Prototyping, Cara Startup Mengembangkan Produk dengan Lebih Efisien

Selain melakukan validasi ide bisnis dan pembuatan business model yang tepat bagi startupnya, seorang founder juga perlu memikirkan bagaimana produk maupun layanannya bisa diuji kepada pengguna di awal pengembangannya. Salah satu cara melakukannya adalah dengan membuat prototipe dari platformnya. Melalui prototipe, startup dapat menguji dan mendemonstrasikan produknya dengan lebih cepat, simpel, dan efisien. Dengan begitu, startup dapat mengukur apa yang berjalan baik dan bergerak cepat untuk memperbaiki kekurangan yang dimiliki berdasarkan feedback pengguna.

Prototyping ini juga menjadi topik lanjutan dalam mentoring program akselerasi DSLaunchpad 2.0 yang didukung oleh Amazon Web Services (AWS). Pada topik ini, Ivan Arie (Co-Founder & CEO of Tanihub), Agung Bezharie Co-Founder & CEO of Warung Pintar, Mehr Vaswani (Startup Business Development Associate of AWS), dan Andrew Wangsanata (Solution Architect of AWS) hadir untuk berbagi pengalaman dan insight terkait prototyping kepada para peserta.

Kurangi Risiko dan Percepat Inovasi lewat Prototyping

Tujuan utama dari membuat prototipe bagi startup adalah mengurangi risiko produk yang dibuat di awal tidak cocok dengan kebutuhan dan keinginan pengguna saat produk dalam versi yang lebih lengkap diluncurkan. Melakukan prototyping juga membantu startup mempercepat inovasi dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan produknya.

Prototipe dapat dibuat dengan simpel namun tetap representatif dengan fitur dan bentuk yang minimalis. Menurut Andrew Wangsanata, startup dapat membuat prototipe yang simpel sebelum membuat platform yang lebih kompleks agar dapat melakukan banyak iterasi. “Kita selalu mau simple prototype sebelum yang kompleks, jadi kita bisa mulai kecil, kita bisa gagal dengan cepat, kita bisa iterasi dengan lebih banyak.” ujarnya.

Selain itu, Andrew juga menambahkan bahwa dengan membuat prototipe, startup dapat melakukan pengembangan produk yang bagus dengan lebih efisien. “Sebenarnya kalau kita prototyping, itu akan membuat produk yang lebih bagus, harga yang  lebih rendah, dan lebih efisien. Kenapa? Karena waktu kita prototyping, kita mulai dari kecil atau yang simple dan kita iterasi banyak.” tambahnya.

Lewat prototipe, startup juga dapat secara langsung melihat bagaimana pengguna merespon fitur-fitur esensial di versi awal produknya. Berbagai respon, baik positif maupun negatif, harus diperhatikan oleh founder. Hal ini berguna untuk benar-benar memvalidasi bagaimana produk yang dihadirkan dapat diterima dengan baik oleh calon pengguna ketika secara resmi diluncurkan. Tidak hanya itu, adanya prototipe juga memberikan kesempatan startup untuk membangun reputasi di kalangan pengguna.

The point of prototype is to validate certain ideas, jadi ideas apa sih yang mau di-validate. Mau gak sih orang untuk spend their time disini, mau gak sih orang menggunakan tools ini untuk membantu bisnisnya, atau misalnya (calon pengguna) mau gak sih orang pake tools ini untuk bisa connect ke supplier atau consumernya.” jelas Agung Bezharie.

Pentingnya Mindset Agile dan Open-Minded dalam Prototyping

Guna mendukung proses prototyping yang cepat, startup juga memerlukan mindset dan framework yang mendukung, salah satunya dengan menerapkan sistem kerja yang agile. Melalui Agile ways of working, tim dapat bekerja dengan lebih cepat untuk menyelesaikan bagian-bagian kecil, serta saling terintegrasi dengan tim lain untuk mewujudkan pengembangan produk yang lebih cepat. Teknik kerja yang erat dikaitkan dengan sistem ini juga dikenal sebagai design sprint. “How you build software quickly and fast and instead of building everything upfront, you break it into smaller pieces.” ujar Mehr Vaswani saat menjelaskan tentang cara kerja yang agile.

