemerintahan, untuk memberi respon dan klarifikasi terkait pelanggaran privasi data yang dianggap pemerintah dilakukan oleh TikTok.

Lebih lanjut, dari pernyataan Kementerian Teknologi dan Informasi India mengatakan. “Computer Emergency Response Team (CERT-IN) juga telah menerima laporan dari perwakilan masyarakat terkait pelanggaran privasi dan data dari aplikasi tersebut, yang mana berdampak kepada ketentraman masyarakat. Juga ada arahan kuat dari masyarakat untuk melakukan tindakan keras terhadap aplikasi yang mencederai kedaulatan India, dan privasi dari masyarakat kami.”

Hingga saat ini, India memang belum memiliki ekosistem esports Mobile Legends. Namun pemblokiran ini tentu akan membuat game tersebut memiliki kesempatan yang kecil sekali untuk berkembang menjadi lebih besar lagi.

*Artikel ini telah disunting oleh tim editorial Hybrid. Kami menambahkan pernyataan dari TikTok, serta kutipan asli dari pemerintah India terkait pemblokiran yang dilakukan.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah untuk Esports Indonesia?

Tanggal 28 Januari 2019 yang lalu, berbagai instansi pemerintah bekerja sama mengumumkan Piala Presiden Esports 2019. Ada beberapa instansi yang bergandengan tangan menggelar turnamen ini, seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA), Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO). Sejumlah instansi tadi mengajak IESPL dan RevivalTV untuk menjalankan turnamen ini.

Tak sedikit yang memuji langkah pemerintah tadi karena menunjukkan dukungan mereka terhadap komunitas dan industri esports Indonesia. Namun demikian, jika kita ingin melihatnya lebih kritis, benarkah turnamen-turnamen seperti itu yang kita butuhkan dari pemerintah?

Piala Presiden 2019 - Juara Regional Surabaya
REVO Esports, juara regional Surabaya | Sumber: Dokumentasi Piala Presiden 2019

Bagi saya pribadi, negara seharusnya mengurusi hal-hal makro seperti infrastruktur digital, kebijakan perdagangan ISP, perpajakan, landasan hukum, ataupun yang lainnya yang menguntungkan semua pihak di ekosistem esports kita. Bukannya menggelar turnamen yang bersifat mikro. Apalagi, sudah banyak event organizer di Indonesia yang memang fokus menggarap esports. Kecuali memang belum ada EO esports sama sekali di Indonesia, mungkin langkah tadi benar-benar bisa diacungi jempol.

Saat pemerintah menggelar event yang sudah biasa jadi proyek swasta, mereka justru menjadi kompetitor dari EO yang tak ditunjuk. Contoh argumentasi ini sangat mudah karena memang kebetulan acara Grand Final Piala Presiden Esports 2019 (30-31 Maret 2019) bertabrakan tanggalnya dengan Grand Final ESL Indonesia Championship dan ESL Clash of Nations.

Aneh tidak sih? Ini saya bertanya ya…

Lalu, apa yang seharusnya pemerintah lakukan untuk esports Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tadi, saya pun mengumpulkan beberapa pendapat dari berbagai pemangku kepentingan di esports Indonesia.

Gisma Priayudha Assyidiq A.K.A Melondoto

Sumber: Melondoto via Instagram
Sumber: Melondoto via Instagram

“Pemerintah bisa men-support dengan cara mengapresiasi apa yang dilakukan oleh para atlet esports, mulai dari kompetisi lokal maupun internasional. Tidak perlu menambah hadiah atau iming-iming A, B, C, D. Biarkan esports berjalan dengan ekosistem yang sekarang sudah sangat baik.” Kata Gisma yang mengawali perjuangannya di esports Indonesia sebagai shoutcaster Dota 2.

“Diundang dong ke Istana Negara, contoh misal BOOM ID. Meski belum meraih kesuksesan di ajang dunia, tapi apresiasi kecil dari pemerintah akan saat berarti. Apresiasi ini tak hanya cuma buat BOOM ID, tapi buat semua pelaku esports.” Lanjutnya.

Menurut Melon, ia juga berharap pemerintah bisa memberikan asosiasi yang benar-benar netral ataupun merumuskan landasan hukum dan perpajakan soal esports. Selain itu, menurut Project Director JD High School League dan Chief Creative Officer untuk MoobaTV Indonesia ini, pemerintah juga bisa membantu mengenalkan esports dan dunia gaming ke arah yang baik. Sebagai pekerjaan atau profesi, misalnya. Pasalnya, hal tersebut dapat menghilangkan keresahan orang tua.

