Amartha Catat Profit, Dorong Pertumbuhan Ekonomi Mikro di Asia Tenggara

Amartha mengklaim telah mencatatkan profitabilitas selama 3 tahun berturut-turut. Hal ini diungkapkan dalam partisipasinya di konferensi Money 20/20 yang berlangsung di Bangkok, Thailand.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menekankan bahwa inovasi teknologi dan peningkatan literasi keuangan adalah kunci untuk meningkatkan daya saing usaha mikro di Asia Tenggara.

“Kami berfokus pada penyediaan akses modal yang lebih merata, terutama di luar pulau Jawa, untuk mendukung usaha mikro yang menjadi tulang punggung ekonomi regional,” kata Andi.

Menurut Andi, Amartha telah berinvestasi dalam infrastruktur keuangan digital yang memungkinkan integrasi layanan finansial bagi bisnis mikro di kota-kota tier dua dan tiga di Indonesia. Hal ini mencakup pelayanan pinjaman, sistem pembayaran, dan pembangunan skor kredit internal untuk memudahkan akses ke modal kerja.

Selain itu, Amartha juga mengambil peran aktif dalam trend impact investing yang sedang tumbuh, dengan komitmen investasi yang signifikan dari lembaga-lembaga global yang mencapai total $285 juta dalam periode tiga tahun terakhir.

“Keberhasilan kami dalam mengelola investasi berdampak ini tidak hanya menunjukkan profitabilitas, tetapi juga komitmen kami untuk membangun ekosistem finansial yang inklusif di Asia Tenggara,” jelas Andi.

Komitmen Amartha untuk mempromosikan inklusivitas finansial ini diharapkan dapat membantu lebih banyak pelaku usaha mikro di Indonesia dan Asia Tenggara untuk mengakses layanan finansial yang dibutuhkan, mendukung pertumbuhan ekonomi regional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Cakap Ungkap Catat Keuntungan Bersih Empat Tahun Terakhir

Startup edtech Cakap melaporkan telah mencatatkan keuntungan bersih selama empat tahun berturut-turut. Seluruh lini bisnis inti di segmen Bahasa, Upskill, dan Bisnis disebut tumbuh positif tahun lalu. Segmen Bahasa menjadi kontributor utama pendapatan Cakap.

Dalam keterangan resminya, total jumlah murid tercatat naik 50% (YoY) menjadi 4,5 juta pada Desember 2023. Jumlah pengajar aktif di Cakap naik 27,78% menjadi 2.300. Kemudian, pembelajaran Upskilling, Bisnis, dan Manajemen memiliki okupansi tertinggi dari total kelas vokasi yang ada yang didukung lebih dari 1.175 materi kursus dan 19.500 modul.

Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, Co-Founder & CEO Cakap Tomy Yunus mengungkap bahwa capaian keuntungan ini terealisasi berkat disiplin pengeluaran sehingga perusahaan mampu menghemat biaya di level yang diharapkan.

Positive unit economic selalu menjadi target kami dalam meluncurkan produk baru. Kami optimistis, dan kami merasa kami punya ruang pertumbuhan cukup. Kami yakin tahun ini [kinerja] bisa lebih baik dari tahun sebelumnya,” ujarnya dihubungi lewat pesan singkat.

Pihaknya juga akan terus mengantisipasi perubahan perilaku pasar agar layanannya dapat terus relevan bagi pengguna. Salah satu upayanya untuk mengikuti dinamika pasar adalah menghadirkan Cakap Kids Academy (CKA), fasilitas blended learning untuk anak sekolah yang kini telah memiliki dua cabang.

Kemudian, Cakap English Standardized Test (CEST) yang telah melayani lebih 50 institusi pendidikan dengan lebih dari 13.000 siswa terdaftar mengikuti ujian. Untuk platform Link and Match, Cakap meluncurkan Cakap Career Hub di mana 30 mitra korporasinya terhubung dengan puluhan ribu calon pelamar.

Tahun lalu, Cakap memperoleh pendanaan seri C dari MDI Venture, Heritas Capital, dan jajaran investor lainnya. Nilai yang diperoleh mencapai $7,5 juta (sekitar Rp117 miliar).

Pendanaan ini dipakai untuk ekspansi bisnis unit bisnis barunya di luar Jabodetabek, seperti fasilitas belajar bauran (blended learning) serta platform karier (Career Link and Match). Ekspansi ini sejalan dengan kebutuhan pasar untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) dan upaya perusahaan untuk mencetak tenaga kerja berkualitas.

“Kesadaran akan peningkatan upskilling semakin tinggi, mulai dari siswa usia sekolah, fresh graduate, hingga kalangan profesional. Cakap berupaya mengakomodasi kebutuhan ini melalui akses ke konten pendidikan berkualitas dan bersertifikat bagi masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Mengacu laporan e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, Bain & Company, pendanaan ke sektor edtech di Asia Tenggara mengalami penurunan pada pertengahan 2022 menjadi $100 juta dari pendanaan 2021 yang sebesar $500 juta. Riset menyebut bahwa pemulihan ekonomi usai pandemi mendorong tingginya churn rate pada layanan edtech. Berbeda dengan masa awal pandemi di mana pelajar diwajibkan untuk belajar dari rumah, memaksa untuk mengadopsi pembelajaran berbasis online.

Application Information Will Show Up Here

Qiscus Bukukan Kenaikan Revenue 1,7x Lipat Sepanjang Tahun 2023

Startup penyedia platform komunikasi ominchannel Qiscus mengumumkan telah mendapatkan pertumbuhan revenue 1,7x lebih besar sepanjang 2023. Perolehan ini didukung dengan lebih dari 2 miliar percakapan pelanggan yang berhasil ditangani — secara keseluruhan total percakapan ini tumbuh 123% yoy. Diklaim efektivitas ini memberikan kontribusi positif dalam kenaikan pendapatan klien hingga 90%.

Kepercayaan ribuan klien B2B atas layanan Qiscus membuktikan bahwa strategi yang diusung perusahaan mampu beradaptasi dengan tren kebutuhan pelanggan yang terus bergerak. Sepanjang 2023 perusahaan memang terus memfokuskan pada peningkatan pendapatan, inovasi produk, dan berbagai langkah proaktif lainnya, termasuk mengoptimalkan pemanfaatan AI.

