Platform Riset Pasar Populix Peroleh Pendanaan Sebesar 114 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures dan Acrew Capital

Startup pengembang platform riset pasar Populix memperoleh putaran pendanaan Seri A dalam bentuk pembiayaan (financing) sebesar $7,7 juta atau sebesar 114 miliar Rupiah, dipimpin oleh Intudo Ventures dan Acrew Capital. Turut juga berpartisipasi Altos Ventures dan Quest Ventures.

Tahun lalu Populix menerima pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara Rp17,3 miliar dari Intudo Ventures, yang sebelumnya juga memimpin pendanaan awal di 2019, dan Quest Ventures.

Populix merupakan platform yang menawarkan kegiatan riset dan pengumpulan data bagi pebisnis, perusahaan, dan individual untuk mempermudah pengambilan keputusan dengan menggunakan studi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Populix Timothy Astandu mengatakan, pihaknya akan memperkuat digitalisasi seluruh proses pendataan, optimalisasi produk existing, dan meluncurkan sejumlah layanan baru yang memungkinkan siapapun mengambil keputusan tepat bagi bisnis mereka.

“Orang-orang tidak lagi mengandalkan insting untuk menjalankan bisnis mereka. Kami sedang membangun dunia di mana pengusaha dan CEO Fortune 500 dapat mengakses data yang cepat dan relevan untuk mendorong keputusan bisnisnya,” tutur Timothy.

Sementara itu, Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan bahwa  Indonesia merupakan pasar consumer yang berkembang pesat dan bergerak dengan kecepatan yang sulit dipahami oleh bisnis lokal. Maka itu, pemahaman yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan bisnis berskala besar maupun kecil. “Sebagai salah satu pendukung Populix paling awal, kami bangga dengan bagaimana tim Populix semakin matang dan mengiterasi produk mereka mengikuti pasar Indonesia yang selalu berubah,” tutur Yip.

Partner Quest Ventures Jeff Seah menambahkan, “Asia Tenggara telah menjadi pasar terkemuka bagi perusahaan global untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan masuk ke kelas konsumen baru. Bagi bisnis baru di regional, penting untuk memahami pola pikir lokal agar bisa sukses. Populix telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menggambarkan preferensi konsumen Indonesia dan mengubah data point menjadi business insight yang dapat ditindaklanjuti,” kata Seah.

Pengembangan produk hingga ekspansi

Timothy mengungkap, pihaknya akan merekrut ahli di bidang produk dan engineering untuk meningkatkan pengumpulan data dan mengakomodasi kebutuhan lebih banyak klien. Untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, pihaknya juga berencana ekspansi regional di tahun 2023 dengan fokus awal pada produk Poplite.

Berdiri pada Januari 2018, Populix menawarkan sejumlah layanan untuk kebutuhan riset. Pertama, Datasets berbasis subscription yang berisi ribuan data point terkait perilaku konsumsi online, gaya hidup, hingga emerging trend. Kedua, Poplite atau layanan penelitian dengan model bayar per penggunaan (pay-per-use). Layanan ini memungkinkan siapapun untuk membuat survei dan mengumpulkan business insight yang ditargetkan dan dapat ditindaklanjuti.

Menurut Timothy, misi awal Populix adalah membuat kegiatan penelitian lebih mudah, sederhana, akurat bagi bisnis, dan dapat diakses siapapun dengan dukungan teknologi. Dengan kemampuan Populix memindahkan kumpulan data secara online dan mobile, pihaknya berupaya membuat kegiatan riset menjadi lebih seru dan rewarding bagi responden.

Sejak 2020, Populix telah melakukan kegiatan riset dengan lebih dari 1,500 klien, mulai dari Fortune Global 500, pemerintahan, perusahaan konglomerasi, UMKM, akademik, dan individual di Indonesia. Menurut catatannya, sebanyak 45% klien Populix merupakan pengguna consumer insight pertama kali yang berupaya merefleksi utilitas sehari-hari sehingga pelaku bisnis dapat memahami konsumen dan mencapai product-market fit.

Populix menawarkan lebih dari 300.000 responden terverifikasi dan targeted untuk mengikuti kegiatan riset terkait preferensi, kebiasaan, dan pendapat terkait konsumen di Indonesia. Untuk memvalidasi keakurasian responden, Populix mengembangkan Popscore sebagai credit scoring system yang menilai kualitas responden dari tingkat kejujuran dan aktifnya seorang responden.

Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.