Mindset lainnya yang juga wajib dimiliki oleh para founder adalah keterbukaan pemikiran terkait pengembangan produk. Seorang founder bisa saja memiliki ide untuk membuat aplikasi dengan kompleksitas fiturnya, akan tetapi bila hal tersebut tidak dibutuhkan oleh pengguna maka solusinya akan sia-sia dan tidak maksimal. Menurut Ivan Arie, dalam fase ini startup harus terbuka dengan pilihan berbagai opsi channel pengembangan produknya. “Keterbukaan dan open-minded dari tim co-founder itu penting banget untuk menentukan channel apa yang mau dipakai pertama kali.” jelas Ivan Arie.

Hal ini juga berkaitan dengan pemilihan bentuk prototipe yang akan digunakan. Anda bisa membuat prototipe dalam bentuk sebuah landing page, aplikasi sederhana, slide presentasi, atau bahkan dengan video penjelasan mengenai fitur yang dimiliki produk Anda. “There is no one best or only channel that is right.” ujar Ivan.

Bila menemukan kegagalan dalam proses prototyping, founder juga harus terus siap dan fokus pada perbaikan yang bisa dilakukan berdasarkan feedback dari konsumen yang didapatkan. “Kegagalan itu adalah bagian dari inovasi, kita gak bisa berinovasi tanpa kegagalan pastinya kita akan mengalami kegagalan yang besar. Yang kita mau kita bisa mengontrol bagaimana kegagalan itu terjadi.” tambah Andrew Wangsanata.

Proses prototyping ini tentunya bukan perjalanan yang mudah dan cukup dilakukan sekali saja. Feedback yang didapatkan dari konsumen, harus menjadi dorongan untuk melakukan iterasi secara terus menerus. Hal ini penting untuk dilakukan agar saat diluncurkan, platform yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan dan kemauan pengguna. “Prototype itu gak cuma terjadi sekali, it’s a constant process that you have to do over and over again inside your startup.” tutup Agung Bezharie.

OPPO Pamerkan Prototipe Smartphone dengan Layar Tanpa Tepi

OPPO punya sejumlah ide inovatif yang siap mereka implementasikan di segmen smartphone dalam waktu dekat. Yang pertama adalah kamera depan di balik layar, yang memungkinkan OPPO untuk menyuguhkan smartphone tanpa bezel, tapi tanpa harus mengandalkan notch ataupun kamera bermekanisme pop-up.

Yang kedua baru saja mereka umumkan, yakni teknologi display bertajuk “Waterfall Screen”. Dari kacamata sederhana, kita bisa menganggap Waterfall Screen sebagai layar tanpa tepi, sebab sisi kiri dan kanan panel layarnya memang melebar sampai ke bagian samping ponsel selagi membentuk sudut vertikal 88°.

OPPO Find X (kiri) disandingkan dengan prototipe ponsel Waterfall Screen (kanan) / OPPO
OPPO Find X (kiri) disandingkan dengan prototipe ponsel Waterfall Screen (kanan) / OPPO

OPPO bilang bahwa ini merupakan kelanjutan dari teknologi Panoramic Arc Screen yang mereka terapkan pada Find X. Jika dibandingkan dengan Find X yang memiliki rasio screen-to-body sebesar 93,8%, ponsel yang mengadopsi Waterfall Screen nantinya bisa mencatatkan rasio screen-to-body sebesar 96,3%. Aspect ratio-nya sendiri tercatat 22,9:9 apabila tepian lengkungannya juga ikut dihitung.

Dari sudut pandang lain, kita sebenarnya juga bisa menganggap Waterfall Screen sebagai versi lebih ekstrem dari layar milik Samsung Galaxy Note 9. Begitu ekstremnya, sampai-sampai Waterfall Screen tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk tombol power maupun tombol volume, sedangkan pengguna Note 9 masih bisa menjumpai kedua tombol tersebut di sisi ponselnya masing-masing.

OPPO Waterfall Screen

Konsep desain seperti ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Waterfall Screen diharapkan bisa menyajikan pengalaman visual yang lebih immersive, akan tetapi di saat yang sama OPPO juga harus memikirkan alternatif terhadap hilangnya tombol-tombol pada sisi samping smartphone itu tadi.

