Spotify Buka Akses Video Podcast ke Lebih Banyak Kreator

Video podcast bukanlah hal baru buat Spotify, dan jenis konten tersebut sebenarnya sudah eksis di platform streaming audio terbesar itu sejak tahun lalu. Kendati demikian, yang bisa mengunggah konten video podcast selama ini hanyalah para kreator terpilih saja.

Kabar baiknya, dalam waktu dekat ini Spotify bakal membuka aksesnya ke lebih banyak kreator melalui platform publikasi podcast-nya, Anchor. Prosesnya akan berlangsung secara bertahap, dan untuk sekarang Spotify lebih mengutamakan podcaster yang menawarkan konten video hanya sebagai pelengkap ketimbang sajian utama.

Kalau dalam kamus Spotify sendiri, konten videonya harus yang “easily backgroundable”. Artinya, kapanpun konsumen ingin berhenti menonton videonya, mereka bisa langsung melakukannya selagi masih mendengarkan audionya.

Ini krusial karena kalau berdasarkan hasil pengamatan Spotify selama ini, banyak pengguna yang menginginkan opsi untuk berganti antara audio saja atau video; tergantung di mana mereka berada, apa yang sedang mereka lakukan, dan konten apa yang sedang mereka nikmati. Selagi berada di dalam mobil misalnya, tentu akan lebih ideal jika podcast-nya dinikmati dalam bentuk audio saja.

Secara default, konten video di Spotify bakal aktif pada podcast yang menyediakannya. Namun pengguna juga dapat mengaktifkan opsi di menu data saver supaya yang dijalankan secara default hanyalah audionya saja.

Selagi podcast diputar, videonya bisa ditutup dan dibuka kapan saja pengguna mau. Sejauh yang saya coba, ini berlaku baik di aplikasi mobile maupun desktop Spotify. Di ponsel, kalau aplikasinya kita tutup, maka video juga otomatis akan berhenti di-stream, tapi audionya tetap akan berjalan seperti biasa.

Videonya tentu bisa ditampilkan secara full-screen jika perlu. Spotify turut menyediakan subtitle yang di-generate secara otomatis, mirip seperti yang biasa kita dapati di YouTube.

Selain membuat podcast jadi makin interaktif, video juga bisa dijadikan salah satu opsi monetisasi bagi para kreator. Jadi seandainya kreator mau, mereka bisa saja menjadikan video podcast sebagai konten eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh para subscriber-nya. Seperti yang kita tahu, Spotify memang sudah menyiapkan program subscription dengan sistem bagi hasil yang sangat menarik bagi para kreator.

Sumber: Spotify.

Clubhouse Luncurkan Tiga Fitur Baru, Dua di Antaranya untuk Merekam Percakapan

Clubhouse resmi meninggalkan fase beta pada bulan Juli lalu, dan sejak saat itu, mereka rajin merilis pembaruan besar setiap satu atau dua minggu. Pekan lalu, mereka memperkenalkan fitur bernama Wave yang dirancang untuk semakin memudahkan interaksi antar pengguna. Sekarang, mereka langsung tancap gas dengan tiga fitur anyar.

Ketiga fitur baru ini pada dasarnya punya tujuan untuk menyempurnakan aspek discovery konten di dalam Clubhouse. Fitur yang pertama adalah Universal Search, yang memungkinkan pengguna untuk mencari orang, club, live room, maupun deretan event yang akan datang.

Universal Search saat ini sudah mulai tersedia di Clubhouse versi iOS maupun Android. Untuk sekarang, Universal Search baru bisa diakses melalui tab Explore, tapi dalam satu atau dua minggu ke depan, pengguna dapat langsung mengaksesnya melalui halaman utama aplikasi.

Berikutnya, ada fitur bernama Clip. Fitur ini dirancang agar pengguna bisa membagikan klip atau potongan audio berdurasi 30 detik dari sebuah public room yang dikunjunginya ke berbagai platform macam Instagram, Twitter, Facebook, iMessage, atau WhatsApp.