Terkait AI, Qiscus menyoroti teknologi ini dengan menghadirkan inovasi hybrid-intelligence dalam Qiscus AI Assistant tahun lalu. Kini AI tidak hanya dianggap sebagai sebuah alat teknologi, tetapi sebagai elemen esensial yang memberikan nilai tambah dalam pengembangan solusi bisnis.

“Berada dalam era di mana responsiveness dan personalisasi menjadi kunci, AI memberikan kemampuan untuk memproses data secara cepat dan memberikan rekomendasi yang lebih relevan kepada pelanggan. Inovasi AI bukan hanya tentang teknologi, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang unik dan tak terlupakan,” ujar Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga.

Qiscus menyediakan beragam layanan messaging bisnis yang mencakup platform populer seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, Email, Ticketing, dan masih banyak lagi. Dengan mengusung kolaborasi AI dan CX, Qiscus memandang tahun 2024 secara optimis untuk mencapai misi mereka sebagai perusahaan teknologi kelas dunia. Saat ini, Qiscus telah menyentuh lebih dari 200 juta end users dan ribuan perusahaan dari 18 industri yang berbeda.

Baru umumkan pendanaan

Memasuki Q4 2023 lalu, Qiscus mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan $2 juta dari Init-6. Fokus utama pendanaan ini adalah untuk menggencarkan ekspansi regional di tahun 2024 ini. Sejak berdiri tahun 2013, Qiscus juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan eksternal dari Telkom (melalui Indigo), Rekanext, dan Qverse.

Pendanaan baru ini dibukukan setelah Qiscus mengumumkan keberhasilannya dalam mencapai profit pada tahun 2019 silam, diklaim terus bertumbuh sampai sekarang. “Dengan fokus pada pertumbuhan yang sustainable, kami berkomitmen untuk melipatgandakan pendapatan kami pada 2024 sebagai langkah awal dari ekspansi ini,” imbuh Delta.

Selain pendanaan, fitur baru berbasis AI juga banyak dirilis Qiscus tahun kemarin, termasuk Qiscus AI Assistant, Qiscus Customer Satisfaction Survey, Qiscus Shop, dan Qiscus Customer Data Platform. Dengan berbagai layanan baru tersebut, Qiscus memandang positif dalam landscape AI bagi bisnis pada tahun 2024.

Sesuai dengan yang dilaporkan oleh Euromonitor, penekanan peran AI dalam meningkatkan customer expectation (CX), yaitu pengolahan data untuk menghasilkan rekomendasi belanja yang lebih tepat, kampanye pemasaran yang lebih spesifik berdasarkan informasi pelanggan, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here

Caxe Raih Profit di Bulan Pertama Sejak Fokus Garap Solusi Keuangan Digital B2B

Populasi unbanked dan underbanked di Indonesia masih tertinggi (81%) di Asia Tenggara, menurut laporan eConomy 2022. Angka ini memperlihatkan masih sulitnya orang Indonesia mengakses produk keuangan. Menyelesaikan tantangan ini harus dari berbagai sisi, tidak hanya untuk ritel saja, perlu juga dari sisi perusahaan untuk mengadopsi solusi keuangan digital.

Perusahaan yang membutuhkan solusi keuangan jauh lebih besar dan tidak kalah pentingnya dengan ritel dalam rangka meningkatkan keuangan yang inklusif. Hanya saja bagi perusahaan prosesnya tidaklah mudah, mengingat industri ini heavily regulated, khususnya institusi keuangan.

Prospek yang sangat hijau dan sehat lantaran segmen B2B ini tidak harus pakai strategi bakar duit. Bekal hipotesis ini membuat Caxe Technologies/Caxe (rebrand dari C88 Financial Technologies) tertarik menggarap segmen B2B pada 2019.

Ditandai dengan aksi akuisisi C88 terhadap IDX Optus. CEO IDX Optus Anton Hariyanto didapuk jadi CEO Caxe Technologies, menggantikan JP Ellis, CEO C88 sebelumnya.

Caxe

IDX Optus adalah penyedia solusi bidang analitik dan manajemen informasi, termasuk analisis kognitif dan prediktif, kecerdasan buatan, machine learning, manajemen dan visualisasi data, integrasi data hingga dukungan pengambilan keputusan dan manajemen risiko kredit.

Grup perusahaan ini sudah berdiri sejak 2006 dengan dua bisnis, id/x partners dan Optus Solution. Kliennya adalah korporasi dari multi-industri, seperti perbankan, fintech, asuransi, telekomunikasi, ritel dan instansi pemerintah.

Sebagai permulaan, sebelum rebrand jadi Caxe, C88 adalah induk dari dua platform marketplace produk finansial, yakni CekAja (Indonesia) dan eComparemo (Filipina) yang sepenuhnya bermain di area B2C sejak pertama kali hadir di 2013. CekAja telah dijual ke Amalan International Pte. Ltd. Pengumuman disampaikan pada 6 April 2022. Begitupula eComparemo yang dijual oleh entitas lokal, SnapCompare Corporation.

Sebelum sepenuhnya fokus di B2B, Caxe melakukan berbagai langkah rasionalisasi, termasuk meredefinisikan strategi bisnis, mengingat pada 2020-2021 terjadi pandemi Covid-19. Keputusan yang dihasilkan adalah menjual lini B2C pada 2022 untuk mengurangi dampak ‘batuk-batuk’ selama pandemi.

Dampak ini sempat terasa dari sisi operasional Caxe karena saat itu klien mengurangi anggarannya. Kendati demikian, Anton mengatakan tim tetap bertumbuh selama kurun waktu tersebut karena bisnis terus bertumbuh.

“Caxe baru profit di 2021 karena porsi [rugi] B2C mengecil. Lalu di 2022, profit membesar setelah B2C dijual. Karena nature marketplace produk finansial ini B2C, hingga kita jual [CekAja dan eComparemo] di 2022 belum make profit,” terang CEO Caxe Technologies Anton Hariyanto kepada DailySocial.id.