OPPO memang tidak menyebut kapan mereka berencana merilis smartphone dengan layar seperti ini. Namun kalau melihat sepak terjang OPPO selama ini, terbukti mereka sempat beberapa kali memamerkan prototipe perangkat berteknologi baru sebagai teaser atas ponsel unggulan barunya.

Sumber: The Verge.

Lenovo Pamerkan Prototipe Foldable Laptop

Tiga bulan terakhir ini industri teknologi sedang digemparkan oleh foldable phone. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya sudah ada tiga pabrikan besar yang memamerkan prototipe besutannya masing-masing: Samsung, Huawei, dan Oppo.

Secara mendasar, premis yang ditawarkan foldable phone cukup simpel: bagaimana konsumen dapat menggunakan perangkat dengan layar sekelas tablet 7 inci, tapi di saat yang sama perangkat itu bisa dibawa-bawa semudah sebuah smartphone. Berkaca dari situ, jangan heran apabila ada yang bertanya, apakah premis sebaliknya tak bisa diterapkan di kategori perangkat lain, semisal laptop?

Jauh sebelum kita menanyakan hal itu, Lenovo sudah lebih dulu merenungkannya sekaligus mengeksekusi gagasannya; bagaimana konsumen dapat menggunakan laptop yang dapat dibawa-bawa semudah sebuah tablet. Buah pemikiran mereka melahirkan prototipe sebuah foldable laptop, yang ke depannya diproyeksikan bakal mengusung titel premium ThinkPad X1.

Lenovo foldable laptop

Dalam posisi layarnya terbuka sepenuhnya, bentuknya mengingatkan saya pada ThinkPad X1 Tablet. Layarnya sendiri menggunakan panel OLED fleksibel 13,3 inci beresolusi 2K (hasil kerja sama Lenovo dengan LG Display), jadi ketika dalam posisi terlipat atau tertutup, dimensi perangkat pun menyusut separuh hingga menyerupai sebuah tablet atau buku.

Lenovo menggambarkan beragam skenario penggunaan yang cukup menarik untuk foldable laptop. Yang paling sederhana, Anda bisa menggunakannya seperti sebuah iPad Pro, atau dalam posisi terlipat sedikit menyerupai sebuah buku – satu sisi membuka halaman browser, satunya lagi untuk corat-coret menggunakan stylus Wacom yang dibundel.

Andai diperlukan, perangkat juga bisa diberdirikan di atas meja (dalam posisi layarnya terbuka lebar), lalu pengguna dapat mengetik menggunakan keyboard wireless yang juga dibundel. Terakhir dan yang paling menarik, pengguna dapat meletakkannya di atas pangkuan selagi layarnya dalam posisi terlipat separuh, lalu menggunakannya seperti laptop berlayar ganda macam Lenovo Yoga Book.

Yang masih misterius adalah spesifikasinya. Sejauh ini belum ada sama sekali rincian komponen yang diusungnya, akan tetapi titel ThinkPad X1 semestinya bisa menjadi jaminan bahwa spesifikasinya pantas masuk di kategori premium.

Seperti yang saya bilang tadi, statusnya pun sejauh ini baru sebatas prototipe, tapi sudah fungsional sehingga bisa Lenovo demonstrasikan ke hadapan media. Detail lebih lengkapnya baru akan diungkap bersamaan dengan peluncuran resminya tahun depan.

Sumber: Lenovo.

Supercar Elektrik Audi PB18 e-tron Siap Merajai Jalanan Sekaligus Sirkuit Balap

Sebelum kita melihat wujud final dari SUV elektrik Audi e-tron Quattro, sang pabrikan asal Jerman masih punya persembahan lain untuk menggambarkan visinya akan masa depan industri otomotif melalui sebuah prototipe supercar elektrik. Namanya Audi P18 e-tron, dan Anda bisa menilai sendiri betapa ganas penampilannya dari gambar di atas.

Tidak seperti R18 e-tron Quattro yang diciptakan untuk balap Le Mans, PB18 siap melahap jalanan biasa maupun sirkuit balap. Ia bahkan memiliki kabin belakang yang bisa memuat kargo layaknya sebuah hatchback. Kendati demikian, tema utamanya tetap balapan, berbeda dari konsep Audi Aicon yang berfokus pada tren self-driving.

