Strategi Bank Danamon Tetap Relevan dengan Perkembangan Fintech

Sektor fintech di Indonesia terus menunjukan tren pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya. Menurut proyeksi dari Google, Temasek, dan Bain & Company, Indonesia diperkirakan akan menjadi pasar pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara dengan proyeksi Gross Transaction Value mencapai $760 miliar pada 2030.

Di saat yang sama, pemerintah mendorong penggunaan fintech untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun ini. Gairah ini membuat banyak pihak berlomba-lomba mengadopsi fintech terkini agar makin relevan dengan perkembangan saat ini. Hal tersebut juga dilakukan oleh Bank Danamon.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Chief Strategy Officer Bank Danamon Reza Iskandar Sardjono menyampaikan berbagai strategi dari internal dan eksternal telah ditempuh perseroan untuk terus mendukung industri fintech ini.

“Salah satunya dengan melakukan penempatan dana di Garuda Fund bersama dengan MUFG dan MUIP (MUFG Innovation Partners), dana ventura yang melakukan investasi strategis pada sektor keuangan digital Indonesia, dengan penekanan pada perusahaan fintech,” ujarnya.

Sebagai catatan, Garuda Fund diumumkan pada Januari 2023 memiliki alokasi dana sebesar $100 juta dengan periode investasi terhitung dari 2023-2028. Fokus investasi Garuda Fund adalah pendanaan seri A ke atas, dengan rata-rata investasi $5 juta dengan tujuan strategis untuk meningkatkan bisnis kolaborasi Danamon dengan para pelaku digital dan fintech di Indonesia.

Startup teranyar yang mendapat pendanaan dari Garuda Fund adalah startup insurtech Qoala yang berpartisipasi dalam putaran seri C diumumkan pada 3 April 2024. Ditargetkan ada sebanyak 15 startup yang akan memperoleh dana dari Garuda Fund hingga 2028 mendatang.

Pada Februari, Bank Danamon juga mengumumkan kemitraan strategis dengan Helicap, startup asal Singapura yang berfokus menghubungkan investor global dengan peluang utang swasta di Asia Tenggara. Tujuan perusahaan adalah untuk mengisi kesenjangan pembiayaan sebesar $500 miliar yang tidak dapat dilayani oleh bank dan menyebarkan modal kepada 300 juta orang yang tidak mempunyai rekening bank melalui 1.000 originator di wilayah tersebut.

“Melalui kerja sama ini, Helicap memperkenalkan ekosistem fintech mereka yang ada di Indonesia ke Danamon. Di sisi lain, Danamon menyediakan portal korporat Danamon (Danamon Cash Connect), dan membantu pengelolaan flow of fund yang lancar dengan pengendalian risiko yang lebih baik kepada Helicap,” lanjut Reza.

Ia juga menyampaikan kolaborasi ini cukup unik karena membantu menyediakan kemudahan bagi Helicap dalam melakukan operasional pendanaan, serta memberikan keamanan dalam melakukan transaksi. Tidak menutup kemungkinan ke depannya, kolaborasi ini akan dilanjutkan dengan entitas di dalam MUFG Group, yakni Adira Finance dan Home Credit.

Transformasi digital

Reza melanjutkan, penguatan internal dengan berinvestasi pada Infrastruktur IT & Digital, Sumber Daya Manusia, Branding, dan Branch Network agar tetap relevan sekaligus dalam rangka meningkatkan pelayanan ke nasabah.

Perseroan berupaya meningkatkan kapabilitas channels, baik fisik (Next Generation Branch) maupun digital (D-Bank PRO dan Danamon Cash Connect), serta memperluas kemitraan digital. D-Bank PRO adalah solusi untuk konsumen, sementara Danamon Cash Connect ditujukan untuk nasabah bisnis.

Melalui digitalisasi tersebut, Reza mengklaim pihaknya berhasil meningkatkan produktivitas SDM di cabang melalui migrasi transaksi-transaksi yang bersifat administratif (penggantian PIN, penggantian kartu debit, dan pengkinian data nasabah) ke digital channel (D-Bank PRO) dan self-service channel (Digital CS).

Sementara bagi nasabah, dengan adanya digitalisasi ini memberikan kemudahan akses dalam bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti: pembayaran tagihan, top up, jual/beli valuta asing, QRIS, mengubah transaksi kartu kredit menjadi cicilan (My Own Installment), pengajuan loan dan pembelian wealth management produk, dan berbagai fitur lainnya.

Pihaknya juga secara aktif menyediakan layanan BaaS (Bank-as-a-Service) kepada nasabah di semua segmen melalui pengembangan dan penyempurnaan berbagai layanan API. “Ke depannya, kami berkomitmen untuk senantiasa melakukan pengembangan seluruh channel digital dengan prinsip customer centricity serta memperkuat sinergi dengan jaringan MUFG sehingga dapat memberikan layanan yang komprehensif kepada nasabah.”

Dia beralasan langkah ini ditempuh karena perusahaan merupakan organisasi yang berpusat pada pelanggan, sehingga salah satu strateginya adalah terus engage dengan nasabah dan mengerti kebutuhan mereka. “Dengan interaksi langsung melalui berbagai event maupun melalui research untuk memahami perubahan perilaku nasabah yang berfokus pada berbagai layanan digital perbankan,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Umumkan Pendanaan Seri C Rp713,3 Miliar Dipimpin PayPal Ventures dan MassMutual Ventures

Startup insurtech Qoala mengumumkan telah menutup pendanaan seri C senilai $45 juta atau setara Rp713,3 miliar. Putaran ini dipimpin PayPal Ventures dan MassMutual Ventures dengan dukungan MUFG Innovation Partners, Ohana Holdings, dan investor sebelumnya termasuk Flourish Ventures, Eurazeo, dan AppWorks.

Sebelumnya Qoala berhasil menutup pendanaan seri B tahun lalu dengan total nilai $70,5 juta (dalam dua putaran). Dengan tambahan dana segar yang baru didapat, kisaran pendanaan ekuitas yang telah dibukukan perusahaan mencapai $139,5 juta atau setara Rp2,2 triliun.