Clip hanya akan tersedia di public room, bukan di private maupun club room. Fitur ini akan aktif secara default, tapi kita tetap bisa menonaktifkannya kapan saja. Kalau diaktifkan, maka semua partisipan di dalam room akan melihat ikon baru berlambang gunting (✄).

Klik ikon tersebut, maka aplikasi akan menyimpan klip audio dari 30 detik terakhir, dan pengguna bebas membagikannya ke platformplatform yang sudah disebutkan tadi. Daripada sekadar menuliskan Tweet tentang sebuah room yang kita kunjungi, kenapa tidak sekalian kita berikan preview-nya saja?

Di saat yang sama, fitur ini tentu juga sangat berguna untuk mengabadikan momen berkenang yang baru saja terjadi. Clip sejauh ini masih berstatus beta, dan baru akan tersedia untuk sekelompok kecil kreator saja.

Terakhir, Clubhouse juga akan meluncurkan fitur bernama Replay dalam beberapa minggu ke depan. Sesuai namanya, Replay dibuat agar konten audio di Clubhouse bisa didengarkan di lain waktu, bukan cuma ketika sedang tayang secara live.

Seperti Clip, Replay juga bersifat opsional, dan kita bisa memilih untuk mengaktifkannya setiap kali hendak membuka suatu public room. Kalau diaktifkan, maka room tersebut bakal eksis di Clubhouse selama yang pengguna inginkan. Juga sama seperti Clip, Replay dapat diunduh sepenuhnya ke perangkat.

Berhubung bisa di-download, itu berarti sesi-sesi publik di Clubhouse dapat dikemas ulang menjadi podcast jika mau. Sebagai informasi, fitur untuk merekam sesi live ini sudah tersedia sejak lama di dua kompetitor Clubhouse, yaitu Twitter Spaces dan Spotify Greenroom.

Dalam kesempatan yang sama, Clubhouse juga mengumumkan bahwa aplikasi Android-nya kini sudah mendukung fitur spatial audio. Fitur ini pertama diluncurkan pada akhir Agustus lalu di iOS, dan fungsinya adalah untuk membuat percakapan jadi terasa lebih hidup.

Sumber: Clubhouse.

Spotify Akuisisi Podz, Ingin Benahi Problem Seputar Podcast Discovery dengan Machine Learning

Salah satu problem utama di industri podcasting saat ini bukanlah soal ketersediaan dan keberagaman konten. Yang kerap menjadi hambatan justru adalah aspek discovery, dan itulah mengapa Spotify baru-baru ini memutuskan untuk mengakuisisi Podz, sebuah startup yang ingin mengatasi masalah tersebut dengan memanfaatkan machine learning.

Teknologi yang dikembangkan oleh Podz pada dasarnya bisa dideskripsikan sebagai versi otomatis dari Headliner, sebuah tool yang kerap dipakai kalangan podcaster untuk mempromosikan kontennya via klip-klip pendek yang dapat dibagikan ke media sosial. Podz menjuluki teknologinya dengan istilah “audio newsfeed”, di mana pengguna akan disuguhi deretan klip berdurasi 60 detik yang diambil dari berbagai podcast.

Klip-klip tersebut dimaksudkan untuk menyoroti momen terbaik dari setiap podcast, sangat krusial mengingat satu episode podcast sering kali mempunyai durasi di atas 30 menit, dan terkadang deskripsi teks yang tercantum kurang bisa menggambarkan keseruan yang ditawarkan. Dengan sampel audio singkat ini, harapannya pengguna bisa lebih mudah menemukan podcastpodcast baru di luar yang sudah mereka ikuti.

Singkat cerita, kalau lagu-lagu di Spotify bisa kita dengarkan preview-nya, kenapa podcast tidak? Lagu yang berdurasi cuma 4 menit saja bisa ada sampel versi pendeknya, lalu kenapa episode podcast yang berdurasi 1 jam tidak bisa kita dengarkan terlebih dulu ‘momen klimaksnya’ sebelum kita mengklik tombol play? Kira-kira seperti itulah premis yang ditawarkan oleh Podz, dan ke depannya kita bakal melihat semua ini diintegrasikan langsung ke platform Spotify.