Fintech Startup GajiGesa Provides Early Access to Salary for Employees

The thing is, the monthly payroll system in Indonesia held an issue for most workers. According to BPS data, Indonesia has at least 129 million workers, many of whom face financial pressures and difficulties caused by irregular cash flow, monthly payment schedules, unexpected expenses, and limited financial access.

The World Bank FINDEX estimates that 70% of Indonesians borrow money from informal institutions, often with high-interest rates and super-tense collection systems. GajiGesa intends to solve this issue, which was initiated at the end of 2020 by Martyna Malinowska (previously Standard Chartered Bank’s Product Lead and LenddoEFL’s Product Director ) and Vidit Agrawal (formerly APAC Strap’s Head of Business Development, CARRO’s COO , and Uber’s first employee in Asia).

In an interview with DailySocial, Agrawal explained that the idea was first initiated by Martyna, she had to work extensively with blue-collar employees at LenddoEFL, most of whom were unbanked since 2016. Martyna saw firsthand that the challenges to factory workers in gaining financial access were very limited, especially when getting additional capital.

If possible, they choose to take short tenors because of liquidity problems. However, this is contrary to the principle of loans in financial institutions in general, they are required to take long-term loans with higher nominal loans or short-term loans with high-interest rates.

At the same time, Agrawal was working in Southeast Asia for Uber. The average driver earns $250 per month, excluding Singapore. The main issue also concerns harassment by lenders. “Observing the many challenges faced by blue-collar workers to complete short-term access to capital that is fair and reliable is an inspiration for GajiGesa,” Agrawal explained.

GajiGesa provides services for employers and employees in speed up cash flow with financial products, including flexible salary access or what is known as Flexible Earned Wage Access (FEWA), financial education, bill payments, real-time analysis, and more.

For employees, GajiGesa provides real-time access to early salaries for employees for the current month, which can be used to pay bills, buy credit and data packages, and access financial education.

Meanwhile, for employers, the GajiGesa analysis platform provides the HR team to measure the effectiveness of financial health strategies, get real-time visibility into engagement, maintain retention and productivity, and employee financial health.

Employers have the flexibility and control to offer FEWA to all employees, able to decide whether they want to take this service to employees for an additional fee or as part of a benefits package.

Agrawal emphasized that the GajiGesa concept is different from cash loans like those run by most lending companies in Indonesia. The company actually collaborates with various multi-industry companies, integrating with corporate partners HRIS and payroll systems, ensuring efficient and fast integration.

Regarding license, he said that the company currently has a good relationship with OJK and is eager to continue working with regulators to ensure that the technology can benefit as many Indonesians as possible.

Currently, the company has partnered with 30 companies with tens of thousands of employees served in Indonesia.

Seed funding

GajiGesa announced seed funding of $2.5 million led by defy.vc and Quest Ventures. GK Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, Multifamily Office, Kanmo Group, and several strategic angel investors participated in the round.

In an official statement, devy.vc’s Partner Bob Rosin said, “Lack of safe and reliable access to consumer credit is a critical problem in emerging markets. The majority of Indonesia’s 129 million workers are in the unbanked category. It is an honor to work with GajiGesa to support their mission of helping millions of hard workers achieve prosperity and financial security at work.”

Quest Ventures partner, Yiping Goh added, “GajiGesa helps middle to lower-income workers who live from paycheck to paycheck, deal with often stressful cash flow problems by providing the financial stability that employers and their employees urgently need, during times of the current economic uncertainty.

With this fresh fund, Agrawal will use it to expand its range of services, including investment in sales and customer success, and expand its technology team in Jakarta. “GajiGesa wants to add more wellness features for employees to provide a better experience when using the platform,” he concluded.

Global trend

A study conducted by Gartner predicted there will be 20% of US companies with the majority of hourly-paid workers by 2023, implementing flexible salary access solutions as part of efforts to improve worker experience, engagement, and retention.

Various companies have responded to this initiative through partnerships with fintech. Among other things, Square launched salary on-demand products, Visa and PayPal in collaboration with flexible payroll access providers, and Wagestream which also took advantage of this opportunity in Europe.

A study conducted by GajiGesa showed that more than 85% of workers admitted the ease of financial stress after getting access to flexible wages whenever they needed it. Then, the most common reasons for workers to access immediate salaries, including for investment purposes, paying debts, home renovations, vehicle repairs, and medical expenses.

Unfortunately, not all companies can provide this because it is thought to threaten the sustainability of the company’s cash flow. With the same spirit, KoinWorks has also explore this solution, through KoinGaji.

