Belum Dua Tahun, GoPro Resmi Mundur dari Bisnis Drone

Sungguh malang nasib GoPro. Belum dua tahun menekuni bisnis drone, produsen action cam nomor satu itu sudah menyerah dan memutuskan untuk mundur sepenuhnya. Karma, drone perdananya yang diperkenalkan pada bulan September 2016, sudah berhenti diproduksi, dan GoPro akan meninggalkan area kekuasaan DJI ini sesaat setelah stok Karma habis.

Keputusan ini didasari oleh beratnya persaingan di segmen drone, ditambah lagi dengan tidak mendukungnya regulasi seputar drone di berbagai negara. Meski demikian, GoPro masih akan terus memberikan layanan purna jual bagi konsumen yang sudah terlanjur membeli Karma.

Apakah ini berarti GoPro juga akan berhenti memasarkan aksesori Karma Grip. Sayangnya sejauh ini belum ada informasi sama sekali mengenai hal tersebut. Andai ada demand yang cukup besar dari konsumen, saya yakin GoPro masih akan lanjut memproduksinya, akan tetapi lain ceritanya apabila GoPro benar-benar ingin melupakan kenangan pahitnya selama menggeluti segmen drone.

Kenangan pahit? Ya, sebab peluncuran Karma bukanlah tanpa masalah. Tidak sampai dua bulan setelah dipasarkan, semua unit Karma langsung ditarik oleh GoPro akibat masalah teknis. Tiga bulan setelahnya, barulah GoPro kembali memasarkan Karma setelah menginvestigasi penyebab masalahnya, yang ternyata cuma sesepele mekanisme pengunci baterai yang tidak optimal.

GoPro Karma

Problem lain yang juga mempengaruhi pengambilan keputusan yang mengejutkan ini adalah masalah finansial yang GoPro alami. Per akhir September kemarin, GoPro sudah merumahkan 254 karyawannya, yang sebagian besar berasal dari divisi drone. Bukti lainnya, GoPro memangkas harga jual Hero6 Black sebesar $100 meski action cam tersebut belum ada enam bulan terjun ke pasaran.

Isu keuangan ini sejatinya cukup serius. CNBC melaporkan bahwa beberapa bulan lalu GoPro sudah meminta bantuan institusi finansial kenamaan, J.P. Morgan, untuk mencari perusahaan yang tertarik mengakuisisi GoPro, atau sebatas kemitraan dengan perusahaan lain.

CEO GoPro, Nick Woodman, menjelaskan bahwa mereka mempertimbangkan peluang GoPro untuk menjadi anak usaha dari perusahaan yang lebih besar, dengan maksud supaya GoPro bisa bertumbuh dengan skala yang lebih besar lagi. Meski begitu, GoPro berharap bisa tetap beroperasi secara mandiri andaikata wacana ini bisa terwujudkan.

Sumber: Ars Technica dan GoPro.

Fat Shark 101 Adalah Paket Lengkap untuk Memulai Hobi Balap Drone

Merebaknya tren drone seakan menghidupkan kembali hobi para penggemar mobil R/C (remote control), yaitu balapan. Namun kalau dulu balapannya berlangsung di daratan, sekarang ajang adu cepatnya melibatkan robot terbang alias drone.

Balap drone memang masih tergolong baru, akan tetapi trennya terus melambung, dan organisasi sekelas ESPN pun sempat mengutarakan harapannya agar drone racing bisa sepopuler Formula 1. Singkat cerita, balap drone tak bisa lagi dipandang sebelah mata, bahkan DJI pun belum lama ini merilis semacam headset yang dikhususkan untuk hobi baru ini.

Di tempat lain, ada pabrikan bernama Fat Shark yang mengawali kiprahnya di bidang mobil R/C, namun belakangan menjadi populer di kalangan pembalap drone berkat deretan FPV (first person view) headset-nya. Menjelang pergantian tahun, Fat Shark memutuskan untuk memulai babak baru dengan merilis racing drone-nya sendiri.