Anton mengaku, dengan kekuatan IDX Optus yang hanya bermain di area B2B, mampu membawa posisi yang sehat bagi Caxe. Dengan mindset profit, perusahaan mampu menjaga topline pertumbuhan revenue yang konsisten antara 50%-70% yoy dengan nominal lebih dari $10 juta per tahunnya.

CEO Caxe Technologies Anton Hariyanto / Caxe

Jumlah kliennya disebutkan mencapai lebih dari 50 perusahaan dari industri keuangan, baik itu bank, asuransi, p2p lending, dan multifinance. “Top five dari masing-masing industri keuangan itu sudah jadi klien kita,” tambahnya.

Pertumbuhan profit dinilai sejalan dengan pertumbuhan revenue. Dengan profit yang sudah diraih ini bahkan membuat Caxe mampu menghidupi operasionalnya sendiri (self-sustain) dan berinvestasi pada pusat inovasi untuk pengembangan produk dan inovasi. Walau demikian, pihaknya tetap membutuhkan keberadaan investor strategis untuk kebutuhan sinergi bisnis.

Produk Caxe

Saat ini Caxe memiliki satu produk flagship, iDecision, yang menyasar dua solusi sekaligus: digital lending dan regtech. Produk ini menyasar institusi keuangan sebagai target utama penggunanya.

“Kita pilih area ini karena 10-20 tahun ke depannya adalah area yang akan selalu dipakai. Data, machine learning, kecerdasan buatan, otomasi, dan regulasi tidak akan mati dan selalu berkembang. Kita juga perlu inovasi agar klien bisa terus bertambah, menunjang dari growth revenue kita.”

Solusi digital lending yang dihadirkan Caxe dinilai berbeda dengan pemain fintech kebanyakan karena solusinya dari hulu ke hilir. Artinya dari proses onboarding saat pengajuan pinjaman, penilaian risiko, pinjaman disetujui, plafon yang layak, hingga penagihannya diproses lewat sistem. Solusi ini memanfaatkan otomasi, AI, ML, dan mengoptimalkan penggunaan data agar semua keputusan pinjaman terjadi secara instan dan minim intervensi dari orang.

Diklaim Caxe mampu membantu otomasi 90% alur pinjaman digital yang keputusan akhirnya diambil dari sistemnya. Durasi yang dibutuhkan hanya satu menit pinjaman diberikan setelah pengajuan dilakukan. Jutaan transaksi sukses diproses setiap bulannya.

Sebelumnya proses pengajuan kredit di industri sangat konvensional karena menggunakan kertas dan analisanya juga manual. Waktu yang dihabiskan setidaknya satu minggu. “Dengan sistem kami, institusi keuangan bisa melangkah lebih maju dari konvensional ke digital karena mereka pakai sistem untuk mengambil keputusannya.”

Adapun untuk solusi regtech adalah industri baru yang menerapkan teknologi modern, termasuk AI dan ML untuk mengatasi tantangan regulasi terutama di bidang jasa keuangan. Biasanya perusahaan yang memakai regtech ini berfokus pada pemantauan peraturan, pelaporan, dan kepatuhan di sektor keuangan, termasuk upaya mencegah pencucian uang dan penipuan.

“Di era sekarang ini ada tendensi mengarah ke fraud dan money laundering yang makin marak. Dalam rangka memenuhi compliance terhadap OJK dan PPATK kita mengembangkan ke area regtech.”

Saat Caxe akuisisi IDX Optus di 2019 / Caxe

iDecision ini dapat dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan perusahaan, termasuk maturitasnya dalam mengadopsi teknologi digital. Bisa diakses sebagai SaaS atau diinstalasi ke data center milik klien. “Kita sangat fleksibel bisa memenuhi segala jenis kebutuhan dan maturitas dari klien.”

Anton mengungkapkan, solusi regtech ini sangat diminati oleh institusi keuangan karena berkaitan erat dan memegang peranan penting bagi industri mereka. Kontribusi revenue-nya mencapai 60% dan sisanya dari solusi digital lending.

Untuk terus menjawab kebutuhan industri, Caxe terus berinovasi memanfaatkan teknologi modern. Dalam waktu dekat akan merilis solusi otomasi machine learning yang memungkinkan optimalisasi keputusan pinjaman diambil berdasarkan karakteristik peminjam, mengacu juga pada penilaian kredit yang rutin diperbarui agar risikonya selalu terjaga.

“Inovasinya akan banyak memanfaatkan AI dan ML agar pengambilan keputusannya bisa optimal. Ambil sebanyak mungkin data untuk analisa sehingga hasilnya lebih presisi.”

Sejauh ini Caxe masih beroperasi di Indonesia saja. Rencana untuk ekspansi ke Asia Tenggara akan dilakukan setidaknya tiga tahun mendatang. Secara total personil tim mencapai 250 orang.

Tips untuk founder baru

Anton menyampaikan, belajar dari pengalamannya, saat ini startup bukan lagi mengacu pada pertumbuhan revenue saja tapi aspek bagaimana bisa mencetak profit. Untuk itu, founder harus tahu bagaimana peta jalan menuju profitabilitas yang ditunjang solusi yang benar-benar dibutuhkan pasar.

“Yang saya lihat sekarang startup yang fundraising, tapi solusinya agak mengada-ada. Itu tidak sustain ke depannya. Perlu perhatikan produknya benar-benar fit di market untuk jangka panjang dan path to profitnya harus jelas. Dan sebaiknya itu masuk ke market yang cukup niche bukan red ocean yang begitu banyak pemainnya,” pungkasnya.

Ryan Gondokusumo Buka-Bukaan Perjalanan Sribu Capai Profitabilitas

“Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak setelah memutuskan untuk mengejar profitabilitas,” Founder Sribu Ryan Gondokusumo.

Bagi Ryan, mengejar pertumbuhan dan fundraising bak pertunjukan tiada akhir. Enam tahun ia lalui sebagai solo founder bukanlah hal yang mudah. Apalagi, ia mengakui di awal industri startup berkembang di Indonesia, sempat terdoktrin bahwa startup harus terus mengejar pertumbuhan.