In terms of stage, KoinWorks, which is now a Super Financial App, has been registered as an IKD organizer in the Aggregator cluster at OJK. For the p2p lending product alone, we already have a license.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Fintech GajiGesa Sediakan Akses Gaji Lebih Awal untuk Karyawan

Sistem penggajian bulanan di Indonesia di satu sisi memiliki isu buat sebagian besar pekerja. Menurut data BPS, Indonesia setidaknya memiliki sekitar 129 juta pekerja, banyak di antaranya menghadapi tekanan dan kesulitan finansial yang disebabkan oleh arus kas yang tidak teratur, jadwal pembayaran bulanan, pengeluaran tak terduga, dan akses finansial yang terbatas.

Bank Dunia FINDEX memperkirakan 70% masyarakat Indonesia meminjam uang dari lembaga tidak resmi, kerap kali dengan tingkat bunga tinggi dan sistem penagihan yang mencekam. Isu tersebut dicoba dijawab oleh GajiGesa yang dirintis pada akhir 2020 oleh Martyna Malinowska (sebelumnya Product Lead Bank Standart Chartered dan Product Director LenddoEFL) dan Vidit Agrawal (sebelumnya Head of Business Development APAC Strap, COO CARRO, dan karyawan pertama Uber di Asia).

Dalam wawancara bersama DailySocial, Agrawal menerangkan ide awal pertama kali dikemukakan oleh Martyna, saat di LenddoEFL ia harus bekerja ekstensif dengan karyawan kerah biru yang kebanyakan adalah unbanked sejak 2016. Martyna melihat langsung bahwa tantangan yang dihadapi pekerja pabrik untuk mendapat akses finansial sangat terbatas, terutama saat mendapatkan tambahan modal.

Bila dapat pun, mereka memilih untuk mengambil tenor pendek karena ada masalah likuiditas. Namun hal ini bertentangan dengan prinsip pinjaman di lembaga keuangan pada umumnya, mereka diharuskan untuk mengambil dalam jangka panjang dengan nominal pinjaman lebih tinggi atau jangka pendek dengan suku bunga yang tinggi.

Pada saat yang sama, saat Agrawal bekerja di Asia Tenggara untuk Uber. Rata-rata penghasilan para pengemudi adalah $250 per bulan, tidak termasuk Singapura. Isu utama yang mereka hadapi juga mengenai pelecehan oleh pemberi pinjaman. “Melihat banyak masalah tantangan bagi pekerja kerah biru untuk menyelesaikan akses modal jangka pendek yang adil dan andal menjadi inspirasi bagi GajiGesa,” terang Agrawal.

GajiGesa memberikan layanan untuk pemberi kerja dan karyawan dalam memperlancar arus kas dengan produk finansial, termasuk akses gaji yang fleksibel atau disebut dengan Flexible Earned Wage Access (FEWA), edukasi finansial, pembayaran tagihan, analisa real-time, dan lainnya.

Bagi karyawan, GajiGesa memberikan akses gaji lebih awal untuk karyawan bulan berjalannya secara real-time, yang dapat digunakan untuk membayar tagihan, membeli pulsa dan paket data, dan akses terhadap edukasi finansial.

Sementara bagi pemberi kerja, platform analisa GajiGesa memberikan tim HR untuk mengukur efektivitas strategi kesehatan finansial secara efektif, mendapatkan visibilitas real-time terhadap engagement, menjaga retensi dan produktivitas, dan kesehatan keuangan karyawan.

Pemberi kerja punya fleksibilitas dan kontrol untuk menawarkan FEWA kepada seluruh karyawan, dapat menentukan apakah mereka mau mengambil layanan ini untuk karyawan dengan biaya tambahan atau sebagai bagian dari paket manfaat.

Agrawal menegaskan, konsep GajiGesa berbeda dengan pinjaman cash loan seperti yang dijalankan perusahaan lending kebanyakan di Indonesia. Perusahaan justru bekerja sama dengan berbagai perusahaan multi industri, integrasi dengan mitra perusahaan sistem HRIS dan payroll, memastikan integrasi yang efisien dan cepat.

Terkait izin di OJK, dia hanya menuturkan saat ini perusahaan memiliki hubungan yang baik dengan OJK dan bersemangat untuk terus bekerja dengan regulator untuk memastikan teknologinya dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang Indonesia.

Saat ini perusahaan telah bermitra dengan 30 perusahaan dengan total puluhan ribu karyawan terlayani di Indonesia.