Fat Shark 101

Dijuluki Fat Shark 101, ini merupakan paket lengkap seharga $249 untuk memulai hobi balap drone. Pada bundelnya, konsumen akan mendapatkan sebuah drone, FPV headset dan remote controller, yang semuanya siap untuk dijadikan gaco balapan sesaat setelah dikeluarkan dari dalam boks, tanpa perlu merakit apa-apa.

Drone-nya sendiri cukup imut, dengan wujud menyerupai seekor ikan hiu. Untuk headset-nya, meski terkesan simpel namun Fat Shark cukup yakin akan kemampuannya menyajikan live feed dari kamera drone tanpa mengalami lag atau stuttering.

Meski Fat Shark mendeskripsikannya sebagai “Drone Training System”, 101 sebenarnya merupakan sebuah platform yang dapat di-upgrade. Artinya, sejumlah komponennya bisa dilepas dan diganti dengan yang baru atau yang lebih superior, semuanya tinggal menyesuaikan dengan bakat pengguna yang semakin terasah.

Sumber: The Verge.

Parrot Luncurkan Drone untuk Regu Penyelamat dan Petani

Dominasi DJI di segmen drone untuk konsumen umum sungguh tidak terbendung. Bahkan produsen sekelas Parrot pun sudah merasakan dampaknya, yakni menurunnya angka penjualan sampai-sampai mereka dengan terpaksa harus memecat hampir 300 karyawan di bulan Januari lalu.

Dari situ Parrot memutuskan untuk mengubah strategi dan mengalihkan fokusnya ke segmen drone komersial. DJI memang juga ‘bermain’ di segmen ini, tapi setidaknya dominasinya tidak sebesar di segmen drone untuk konsumen umum.

Parrot Bebop-Pro Thermal

Peralihan fokus ini melahirkan dua drone baru sekaligus: Parrot Bebop-Pro Thermal dan Parrot Bluegrass. Keduanya ditargetkan untuk pasar yang berbeda; Bebop-Pro Thermal untuk pemadam kebakaran dan regu penyelamat berkat kamera pendeteksi panasnya, sedangkan Bluegrass untuk bidang agrikultur berkat sensor multispectral-nya.

Bebop-Pro Thermal pada dasarnya memiliki desain yang sama persis seperti Bebop standar, hanya saja di belakangnya telah dipasangi kamera thermal Flir One Pro yang sanggup mendeteksi panas sampai suhu 400 derajat Celsius. Di tangan regu penyelamat misalnya, drone ini bisa membantu menemukan korban yang tertimbun reruntuhan.

Parrot Bluegrass

Lain halnya dengan Parrot Bluegrass. Berbekal modul sensor multispectral Parrot Sequoia, quadcopter yang satu ini dimaksudkan untuk membantu para petani memonitor lahannya secara efisien. Dalam satu kali charge, Bluegrass diklaim sanggup memantau lahan hingga seluas 30 hektar.

Mengingat yang menjadi target Parrot kali ini adalah kalangan profesional, wajar apabila harga kedua drone ini cukup premium. Bebop-Pro Thermal dibanderol $1.500, sedangkan Bluegrass lebih mahal lagi di angka $5.000.

Sumber: Parrot dan Engadget.

WiBotic PowerPad Adalah Wireless Charger untuk Drone

Kehadiran kamera, GPS beserta segudang sensor lainnya merupakan alasan mengapa mayoritas drone hanya bisa mengudara selama beberapa menit saja. Baterai yang dapat diganti dengan modul lain merupakan salah satu solusi, tapi dengan semakin populernya penggunaan drone di sektor komersial, solusi lain yang lebih efektif menurut perusahaan bernama WiBotic adalah wireless charging.

Dari situ lahirlah WiBotic PowerPad, sejenis platform berukuran 90 x 90 cm yang berfungsi sebagai wireless charger ketika sebuah drone mendarat di atasnya. Juga merupakan bagian dari PowerPad adalah sebuah modul kecil dan antena yang bisa dipasangkan dengan mudah ke berbagai macam drone, termasuk yang berukuran besar dan biasa digunakan di kawasan industri.