Audi PB18 e-tron

Satu hal yang paling unik dari PB18 e-tron adalah posisi duduknya. Dengan menekan satu tombol saja, jok pengemudinya bakal bergeser dari samping ke tengah, posisi yang dinilai paling pas untuk bermanuver di sirkuit balap (monoposto). Inovasi ini dimungkinkan berkat setir dan pedal yang dioperasikan secara elektronik, alias tidak ada sambungan mekanisnya.

Sebagai sebuah supercar, performanya yang berasal dari tiga motor elektrik tidak bisa dianggap remeh. Tenaganya memang cuma 570 kW (± 764 hp), akan tetapi torsinya mencapai angka 830 Nm, dan kita semua tahu kalau mobil elektrik bisa langsung meraih torsi besarnya dari 0 RPM. Alhasil, akselerasi 0 – 100 km/jam sanggup ditempuh dalam waktu kurang dari 2 detik berdasarkan klaim Audi.

Audi PB18 e-tron

Sebagai mobil yang juga bisa dibawa secara legal di jalanan, efisiensi daya pun juga harus menjadi prioritas. Untuk itu, Audi telah menyematkan baterai solid-state berkapasitas 95 kWh yang diperkirakan bisa membawa mobil menempuh 500 kilometer dalam satu kali pengisian. Baterai ini bisa di-charge secara wireless, atau diisi ulang dengan sangat cepat menggunakan charger 800 volt milik Porsche.

Audi PB18 e-tron tidak lebih dari sebatas showcase, akan tetapi bukan tidak mungkin Audi menerapkan sejumlah teknologinya pada mobil-mobil produksinya di masa yang akan datang. Mungkin bukan jok yang bisa bergeser itu, melainkan teknologi baterai dan motor elektriknya.

Sumber: Electrek dan Audi.

Tiga Kamera pada Smartphone Masih Kurang? Kenapa Tidak Sembilan Sekalian?

Tidak bisa dipungkiri, salah satu fitur Huawei P20 Pro yang paling membuat mata terbelalak adalah tiga kamera di bagian belakangnya. Konfigurasi ini memunculkan kesan seakan smartphone berkamera ganda masih kurang bisa memenuhi hasrat fotografi konsumen. Lalu yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah tiga sudah cukup?

Jawabannya bergantung kepada siapa Anda menanyakannya. Kalau yang Anda tanya adalah startup asal AS bernama Light, saya yakin mereka bakal menjawab kurang. Bagi yang tidak tahu, Light sempat mencuri perhatian tiga tahun lalu lewat produk bernama Light L16, yang sejatinya merupakan 16 kamera dalam satu kemasan.

Sekarang, mereka sedang mencoba menerapkan ide ekstremnya ke ranah smartphone. Berdasarkan laporan Washington Post, Light telah merancang sejumlah prototipe fungsional smartphone yang mengemas antara lima sampai sembilan kamera di belakangnya, seperti yang bisa kita lihat pada gambar di atas.

Kamera Light L16 sebagai referensi / Light
Kamera Light L16 sebagai referensi / Light

Pada gambar tersebut, tampak konfigurasi 5x lensa wide-angle dan 4 lensa telephoto yang disusun melingkar. Light bilang bahwa tebal ponselnya hanya sedikit lebih tebal dibanding iPhone X, dan kombinasi banyak kamera tersebut bisa menghasilkan foto beresolusi 64 megapixel, dengan kualitas yang lebih baik pada kondisi minim cahaya dan efek depth yang memukau.

Light berharap smartphone multi-kamera ini bisa terealisasi tahun ini juga, dan fakta bahwa Foxconn merupakan salah satu investor Light semestinya bisa menjadi jaminan akan ambisi tersebut. Meski begitu, belum ada kejelasan apakah Light bakal menggarap smartphone-nya sendiri atau bekerja sama dengan pabrikan lain.

Harganya pun bisa dipastikan tidak murah. Sebagai referensi, kamera Light L16 sendiri dijual seharga $1.950. Kemungkinan besar ponsel dengan 9 kamera semacam ini juga akan dipasarkan dengan banderol di atas $1.000.

Sumber: The Washington Post via SlashGear.

Samsung Smart Windshield Ibarat Android Auto untuk Sepeda Motor

Secara garis besar, Android Auto dan Apple CarPlay dirancang supaya pengguna bisa mengurangi kebiasaannya menggunakan smartphone selagi menyetir. Hal ini secara otomatis meningkatkan rasa aman dalam berkendara, dimana pengemudi masih bisa mengakses beragam informasi melalui dashboard, akan tetapi pandangannya tetap fokus ke depan.