Kantongi pendanaan tahap awal

GajiGesa mengumumkan pendanaan tahap awal sebesar $2,5 juta dipimpin oleh defy.vc dan Quest Ventures. GK Plug and Play, Next Billion Ventures, Alto Partners, Multifamily Office, Kanmo Group, dan beberapa angel investor strategis turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Dalam keterangan resmi, Partner devy.vc Bob Rosin mengatakan, “Kurangnya akses kredit konsumen yang aman dan terpercaya merupakan permasalahan kritis di pasar negara berkembang. Mayoritas dari 129 juta pekerja di Indonesia termasuk kategori unbanked. Merupakan sebuah kehormatan untuk bekerja sama dengan GajiGesa untuk mendukung misi mereka membantu jutaan pekerja keras mencapai kesejahteraan dan keamanan finansial dalam pekerjaannya.”

Partner Quest Ventures Yiping Goh turut menambahkan, GajiGesa membantu para pekerja berpenghasilan menengah ke bawah yang hidup dari gaji ke gaji, menangani masalah arus kas yang sering kali membuat stres dengan menyediakan stabilitas keuangan yang sangat dibutuhkan oleh pemberi kerja dan karyawan mereka, selama masa ketidakpastian ekonomi seperti sekarang ini.

Dengan dana segar ini, Agrawal akan menggunakannya untuk perluas jangkauan layanan, termasuk investasi pada penjualan dan kesuksesan pelanggan, dan perbesar tim teknologinya di Jakarta. “GajiGesa ingin menambahkan lebih banyak fitur wellness untuk karyawan demi memberikan pengalaman yang lebih baik saat menggunakan platform,” tutupnya.

Tren global

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Gartner, diprediksi pada 2023 mendatang ada 20% perusahaan Amerika Serikat dengan mayoritas pekerja yang dibayar per jam akan menerapkan solusi akses gaji yang fleksibel sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengalaman, keterlibatan, dan retensi pekerja.

Inisiatif tersebut dijawab oleh berbagai perusahaan di sana lewat kemitraan bersama fintech. Di antaranya, Square meluncurkan produk gaji on demand, Visa dan PayPal bekerja sama dengan penyedia akses gaji fleksibel, dan Wagestream yang juga memanfaatkan peluang ini di Eropa.

Dalam penelitian yang dilakukan GajiGesa ditemukan, bahwa lebih dari 85% pekerja mengaku stres finansialnya berkurang setelah mendapatkan akses gaji fleksibel kapan pun mereka butuhkan. Lalu alasan paling umum dari para pekerja untuk mengakses gaji lebih awal, di antaranya adalah untuk keperluan investasi, bayar utang, renovasi rumah, perbaikan kendaraan, dan biaya medis.

Namun, sayangnya tidak semua perusahaan bisa menyediakan hal ini karena diperkirakan dapat mengancam keberlangsungan arus kas perusahaan. Dengan semangat yang sama, solusi ini sebenarnya juga sudah dilirik oleh KoinWorks, melalui produk KoinGaji.

Secara status di OJK, KoinWorks yang kini menobatkan diri sebagai Super Financial App telah tercatat sebagai penyelenggara IKD dalam klaster Agregator di OJK. Untuk produk p2p lending itu sendiri, sudah mengantongi izin.

Yummy Corp Secures Series B Funding Worth of 175 Billion Rupiah

After securing a $7.75 million series A2 fundraising in October 2019, the cloud kitchen platform Yummy Corp announced its latest funding. This round entering series B, the company received fresh funds worth of $12 million or 175 billion Rupiah.

This round was led by SoftBank Ventures Asia (South Korea). Also involved were Vectr Ventures (Hong Kong), Appworks Ventures (Taiwan), Quest Ventures (Singapore), Coca Cola Amatil X (Australia), and Palm Drive Capital (United States). Previous investors Intudo Ventures and Sovereign’s Capital also took part in it.

The fund is to focus on business expansion to various other big cities in Indonesia.

“With this funding, we continue to focus on taking an active role in helping F&B industry players develop their business through delivery channels as a solution to facing all limitations during a pandemic. We invite all F&B business owners, both big brands and SMEs to work together and develop. with us,” Yummy Corp Co-Founder & CEO Mario Suntanu said.

Was founded in 2017, Yummy Corp has served B2B2C consumers with catering service and cloud kitchen. The company claims to produce 18 thousand meals every day and has several clients to manage food for their offices including Unilever, Wings, Oakwood, and the United States Embassy.