Kepada TechCrunch, tim Podz menjelaskan bahwa model machine learning yang mereka gunakan telah dilatih dengan lebih dari 100.000 jam audio, lengkap beserta sesi konsultasi dengan kalangan jurnalis maupun audio editor. Sebelum diakuisisi Spotify, Podz sudah lebih dulu menerima pendanaan sebesar $2,5 juta dari berbagai investor.

Spotify sendiri melihat integrasi Podz dapat memudahkan para pelanggannya untuk menemukan konten-konten baru yang menarik di tengah 2,6 juta podcast yang tersedia dalam katalog Spotify, termasuk halnya deretan podcast berbayar yang akan segera datang. Dari sisi sebaliknya, kehadiran Podz juga diharapkan bisa membantu kalangan kreator mempromosikan kontennya secara lebih maksimal.

Sumber: Spotify dan TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Spotify Greenroom Resmi Dirilis, Siap Tantang Clubhouse dan Twitter Spaces

Kategori aplikasi live audio resmi kedatangan penantang baru, yakni Spotify Greenroom. Seperti halnya Clubhouse, Twitter Spaces, dan sederet kompetitor lainnya, Greenroom dirancang sebagai wadah untuk berdiskusi lisan secara virtual dan secara langsung (live).

Secara teknis, Spotify Greenroom sebenarnya tidak bisa dibilang 100% baru. Aplikasi ini sebelumnya sudah eksis lebih dulu menggunakan nama Locker Room, sebelum akhirnya diakuisisi dan dirombak oleh Spotify pada bulan Maret 2021.

Yang dirombak bukan sebatas branding-nya saja, sebab Locker Room pada awalnya cuma berperan sebagai Clubhouse-nya para penggila olahraga. Sebagai Greenroom, topik bahasannya kini jelas meluas secara drastis, apalagi mengingat aplikasinya sudah tersedia di lebih dari 135 negara.

Dalam Greenroom, siapapun bebas memulai sesi live-nya sendiri. Kita tidak perlu menjadi pelanggan Spotify Premium untuk dapat menciptakan room di Greenroom — kita bahkan tidak memerlukan akun Spotify sama sekali untuk bisa menggunakan Greenroom. Meski begitu, seandainya kita sudah punya akun Spotify, kita tentu dapat memakainya untuk login di Greenroom.

Di setiap room, kita bisa menemukan tiga jenis partisipan: host, pembicara, dan pendengar. Host adalah yang menciptakan room tersebut, dan mereka punya kontrol penuh atas siapa saja yang berhak berbicara selama sesi berlangsung. Host juga dapat mengaktifkan atau menonaktifkan fungsi chat di masing-masing room.

Sistem like di Greenroom diwakili oleh Gem. Klik dua kali icon seorang pembicara atau host, maka mereka bakal mendapatkan sebuah Gem. Total Gem yang pernah diterima akan ditampilkan di seluruh profil pengguna di Greenroom. Anggap saja Gem sebagai indikator popularitas di kalangan pengguna Spotify Greenroom, namun bukan tidak mungkin seandainya fitur ini bakal dimonetisasi ke depannya.

Spotify sejauh ini memang belum menawarkan opsi monetisasi apapun kepada pengguna Greenroom. Untuk sekarang, satu-satunya cara pengguna Greenroom mendapatkan uang adalah dengan mendaftarkan diri di program Spotify Greenroom Creator Fund, yang sayangnya cuma tersedia di Amerika Serikat saja.

Satu hal unik yang Greenroom tawarkan adalah kemudahan bagi host untuk merekam sesi perbincangan yang berlangsung di room-nya, yang kemudian dapat dikemas dan didistribusikan sebagai episode podcast jika mau. Kita tidak perlu terkejut seandainya nanti Spotify menambahkan tombol ekstra yang memungkinkan host untuk langsung menyunting file audio-nya di Anchor, yang tidak lain merupakan platform kreasi podcast milik Spotify.

Spotify Greenroom saat ini sudah tersedia dan bisa diunduh di perangkat Android maupun iOS.

Sumber: Spotify.