PowerPad terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan plastik, serta diklaim tahan terhadap cuaca yang tidak bersahabat. Ia bisa ditempatkan di atas atap gedung untuk, misalnya, drone yang bertugas menginspeksi ketika alarm peringatan berbunyi di sebuah pabrik atau tambang, atau di dalam ruangan untuk drone yang bertugas memanajemen inventaris gudang.

WiBotic PowerPad

Charging menggunakan PowerPad memerlukan waktu satu sampai dua jam untuk drone seukuran DJI Inspire, sedangkan drone industrial yang lebih besar lagi membutuhkan waktu tiga sampai lima jam. Ke depannya, WiBotic berencana merilis versi lain PowerPad yang memiliki kapasitas charging lebih cepat.

Proses charging-nya sendiri berjalan secara otomatis sesaat setelah drone mendarat di atas PowerPad. Operator bisa mengatur kinerja charging-nya dari kejauhan; bisa pelan untuk charging semalaman demi memperpanjang umur baterai, bisa juga cepat untuk di jam-jam kerja.

WiBotic saat ini sudah memasarkan PowerPad, namun seperti yang saya singgung di awal, target pasar utamanya adalah sektor komersial. Harganya ada di kisaran ribuan dolar, tergantung seberapa weatherproof fisik PowerPad yang dibutuhkan.

Sumber: WiBotic dan GeekWire.

Kecil tapi Gesit, Drone Parrot Mambo FPV Diciptakan untuk Balapan

Parrot baru saja memperkenalkan sebuah drone mini yang cukup menarik. Bernama Mambo FPV, ia sebenarnya merupakan kurir rayuan gombal yang sama seperti yang diluncurkan tahun lalu, namun yang telah beralih fungsi menjadi drone balap dengan bantuan sebuah kamera 720p dan headset ala Samsung Gear VR.

Mambo FPV dapat terbang hingga setinggi 100 meter dan dalam kecepatan maksimum 29 km/jam. Untuk memudahkan pengguna, Parrot telah melengkapinya dengan tiga mode penerbangan: Easy, Racing dan Drift, yang dapat dipilih sesuai dengan tingkat penguasaan pengguna.

Selain untuk memotret dan merekam video, kamera HD-nya juga mendukung fungsi live streaming. Namun yang lebih penting justru adalah perannya sebagai mata sang pilot dalam ajang balap drone. Sudut pandang orang pertama ini dimungkinkan berkat aksesori pendamping berupa headset yang dapat diselipi smartphone hingga yang berlayar 6-inci.

Parrot Mambo FPV

Untuk mengendalikan drone, pengguna bebas memilih untuk menggunakan controller bawaannya atau smartphone dengan bantuan aplikasi pendamping. Mambo diestimasikan dapat mengudara selama 10 menit nonstop sebelum baterainya perlu dicas kembali selama sekitar 25 menit menggunakan adapter fast-charging 2,6 ampere.

Parrot Mambo FPV dijadwalkan masuk ke pasaran mulai bulan ini juga seharga $180, lebih mahal $60 dari versi standarnya yang dijuluki “mesin guyonan” oleh CEO Parrot sendiri.

Sumber: Engadget.

Di Bawah Pemilik Baru, Reinkarnasi Lily Drone Hadir dengan Desain dan Fitur Baru

Bulan Mei 2015, sebuah startup bernama Lily Robotics mencoba menarik perhatian pasar yang kala itu mulai tertuju pada kategori drone. Buah pemikiran mereka adalah Lily Camera, drone unik yang dioperasikan tanpa menggunakan controller, melainkan dengan bantuan tracking device sehingga ia akan terus mengikuti ke mana pun pengguna membawa tracking device tersebut.