Melalui modal tambahan yang didapat, Qoala berkomitmen meningkatkan bisnis embedded insurance (B2B2C) di Asia Tenggara melalui percepatan pengembangan teknologi (penerapan AI di berbagai lini), meningkatkan pengalaman pelanggan, mitra, dan agen. Qoala juga ingin mengeksplorasi varian produk dan saluran baru di platform agennya dengan menjajaki akuisisi strategis dan kemitraan lintas sektor.

“Dipandu dedikasi yang tak tergoyahkan dari tim kami yang luar biasa dan kepercayaan yang diberikan oleh investor, pendanaan seri C ini menunjukkan kepercayaan pasar terhadap strategi dan misi kami. Misi kami untuk mendemokratisasi asuransi tetap teguh, dan dengan suntikan dana baru ini, kami lebih siap untuk mendorong inovasi dan memberikan dampak pada kehidupan dan penghidupan,” sambut Co-Founder & CEO Qoala Harshet Lunani.

Pertumbuhan bisnis Qoala

Disampaikan perusahaan, sejak tahun 2022 Qoala telah mencatat pertumbuhan premi bruto sebesar 2,5x dan telah memproses 60% dari total klaim secara internal. Pertumbuhan bisnis dini sebagian besar ditopang oleh terdiversifikasinya saluran kemitraan yang berimplikasi pada peningkatan pesat jumlah mitra bisnis. Metrik profitabilitas perusahaan juga diklaim terus mengalami tren peningkatan, melampaui pertumbuhan GWP, dan hal ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap kinerja keuangan berkelanjutan.

Sepanjang 2023, Qoala berhasil memproses 115 ribu klaim dan menjangkau 45 ribu pelanggan baru. Ini juga didukung oleh ragam produk asuransi yang dijajakan pada portal marketplace yang dimiliki, dan didukung lebih dari 60 ribu+ mitra pemasar. Sejak awal, salah satu proposisi nilai penting Qoala pada sistem keagenan digital yang dimiliki. Lewat inovasi yang digulirkan, Qoala berhasil meningkatkan aksesibilitas asuransi dan proses klaim bagi masyarakat secara lebih efisien.

“Kami sangat terkesan dengan pertumbuhan Qoala yang luar biasa sejak investasi pertama kami pada tahun 2019. Kerja keras tim yang konsisten dan kinerja tinggi terbukti dalam posisi mereka sebagai pemimpin pasar. Kami bangga melanjutkan dukungan seiring mereka terus mendefinisikan ulang standar industri dan mendorong inklusi keuangan di wilayah ini,” ujar Managing Partner MassMutual Ventures Ryan Collins.

Di Indonesia, Qoala berhadapan dengan sejumlah kompetitor, di antaranya Fuse, Igloo, PasarPolis, dan Lifepal. Sepanjang tahun 2022, Fuse menerbitkan lebih dari 150 juta polis asuransi dan membukukan pendapatan premi bruto lebih dari Rp 3 triliun. Sementara Lifepal baru saja diakuisisi Roojai Group di awal tahun 2024 ini.

Rencana selanjutnya Qoala

Salah satu fokus pengembangan berikutnya adalah peningkatan pengalaman agen dan efisiensi operasional secara signifikan dengan lebih meningkatkan penggunaan AI generatif. Investasi ini akan memungkinkan Qoala untuk menyempurnakan dan memperluas platform insurtech yang sudah ada, memastikan tetap menjadi yang terdepan dalam teknologi dan mengurangi waktu pemasaran.

Selain itu, Qoala berdedikasi untuk mengembangkan alat yang mendukung mitra asuransinya dalam meningkatkan kemampuan mereka dalam penjaminan, pemrosesan klaim, dan deteksi penipuan, sehingga memperkuat komitmennya terhadap inovasi dan keunggulan dalam industri.

“Dengan memosisikan dirinya sebagai solusi pilihan bagi platform yang melayani konsumen dan agen tradisional, Qoala menyediakan alat yang sangat dibutuhkan konsumen di seluruh Asia Tenggara untuk mengatasi kesenjangan perlindungan yang terus terjadi,” ujar Principal PayPal Ventures Alexandros Bottenbruch.

Selain di Indonesia, saat ini Qoala juga sudah beroperasi di Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Ekspansinya ini didukung dengan strategi kemitraan strategis dan akuisisi. Di Thailand, mereka beroperasi dengan mengakuisisi startup insurtech lokal Fairdee.

Di tengah kondisi perekonomian makro yang tak menentu, pada pertengahan tahun lalu Qoala juga sempat mengurangi jumlah tim 80 orang di Indonesia dan Malaysia. Disebutkan langkah ini diambil untuk meningkatkan sinergi di dalam dan di setiap departemen dan unit bisnis agar efisien dan berkelanjutan.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Rumahkan 80 Karyawan di Indonesia dan Malaysia

Startup insurtech Qoala mengumumkan efisiensi bisnis yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 80 orang karyawannya di Indonesia dan Malaysia. Hal ini telah disampaikan perusahaan melalui pernyataan resmi pada 31 Juli 2023.

Dalam pernyataan resmi, tertulis bahwa, “langkah ini diambil untuk meningkatkan sinergi di dalam dan di setiap departemen dan unit bisnis untuk memimpin bisnis yang lebih efisien dan berkelanjutan ke depan. Keputusan ini selanjutnya dimotivasi oleh tinjauan komprehensif selama dua tahun terhadap struktur organisasi kami, yang mengidentifikasi area redundansi dan menyoroti kebutuhan untuk penyesuaian strategi.”

Qoala juga mengungkap beberapa inisiatif untuk memberikan dukungan finansial dan profesional dalam memudahkan transisi ini, seperti pembayaran dan pesangon yang sesuai, tambahan kompensasi, perpanjangan asuransi, dukungan repatriasi, surat rekomendasi, dan tambahan pencairan cuti untuk karyawan yang sedang hamil.

Terkait efisiensi bisnis ini, Qoala juga menegaskan posisi keuangannya saat ini masih terpantau kuat, dan margin kontribusi di tingkat grup masih positif. Bisnis ini masih menyediakan runway yang cukup untuk terus berkembang sembari secara signifikan meningkatkan unit ekonomi perusahaan.

Pada bulan Maret lalu, Qoala baru saja menyelesaikan tambahan pendanaan seri B lebih dari Rp112 miliar. Bila ditotal dengan pendanaan seri B di Mei 2022 kemarin sebesar $65 juta, total perolehan Qoala untuk putaran ini sebesar $72,4 juta (lebih dari Rp1,09 triliun).