“Supported by the fast-growing food delivery market in Indonesia, Yummy Corp is now the largest cloud kitchen player in Indonesia. With the company’s strong expertise in the F&B industry and a unique value proposition in their brand, we are sure that Yummy Corp will continue to be the leader in this industry. “We are very pleased to support and help them improve their business in this growing sector,” Harris Yang, representative of SoftBank Ventures Asia said.

Cloud kitchen business potential

One of Yummy Corp‘s business units is YummyKitchen, a cloud kitchen in Indonesia which positions itself as a full-fledged operator, not only renting out shared kitchens but also working on the operations of various brands so that they can expand faster and reach wider consumers. The company claims to have experienced positive growth, shown by YummyKitchen during the first semester of 2020, including an increase in transactions of up to 320%.

YummyKitchen has operated 70 shared kitchens in Jakarta, Bandung and Medan. Currently, more than 50 F&B brands have joined, including Ismaya Group, Sour Sally Group, to emerging brands with high growth such as Padang Merdeka, Hong Tang, and Dailybox.

The cloud kitchen business is also in demand by the super apps duo in Indonesia. GoFood began experimenting to form the business since the end of 2019. The local Decacorn also invested in a cloud kitchen startup from India, named Rebel Foods, one of the targets of bringing its business concept to Indonesia. Meanwhile, Grab Kitchen has operated a shared kitchen at 49 points since Q3 2019 to support its business partners.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Update: We made an update regarding the number of GrabKitchen kitchens, from 10 to 49 points.

Yummy Corp Kantongi Pendanaan Seri B Senilai 175 Miliar Rupiah

Setelah bulan Oktober 2019 lalu merampungkan penggalangan dana seri A2 senilai $7,75 juta, platform cloud kitchen Yummy Corp kembali mengumumkan pendanaan terbarunya. Kali ini masuk tahapan seri B, perusahaan bukukan dana segar senilai $12 juta atau senilai 175 miliar Rupiah.

Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia (Korea Selatan). Turut terlibat Vectr Ventures (Hongkong), Appworks Ventures (Taiwan), Quest Ventures (Singapura), Coca Cola Amatil X (Australia), dan Palm Drive Capital (Amerika Serikat). Investor sebelumnya Intudo Ventures dan Sovereign’s Capital juga turut andil di dalamnya.

Fokus utama pemanfaatan dana adalah untuk ekspansi bisnis ke berbagai kota besar lainnya di Indonesia.

“Dengan pendanaan ini, kami terus fokus untuk mengambil peranan aktif dalam membantu pemain-pemain industri F&B mengembangkan bisnisnya melalui channel delivery sebagai solusi menghadapi segala keterbatasan di kala pandemi. Kami mengundang semua pemilik usaha F&B, baik brand besar maupun UMKM untuk bekerja sama dan berkembang bersama kami,” kata Co-Founder & CEO Yummy Corp Mario Suntanu.

Sejak didirikan pada 2017 lalu, Yummy Corp telah melayani konsumen B2B2C dengan layanan katering dan cloud kitchen. Perusahaan mengklaim telah memproduksi 18 ribu makanan setiap harinya dan memiliki beberapa klien untuk mengelola makanan untuk kantor mereka termasuk Unilever, Wings, Oakwood, hingga Kedutaan Besar Amerika Serikat.

“Didukung oleh pasar food delivery yang berkembang pesat di Indonesia, Yummy Corp kini menjadi pelaku cloud kitchen terbesar di Indonesia. Disertai keahlian perusahaan yang kuat dalam industri F&B serta keunikan proposisi nilai pada brand mereka, kami yakin Yummy Corp akan terus menjadi pemimpin di industri ini. Kami sangat senang untuk mendukung dan membantu mereka meningkatkan bisnis di sektor yang sedang berkembang ini,” kata Harris Yang selaku perwakilan SoftBank Ventures Asia.

Potensi bisnis cloud kitchen

Salah satu unit bisnis Yummy Corp adalah YummyKitchen, cloud kitchen di Indonesia yang memosisikan diri sebagai operator penuh, tidak hanya menyewakan dapur bersama namun juga mengerjakan operasional dari berbagai brand sehingga dapat melakukan ekspansi lebih cepat dan menjangkau konsumen lebih luas. Perusahaan mengklaim mengalami pertumbuhan positif ditunjukkan YummyKitchen selama semester awal 2020 ini termasuk naiknya transaksi hingga 320%.