Lalu bagaimana dengan pengendara sepeda motor? Seperti yang kita tahu, tidak sedikit pengendara motor bandel yang kerap memakai smartphone saat berada di jalanan. Tindakan ini jelas sangat membahayakan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Melihat hal tersebut, Samsung rupanya punya inisiatif yang bisa dijadikan solusi.

Mereka memamerkan prototipe Samsung Smart Windshield, yang sejatinya bisa diartikan sebagai Android Auto atau Apple CarPlay untuk sepeda motor. Dalam demonstrasinya, layar Smart Windshield ini ditambatkan pada kaca depan skuter Yamaha Tricity 125, menampilkan berbagai informasi langsung di hadapan sang pengendara.

Samsung Smart Windshield

Smart Windshield bekerja dengan tersambung ke smartphone. Dari situ ia akan meneruskan panggilan telepon yang masuk, pesan teks, email hingga notifikasi media sosial. Saat ada pesan masuk, pengendara bebas memilih untuk berhenti dan membalas, atau mengirim balasan otomatis yang memberitahukan bahwa ia sedang menyetir dan belum bisa merespon.

Smart Windshield secara alami juga akan menampilkan panduan navigasi berbasis GPS dari smartphone. Intinya, pengguna tetap bisa mengakses beragam informasi yang berasal dari smartphone-nya, tapi di saat yang sama juga berfokus pada jalanan yang ada di depannya.

Ini bukan pertama kalinya Samsung meluncurkan inisiatif guna meningkatkan keamanan berkendara. Tahun lalu, mereka sempat mendemonstrasikan prototipe Samsung Safety Truck di Argentina yang sederhana namun berpotensi menyelamatkan banyak nyawa di jalanan.

Sayang karena baru prototipe, Samsung pun belum mau mengungkap rencana ke depannya dengan Smart Windshield. Apakah prototipe ini akan dilanjutkan hingga menjadi produk final dan tersedia untuk berbagai varian sepeda motor? Semoga saja…

Sumber: Adweek.

Terinspirasi Film, Engineer Google Ciptakan Perangkat Cermin Pintar

Seandainya Anda seorang engineer Google yang sangat berpengalaman, apa yang Anda lakukan ketika melihat gadget canggih di sebuah film fiksi ilmiah? Mungkin hal pertama yang Anda coba adalah berusaha membuatnya sendiri.

Itulah yang dilakukan oleh seorang engineer Google bernama Max Braun. Terinspirasi oleh suatu adegan di film The 6th Day yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, beliau membuat sebuah prototipe cermin pintar yang dapat menampilkan berbagai informasi.

Dijelaskan secara cukup merinci pada blog-nya di Medium, cermin pintar ini dibentuk dari sejumlah komponen yang bisa didapat dengan mudah. Utamanya adalah cermin dua arah, panel display, papan controller dan perangkat sejenis Google Chromecast atau Amazon Fire TV Stick.

Smart Mirror by Max Braun

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar, informasi yang ditampilkan sejauh ini barulah prakiraan cuaca, waktu dan tanggal, serta sejumlah headline berita terkini. Nantinya, Max berencana menambahkan informasi lain seperti kondisi lalu lintas, reminder, dan sederet info lain yang biasa kita jumpai dalam wujud kartu di Google Now.

Semua informasi ini akan di-update secara otomatis, jadi pengguna sama sekali tak perlu berinteraksi dengan cermin tersebut. Jangan bayangkan cermin pintar ini sebagai layar sentuh raksasa, ia hanyalah sebuah alat bantu berdandan yang mencoba menjadi lebih bermanfaat lagi lewat deretan informasi yang ditampilkannya.

Smart Mirror by Max Braun

Dari luar prototipe cermin pintar ini memang tampak sangat apik. Panel display-nya yang sangat tipis tersembunyi dengan baik di antara panel cermin. Tapi saat Anda buka, Anda bisa melihat sejumlah komponen yang berserakan di bagian belakangnya.