Berbincang dengan DailySocial.id, Ryan menceritakan bagaimana perjalanan startupnya menuju profitabilitas. Selama enam tahun, Sribu mencari ‘bensin modal’ dari penggalangan dana, yang mana bagi Ryan adalah sebuah proses kompleks dan memakan waktu.

Sribu adalah startup penyedia jasa freelance dan crowdsourcing desain. Didirikan oleh Ryan Gondokusumo pada 2011, Sribu menjadi saksi pertumbuhan digital tanah air lebih dari satu dekade. Sribu berada di fase di mana saat itu hanya ada tiga venture capital saja yang berinvestasi di startup.

Sumber: Sribu
Sumber: Sribu

East Ventures adalah investor perdana Sribu pada 2012. Pada 2014 dan 2018, Sribu memperoleh pendanaan dari Asteria (sebelumnya Infoteria Corporation) dan CrowdWorks.

“Sebelum mengamankan pendanaan dari Asteria, saya sempat bicara dengan 80 VC selama satu setengah tahun. Sangat time-wasting.”

Eksperimen hingga kejar profit

“Saya merasa sampai kapan harus kejar growth. Kalau begini terus, minimal harus punya 2-3 co-founder. Sementara, saat itu saya sendiri. Baru dipertemukan dengan co-founder di tahun ketujuh kami beroperasi, yang kini memegang posisi CTO,” tuturnya.

Ia mengaku aksi bakar duit kerap berlangsung sejak 2012-2016. Sebelum melakukan penggalangan ketiga pada 2018, Sribu sempat bereksperimen; (1) memisahkan Sribu dan Sribulancer; serta (2) mengembangkan asisten virtual Halo Diana.

“Memisahkan Sribu dan Sribulancer adalah kesalahan. Saat itu, saya pikir pasar Sribu dan Sribulancer masih kecil. Saya bicara tanpa data. Kesalahan ini kami tebus dua tahun berhenti pengembangan fitur, cuma fokus mergering platform. Ini sulit karena portofolio kami sudah banyak sekali saat itu, datanya sangat besar,” ungkap Ryan.

Saat ini, Sribu telah melayani lebih dari 30 ribu klien dari 50 sektor industri. Jumlah freelancer mencapai 30 ribu, satu pertiganya adalah pengguna aktif.

Dari kisah pemisahan Sribu dan Sribulancer, Ryan dan timnya memutuskan mengembangkan asisten virtual bernama “Halo Diana”. Namun, lagi-lagi gagal dan tidak ada cukup resource untuk mengeksekusinya. Ryan masih berpikir untuk terus mengejar pertumbuhan sampai akhirnya modal menipis.

Tahun 2017 menjadi pivotal bagi Sribu karena di tahun itu perusahaan memutuskan arah navigasinya ke profitabilitas. Ryan berujar saat itu startup kesulitan mencari investor. Alasan lainnya, Sribu juga ingin scale up bisnisnya untuk melayani proyek lebih besar di segmen B2B.

“Pada tahun 2017 onward, kami sudah mengantongi keuntungan bersih. Kemudian, kami mendapat pendanaan dari CrowdWorks pada 2018. Saat itu, spending kami fokuskan untuk marketing, bukan hiring.

Akuisisi dan redefinisi bisnis

Akuisisi Sribu oleh Mynavi Corporation menjadi tonggak perjalanan selanjutnya untuk meredefinisi bisnisnya, yakni meningkatkan standar talenta Indonesia sebagai fokus baru.

“Kami menentukan kembali ke mana arah model bisnis kami. Saat ini, fokus utama kami ada di lima kategori. Kami berdiskusi dengan Mynavi, apakah mau masuk ke segmen blue collar, kategori lain, atau masuk ke konsultasi bisnis,” tuturnya.

Sumber: Sribu

Sribu akan meningkatkan level bisnisnya dengan menentukan standar emas; mengurasi satu per-satu dari total 30.000 freelancer, serta bertahap melakukan sertifikasi dan spesialisasi. Kurasi ini juga dalam rangka meningkatkan kualitas freelancer Sribu sejalan dengan rencana ekspansinya ke luar negeri dalam 2-3 tahun ke depan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja lepas di Indonesia telah mencapai angka 34 juta orang pada 2022.

Kepemilikan saham Sribu kini dikuasai mayoritas oleh Mynavi Corporation, menandakan pengambilan keputusan harus sangat diperhitungkan. Namun, ungkap Ryan, bukan berarti akuisisinya memengaruhi pengambilan keputusan maupun spending bisnis.

“Meski Mynavi adalah korporasi dan sangat hierarki, kami tidak ingin culture itu masuk karena bisa slow us down. Keputusan tetap ada di kami. Proses akuisisi memakan waktu dua tahun sehingga kami punya understanding lebih baik.”

Belajar dari kesalahan

Tujuh tahun perjalanannya menuju titik profitabilitas, Ryan menyebut tiga kesalahan yang ia pelajari saat membangun Sribu.

  1. Selalu mengandalkan data
    Pengembangan produk/layanan baru, atau pengambilan keputusan strategis tidak bisa berlandaskan perasaan. Selalu memantau perubahan atau tren baru untuk lebih memahami pasar juga wajib dilakukan. “Semua harus berbasis data. Apakah market size bankable, misalnya? Karena revenue model kami jelas, kami tahu how to make money,” ujarnya.
  2. Tak perlu ikut-ikutan
    Halo Diana adalah salah satu kegagalan yang terjadi pada pengembangan bisnis Sribu. Halo Diana tidak berlanjut karena tidak product-market fit, dan berakhir sebagai produk yang nice to have saja. “Jangan sampai ikut-ikutan membuat satu produk hanya karena perusahaan lain punya. Tekanan dari kompetitor pasti akan selalu ada. Fokus pada bisnis.”
  3. Pahami kapabilitas sendiri
    Jika ingin terus-menerus mengejar pertumbuhan, pahami sejauh mana kemampuan sumber daya yang dimiliki. Enam tahun menjadi solo founder, Ryan memutuskan untuk fokus mengejar profitabilitas demi keberlangsungan perusahaan.