Saat ini, Qoala berkomitmen pada unit bisnis dan keberadaan pasar di wilayah operasionalnya. “Dengan menegaskan tujuan kami untuk meningkatkan kualitas hidup melalui asuransi yang terjangkau dan mudah diakses, kami menggandakan upaya kami untuk memberikan dampak positif bagi kehidupan pelanggan kami,” tutupnya.

Insurtech di Indonesia

Di sektor insurtech, masa sulit ini bukan hanya dirasakan oleh Qoala. Belum lama ini, salah satu pemain bisnis keagenan insurtech, Futuready, mengumumkan penutupan bisnis operasionalnya di Indonesia. Didirikan pada 2016, Futuready menawarkan layanan broker yang membantu nasabah menentukan produk asuransi secara transparan.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan untuk sektor perasuransian di Indonesia telah meningkat dari 15,8% di 2016 menjadi 19,40% di 2019. Selanjutnya, inklusi keuangan sektor perasuransian menunjukkan peningkatan yang lebih rendah, yaitu sebesar 1,05% dari 12,1% di 2016 menjadi 13,15% di 2019.

Dikutip dari laman OJK, perkembangan insurtech di Indonesia disebut masih belum terlalu tinggi bila dibandingkan dengan fintech, terutama platform pinjaman online. Menurut data OJK per Maret 2023, hanya ada dua perusahaan yang tercatat pada klaster IKD insurtech, termasuk Qoala dan YukTakaful.

Saat ini, terdapat banyak jenis bisnis insurtech yang berkembang mulai dari manajemen asuransi hingga pemrosesan, penjualan, pengelolaan data, dan lainnya. Di Indonesia, ada beberapa startup insurtech baru yang sudah mulai beroperasi, seperti Bang Jamin. Didirikan pada 2022, perusahaan berhasil mendapatkan pendanaan dari Northstar dan BRI Ventures.

Selain itu, startup insurtech lainnya seperti Rey Assurance juga mengumumkan pendanaan baru senilai lebih dari Rp63 miliar dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund. Perusahaan juga menambahkan produk proteksi baru, yakni ReyCare, ReyCard, dan ReyFit untuk melengkapi kartu proteksi kesehatan yang sudah diluncurkan sejak awal, meliputi manfaat rawat jalan dan rawat inap.

Melalui ragam inovasi yang dihadirkan di sektor insurtech ini diharapkan akan tercipta sistem dan operasional produk asuransi yang lebih sederhana agar dapat lebih terjangkau oleh masyarakat luas, khususnya kalangan menengah ke bawah.

Qoala Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B 113 Miliar Rupiah [UPDATED]

*28/3/2023: Kami memperbarui informasi nominal pendanaan sesuai dengan rilis yang diterbitkan oleh Qoala

Startup insurtech Qoala mengumumkan telah menyelesaikan tambahan pendanaan seri B  sebesar $7,5 juta (lebih dari 112 miliar Rupiah). Investor baru dalam putaran ini adalah Responsability dan AppWorks. Sejumlah investor terdahulu juga turut berpartisipasi, di antaranya Eurazeo dan Indogen.

Bila ditotal dengan pendanaan Seri B di Mei 2022 kemarin sebesar $65 juta, maka total perolehan Qoala untuk putaran ini sebesar $72,4 juta (lebih dari 1,09 triliun Rupiah). Putaran ini diikuti oleh investor terdahulu Qoala, seperti Flourish Ventures, KB Investment, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India. Beberapa investor baru juga ikut bergabung, di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

“Sama seperti Series B kemarin, kami ingin gunakan dana untuk mendukung pengembangan teknologi sehingga pelayanan asuransi menjadi lebih baik,” ucap Co-founder & Deputy CEO Qoala Tommy Martin kepada DailySocial.id, Rabu (18/1).

Pencapaian Qoala

Startup yang dirintis pada 2018 ini memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Kemudahan ini membantu tenaga pemasar, atau yang disebut Mitra Qoala Plus, memperoleh penghasilan tak terbatas dan instan dengan kebebasan waktu. Variasi produk asuransi milik Qoala Plus yang sesuai kebutuhan dan gaya hidup masyarakat saat ini, seperti asuransi jiwa, kesehatan, asset berharga seperti mobil dan properti, serta asuransi gaya hidup seperti travel dan lainnya; secara otomatis memberikan kesempatan bagi para tenaga pemasar untuk mendapatkan penghasilan lebih.

Dalam paparan perusahaan baru-baru ini, Qoala Plus diklaim berhasil mencatatkan pertumbuhan lebih dari 10 kali lipat sejak awal berdiri di 2019. Selama satu tahun terakhir, Qoala Plus telah menjaring lebih dari 60,000 tenaga pemasar dengan lebih dari 20 kota operasional di seluruh Indonesia dan berencana membuka lebih banyak di masa depan.

Qoala Plus menawarkan 34 jenis produk asuransi yang berbeda sesuai keperluan masyarakat dan terhitung telah membantu sebanyak 115.000 proses klaim polis. Mitra perusahaan asuransi yang telah dirangkul, mulai dari Zurich Insurance, Great Eastern Life Indonesia, KB Insurance, Asuransi MAG, Asuransi Sinar Mas, Tugu Insurance.

Sebagai catatan, dalam mengoperasikan Qoala Plus, perusahaan bermitra dengan PT Mitra Jasa Pratama. Menurut situs Mitra Jasa, Tommy Martin menjabat Komisaris Utama, mengindikasikan posisi perusahaan pialang tersebut terafiliasi dengan Qoala. Kendati, belum ada keterangan resmi yang diungkap terkait ini dari Qoala.

Application Information Will Show Up Here

Mandiri Capital Jembatani Sinergi Startup dengan Perusahaan Induk Lewat Program “Xponent”

PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) belum lama ini meluncurkan program “Xponent” sebagai wadah bagi startup untuk bersinergi dengan ekosistem yang ada di Mandiri Group. Program ini juga bertujuan untuk memperkuat inovasi di Mandiri Group guna mendukung perluasan ekosistem digital di tanah air.

Kamis (13/10), program Xponent segmen pertama berhasil terselenggara dengan kategori lending. Dalam kesempatan ini, MCI sekaligus mengumumkan beberapa kerja sama strategis bisnis unit Mandiri Group dengan startup terpilih.