Pada bulan Januari 2016, Lily Robotics mengumumkan bahwa mereka telah mendulang $34 juta dari sekitar 60.000 konsumen yang melakukan pre-order. Angka yang sangat mengesankan untuk sebuah startup baru. Sayang sekali, Lily harus terjerat kasus yang serius.

Lompat ke Januari 2017, Lily Robotics menyatakan bangkrut, dan riwayat drone berpotensi tersebut harus tamat tanpa sempat menyentuh tangan konsumen sama sekali. Kasus yang dialami Lily ini adalah salah satu inspirasi di balik langkah yang diterapkan Indiegogo untuk mencegah peristiwa semacam itu terjadi di platform crowdfunding-nya.

Lily Next-Gen

Delapan bulan berselang, Lily rupanya sudah siap untuk melakukan comeback setelah sebuah perusahaan bernama Mota Group membeli aset yang dimiliki Lily Robotics dengan mahar $750 ribu. Di bawah naungan Mota, Lily telah berevolusi menjadi Lily Next-Gen, membawa sederet pembaruan ketimbang visi orisinilnya yang tak sempat dirilis itu.

Desain Lily Next-Gen sudah benar-benar berubah, tidak lagi seperti kue dorayaki dan kini lebih mirip DJI Mavic Pro dan GoPro Karma dengan keempat lengan yang bisa dilipat untuk memudahkan penyimpanan. Satu-satunya elemen desain lawas yang dipertahankan hanyalah sepasang ‘mata’ yang membuat wajahnya kelihatan seperti sedang tersenyum.

Lily Next-Gen

Namun yang paling esensial, Lily Next-Gen tidak lagi didampingi oleh sebuah tracking device, melainkan unit controller standar macam yang kita jumpai pada mayoritas drone, dengan sebuah layar terintegrasi. Kameranya juga telah di-upgrade sehingga mampu merekam video dalam resolusi 4K 60 fps, dan bobot perangkat secara keseluruhan telah disusutkan hingga menjadi 385 gram saja.

Tidak seperti sebelumnya, bodi Lily Next-Gen tidaklah tahan air. Pun begitu, unit baterainya yang bisa bertahan selama 18 menit waktu mengudara kini bisa dilepas-pasang dengan mudah sehingga pengguna dapat menggantinya dengan baterai cadangan, dan baterai cadangan ini sudah termasuk dalam paket penjualan.

Lily Next-Gen

Tidak kalah penting adalah faktor ketersediaan Lily Next-Gen. Mota mengklaim bahwa konsumen akan menerima produknya dalam waktu 30 hari setelah melakukan pemesanan. Lily sendiri sekarang sudah bisa dipesan seharga $500, atau $800 dibundel bersama carrying case dan remote control – harganya bakal naik $100 dalam waktu dekat.

Sumber: PetaPixel.

DJI Mavic Pro Platinum Mampu Mengudara Lebih Lama dan Lebih Hening

DJI Mavic Pro adalah drone yang sangat tepat bagi mereka yang tidak puas dengan kamera 1080p milik Spark, tapi di saat yang sama mendambakan quadcopter yang jauh lebih portable ketimbang Phantom 4. Setahun berselang sejak Mavic menjalani debutnya, DJI kini sudah menyiapkan varian baru yang lebih sempurna, yakni Mavic Pro Platinum.

Secara garis besar, DJI Mavic Pro Platinum sangat identik dengan varian standar yang sudah beredar di pasaran sekarang. Bodi ringkasnya yang dapat dilipat tidak berubah, demikian pula dengan kamera 4K dan kemampuannya menghindari rintangan secara otomatis. Pembaruannya cuma meliputi dua hal, yaitu daya tahan baterai dan tingkat kebisingan – serta tentu saja lapisan warna baru yang sesuai namanya.

DJI Mavic Pro Platinum

Versi baru Mavic ini diklaim bisa mengudara selama 30 menit nonstop, naik sekitar 11 persen dari versi standarnya yang ‘hanya’ 27 menit – saya bilang “hanya” karena rival seukurannya cuma mampu terbang selama 20 menit. Menurut DJI, peningkatan efisiensi daya ini datang dari penggunaan komponen electronic speed controller baru.