Satu hal yang ia percayai adalah segala sesuatu yang diatur dengan baik, hasilnya pun baik.

“Tolong GBK digratisin untuk event Mobile Legends. Wkwkwkwkw.” Tutupnya sembari bercanda.

Andrian Pauline (AP), CEO Rex Regum Qeon

Sumber: Andrian Pauline via Instagram
Sumber: Andrian Pauline via Instagram

Buat yang mengikuti perkembangan industri dan ekosistem esports Indonesia, Anda seharusnya tahu AP (panggilan akrabnya) dan Rex Regum Qeon (RRQ). Buat yang belum terlalu familiar, Anda bisa membaca obrolan kami dengan AP tentang RRQ beberapa waktu yang lalu.

Ia pun mengatakan, “menurut saya, (pemerintah bisa) membuat sebuat roadmap yang jelas untuk esports, mengaktifkan asosiasi, dan membantu atau memfasilitasi player, komunitas, EO, dan semua stakeholder di esports; khususnya di daerah. Karena mereka butuh peran serta pemerintah.”

Lebih lanjut, CEO dari organisasi esports besar yang merupakan bagian dari MidPlaza Holding ini menjelaskan beberapa contoh konkret tentang apa yang ia maksud di kalimat sebelumnya.

Pertama, ia berharap akan adanya jadwal event yang jelas (khususnya untuk event-event besar atau premium) agar tidak lagi bertabrakan tanggalnya. Selain itu, agar komunitas esports sehatdibutuhkan sebuah wadah yang dapat merangkul semua pelaku esports, seperti EO, developer, dan brand, untuk bisa duduk bersama. Event-event di daerah yang skalanya kecil dan menengah juga bisa jadi garapan pemerintah.

Terakhir, ia juga berargumen bahwa ada sebuah kebutuhan atas pelatihan dan pembinaan sehingga kita bisa mencetak para pemain yang bagus dengan perencanaan yang matang.

Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing Mineski Event Team

Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji
Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji

“Banyak sih… Tapi off-the-record ya hahaha…” Kata Reza sembari bercanda, mengawali perbincangan kami soal ini.

Lebih serius, Reza pun menjawab, “supporting grassroot events. Regenerasi kurang banget. Esports harusnya udah bisa jadi ekstra kulikuler karena udah seperti olahraga beneran yang butuh effort dan latihan.”

Selain itu, Reza juga menambahkan soal kebutuhan infrastruktur internet yang lebih baik. Pasalnya, ia bercerita jika salah satu momok untuk event berskala besar juga ada di internet. “Salah satu hambatan kita sebagai EO juga di internet. Even di kota besar masih aja ada gak stabilnya.” Ujar Reza yang bahkan sudah malang melintang bekerja untuk brand-brand internasional sekalipun.

Ditambah lagi, menurutnya, akses internet di Indonesia yang belum merata menyulitkan talenta-talenta dari kota kecil jadi lebih sulit terlihat. “Terus, dukungan konkret pemerintah untuk para pemain yang bertanding di tingkat international juga belum ada. Padahal mereka bela Indonesia.” Tutupnya.

Yohannes P. Siagian, Kepala Sekolah SMA 1 PSKD & Vice President EVOS Esports

“Kalau seperti itu pertanyaannya, sedikit susah jawabnya. Kalau apa yang SEHARUSNYA mereka lakukan adalah memberikan esports ruang untk berkembang secara alami dan tidak perlu masuk terlalu dalam operasional esports sehari-hari. Seperti anak remaja yang sedang berkembang, esports membutuhkan fasilitas dan support tanpa intervensi yang berlebihan.” Ujar Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.

Menurutnya, campur tangan pemerintah yang berlebihan justru akan menghambat perkembangan esports.  Meski memang, bukan berarti pemerintah tidak dibutuhkan. Namun bentuk peran tersebut yang perlu dipertimbangkan.

Yohannes pun menjelaskan, “yang paling diperlukan adalah support pembangunan infratrustruktur dan regulasi yang mendukung esports berkembang. Misalnya pengembangan jaringan internet di Indonesia dan pengakuan esports sebagai bidang usaha/kerja yang sah.”