Kreator Podcast di Spotify Kini Bisa Menawarkan Program Subscription Buat Para Pendengarnya

Perang platform podcasting tengah memanas. Hanya selang beberapa hari setelah Apple memperkenalkan layanan Apple Podcasts Subscriptions, sekarang giliran Spotify yang meluncurkan layanan serupa. Spotify memang sudah merencanakannya sejak Februari lalu, akan tetapi timing peluncurannya bisa dipastikan bukan kebetulan.

Sama seperti yang Apple lakukan, layanan ini pada dasarnya Spotify rancang agar para kreator podcast bisa menawarkan program paid subscription kepada para audiensnya. Harapannya tentu supaya kreator bisa mendapatkan pemasukan tambahan, dan Spotify benar-benar tidak mau main-main soal itu.

Di saat Apple menarik komisi 30% dari total pemasukan subscription yang dihasilkan oleh masing-masing kreator — mulai tahun kedua turun menjadi 15% — Spotify memutuskan untuk tidak mengambil apa-apa. Dengan kata lain, 100% biaya berlangganan yang dibayarkan oleh para pendengar bakal masuk ke kantong masing-masing kreator — kecuali biaya penanganan kecil yang akan dibayarkan ke Stripe selaku pihak yang menangani proses transaksinya.

Kebijakan ini akan terus berlanjut sampai sekitar dua tahun. Di tahun 2023, Spotify berniat untuk menarik komisi sebesar 5%, tetap jauh lebih kecil daripada yang Apple tetapkan. Mengenai tarifnya, kreator bisa memilih satu dari tiga opsi tarif bulanan: $3, $5, atau $8. Untuk sekarang, program ini memang baru tersedia buat para kreator di Amerika Serikat saja, tapi dipastikan menyusul ke negara-negara lain dalam beberapa bulan mendatang.

Semua episode podcast yang hanya bisa diakses oleh para subscriber akan ditandai dengan icon gembok. Untuk berlangganan, cukup disayangkan para pendengar tidak bisa melakukannya langsung dari aplikasi Spotify, melainkan harus lewat situs Anchor, spesifiknya laman profil masing-masing kreator di Anchor. Ini juga berarti kreator hanya bisa mengatur program subscription-nya melalui platform Anchor.

Dalam kesempatan yang sama, Spotify juga mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan teknologi untuk memfasilitasi kreator podcast yang sudah memiliki program subscription di platform lain. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mendistribusikan konten berbayarnya di Spotify selagi melibatkan sistem login-nya sendiri. Berhubung masih dikembangkan, cara kerja pastinya seperti apa pun masih tanda tanya.

Sumber: Spotify dan Anchor. Gambar header: Depositphotos.com.

Apple Luncurkan Layanan Apple Podcasts Subscriptions

Podcast merupakan bagian penting dari bisnis Apple sejak mereka pertama kali menyajikannya via iTunes pada pertengahan tahun 2005. Hal itu masih terus berlaku sampai sekarang. Malahan, Apple baru saja mengambil langkah yang cukup berani dengan meluncurkan layanan baru bernama Apple Podcasts Subscriptions.

Layanan ini pada dasarnya dirancang agar kreator podcast dapat menawarkan program subscription kepada para pendengarnya via platform Apple Podcasts. Tarif berlangganannya bebas mereka tentukan sendiri, asalkan tidak kurang dari setengah dolar per bulan untuk pasar Amerika Serikat.

Di tahun pertama, Apple mengambil 30% dari total pemasukan subcription yang diterima masing-masing kreator. Memasuki tahun kedua dan seterusnya, Apple hanya akan mengambil 15% saja. Layanan ini kabarnya akan tersedia pada bulan Mei di lebih dari 170 negara.

Lalu apa saja manfaat yang bakal didapat oleh para subscriber? Bisa bervariasi, tergantung kebijakan yang ditetapkan oleh masing-masing kreator; bisa akses ke episode-episode bonus, bisa akses lebih awal atau malah akses eksklusif ke seri konten tertentu, atau bisa juga sesederhana sesi mendengarkan tanpa iklan.