Startup SaaS Fast8 Cetak Laba Setelah Enam Tahun Beroperasi

Investor asal negeri Paman Sam, Lead Edge Capital, dalam artikel lawas menuturkan ada empat alasan mengapa mereka menyukai startup SaaS (software-as-a-service) untuk didanai. Alasannya: (1) terdapat anuitas; (2) tingkat churn rendah dan pembaruan yang tinggi, menghasilkan konsumer bernilai tinggi; (3) Margin kotor yang tinggi sekitar 60%-80% dengan COGS (Cost of Goods Sold) utama adalah biaya kotor jaringan, pengiriman, dan personel layanan.

“Alasan keempat dan terakhir kami menyukai perusahaan SaaS karena mereka memiliki pengeluaran penelitian dan pengembangan yang jauh lebih efisien dibandingkan perusahaan perangkat lunak berlisensi tradisional,” tulisnya dalam blog perusahaan.

Alasan di atas terefleksi dalam kinerja keuangan Fast8 Group (PT Fatiha Sakti), induk perusahaan dari lima produk SaaS. Perusahaan tersebut mengaku sudah cetak untung pada 2022, selang enam tahun terhitung sejak produk pertamanya, Gadjian, hadir di 2016.

Tidak disebutkan nominal laba yang sudah diperoleh. Namun pertumbuhan pendapatan perusahaan secara keseluruhan mencapai 800% secara akumulatif sejak 2018-2022. Dibandingkan secara yoy rata-rata pendapatan naik antara dua hingga tiga kali lipat.

Revenue kami sudah jutaan dolar per tahun. Gross profit margin kami itu 80% per transaksi, sangat sehat,” ungkap Co-founder dan CEO Fast8 Afia Fitriati saat dihubungi DailySocial.id.

Fast8 sendiri memiliki lima produk SaaS, yakni:

  1. Gadjian: aplikasi pengelolaan SDM dan penggajian berbasis komputasi awan untuk perusahaan berkembang dan lean enterprises, membantu mereka mengurus tugas-tugas administrasi SDM yang rutin, seperti menghitung penggajian, perpajakan, iuran BPJS, dan rekrutmen.
  2. Hadirr: aplikasi yang membantu perusahaan dalam memonitor kehadiran dan produktivitas karyawan, baik saat bekerja dari rumah, kantor, maupun lapangan. Telah terintegrasi dengan Gadjian dan platform pengelolaan benefit karyawan Payuung. Solusinya telah digunakan di lebih dari 100 ribu karyawan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
  3. Payuung: platform e-commerce untuk produk keuangan dan employee benefit. Sediakan aneka solusi pembiayaan, asuransi, investasi, dan produk-produk reward bagi karyawan bagi perusahaan (B2B). Juga, aplikasi mobile Payuung Pribadi yang menyediakan produk-produk keuangan dan wellness bagi konsumen individu (B2C).
  4. Baktiku: aplikasi presensi pegawai yang didesain untuk instansi pemerintah, baik pemerintahan pusat ataupun pemerintahan daerah. Aplikasi ini membantu mobilitas pegawai dalam bekerja, mulai dari pencatatan kehadiran, kunjungan dinas, tugas, hingga pengajuan reimbursement. Semua proses terdokumentasi lengkap secara digital.
  5. Pegawe: layanan penggajian dan administrasi SDM untuk karyawan outsource, juga membantu perhitungan pajak, pendaftaran BPJS beserta administrasinya, absensi kehadiran, dan konsultan SDM jika terjadi PHK.

Afia menuturkan, perusahaan dapat cetak laba karena sedari awal didukung oleh model bisnis sebagai SaaS, perusahaan software dengan gross margin yang sangat sehat mulai dari 80%. Ibaratnya, perusahaan langsung terima margin kotor sebesar 80% dari setiap paket berlangganan yang dibayarkan konsumen.

Model bisnis Fast8 seluruhnya adalah berlangganan, bentuknya ada yang bulanan dan juga langsung bundle setahun.

“Konsumen bayar di depan, sehingga sustainable tidak ada yang macet. Model ini yang buat fundamental bisnisnya pasti akan profit. Tinggal bagaimana menskalakannya. SaaS itu sangat mungkin profit. Di luar negeri banyak SaaS yang sudah decacorn, tetap private, tapi sudah profit.”

Tim Fast8 / Fast8

Tidak bakar duit

Afia mengaku dari hari pertama perusahaan beroperasi, selalu menanamkan diri pola pikir ke seluruh aspek organisasinya bahwa berbisnis itu harus profit dan tidak melakukan strategi bakar duit. Saat membuat pricing sudah ditentukan berapa angka yang jelas apabila ingin memberikan diskon.

Baginya sangat penting untuk dari awal semua tim mengetahuinya agar bisa berjalan bersama. Fasilitas gaji, benefit, dan fasilitas penunjang yang diberikan untuk karyawan Fast8 bukan tergolong kelas premium. Semua tetap diberikan secara layak, karyawan tetap dibuat nyaman saat kerja, walau kantor tidak se-fancy kantor startup kebanyakan.

“Kita justru bingung sama startup yang gila-gilaan kemarin kok bisa kayak gitu [kantor premium, gaji premium]. Startup yang banyak tutup itu menuai apa yang ditanam karena praktik-praktik seperti itu enggak sustainable.”

Dia melanjutkan, “Kantor kita biasa saja, tetap nyaman, tapi enggak berlebihan. Nyaman itu relatif kan ya. Di satu sisi, kita nemuin banyak hal yang kreatif untuk tetap bekerja produktif dan nyaman, tanpa harus bakar duit.”

Perihal penggajian, dunia startup ini begitu terkenal dengan budaya bajak membajak karyawan demi mendapatkan talenta terbaik. Menurut Afia, kebiasaan ini punya dampak yang buruk bagi perusahaan itu sendiri. Sebab, belum tentu karyawan yang bergaji premium ini memang layak mendapatkannya karena kapabilitas yang dimilikinya.