Contoh regulasi yang ia maksud di atas salah satunya adalah soal mempermudah proses pembuatan visa kerja bagi pemain, pelatih, ataupun pekerja asing di esports. Kalau proses ini bisa dipermudah, hal ini dapat menjadi penunjang positif untuk esports Indonesia karena ada pertukaran informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat.

“Kalau Indonesia pintar mengelola perkembangan esports, maka ia akan menjadi suatu sektor yang sangat menguntungkan bagi Indonesia; tapi harus diberikan kesempatan untuk berkembang secara alami.” Ungkap Yohannes menutup perbincangan kami.

Sumber: ESL
IEM Chicago 2018. Sumber: ESL

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan pendapat-pendapat narasumber kita kali ini, pemerintah sebenarnya/seharusnya bisa melakukan hal-hal yang tak dapat dijangkau atau sulit dilakukan oleh pelaku industri swasta.

Infrastruktur digital dan aspek pendidikan misalnya. Kedua hal tadi jelas tak mudah dilakukan oleh pelaku industri, tanpa campur tangan pemerintah. Perihal regenerasi dan meratakan tren esports untuk seluruh kalangan dan daerah di Indonesia juga bisa dilakukan, mengingat pelaku industri swasta mungkin akan kesulitan mencari modal ataupun sponsor untuk 2 kebutuhan ini.

Tidak lupa juga, berhubung esports sekarang sudah jadi industri dengan nilai yang cukup besar, dibutuhkan juga sebuah wadah yang mau dan mampu bersikap netral serta aktif mengakomodasi berbagai kepentingan; atau setidaknya menjadi fasilitator agar berbagai pelaku industrinya dapat duduk bersama mencari jalan tengah jika terjadi konflik kepentingan… Bukannya menjadi kompetitor ataupun malah jadi bagian dari konflik kepentingannya.

Apakah Anda setuju dengan pendapat kami dan para narasumber kita kali ini? Akankah harapan-harapan itu tadi hanya akan sekadar jadi teriakan-teriakan di ruang hampa? Entahlah…

Esports dan Dukungan Pemerintah, Wacana Sesaat atau Program Jangka Panjang?

Belakangan, esports sedang mendapat sorotan dari pihak pemeritah. Berbagai lembaga pemerintahan membuat event esports di Indonesia. Beberapa badan pemerintahan tersebut adalah Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FORMI), juga Kementrian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO).

Badan pemerintahan tersebut langsung menyambut para gamers dengan 3 turnamen esports sekaligus. Ada Piala Presiden, Youth National Esports Championship, dan IEC University Series 2019. Lalu apakah dengan campur tangan pemerintah seperti ini, masa depan esports di Indonesia jadi lebih cerah? Penasaran dengan topik ini, kami pun berdiskusi dengan salah satu sosok yang sudah cukup lama malang melintang di dunia esport Indonesia, Gisma “Melon” Priayudha.

Gisma "Melon" (Kanan) shoutcaster kondang yang terkenal oleh komunitas sebagai "peternak lele". Sumber:
Gisma “Melon” (Kanan) shoutcaster Dota kondang yang terkenal di kalangan komunitas sebagai “peternak lele”. Sumber: Melondotos

Pertama-tama mungkin adalah soal Piala Presiden yang menjadi perdebatan di komunitas gamers Indonesia gara-gara game yang dipilih. Bicara soal hal tersebut, Melon cukup kalem menanggapinya. “Sebenarnya bukan hal baru game disentuh-sentuh politik. Soal ML (Mobile Legends) yang jadi sorotan, ya nggak heran juga. Memang gamenya lagi populer banget, jadi sudah sepantasnya”.

Sampai di titik ini, pertanyaan yang sesungguhnya pun muncul. Apakah dukungan pemerintah yang bertubi-tubi seperti ini akan membuat esports melaju pesat ke depan? Melon mengatakan bahwa konsistensi dukungan lebih penting daripada bertubi-tubi tapi cuma satu saat. “Udah kenyang deh sama yang kaya ginian, makanya gue gak terlalu masalah walau tahun ini game-nya bukan Dota. Tapi harapannya cuma satu, kalau pemilihan sudah selesai dukungan terhadap esports jangan cuma wacana aja.” Jawab Melon.