Setidaknya tiga sinergi telah diresmikan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), yang dipimpin oleh Dennis Pratistha, Chief Investment Officer PT Mandiri Capital Indonesia. Pertama, kerja sama layanan solusi retail dan wholesale, di mana portofolio MCI di segmen insurtech, Qoala, akan menjadi partner penyedia asuransi kepada debitur Mandiri Tunas Finance (MTF) serta berperan sebagai broker untuk kanal digital.

Berikutnya, ada dua startup yang bergerak di bidang pembiayaan rumah (KPR) yaitu Ringkas dan Ideal yang akan bekerja sama dengan Consumer Loans Group Mandiri untuk memungkinkan proses pembelian rumah hingga ke pencairan yang lebih efektif dan efisien.

Rangkaian program Xponent ini terbagi ke dalam beberapa sesi, pertama diskusi panel dengan para pemimpin startup Indonesia. Beberapa pembicara ternama hadir, seperti Emilio Wibisono selaku CEO & Founder Sinbad, Irvan Kolonas selaku President Agriaku, Ryan Manafe selaku CEO Dagangan, dan lainnya. Kemudian, sesi business matching untuk membangun konektivitas antara pemimpin satu dengan lainnya.

Direktur Keuangan PT Mandiri Capital Indonesia Rino Bernando mengatakan, “[..] MCI akan rutin melaksanakan program Exponent secara berkala sebagai wujud komitmen kami mendukung akselerasi transformasi ekonomi digital Indonesia, dan sebagai salah satu strategi kami mendorong kinerja perusahaan.”

MCI memberikan kesempatan bagi seluruh startup untuk bergabung dalam program ini, dengan beberapa syarat, yaitu; (1) Minimum sudah melakukan putaran penggalangan dana pra-seri A, (2) Mempunyai model bisnis yang solid dan berkelanjutan, dan (3) Mempunyai use case sinergi dengan institusi finansial.

Program Xponent segmen selanjutnya akan diadakan pada Kamis, 20 Oktober 2022, mengangkat topik Beyond Lending dan mengundang unit bisnis dari Mandiri Group yang berbeda dari segmen sebelumnya. Pendaftaran Xponent masih terus terbuka bagi startup yang tertarik untuk terlibat dalam sinergi dengan Mandiri Group.

Tesis Investasi Mandiri Capital

Sebagai corporate venture capital (CVC) dari Bank Mandiri, MCI telah terlibat dalam pendanaan kepada 22 startups yang bergerak berbagai bidang dan berperan aktif untuk membangun business traction kepada portfolio, maupun nonportofolio melalui sinergitas.

Kebanyakan sinergi terkait dengan pembiayaan, seperti loan channeling dengan Crowde menyasar toko tani, lalu kerjasama dengan Amartha sebagai bentuk perluasan pasar di kota tier 2 dan 3, serta invoice financing bersama Investree kepada pelaku segmen bisnis dan UMKM.

Dalam wawancara DailySocial.id sebelumnya dengan mantan Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, ia mengungkapkan bahwa strategi tesis MCI dalam berinvestasi itu bergantung pada fund yang dikelola. Bila fund tersebut datang dari Mandiri Group, sudah tentu harus berkaitan dengan mandat grup, yakni mendorong inisiatif transformasi dan dampak positif bagi Mandiri Group melalui optimalisasi sinergi.

Sejauh ini MCI baru mengelola dua fund aktif. Pertama, fund yang dananya bersumber dari Mandiri Group. Kedua, Indonesia Impact Fund (IIF) yang menitikberatkan pada startup yang menciptakan dampak lingkungan dan sosial merujuk pada lima tujuan dalam SDG (sustainable development goals). Platform edutech Cakap menjadi proyek debut dari dana kelolaan ini.

Di luar itu, MCI juga didaulat sebagai salah satu dari 5 CVC yang terlibat dalam pembentukan dana kelolaan Merah Putih Fund sebagai inisiatif Kementrian BUMN untuk mengakselerasi startup lokal yang berpotensi menjadi unicorn. Targetnya, pendanaan startup melalui Merah Putih Fund akan mulai dilaksanakan pada awal tahun 2023.

Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memosisikan Diri Sebagai Platform Insurtech untuk Segmen Ritel

Digitalisasi industri asuransi tidak sekadar bicara soal mengubah channel penjualan ke kanal digital. Usahanya mengubah seluruh proses bisnis secara end-to-end, mulai dari pembuatan produk, pemasaran, pembelian, hingga klaim. Kolaborasi antara perusahaan asuransi dan platform insurtech pada akhirnya menjadi kunci penting dalam meningkatkan penetrasi asuransi yang masih mini di Indonesia.

Qoala menyadari strategi tersebut harus dilakukan dengan cara mutakhir, yaitu menempatkan asuransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari agar masyarakat dapat mengenal manfaat dasar berasuransi. Selama ini industri asuransi masih cukup tradisional, mengandalkan agen dengan produk yang dipasarkan punya high value, tidak bisa dijual dengan murah.

“Tapi dengan adanya channel digital, kita tidak bisa semudah itu convert dari tradisional ke digital karena channel digital itu harus berbeda. Harus sesuai dengan kegiatan masyarakat yang beli lewat platform, yang terjangkau, mudah dipahami, dan karena tujuannya edukasi, harus lebih mudah saat klaim,” terang COO Qoala Tommy Martin dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Dalam perjalanan meracik produk asuransi mikro, Qoala dan perusahaan asuransi saling bekerja sama dengan keahliannya masing-masing agar produk dapat tepat sasaran. Tommy mencontohkan, produk asuransi perjalanan akan mendapat nilai lebih apabila dikaitkan dengan kebiasaan mereka saat mengakses aplikasi OTA yang selalu mereka kunjungi.

Misalnya membeli tiket pesawat di era pandemi ini muncul risiko keterlambatan/pembatalan/penjadwalan ulang penerbangan dan perlindungan risiko apabila tiba-tiba positif Covid-19. Risiko-risiko yang muncul tersebut bisa memberikan nilai urgensi bagi konsumen untuk membelinya. Kelebihan ini sebelumnya belum bisa diberikan oleh perusahaan asuransi karena mereka memiliki keterbatasan dalam memperoleh analisa data kebiasaan digital konsumen sebagai bekal terpenting.