Terlepas dari itu, upaya yang dilakukan Max Braun ini patut mendapat acungan jempol setinggi-tingginya. Dengan modal sejumlah komponen, kreativitas dan ketekunan, ia bisa menyulap sebuah cermin kamar mandi biasa menjadi perangkat terkoneksi yang amat bermanfaat.

Tentunya Max tidak melontarkan rencana untuk menjual cermin pintar ini ke pasaran. Namun paling tidak pabrikan hardware lain bisa terinspirasi dan mencoba mengeksekusi idenya sendiri. Kalau satu orang dengan perlengkapan seadanya saja bisa membuat gadget sekeren ini, bagaimana jadinya satu tim riset dan pengembangan perusahaan.

Sumber: Medium.

Disney Kembangkan Prototipe Smartwatch yang Bisa Mengenali Objek yang Disentuh

Fungsi smartwatch yang kita tahu bakal benar-benar berbeda semisal teknologi terbaru ini bisa terealisasikan secara mainstream. Dikembangkan oleh Disney Research Lab – ya, Anda tidak salah baca – teknologi bernama EMSense ini memungkinkan smartwatch untuk mengenali nama objek yang Anda sentuh.

Rahasianya terletak pada sinyal elektromagnet. Secara alami tubuh manusia sifatnya konduktif, sehingga dapat mengalirkan sinyal elektromagnet yang berasal dari beragam objek di sekitar kita. Selanjutnya, tim Disney Research mengembangkan sensor untuk menangkap dan menganalisa sinyal elektromagnet tersebut, dengan jangkauan frekuensi antara 1 – 28,8 MHz.

Alhasil, prototipe smartwatch buatan Disney Research ini bisa mengenali nama objek yang disentuh oleh penggunanya, mulai dari gagang pintu, bor, teko sampai laptop sekalipun. Kemudian, smartwatch akan menjalankan aplikasi secara otomatis berdasarkan konteks objek yang disentuh.

EMSense by Disney Research Lab

Jadi semisal Anda membuka pintu ruang kantor Anda, smartwatch akan menampilkan to-do list yang harus diselesaikan pada hari itu juga. Fungsinya mirip seperti fitur geo-location yang sudah ada pada smartphone kita sekarang, akan tetapi di sini sensor GPS tidak perlu bekerja untuk mengenali keberadaan pengguna.

Dalam video penjelasan di bawah, Anda bisa melihat potensi teknologi EMSense ini di berbagai konteks. Contoh lain adalah saat berada di dapur. Sensor EMSense akan mengenali pola kegiatan yang biasa kita lakukan, mulai dari membuka lemari es untuk mengambil bahan makanan, lalu menyiapkan panci untuk merebus sesuatu.

Selanjutnya saat sensor mendeteksi Anda memegang kenop kompor, seketika juga smartwatch akan menampilkan aplikasi timer sehingga Anda bisa mengatur waktu memasak dengan cepat.

Sejauh ini teknologi EMSense memang baru berupa prototipe, dan besar kemungkinan tidak akan merambah smartwatch yang ada di pasaran dalam waktu dekat. Pun demikian, kalau saja Disney bisa mengembangkannya, mengapa pabrikan-pabrikan smartwatch tidak?

Sumber: Wareable.

Aston Martin Pamerkan Prototipe Sedan Elektrik Penantang Tesla Model S

“Mewah nan perkasa”, frasa tersebut adalah gambaran tepat buat Aston Martin Rapide S. Buat yang tidak tahu, Rapide S merupakan satu-satunya mobil sport buatan Aston Martin yang dilengkapi empat pintu. Ya, ini bisa dibilang sebagai sedan biasa, tapi tentu saja ada sentuhan kemewahan sekaligus keganasan yang sudah menjadi tradisi Aston Martin. Continue reading Aston Martin Pamerkan Prototipe Sedan Elektrik Penantang Tesla Model S

Kamera Ini Larang Anda Mengambil Foto Klise di Tempat Umum

Saat berkunjung ke suatu lokasi terkenal, setiap orang cenderung untuk mengambil foto di tempat tersebut, termasuk halnya seorang fotografer profesional sekalipun. Sebenarnya tidak ada yang salah dari hal itu, kecuali semua foto yang diambil akhirnya bersifat klise dan dinilai kurang orisinil. Continue reading Kamera Ini Larang Anda Mengambil Foto Klise di Tempat Umum