Dalam kesempatan yang sama, Apple turut menyingkap versi baru aplikasi Apple Podcasts dengan sejumlah penyempurnaan. Satu yang paling utama adalah fitur Channel, yang pada dasarnya merupakan kumpulan konten yang dikurasi oleh masing-masing kreator. Channel bisa gratis bisa berbayar, sekali lagi tergantung kebijakan masing-masing kreator. Kalau perlu, kreator bisa saja menawarkan Channel khusus yang hanya dapat diakses oleh para subscriber-nya.

Hal yang perlu dicatat oleh para kreator adalah, untuk bisa menawarkan program subscription kepada para pendengarnya, mereka harus terlebih dulu bergabung dalam Apple Podcasters Program, yang sendirinya dipatok tarif $20 per bulan di Amerika Serikat. Untuk mengunggah konten subscription, mereka juga harus memanfaatkan dashboard Apple Podcasts Connect, tidak bisa melalui RSS seperti biasanya.

Berhubung distribusi kontennya melibatkan Apple langsung, kreator pun tidak akan mendapatkan akses ke data-data pribadi milik para subscriber-nya, seperti nama, alamat email, ataupun informasi kontak spesifik lainnya. Singkat cerita, semua insight yang tersaji bersifat anonim dan teragregasi.

Sumber: Apple dan TechCrunch.

Ada Lebih dari 2 Juta Podcast yang Beredar, Tapi Berapa Banyak yang Rutin Merilis Konten Baru?

Dewasa ini, keberadaan platform seperti Anchor membuat kegiatan podcasting seperti semudah mengunggah foto ke media sosial. Dengan hanya bermodalkan sebuah smartphone saja, siapapun sekarang bisa membuat dan memublikasikan podcast, dan ini jelas berdampak pada pesatnya pertumbuhan industri podcast.

Kalau kita melihat data dari Podcast Industry Insights, sejauh ini tercatat ada lebih dari 2 juta podcast yang bisa ditemukan di platform Apple Podcasts. Data yang dikumpulkan Podcast Index malah lebih banyak lagi dan sudah menembus angka 2,5 juta podcast. Pertanyaannya, dari sekian banyak podcast yang beredar di jagat internet, berapa banyak yang rutin merilis konten-konten baru?

Analisis yang dipublikasikan Amplifi Media baru-baru ini menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Dari 2 juta podcast di Apple Podcasts, 26% di antaranya ternyata cuma sempat memublikasikan satu episode saja. Dengan kata lain, sekitar seperempat dari total podcast yang ada (520 ribu podcast) bisa dikatakan sudah gulung tikar.

Sumber: Amplifi Media
Sumber: Amplifi Media

Memang benar ada beberapa podcast yang sengaja direncanakan cuma satu episode saja, sehingga pada akhirnya analisisnya dikerucutkan lagi dengan kriteria dua episode. Di sini angka yang ditemukan adalah 37%, yang berarti ada sekitar 740 ribu podcast dengan dua episode atau kurang. Lebih jauh lagi, tercatat 44% dari total podcast yang ada (880 ribu podcast) memiliki tiga episode atau kurang.

Temuan lainnya menunjukkan ada sekitar 720 ribu podcast yang sempat merilis setidaknya 10 episode. Andaikata ini yang bisa kita klasifikasikan sebagai podcast rutin, itu berarti jumlahnya cuma 36%, alias sepertiga lebih sedikit dari total 2 juta podcast tadi.

Kesimpulannya kalau menurut saya, bagi yang pesimistis bisa sukses di industri podcast karena harus bersaing dengan 2 juta podcast lain, ada baiknya Anda buang jauh-jauh pikiran tersebut. Analisis yang dilakukan Amplifi Media ini pada dasarnya menunjukkan bahwa yang bisa dianggap ‘pemain’ di industri podcast sebenarnya tidak sampai sebanyak itu.

Pada kenyataannya, 63% dari semua podcast yang hanya mempunyai satu episode tadi dipublikasikan via Anchor, dan ini bisa menjadi indikasi bahwa banyak orang yang bereksperimen dengan podcasting tapi ternyata tidak lanjut meneruskannya — mungkin karena sebatas mencoba-coba hal baru guna mengisi waktu selama pandemi.