Keahlian tersebut menjadi kekuatan Qoala dan mengawinkannya dengan kapabilitas underwriting yang dimiliki perusahaan asuransi sebagai manajemen risikonya. Underwriting secara sederhananya adalah proses identifikasi dan seleksi risiko. Saat mengajukan asuransi, calon tertanggung akan terlebih dahulu melewati proses underwriting sebelum akhirnya mereka dibebankan premi dengan jumlah tertentu.

Di luar itu, mereka tidak memiliki kapabilitas untuk membangun pemahaman terhadap perilaku masyarakat yang sudah berbasis digital dan memahami memahami risiko apa yang dihadapi di era masa kini. Ini bicara mengenai data yang tidak semuanya bisa diakses oleh perusahaan asuransi.

Dibutuhkan kehadiran layanan insurtech untuk mengakses dan menganalisa data, misalnya data keterlambatan penerbangan yang diperoleh dari Angkasa Pura untuk asuransi perjalanan. Jutaan data tersebut kemudian diolah platform insurtech untuk mendapatkan masukan dan mendeteksi keterlambatan penerbangan secara real-time saat proses klaimnya.

Bagi perusahaan asuransi, klaim yang diajukan untuk keterlambatan penerbangan berkisar antara Rp150 ribu sampai Rp500 ribu. Ini angka yang kecil, namun untuk membentuk tim klaim khusus, produk ini memakan biaya investasi yang tidak sedikit, karena dunia digital bicara soal kuantitas agar tidak menjadi isu bila klaim yang diterima itu sampai ribuan.

“Yang kita kembangkan adalah kerja sama untuk flight status [dengan Angkasa Pura], supaya bisa deteksi keterlambatan. Jadi konsumen enggak perlu klaim, bahkan Qoala bisa kasih notifikasi berhak untuk klaim sehingga mereka tinggal ajukan klaim dengan mudah. Harapannya ke depannya mereka bisa memahami asuransi dengan cara yang mudah.”

Tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.

Dalam setahun, volume polis yang diproses mungkin puluhan ribu karena produk yang dijual harganya mahal karena mengandalkan channel pemasaran agen yang memakan biaya. Sementara, bila melalui kanal digital polis, yang diproses bisa jutaan karena produk yang dijual bersifat mikro.

“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle.”

Perjalanan bisnis Qoala

Sejak beroperasi di 2018, Qoala menempatkan diri sebagai platform insurtech untuk ritel dengan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C). Pendekatannya kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan PasarPolis, kompetitor terdekatnya.

Qoala Plus adalah platform untuk tenaga pemasar asuransi agar proses kerjanya lebih efisien dan terdigitalisasi. Mereka juga lebih independen dalam menyediakan opsi produk yang lebih beragam, karena tidak terikat pada satu perusahaan asuransi saja.

“Kita sudah bekerja sama dengan 30 perusahaan. Tenaga pemasar bisa memasarkan semua produk asuransi lewat aplikasi. Kelebihan-kelebihannya sudah diinfokan sehingga mereka bisa memberikan solusi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih bagus.”

Sementara Qoala for Enterprise menawarkan solusi untuk bisnis di berbagai industri, baik untuk keperluan internal maupun sebagai growth avenue dan sumber peningkatan kepuasan end customer atau profitabilitas. Lebih dari 60 perusahaan teknologi dari lokal dan luar negeri telah bekerja sama dengan Qoala untuk memasarkan produk asuransi inovatif.

“Suatu hari masyarakat yang teredukasi lewat Qoala for Enterprise dapat menyadari keterlambatan penerbangan tidak akan mengubah hidup mereka. Akhirnya mereka sadar bahwa yang terpenting dari asuransi itu adalah asuransi jiwa, kecelakaan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang bisa memberikan dampak finansial kepada seseorang kalau bisa terjadi.”

Kaitan antara Qoala Plus dan Qoala for Enterprise ini bicara mengenai strategi perusahaan dalam meningkatkan penetrasi asuransi. Inovasi digital yang dilakukan pun berbeda tapi punya irisan yang sama. Qoala Plus fokus pada digitalisasi pelayanan tenaga pemasar. Produk asuransi tradisional saat ini sudah bagus dan teregulasi dengan baik, tapi perlu ditingkatkan dari segi pelayanan seperti menerbitkan polis dan proses klaim yang lebih cepat.

Sedangkan Qoala for Enterprise fokus pada edukasi. Dengan demikian produknya harus bersifat mikro, penerbitan polis dan klaim harus instan dan otomatis. Maka dari itu, inovasi digital yang dilakukan perlu dilakukan secara menyeluruh, sebab pengembangan produknya bergantung pada ketersediaan data dan kebutuhan masyarakat yang harus dikaitkan dengan platform digital populer.

Ekspansi bisnis Qoala

Menurut pengalaman yang didapat Qoala dari negara tetangga, produk asuransi tradisional tetap butuh pemasaran lewat kanal tenaga pemasar. Hal tersebut disebabkan kompleksitasnya, sehingga tetap lebih nyaman menjelaskan produk melalui tenaga pemasar. Kebiasaan ini mirip dengan pergadaian. Bahkan, di negara maju sekalipun, dengan penetrasi asuransi yang sudah tinggi, tetap membutuhkan kehadiran tenaga pemasar.

Di Thailand, salah satu negara yang dirambah Qoala berkat akuisisi  terhadap FairDee, perusahaan menjalankan model bisnis keagenan sejak pertama kali beroperasi di 2019 dan terbukti mampu jadi pemain terdepan dengan lebih dari 10 ribu tenaga pemasar. Konsep FairDee direplikasi dan dibawa masuk ke Indonesia.

Para tenaga pemasar yang bergabung di Qoala Plus dinamai Mitra Qoala Plus, diklaim jumlahnya mencapai lebih dari 50 ribu orang tersebar di Batam, Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Samarinda, hingga Manado.

Meski Tommy tidak bersedia memberikan secara rinci, kontribusi bisnis Qoala terbesar datang dari Qoala Plus dengan ticket size premi mulai dari Rp3 juta sampai Rp4 juta dengan ribuan polis terjual. Sementara Qoala for Enterprise produknya lebih mikro dengan ticket size mulai dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu dengan jutaan polis terjual. “Sementara pertumbuhan grup, secara preminya tumbuh lima kali dari tahun lalu.”