Esports dan politik di Indonesia sudah berkali-kali saling interaksi, sejauh yang saya tahu semuanya dimulai pada tahun 2017. Zaman itu adalah zaman Pilkada DKI, ketika paslon Ahok Djarot mencoba meraup perhatian anak muda dengan gelaran Ahok Djarot Dota 2 Invitational. “Pas zaman Ahok Djarot itu katanya mau bikin akademi Dota, tapi berujung cuma wacana. Sejauh yang gue pantau, belum ada lembaga pemerintahan atau politik yang serius menyokong esports. Ujung-ujungnya cuma wacana.” Cerita Melon yang berawal dari seorang shoutcaster kepada Hybrid.

Dokumentas: Hybrid - Novarurozaq Nur
IEL, salah satu event esports yang digagas badan pemerintah KOI, IESPA, dan KEMENPORA. Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Jadi, bila program seperti ini cuma jalan satu kali, mungkin percepatan pertumbuhan ekosistem esports di Indonesia tak akan berubah. Tapi bukan berarti esports Indonesia jadi mundur tanpa dukungan pemerintah. Selama ini juga ekosistem esports Indonesia juga sehat-sehat saja, bahkan melaju pesat tanpa ada dukungan dana dari pemerintah. Namun, menurut saya pribadi, pertumbuhannya bisa jadi lebih pesat jika negara juga turut investasi dalam industri ini.

Terkait hal ini Melon juga turut memberikan komentar yang cukup lugas “pokoknya yang dekat-dekat ini semoga lancar, semoga semua program esports ini nggak cuma wacana doang. Kalau ini semua program ini bisa konsisten dampaknya pasti jadi asik, gamer indonesia bisa makan kenyang. Kalau kata Jess (JessNoLimit), uang dulu baru kita main game jadi enak” jawab Melon sembari bercanda.

Memang apapun yang terjadi, tujuan ekosistem esports adalah untuk memberi ruang bagi para generasi baru, agar mereka bisa menjadikan hobi bermain game sebagai pekerjaan. Jadi apapun dukungannya, entah dari pihak swasta ataupun pihak pemerintah, intinya semua ini soal bisnis: tujuan dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kita sebagai manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.

Ambil contoh Mobile Legends, yang berhasil menjadi besar secara mandiri tanpa banyak campur tangan pemerintah.
Ambil contoh Mobile Legends, yang berhasil menjadi besar secara mandiri tanpa banyak campur tangan pemerintah. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Namun soal dukungan pemerintah, hal yang patut kita apresiasi sebenarnya bukan hanya dari soal dukungan berupa suntikan dana, melainkan soal dukungan moril. Dukungan moril pemerintah ini maksudnya memberi semacam “legitimasi” terhadap esports.

Maksud “legitimasi” adalah memberi anggapan bahwa esports kini sudah “didukung pemerintah” sehingga tingkat kepercayaan para sponsor terhadap industri jadi ini lebih mengingkat. Kehadiran sosok-sosok kepemerintahan dalam gelaran esports juga membuat industri ini jadi lebih disorot oleh media mainstream, sehingga khalayak umum kini juga turut mengenal fenomena baru ini.

Satu hal yang pasti kita tidak bisa atau bahkan tidak perlu bergantung kepada pemerintah. Selama ini, motor penggerak industri esports adalah bisnis swasta yang ada dalam ekosistemnya. Jika kita berkaca dari negara yang punya ekosistem esports matang seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Tiongkok, mereka berkembang dan matang karena peran swasta. Bagaimana dengan pemerintah? Fokus pemerintah biasanya adalah membuat regulasi yang tujuannya agar ekosistem tetap terjaga dan dapat berkembang dengan sehat.

Datangnya PSG ke Indonesia bisa jadi bagus bisa jadi buruk, apalagi kalau tak ada regulasi pemerintah untuk lindungi entitas bisnis esports lokal.
Datangnya PSG ke Indonesia bisa jadi bagus. Tapi bisa jadi buruk, terutama bila tak ada regulasi pemerintah yang berguna untuk lindungi entitas serta pekerja ekosistem esports lokal. Dokumentasi Hybrid

Apalagi jika melihat rentetan investasi luar negeri terhadap industri esports di Indonesia. Kebutuhan akan regulasi dan perundangan yang baik justru semakin dibutuhkan kehadirannya agar industri ini bisa lebih sustainable. Jangan seperti RUU musik yang jelas-jelas konyol dan tak berpihak pada keberlangsungan sebuah industri dan orang-orang di dalamnya.