Sumber: Amplifi Media. Gambar header: Depositphotos.com.

Shure MV7 Adalah Mikrofon untuk Podcaster dengan Sambungan USB dan XLR Sekaligus

Seperti halnya YouTuber, gear yang dimiliki seorang podcaster tentu akan berkembang seiring berjalannya waktu dan bertumbuhnya channel. Dari yang awalnya cuma mengandalkan mikrofon bawaan headset, lalu naik pangkat ke mikrofon USB, hingga akhirnya memiliki setup profesional dengan mikrofon XLR sebagai tonggak utamanya.

Alternatifnya, podcaster juga bisa memilih ‘jalur aman’ dengan membeli mikrofon jenis hybrid yang menawarkan dua jenis konektor sekaligus: USB dan XLR. Dengan begitu, mereka bebas menyambungkannya ke PC via USB, atau ke mixer via XLR ketika sudah tiba saatnya bagi mereka untuk naik ke level produksi yang lebih tinggi lagi.

Mikrofon yang masuk di kategori hybrid ini ada banyak sebenarnya, seperti Blue Yeti Pro misalnya, akan tetapi yang terbaru datang dari dedengkot mikrofon itu sendiri, Shure. Pabrikan asal Amerika Serikat itu baru saja memperkenalkan Shure MV7, mic pertamanya yang dilengkapi konektor USB sekaligus XLR.

Secara fisik, MV7 jauh lebih mirip seperti mikrofon legendaris Shure SM7B ketimbang Shure MV51 yang sepenuhnya mengandalkan konektor USB. Dimensinya cukup ringkas untuk dipakai dalam konteks rumahan, tapi ia juga siap digantungkan di atas saat berada di dalam sebuah studio rekaman profesional, terutama mengingat ia juga dilengkapi sambungan XLR.

MV7 mengandalkan pickup pattern jenis cardioid yang memang sangat cocok untuk keperluan podcasting karena hanya akan menangkap suara sesuai arah ia dihadapkan. Terdapat jack 3,5 mm untuk menyambungkan headphone sehingga pengguna dapat memonitor suaranya, dan MV7 turut dilengkapi panel sentuh untuk mengontrol gain maupun volume headphone yang terhubung.

Berhubung MV7 merupakan mikrofon USB, tentu saja ia turut hadir bersama sebuah aplikasi pendamping di PC (ShurePlus MOTIV) supaya pengguna dapat melakukan pengaturan secara lebih merinci. Di saat yang sama, kehadiran sejumlah preset tentu akan memudahkan pengguna yang masih masuk tahap pemula, dan perangkat turut dibekali fitur Auto Level Mode sehingga hasil rekaman tetap terdengar konsisten meski pengguna mungkin banyak bergerak.

Saat ini Shure MV7 sudah dipasarkan dengan harga $250, jauh lebih murah daripada SM7B yang dibanderol $400, dan hanya terpaut $50 dari MV51 yang USB-only. Kebetulan harganya juga sangat bersaing dengan produk serupa yang ada di pasaran, alias sama persis dengan harga Blue Yeti Pro tadi.

Sumber: Adorama.

Deezer Luncurkan Aplikasi Analytics Gratisan untuk Kreator Podcast

Kalau dibandingkan dengan Spotify, popularitas Deezer memang masih kalah jauh. Namun fakta tersebut tidak mencegah Deezer mencoba peruntungannya di ranah podcasting. Ya, menyusul jejak Spotify, katalog Deezer kini juga mencakup podcast, akan tetapi Deezer rupanya belum puas sampai di situ saja.

Demi menarik perhatian kalangan kreator, Deezer pun meluncurkan sebuah aplikasi analytics untuk podcast yang didistribusikan melalui platform-nya. Aplikasi semacam ini memang bukanlah hal baru, tapi Deezer boleh berbangga menjadi layanan streaming musik pertama yang menawarkannya di ranah mobile.