Qoala bisa dikatakan sebagai platform insurtech lokal dengan ekspansi regional terbanyak. Terhitung saat ini perusahaan telah beroperasi di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Kecuali di Thailand, Qoala membangun bisnisnya dari awal di masing-masing negara. Kontribusi Thailand terhadap pendapatan grup dikatakan cukup mendominasi setelah Indonesia, dengan model tenaga pemasarnya.

Sementara di Vietnam dan Malaysia, perusahaan menjalankan solusi Qoala for Enterprise dan mulai beroperasi sejak tahun lalu. “Sebab di Enterprise ini kerja samanya dibangun dengan perusahaan dari Indonesia yang punya bisnis di kedua negara tersebut. Salah satunya dengan Traveloka juga.”

Banyak pembelajaran yang didapat Qoala dari negara tetangga untuk membantu pengembangan bisnis asuransi di Indonesia. Di Thailand dan Malaysia misalnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk berasuransi tinggi karena diwajibkan untuk tiap pemilik kendaraan bermotor. Di sana regulasinya sudah menyatakan bahwa asuransi kendaraan harus disertakan untuk setiap perpanjangan STNK setiap tahunnya.

“Regulatornya sudah lebih advanced, dari manajemen risiko, infrastruktur yang lebih bagus. Di Indonesia itu keunggulannya potensi market terbesar dengan jumlah platform digital, masuk urutan ke-5 di dunia dari jumlah startup. Banyak pembelajaran dari perusahaan asuransi yang lebih maju untuk diadopsi di Indonesia.”

Perusahaan menargetkan sepanjang tahun ini keseluruhan bisnisnya dapat tumbuh hingga lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Proposisi yang dibawa perusahaan diharapkan dapat melambungkan posisinya sebagai platform insurtech untuk ritel terbesar di regional. Produk ritel yang dimaksud itu adalah asuransi kendaraan, perjalanan, gadget, kesehatan, jiwa, dan properti.

“Sudah cukup [ekspansi negara], sebab semua market yang kita rambat ini market potensial. Rencana berikutnya tetap fokus di Indonesia. Mengembangkan teknologi dan inovasi terutama Qoala Plus.”

Rencana lainnya yang disegerakan Qoala adalah mengajukan diri sebagai perusahaan asuransi. Tommy mengatakan, rencana tersebut kemungkinan besar akan dijajaki maksimal dua tahun dari sekarang. Tren tersebut secara alamiah menjadi perhatian bagi para pemain insurtech di belahan dunia mana pun karena kemampuan underwriting yang hanya bisa dilakukan apabila berada di bawah bendera perusahaan asuransi.

Tak hanya itu, lisensi ini juga memberikan mereka lebih banyak kendali atas produk dan operasi inti mereka, serta eksposur yang lebih besar terhadap keuntungan penjaminan emisi. Namun, karena asuransi adalah industri yang sangat diatur dan padat modal, menjadi perusahaan asuransi berlisensi akan memaksa startup insurtech untuk merealokasi sumber daya dan modal dari inisiatif pertumbuhan.

Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan tren yang terjadi belakangan, seperti perusahaan lending atau fintech yang mengakusisi perbankan untuk menjadi layanan digital. Di kancah global, sejumlah perusahaan insurtech kini sudah menjadi perusahaan asuransi sepenuhnya, di antaranya Bestow, Hippo, Pie Insurance, Lemonade, Metromile, dan Root.

“Di Indonesia variasi perusahaan asuransi itu sangat penting karena bisnis asuransi itu besar. Bukan berarti nantinya jadi perusahaan asuransi kita jadi tidak kolaborasi dengan perusahaan yang sudah ada. Kerja sama harus tetap berjalan karena melayani masyarakat luas,” pungkasnya.

Sejumlah Founder Startup Lokal Berpartisipasi dalam Debut Dana Kelolaan Forge Ventures

Perusahaan modal ventura Forge Ventures mengumumkan penutupan pertama dana kelolaan debut senilai $21,88 juta (lebih dari 313 miliar Rupiah). Dalam putaran ini, turut diisi oleh Alto Partners, salah satu multi-family offices sebagai LP (Limited Partner); serta sejumlah founder startup seperti Airbnb, Carousell, Fabelio, Facebook, Funding Societies, GajiGesa, Grab, Kopi Kenangan, Qoala, Stripe, dan lainnya.

Dalam wawancara secara terpisah dengan DailySocial.id, Co-founder & Partner Forge Ventures Kaspar Hidayat menjelaskan, pihaknya ingin membangun basis LP yang dapat memberikan dukungan dan bimbingan kepada para founder di dalam portofolionya. Menurutnya, perkembangan makin banyaknya founder startup terlibat sebagai LP atau angel investor menandakan bahwa ekosistem teknologi semakin matang dan para pendiri startup telah menghasilkan sesuatu yang bernilai.

“Kami sangat senang dengan perkembangan ini dan menyambutnya dengan baik. Kami sangat berterima kasih kepada para pendiri yang telah bekerja sama dan mendukung kami dengan peluncuran Forge Ventures” kata Kaspar.

Forge Ventures didirikan oleh Kaspar bersama Tiang Lim Foo, keduanya adalah veteran di ekosistem startup. Kaspar sebelumnya memegang peran investasi di 500 Startups, Venturra Capital, Koru Partners, dan Maloekoe Ventures, dengan berbagai portofolio startup, termasuk Grab, Bukalapak, Zilingo, Carsome dan Carro. Ia juga pernah menjabat sebagai VP Pomelo dengan tugas meluncurkan dan mengelola bisnis di Indonesia, serta mengawasi pemasaran dan intelijen bisnis secara regional.

Sementara, Foo memiliki pengalaman lebih dari satu dekade dalam membangun, mengoperasikan, dan berinvestasi di ekosistem startup. Dia adalah mitra ventura di Next Billion Ventures, dan menjabat sebagai mitra di dana investasi tahap awal berbasis di Singapura, SeedPlus. Portofolionya mencakup investasi awal di perusahaan di Asia Tenggara, termasuk Qoala, Rukita, Homage, dan CardUp.