Hadirr

“Di tim kita biasakan no free lunch. Semua harus ada ROI [return of investment] dan logikanya jelas kenapa begitu. Sering ada mindset dari kandidat yang baru di-interview dan bilang bahwa dia layak digaji sekian karena sebelumnya dapat gaji segini. Padahal belum tentu kompetensinya selevel [gajinya]. Itu yang perlu di-challenge.

Dengan membawa budaya perusahaan demikian, Afia mengaku mayoritas karyawannya loyal terhadap perusahaan, sekitar 40% sudah menetap di sana antara tiga sampai enam tahun ke atas. Di dunia startup, banyak yang menganggap bekerja di satu perusahaan sampai tiga tahun itu terlalu lama. “Turnover paling tinggi itu biasanya baru gabung setahun di sini.”

Karena dari pola pikir sudah dibiasakan untuk selalu bijaksana dan disiplin setiap mengeluarkan belanja perusahaan, Afia mengaku justru pada saat pandemi ia dan tim tidak kaget kalau harus mengencangkan ikat pinggangnya.

“Kalau startup lain ketika ada yang dikurangi [benefit] pasti langsung terasa, tapi kami di masa itu karena terbiasa mengelola uang dengan disiplin cukup beradaptasi saja. Kita terbiasa untuk tidak neko-neko.”

Bisnis perusahaan ikut terasa karena terjadi dua tantangan yang berbeda sepanjang 2020-2023. Afia tidak merinci lebih lanjut secara angka. Namun ia menjelaskan, pada 2020-2021, tantangan saat baru terjadi pandemi adalah adaptasi kerja dari rumah. Saat itu banyak bisnis konsumer yang tutup.

“Tapi saat itu digitalisasi meningkat karena WFH, pengguna attendance kita meningkat, sehingga kita dapat durian runtuh.”

Kemudian pada 2022-sekarang tantangannya berbeda, pengguna absensi berkurang karena perusahaan yang awalnya menetapkan aturan WFH menganjurkan kembali ke kantor. Lalu, sekarang ada faktor ekonomi makro global yang mengakibatkan tech winter.

“Kita di laut ini pasti ikut terkena badainya [tech winter]. Konsumer yang terdampak ada yang mengeluh harus PHK dan itu ngaruh ke kita, [mereka] jadi sulit bayar langganan.”

Dia melanjutkan, “Jadi yang bisa disimpulkan, tantangan ada terus, perusahaan yang berhenti berlangganan juga bervariasi [industrinya]. Setiap masa ada tantangan tersediri, yang penting beradaptasi dan terus melihat metriks-metriks [kinerja keuangan] lebih tajam.”

Rencana berikutnya

Walau perusahaan sudah cetak laba, Afia mengaku tetap membutuhkan sokongan amunisi dari investor. Alasannya, Fast8 kini sudah berkembang dari sepenuhnya SaaS yang murni B2B menjadi SaaS enable marketplace yang target penggunanya sekarang B2B2E. Dana investor tersebut dibutuhkan untuk membesarkan model bisnis tersebut.

Namun karena metriks itu pula, pihaknya memiliki fleksibilitas kapan untuk mewujudkan rencana penggalangan dana. Bisa lebih selektif memilih investornya dan mengatur waktu penggalangannya agar momentumnya lebih tepat. “Sekarang belum aktif [fundraising], lagi persiapan untuk tahap berikutnya. Mungkin awal tahun depan.”

Mengutip dari Crunchbase, perusahaan, melalui Gadjian, mengantongi pendanaan debt pada 2022. Dua tahun sebelumnya, memperoleh bantuan non-ekuitas dari Google for Startups. Saat itu, Afia terpilih sebagai peserta dari total tujuh founder perempuan di Asia Pasifik mengikuti program bimbingan pengembangan keterampilan bernama Immersion: Women Founders.

Pada 2016, perusahaan mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures, diikuti Maloekoe Ventures.

Tips untuk founder baru

Di sela-sela diskusi, Afia menyampaikan dua tips singkat untuk founder baru dalam menyiapkan startup yang sehat secara finansial. Pertama, melihat model bisnisnya. Founder harus jujur pada diri sendiri, apakah unit economics-nya masuk akal untuk capai ke titik profit.

Hal ini ia terapkan dalam setiap peluncuran produk Fast8. Sebelum produk diresmikan, harus dipikirkan sumber pendapatannya dari mana, apakah itu masuk akal. Apakah benar ada orang yang mau bayar? Bagaimana retensinya, apakah bagus? Kalau jelek, akan berpengaruh pada biaya akuisisinya. “Jadi dari model bisnis harus benar-benar dipikirkan.”

Kedua, harus mengetahui metriks kunci untuk mencapai profit. Lalu terus monitor metriks tersebut. Adapun, metriks yang dipakai Fast8 adalah revenue lifetime value, consumer retention rate, dan biaya akuisisi. “Di vertikal mana pun metriksnya sama, itu-itu saja ujungnya,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

Nodeflux Ungkap Capai Profitabilitas, Rencanakan Ekspansi ke Luar Negeri

Startup deep-tech pengembang teknologi AI Nodeflux mengungkapkan perusahaan telah mencapai profitabilitas dan tidak mengandalkan lagi pendanaan dari investor sejak putaran terakhir di 2019. Adopsi teknologi AI yang mulai marak di kalangan pemerintah dan korporasi menjadi pendorong di balik pencapaian dari startup yang dirintis pada 2016 ini.

Dalam temu media yang digelar Senin (28/11), Chief Product Officer Adhiguna Mahendra menyampaikan, sejak awal Nodeflux berdiri jajaran manajemen selalu memastikan bahwa perusahaan punya fundamental  kuat lewat model bisnis dan nilai yang tepat agar punya posisi kuat di pasar, hingga pada akhirnya menjadi perusahaan berkelanjutan.

Sebagai perusahaan teknologi yang tidak memiliki aset fisik, satu-satunya yang bisa dijadikan aset adalah kekayaan intelektual (IP) yang diyakini selalu bernilai tambah ke depannya. Sementara, aset berwujud yang dimiliki perusahaan adalah portofolio berbagai contoh proyek yang pernah dikerjakan bersama para kliennya.