Di samping itu, berkat baling-baling berdesain baru, Mavic Pro Platinum dapat mengudara secara lebih hening ketimbang versi standarnya. Penurunan tingkat kebisingannya cukup signifikan, mencapai angka 60 persen, akan tetapi kabar baiknya baling-baling baru ini ternyata juga kompatibel dengan Mavic Pro standar.

DJI Phantom 4 Pro Obsidian / DJI
DJI Phantom 4 Pro Obsidian / DJI

Dalam kesempatan yang sama, DJI rupanya turut memperkenalkan varian warna baru untuk seri Phantom 4, yakni Phantom 4 Pro Obsidian. Warna abu-abu gelap bertekstur matte membuatnya tampak lebih elegan ketimbang sebelumnya, dan DJI juga tidak lupa untuk menambatkan lapisan anti sidik jari agar drone bisa selalu kelihatan kinclong.

Terakhir, pengguna Spark akan dimanjakan oleh firmware update yang membawa mode baru bernama Sphere, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan foto panoramik dengan efek lensa fisheye.

Baik Mavic Pro Platinum maupun Phantom 4 Obsidian bakal masuk ke pasaran mulai bulan September ini juga, dengan banderol masing-masing €1.299 dan €1.699.

Sumber: Engadget dan DJI.

Demi Keamanan, DJI Rilis Update Wajib untuk Spark

Dimensi yang sangat ringkas dan kemudahan mengoperasikan dengan gesture dengan cepat menjadikan DJI Spark sebagai salah satu drone terpopuler di mata konsumen dari berbagai kalangan. Apabila Anda berencana meminang Spark atau malah sudah memilikinya, ada satu kabar penting dari DJI yang perlu diperhatikan.

DJI belum lama ini merilis firmware update untuk Spark. Update kali ini sangat krusial bukan karena fitur dan pembaruan yang diusungnya, melainkan karena Anda mau tidak mau harus mengunduh dan meng-install-nya kalau mau terus menggunakan Spark.

Pada tanggal 1 September nanti, kalau Spark milik Anda belum di-update, drone mungil tersebut bakal tidak bisa lepas landas sama sekali. DJI bilang update ini bersifat wajib karena membawa penyempurnaan yang sanggup mencegah drone mati secara tiba-tiba ketika sedang mengudara, dan keamanan merupakan salah satu aspek yang paling diprioritaskan oleh DJI.

DJI Spark

Apa yang dilakukan DJI ini memang tidak lain dari pemaksaan, tapi saya kira mereka tidak punya pilihan lain kalau tidak mau menjadi subjek tuntutan banyak konsumen yang merasa dirugikan akibat insiden Spark yang tiba-tiba kehilangan daya selagi menjalankan perannya sebagai kamera terbang.

Bagaimana cara meng-update Spark? DJI akan mengirimkan notifikasi ketika Anda membuka aplikasi DJI GO 4 di ponsel, dan update-nya bisa langsung diunduh dari sana, atau bisa juga melalui aplikasi DJI Assistant 2 di laptop atau PC.

Bersamaan dengan itu, update ini turut menawarkan sejumlah pembaruan bersifat minor macam konsumsi baterai yang lebih optimal, dukungan penuh atas DJI Goggles, penyempurnaan fitur PalmLaunch, peningkatan akurasi mode QuickShot Dronie dan kompatibilitas remote control yang lebih baik.

Sumber: DPReview dan DJI.

DJI Phantom 3 SE Ditujukan Buat Kalangan Videografer Amatir

Lewat Spark, DJI sejatinya berhasil membawa drone ke segala kalangan konsumen. Kendati demikian, kalangan videografer amatir yang ingin menajamkan talentanya mungkin mengincar drone yang menawarkan kapabilitas lebih, seperti seri Phantom misalnya. Sayangnya keputusan untuk meminang seri Phantom seringkali harus terbentur masalah dana.