Dalam keterangan resmi, Foo menyampaikan bahwa ekosistem startup di regional ini sedang berada pada titik perubahan dengan berlimpahnya modal, sehingga para founder menuntut lebih banyak dari investor awal mereka. “Kami adalah operator, sehingga kami tahu apa yang diperlukan untuk beralih dari nol ke satu. Inilah sebabnya kami dapat membangun keyakinan lebih awal dan menjadi modal institusional pertama yang mendukung sebuah startup,” tuturnya.

Melalui debut ini, Forge menargetkan akan membangun portofolio terkonsentrasi untuk 15 perusahaan selama tiga tahun mendatang dengan fokus di Singapura dan Indonesia. Tercatat, Forge telah berinvestasi ke tiga startup. Pertama, Vorge, platform SaaS pramutamu digital berbasis di Singapura untuk industri perhotelan. Kedua, Dropezy, startup online grocery dari Indonesia, dan Marathon, startup edtech bimbingan belajar K-12 dari Vietnam yang mendemokratisasikan akses ke tutor pilihan.

Kaspar menuturkan hipotesis Forge dalam berinvestasi tidak terikat pada satu sektor saja. Sektor fintech dan edtech menjadi pertimbangan yang akan disasar Forge karena pihaknya melihat banyak aktivitas yang tinggi di dalam industri tersebut. Besaran investasi yang disiapkan Forge berkisar dari $500 ribu hingga $1 juta (Rp7 miliar – Rp14 miliar) untuk memimpin pra-awal dan putaran awal.

Dia mengaku, saat berinvestasi pihaknya tidak melakukan metrik khusus dalam menilai startup, meski diketahui investasi di tahap awal cenderung risikonya lebih tinggi. “Terkadang kami menginvestasikan pra-produk, sehingga kami tidak perlu mendasarkan keputusan kami pada metriks. Setiap perusahaan itu unik, sehingga proses kami akan berbeda-beda.”

Co-founder & CEO Qoala Harshet Lunani menambahkan, Foo adalah salah satu investor awal di Qoala, bahkan sebelum produknya diluncurkan di pasar. Foo memegang peranan penting dalam hal GTM dan strategi dan sangat membantu dalam mendapatkan karyawan dan investor penting.

“Saya sangat senang dapat memiliki kesempatan untuk mendukung Tiang dan Kaspar dalam membangun Forge Ventures. Saya percaya pendekatan yang dipimpin oleh operator Forge Ventures akan mengubah permainan bagi para pendiri tahap awal,” kata Lunani.

Tren pendanaan tahap awal tahun lalu

Menurut catatan Startup Report 2020, terdapat 113 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik dengan total nilai $3,3 miliar. Nominal tersebut diperoleh dari 50 transaksi pendanaan yang diungkapkan kepada publik. Sebanyak $2,43 miliar di antaranya ditujukan untuk startup unicorn.

Berdasarkan tahapannya, pendanaan tahap awal mendominasi transaksi dengan total 47 transaksi, dengan rincian 11 pendanaan untuk startup SaaS, masing-masing lima pendanaan untuk startup e-commerce dan edtech, dan empat pendanaan masing-masing untuk startup new retail dan online media.

Adapun untuk VC yang paling aktif berinvestasi di tahap awal adalah East Ventures dengan 14 investasi, mayoritas ditujukan untuk putaran perdana bagi startup.

Centauri Fund Terima Tambahan Dana 123 Miliar Rupiah dari K-Growth

Dana kelolaan Telkom dan KB Financial Group “Centauri Fund” baru saja menerima suntikan dana dari sovereign wealth fund (badan pengelola dana investasi milik negara) asal Korea Selatan “K-Growth” sebesar KRW10 miliar atau setara 123 miliar Rupiah. K-Growth sendiri merupakan perusahaan investasi multi manajer (fund-of-funds) yang berfokus pada modal ventura dan ekuitas swasta

Sebagai bagian dari MDI Ventures, Centauri menargetkan vertikal bisnis yang tidak jauh berbeda. Namun nilai uniknya fund tersebut akan fokus ke pendanaan pra-seri A dan seri B. Sedangkan MDI Ventures fokus di seri B ke atas. Fund tersebut diluncurkan pada bulan Desember 2019, dengan target penggalangan hingga 150 juta dolar.

Kemitraan antara K-Growth dan Centauri Fund merupakan satu lagi tonggak pencapaian. Meski pandemi, kepercayaan dalam berinvestasi di bidang teknologi dan minat atas kolaborasi lintas batas tetap terbilang tinggi. Dengan kehadiran yang aktif baik di Indonesia maupun di Korea Selatan, Centauri Fund menduduki posisi yang tepat untuk memanfaatkan dan menyerbuki silang ekosistem teknologi di kedua negara.

Kenneth Li, yang merupakan mitra pengelola dari MDI Singapura menambahkan, “Dengan bergabungnya K-Growth, MDI berharap Centauri Fund dapat membantu kami mencari berbagai inovasi yang akan dibawa ke Indonesia, yang nantinya dijembatani oleh MDI untuk mendukung inisiatif Telkom dan BUMN.”

Portfolio Centauri Fund

Sejak diluncurkan, Centauri Fund telah melakukan empat investasi terkemuka di kawasan Asia Tenggara. Pada bulan April 2020, pendanaan tersebut memimpin putaran pembiayaan seri A untuk platform insurtech Qoala, yang ditutup pada angka $13,5 juta. Kemudian, bersama Wavemaker Partners, sebuah perusahaan modal ventura lainnya, Centauri Fund juga melakukan dukungan kepada WEBUY, startup social commerce yang berbasis di Singapura di bulan Oktober 2020.

Kesepakatan terbaru dari Centauri Fund meliputi investasi tahap awal pada startup logistik lokal Paxel pada bulan April 2021. Centauri Fund juga berpartisipasi dalam putaran pendanaan seri C pada perusahaan fintech agregator Cermati, kesepakatan ini dipimpin oleh MDI Ventures.

Di bulan Januari, pendanaan ini juga mendukung RUN System, sebuah platform SaaS penyedia solusi ERP yang berbasis di Yogyakarta. Saat ini, RUN System berencana untuk mengembangkan bisnisnya dan mencari dana melalui penawaran umum perdana (IPO) di Papan Akselerasi.