“Model bisnis kita bukan raising fund buat kejar growth, kita enggak mau kayak gitu, kita maunya sustain. Makanya kita main ke segmen konsumen dengan business proposition yang kuat, kita juga punya value yang bagus, mereka [klien] pun bisa kasih money yang bagus, dengan demikian kita bisa sustain,” kata Adhiguna.

Sayangnya, ia tidak menyebut lebih detail mengenai pertumbuhan keuntungan yang berhasil dicetak perusahaan. Kinerja Nodeflux sempat terkoreksi saat awal pandemi di 2020, namun di penghujung tahun mulai menunjukkan tanda pemulihan hingga kini. Keuntungan yang diperoleh, menurutnya, selalu diputar kembali untuk mengembangkan bisnis dan riset, sekaligus membiayai operasional.

Kendati begitu, perusahaan tidak anti dengan investasi. Apabila melakukan penggalangan dana bakal digunakan untuk pengembangan pusat riset (R&D) atau ekspansi bisnis, bukan untuk membiayai operasional dengan bakar duit. Sebagai catatan, Nodeflux menerima pendanaan dari pasar sekunder dengan nominal dirahasiakan dari East Ventures pada Juni 2018. Dalam jajaran investornya, juga terdapat Prasetia Dwidharma dan Indigo.

Sumber: Nodeflux

Kontribusi bisnis perusahaan terbesar datang dari B2G dengan porsi 60% dibandingkan dengan B2B sebesar 40%. Adhiguna menyebut, hal ini terlihat dari adopsi solusi kecerdasan buatan memang pada tahap awalnya dibutuhkan oleh kalangan pemerintah karena punya kebutuhan yang nyata. Entah itu buat meningkatkan pelayanan publik atau pengawasan di tempat keramaian.

Diprediksi tren ke depannya, porsi bisnis dari B2B akan terus mengimbangi B2G. Alasannya karena adopsi face recognition (FR) di dunia perbankan misalnya, semakin dibutuhkan untuk permudah diakses oleh nasabah.

Beberapa klien di Nodeflux di antaranya institusi kepolisian (termasuk POLDA), Direktorat Jenderal Pajak, Jasa Marga, BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Pertamina, hingga pemerintah daerah. Bersama Pertamina, teknologi AI dari Nodeflux digunakan untuk aspek health, safety, and environment (HSE) saat monitor karyawan yang tidak disiplin menggunakan atribut. Sementara, bersama Jasa Marga membantu memberikan layanan road traffic monitoring untuk mengetahui titik-titik kemacetan.

Beberapa agenda berskala besar juga pernah ditangani Nodeflux bersama dengan para kliennya, di antaranya Asian Games 2018, IMF World Bank Summit 2018, dan yang teranyar G20 2022 di Bali. Saat acara G20 berlangsung, menggunakan FR dari Nodeflux untuk memperketat keamanan. Banyak terobosan yang dibuat untuk meningkatkan level keamanan para petinggi negara yang berkunjung. Setiap titik masuk seperti bandara, pelabuhan, area publik semua diawasi oleh ribuan CCTV yang dilengkapi FR dan saling terintegrasi.

Face Recognition sebenarnya adalah produk dari Computer Vision Artificial Intelligence (AI). AI jenis ini menggunakan gambar/video sebagai basis datanya yang kemudian diolah untuk dijadikan insight dalam memverifikasi dan memvalidasi sebuah keputusan.

Solusi AI untuk bisnis

Adhiguna melanjutkan, Nodeflux memiliki sejumlah solusi berbasis AI untuk para kliennya, yakni VisionAIre (Surveillace-Analytics-as-a-Service), Identifai (e-KYC untuk industri keuangan), dan RetailMatix (SaaS Vision AI & Sales Force Automation untuk industri ritel). Masing-masing menyelesaikan isu yang dihadapi para klien yang datang dari berbagai industri.

VisionAIre telah membantu Pemprov DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur dengan konsep smart city. Tersedia sejumlah solusi untuk memudahkan pengawasan pemerintah terkait hal-hal seperti pengenalan wajah, deteksi ketinggian air, parkir kendaraan, dan pemantauan lalu lintas jalan.

Sumber: Nodeflux

Di musim penghujan bisa dideteksi ketinggian air lewat teknologi AI melalui Water Detection dari Nodeflux, tersebar di 278 titik di Jakarta. Sementara di Jawa Timur, juga sudah menerapkan teknologi AI di perkotaan sebanyak 11 titik.

Pada Agustus kemarin, produk tersebut berhasil lulus sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan masuk ke dalam katalog LKPP dari pemerintah dengan nilai hingga 99,04%. Pencapaian tersebut disebutkan pertama kalinya terjadi di Indonesia di segmen AI lokal. Sebelumnya, perusahaan juga berhasil lulus tes NIST (National Institute of Standard and Technology) dari Amerika Serikat sebagai vendor pengenalan wajah.

Pencapaian ini dinilai dapat mendukung optimalisasi TKDN terhadap proyek strategis yang didanai oleh negara dan produksi manufaktur di Indonesia, sekaligus memacu produktivitas dan daya saing industri nasional di tengah perdagangan dunia. Pasalnya, hingga kini solusi AI masih didominasi oleh perusahaan asing dengan kandungan software impor.

Dari segi inovasi, perusahaan terus meningkatkan akurasi dan latensi yang semakin rendah agar mudah diakses oleh semua orang. Menurut Abhiguna, untuk face recognition, misalnya perlu ada standar akurasi untuk false positive dan false negative. Contoh kasusnya, untuk false positive apabila mencari orang yang berbahaya malah salah tangkap orang tak bersalah.

“Kami selalu pacing standar akurasi dari NIST. Tapi ada challenge lain, soal size dan optimasi dari model AI yang kita taruh di server dan device itu harus sekecil mungkin. Dari optimasi kita sudah optimal, juga akurasinya sudah bagus di atas NIST, tapi dari sisi model dan latensinya juga kecil. Kita sudah benchmark dari beberapa kompetitor di luar.”