Dalam aplikasi Analytics by Deezer yang tersedia di Android maupun iOS ini, informasi akan dipisah menjadi dua bagian yang berbeda: analytics dan audience. Di bagian yang pertama, kreator bisa memantau jumlah stream dari podcast-nya, jumlah pendengar dan penggemar, serta durasi total yang dihabiskan oleh para pendengar.

Bagian yang kedua menyajikan info seputar demografi pendengar, seperti usia dan jenis kelamin mereka, serta dari perangkat apa saja mereka mengakses podcast-nya. Semua data yang bermanfaat ini bisa diakses secara cuma-cuma, dan Deezer bilang masing-masing kreator dapat mengakses data hingga lima tahun ke belakang.

Buat kreator yang sudah menyiarkan podcast-nya di tempat lain, saya kira tidak ada ruginya menambah satu platform lagi, apalagi jika platform barunya dilengkapi analytics tool gratisan yang pastinya dapat memberikan sejumlah insight yang berguna.

Sejauh ini, Deezer tercatat memiliki sekitar 16 juta pengguna aktif. Peluang untuk merambah audiens baru sebanyak itu tentu terlalu sayang untuk dilewatkan, dan lagi kreator hanya perlu mencantumkan RSS feed podcast-nya ke podcasters.deezer.com/submission guna mendistribusikan karya-karyanya melalui platform asal Perancis tersebut.

Sumber: Engadget dan Deezer.

Video Podcast Akhirnya Hadir di Spotify

Konten podcast di Spotify bakal jadi lebih berwarna. Itu dikarenakan Spotify baru saja mengumumkan bahwa platform-nya sudah mendukung video podcast secara resmi, dan fitur ini sudah bisa dinikmati sekarang juga oleh seluruh konsumen di berbagai negara yang memang memiliki akses ke katalog podcast Spotify.

Bicara soal video, tentu saja inisiatif terbaru Spotify ini dimaksudkan untuk bersaing langsung dengan YouTube. YouTube, seperti yang kita tahu, sudah sejak lama menjadi platform distribusi banyak sekali video podcast, termasuk halnya salah satu podcast terpopuler sejagat raya, yakni The Joe Rogan Experience, yang per 1 September nanti bakal berpindah rumah ke Spotify berkat kontrak eksklusif senilai $100 juta.

Untuk sekarang, memang belum semua kreator bisa dengan bebas mengunggah video podcast ke Spotify. Namun ke depannya Spotify berjanji untuk membuka aksesnya lebih luas lagi. Satu hal penting yang perlu dicatat adalah, video di sini sifatnya cuma pelengkap saja, yang berarti pengguna tetap bisa mendengarkan audionya saja atau mengunduhnya untuk dikonsumsi secara offline.

Spotify bilang bahwa videonya akan langsung diputar secara otomatis dan disinkronisasikan dengan audio yang berjalan, baik di perangkat desktop maupun mobile. Sayang sekali saya belum bisa mencobanya pada judul-judul podcast yang telah didukung, macam Higher Learning with Van Lathan & Rachel Lindsay maupun Rooster Teeth Podcast. Entah ini dikarenakan update aplikasi terbarunya belum ada, atau memang peluncurannya masih berlangsung secara bertahap.

Poin menarik lainnya adalah, video podcast di Spotify bisa dinikmati oleh seluruh pengguna, baik para pelanggan Spotify Premium maupun para konsumen gratisan. Lalu ketika pengguna berpindah aplikasi (multitasking), audionya tetap akan berjalan di background seperti biasa. Sebagai perbandingan, YouTube sebenarnya juga mendukung fitur serupa, tapi khusus untuk pelanggan YouTube Premium saja.

Tentu saja ini semua merupakan kabar gembira bagi kalangan kreator. Spotify percaya konten video dapat membantu mereka mempererat hubungan dengan audiensnya. Sebaliknya, audiens juga bisa lebih mengenal penyiar podcast favoritnya dengan adanya video. Buat Spotify sendiri, video mungkin bisa mereka manfaatkan sebagai medium baru untuk berjualan iklan, meski sejauh ini mereka belum mengumumkan rencana apa-apa soal ini.

Sumber: Spotify. Gambar header: Austin Distel via Unsplash.