Mitra Centauri Fund Steven Hong mengungkapkan, “Pendanaan kami bertindak sebagai alat kerja di ekosistem yang lebih besar. Manajer-manajer yang ada di Centauri dapat berinvestasi mulai dari tahap awal dan terus berpartisipasi di tahapan-tahapan selanjutnya, saat perusahaan mencapai tahap pertumbuhan dan seterusnya,”

Ia turut menambahkan bahwa dengan dukungan dua konglomerat terkemuka, pendanaan ini memberikan nilai strategis bagi para startup dengan cara menghubungkan mereka pada Telkom Group dan KB Financial Group untuk skala bisnis dan kemitraan yang besar. Hal ini disebut sebagai bagian dari inisiatif perusahaan menciptakan nilai untuk portfolio juga laba investasi yang nyata bagi para investor.

Kerja sama Indonesia-Korea Selatan

Kiprah investor asal Korea Selatan terhadap perkembangan industri startup tanah air tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa dari mereka masuk melalui kerja sama dengan beberapa dana kelolaan hingga memimpin putaran pendanaan. Menurut data Statista, Korea Selatan memiliki sekitar 1,8 juta perusahaan rintisan. Selain itu, kurang lebih negara tersebut juga turut didukung oleh 165 modal ventura.

Jumlah perusahaan rintisan di Korea Selatan berdasarkan umur bisnis. Sumber: Statista

Dilansir dari Tirto, Pemerintah Korea Selatan memberikan suntikan dana per kapita tertinggi di dunia. Pemerintah menyiapkan anggaran hingga 12 triliun won atau $9 miliar untuk mendanai para perusahaan rintisan tahun ini. Pemerintah juga menargetkan tambahan 10 startup berstatus unicorn baru pada 2022 mendatang.

Head Of Investor Relations and Capital Raising MDI Ventures Sarah Usman menambahkan, “Dengan pengalaman dan keahlian tim kami yang luas di lingkup industri startup Korea, komitmen terbaru K-Growth pada Centauri Fund menunjukkan satu lagi langkah kami menuju terbangunnya kemitraan bilateral antara Korea Selatan dan Indonesia.”

Investor asal Korea Selatan lainnya yang aktif berinvestasi di Asia Tenggara yakni Yanolja, Woowa Brothers, dan GEC-KIP Fund besutan Korea Investment Partners (KIP) dan Golden Equator Ventures (GEV). Mirae Asset-Naver juga belum lama ini berpartisipasi dalam pendanaan seri D marketplace online grocery HappyFresh.

Qoala Insurtech Enters the B2B and B2B2C Segment

The Qoala insurtech platform expands its business model to the B2B and B2B2C segments by launching Qoala for Enterprise. This service offers insurance solutions for business, both for internal and the source of customer satisfaction.

“By changing our partnership business line to Qoala for Enterprise, Qoala wants to emphasize our commitment to our business partners to empower businesses through innovative insurance solutions,” Qoala’s Founder & CEO Harshet Lunani said.

Previously, Qoala had partnered with several digital players, including Grab to present a variety of insurance products in the super app. It is said to have collaborated with several digital platforms, including Traveloka, Tokopedia, Shopee, Blibli, JD.ID, Digimap, Investree, SiCepat, OVO, Dana, including Momo (Vietnam) and OYO (India).

Harshet explained, Qoala for Enterprise allows business partners to save costs for insurance up to 25 percent, also get additional income through a sophisticated IT system. In the collaboration process with both insurance companies and clients, Qoala helps with product design, pricing, platform integration, claims support, and more.

“The products developed can be tailored to dynamic business needs, supported by the latest technology that allows hassle-free data integration and synchronization. We currently provide at least five types of insurance solutions, including logistics insurance, health insurance, travel insurance, gadget insurance and credit insurance,” he said.

He added, “Qoala for Enterprise also provides end-to-end analysis of product performance and consumer behavior of Qoala’s business partners. In fact, Qoala’s artificial intelligence and machine learning technologies can detect fraud quickly.”

An example of this unique application, Qoala and OYO collaborated to provide protection for customers while staying at properties in the Southeast Asia region. The protection provided is in the form of an innovative insurance product, a first in the insurance industry worldwide.

Harshet believes that the best way to improve the quality of collaboration is through a market that already has the right incentives and understanding. He said, optimal collaboration focuses on both process and outcome.

Accelerate digital insurance business

Recently, Qoala launched a business expansion to Thailand, supported by a corporate action by acquiring local insurtech startup Fairdee. In April 2020, it has secured series A funding worth 209 billion Rupiah led by the Centauri Fund, a fund managed by Telkom and KB Financial Group.

With an omnichannel concept, Qoala connects users with various insurance products. Currently, there are 20 insurance company partners have joined the application with more than 8 million successful transactions. One of the market penetration strategies taken is through micro insurance products, such as gadget protection; and has been integrated with several other digital platforms.

Apart from Qoala, there are also several similar platforms in Indonesia. One that is quite significant is PasarPolis. Earlier this year they just secured additional funding of more than 70 billion Rupiah from IFC. Previously, in September 2020, PasarPolis has announced series B funding worth 796 billion Rupiah – the largest funding in the insurtech landscape of Southeast Asia. Apart from Indonesia, they also cover the Thai and Vietnamese markets.

The Covid-19 pandemic has not weaken the insurance business growth in Indonesia. From the data summarized by Lifepal, it is shown that there is a relatively fast recovery regarding gross premium income for life insurance throughout 2020. Especially in June 2020, compared to the same period last year the value increased.

In addition, citing the Munich Re Economic Research study, Indonesia will lead the growth of health and life insurance premiums from 2019-2030, with a CAGR of 9.1%. Throughout 2019, the successfully booked premiums have reached 185.3 trillion Rupiah for life insurance and 80.1 trillion Rupiah for health insurance.

The existence of insurtech and digital startups in general has put wind in insurance companies’ sails. Our data shows that interest in integrating insurance products or services into digital channels continues to increase. Throughout 2020, there were eight public announcements of strategic partnerships between insurance companies and digital platforms.

Several startups show very interesting data about their achievements in the insurtech line. Recently, Grab Financial announced that during its two years of operation in Southeast Asia, their insurtech unit had sold 100 million policies. In its release, Tokopedia also said that by the end of 2020, micro insurance products such as “Gadget Protection” had experienced an increase in transactions of up to 70 times.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here