Lini Phantom 4 memang masih tergolong mahal hingga kini. Maka dari itu lini Phantom 3 pun terdengar lebih masuk akal, dan kabar baiknya, DJI baru saja meluncurkan model baru Phantom 3. Dijuluki Phantom 3 SE, ia merupakan penerus langsung dari Phantom 3 Standard yang dirilis dua tahun lalu.

Pembaruan yang dibawanya cukup signifikan, baik dari segi performa maupun kualitas gambar. Yang paling utama, Phantom 3 SE dilengkapi sistem vision positioning yang memungkinkannya untuk tetap mengudara dengan stabil di dalam ruangan atau di lokasi lain yang tidak terjangkau sinyal GPS.

DJI Phantom 3 SE

Kinerja transmisi sinyalnya juga meningkat pesat, dimana video HD masih bisa diteruskan dari jarak sampai sejauh 4 kilometer, atau sekitar empat kali lebih jauh ketimbang pendahulunya. Baterainya pun diyakini bisa bertahan hingga 25 menit waktu mengudara, dan kecapatan maksimum drone mencapai angka 57 km/jam.

Terkait kualitas gambar, DJI telah membekali Phantom 3 SE dengan kamera plus gimbal 3-axis yang sanggup merekam video beresolusi 4K 30 fps, atau memotret foto beresolusi 12 megapixel, termasuk dalam format RAW. Kombinasi kamera beserta gimbal ini sejatinya masih merupakan poin terkuat seri Phantom jika dibandingkan Mavic maupun Spark.

Saat ini DJI Phantom 3 SE sudah dipasarkan seharga $599, jauh lebih murah daripada harga Phantom 3 Standard saat pertama diluncurkan – meski sekarang harganya sudah turun menjadi $499. DJI tidak lupa menyebutkan kalau Phantom 3 SE merupakan model terakhir dari lini Phantom 3.

Sumber: DPReview.

DJI Spark Kini Dapat Merekam Video Hanya dengan Membaca Gesture

Sangat mungil dan ringan adalah dua faktor utama di balik tingginya hype DJI Spark di pasar drone sekarang. Yang lebih menarik lagi, dimensi yang super-ringkas tersebut tidak membatasi kapabilitas Spark, dimana ia masih bisa mendeteksi dan menghindari rintangan secara otomatis.

Spark bahkan juga dilengkapi fitur yang absen pada kakak-kakaknya yang lebih besar, yakni kemampuan untuk dikendalikan hanya dengan menggunakan gesture. Awalnya cuma terbatas untuk mengambil selfie, pengoperasian via gesture ini sekarang juga berlaku untuk video berkat firmware update yang baru dirilis oleh DJI.

Untuk bisa menikmati fitur ini, drone harus berada dalam jarak maksimal 2 meter di hadapan Anda. Sesudahnya, tinggal angkat satu tangan Anda hingga membentuk sudut 45 derajat – hingga tubuh Anda membentuk setengah huruf Y kapital. LED di bagian depan Spark kemudian akan berkedip untuk menandakan bahwa perekaman sudah dimulai, dan Anda tinggal menerapkan gesture yang sama untuk menghentikannya.

Selain gesture untuk merekam video, update Spark juga menghadirkan kemampuan untuk mengambil foto panorama (termasuk selfie) dengan sudut pandang seluas 180 derajat. Saat diaktifkan, Spark akan terbang mengitari objek foto, mengambil total 21 gambar dan menggabungkannya jadi satu.

Selebihnya, DJI turut menyempurnakan sejumlah mode penerbangan yang dimiliki Spark, sekaligus membuatnya lebih responsif ketika dikendalikan menggunakan controller. Catatan tambahan: jangan lupa untuk meng-update aplikasi DJI GO 4 di ponsel ke versi yang terbaru di samping meng-install firmware anyar Spark.

Sumber: SlashGear.