Selanjutnya, untuk produk Identifai, kini inovasinya sudah mencapai explainable AI. Permasalahan saat e-KYC dengan face recognition dari smartphone adalah orang bisa memalsukan wajah yang hanya dengan mencetak di kertas doff atau perangkat. Yang mana, bagi industri keuangan, audit dan kepatuhan itu adalah bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan.

“Algoritma yang kita kembangkan bisa menjelaskan secara level pixel mengapa orang ini bisa dianggap tidak asli. Ada parameter yang nilainya beda dengan orang asli. Setahu saya belum ada pemain lain yang bisa melakukan ini AI-nya.”

Pengembangan lanjutan dari AI yang sedang digiatkan perusahaan adalah face loyalty dan face payment. Di Tiongkok dan Amerika Serikat solusi ini sudah sangat umum dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan ritel. Face payment merupakan teknologi yang memungkinkan seseorang bisa bertransaksi hanya dengan menunjukkan wajahnya. AI akan memverifikasi wajah orang yang melakukan transaksi lewat kontur muka dan identitas lainnya. Ketika terkonfirmasi sukses, maka pembayaran bisa otomatis terpotong dari akun bank atau kartu kredit milik orang tersebut.

Sementara untuk face loyalty ini akan sangat berguna untuk orang-orang yang memiliki banyak keanggotaan di berbagai merchant di toko swalayan atau restoran. Apabila suatu bisnis memanfaatkan teknologi ini, akan dengan mudah menambahkan poin keanggotaan tanpa pembeli repot-repot mengeluarkan kartu keanggotaan atau aplikasinya.

Di samping itu, perusahaan juga berencana untuk ekspansi ke luar Indonesia. Ada beberapa negara yang masuk ke dalam daftar, yakni Singapura, India, Amerika Serikat, dan Eropa. Namun sebelum itu, perusahaan masih mencari mitra distribusi yang benar-benar mengerti terkait solusi dan pasarnya.

“Selama ini untuk penjualan kita selalu direct, tapi untuk ekspansi ini untuk jual barang ke sana kalau tanpa representative office dan partner akan susah. Sebenarnya dari segi produk, kita sudah siap, tapi distribution channel harus yang benar-benar mengerti market-nya untuk jual barangnya. Itu yang masih challenging,” pungkas dia.

Saat ini seluruh tim Nodeflux adalah orang Indonesia dengan total 70 orang.

Fokus Raih Profit dan Bisnis Berkelanjutan, GoPay Mulai Kurangi Kegiatan “Bakar Uang”

Konsisten dengan tujuan utama untuk meraih profit dan bisnis berkelanjutan, GoPay secara perlahan mulai mengurangi kegiatan “bakar uang” dengan jumlah promo semakin kecil. Padahal, menurut Managing Director GoPay Budi Gandasoebrata, strategi bakar uang relatif lumrah dilakukan platform dompet digital saat ini.

Secara umum pemberian promo memang sangat efektif untuk mengakuisisi pengguna baru, tapi jika terus dibiarkan bisa menjadi masalah yang akan berpengaruh kepada bisnis perusahaan. Tidak dimungkiri kegiatan promo sulit untuk langsung dihentikan, namun dengan cara yang tepat didukung dengan produk yang relevan, paling tidak bisa membantu kegiatan ini lebih kecil volumenya.

“Kalau misalnya kita lihat saat ini, justru dari semua platform dompet digital yang ada, yang promonya paling kecil adalah GoPay. Tapi pengguna kita justru month-to-month jumlahnya tetap naik, hal tersebut menjadi validasi terhadap strategi yang kita terapkan bahwa promo memang tidak bisa ditinggalkan, tapi pada akhirnya produk yang menentukan,” kata Budi.

Disinggung apakah kegiatan ini mempengaruhi jumlah pengguna yang loyal dan retention, menurut Budi sejauh ini tidak terlalu berpengaruh. Selama kegiatan tersebut dilancarkan, masih banyak pengguna yang kemudian menggunakan kembali semua fitur yang ada dalam ekosistem Gojek, meskipun promo mulai berkurang jumlahnya.

“Kuncinya adalah inovasi dan juga program yang kami lakukan, yaitu promo yang lebih efisien dan targeted. Karena jika kita lihat industri perbankan misalnya seperti kartu kredit, mereka juga masih memberikan promo, tapi lebih targeted sifatnya,” kata Budi.

Persaingan positif platform dompet digital

Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019
Hasil survei tentang awareness layanan digital wallet di Indonesia dalam Fintech Report 2019

Salah satu alasan mengapa kegiatan bakar uang makin sering dilakukan adalah persaingan dan pilihan yang makin banyak dari pemain serupa untuk menjangkau lebih banyak pengguna. Menurut Budi, persaingan justru disambut baik. Dengan demikian masing-masing platform berlomba-lomba untuk memberikan produk yang bisa lebih baik lagi.

Di Gojek sendiri fokus utama adalah bagaimana fitur yang ada bisa terus membantu semua pengguna memanfaatkan GoPay untuk bertransaksi di dalam ekosistem hingga di luar ekosistem.

Meskipun saat ini GoPay masih banyak digunakan untuk transaksi dengan nominal kecil dan kebanyakan bersifat mikro, tidak berarti platform ini tidak memiliki peluang mendapatkan pendapatan tambahan. Memanfaatkan kolaborasi dengan bank, merchant dan ekosistem unggulan di Gojek yaitu GoFood, GoPay mengklaim bisa memperoleh pendapatan tambahan yang lebih stabil.

Mulai banyak diterapkannya QR Code dan peluncuran QRIS dari Bank Indonesia juga dilihat oleh GoPay sebagai peluang yang makin menguntungkan untuk perusahaan, dengan demikian kesempatan untuk menjalin kemitraan dengan enterprise makin besar peluangnya yang akan memberikan dampak lebih baik kepada pemasukan bisnis.

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Tahun lalu disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan, dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara GoPay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

“Kami juga bersyukur memiliki investor yang banyak dari kalangan blue chip company yang sejak awal mendorong kita untuk fokus kepada profit. Apa yang sudah kami lakukan sejauh ini telah dihargai oleh mereka, karena memang dari awal fokus kita tidak pernah berubah yaitu profit dan sustainability,” kata Budi.

Application Information Will Show Up Here