YummyKitchen telah mengoperasikan 70 dapur bersama yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Medan. Saat ini lebih dari 50 brand F&B telah bergabung, termasuk Ismaya Group, Sour Sally Group, hingga brand yang baru muncul dengan pertumbuhan tinggi seperti Padang Merdeka, Hong Tang maupun Dailybox.

Bisnis cloud kitchen juga diminati duo super apps di Indonesia. GoFood mulai eksperimen membentuk bisnis tersebut sejak akhir 2019 lalu. Decacorn lokal tersebut juga sempat berinvestasi ke startup cloud kitchen asal India, bernama Rebel Foods, salah satu targetnya membawa konsep bisnisnya ke Indonesia. Sementara Grab Kitchen sejak Q3 2019 sudah mengoperasikan dapur bersama di 49 titik untuk dukung mitra bisnisnya.

Update: Kami melakukan pembaruan terkait jumlah dapur bersama GrabKitchen, dari 10 titik menjadi 49 titik.

Quest Ventures Secures First Round of Asia Fund II

Quest Ventures has announced the first round of venture capital fund at $50 million or around Rp778 billion. It is claimed to exceed half of the total target for Asia Fund II.

Previously, in Asia Fund I, Quest Ventures is actively looking for startup with growth potential. Some of their portfolios, including Carousell, Shopback, 99.co, Carro, StyleTheory, SGAG/MGAG/PGAG, Glife, Xfers, and others. In the Asia Fund II, Quest Ventures is backed by some partners, including Singapore-based Pavillion Capital and QazTech Ventures from Kazakhstan.

“We deliberately chose investors because we value financial and operational contributions. Before becoming investors, as operators alone, we value what a diverse team can bring. With this fund, we hope to bring a variety of skills, experience, and connections to help our company,” Quest Ventures’ Partner, Yiping Goh said.

Asia Fund II is to focus on startups in the Southeast Asia region and those with development around Asia. Having previously entered Vietnam in Asia Fund II, Indonesia, Myanmar, and the Philippines are on the radar as their targets in the Post Seed and Pre-Series B rounds.

Quest Ventures also plans to launch an accelerator in Kazakhstan to start a digital economy in the region.

“We see founders who have a strong business and operational foundation who solve problems with women to develop significantly,” Goh added.

Quest Ventures was a China-based firm founded by James Tan and Wang Yunming in 2011. They have an office in Singapore with two Partners, namely Yiping Goh and Jeffrey Seah. Goh had previously been involved in the establishment of Matahari Mall.

Indonesia and the pandemic

DailySocial had the opportunity to talk with Quest Ventures about the company’s focus. Indonesia is on the Asia Fund II radar. As one of the countries with a developing technological landscape, Indonesia has succeeded in proving itself by delivering unicorns. Several industries, such as e-commerce, ride-hailing, and fintech, are taking turns becoming widely known and having an impact on society.

The government which includes the digital economy as one of the pillars of growth along with the raw supply, oil, palm oil, and textile industries is also one of the signs that technology is developing in this country.

“We hope that greater impact will be seen in EdTech, Healthcare, maybe Agritech and even the old topic of e-commerce still diverge opportunities in the enabler and trading ecosystem, such as offline to online, omnichannel, and others. We have seen several examples of successful players like that in the sectors mentioned and hope they continue to grow, “explained Yiping.

Nevertheless, there are several things that are of concern to the condition of Indonesia’s startup ecosystem and industry. First, due to Indonesia’s fast-growing startup business, funding is getting along the development. The challenge is to recruit employees in order to grow.

In Indonesia, Goh said, there are a lot of good talents, it’s just that they are yet to acquired by the increasing number of startups. In addition, the limited recruitment of foreign talent and face-to-face culture. It can also be that the same person will move from one startup to another. And the second is a matter of overvaluation.

“We also see a number of startups taking more money than they need. Although there’s nothing wrong raising more to a longer ‘tide over’, we also hope that startups don’t get into the wrong side of the comfort zone for too long and ‘throw fundamentals into the wind’, ” she added.

Just like countries around the world, Covid-19 pandemic also affected many things in Indonesia. Goh thought this pandemic acts like a big reset button for the world. This will return people to the old ways of building a business and with more balanced financial discipline and growth metrics.

“This [Condition] ‘New normal’ will see higher digital service requests from B2G, B2B, and B2C. Starting to make peace with remote collaboration and perhaps more equilibrium of topline vs bottom line,” Goh said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Quest Ventures Amankan Pendanaan Tahap Pertama untuk Asia Fund II

Quest Ventures mengumumkan telah penutupan venture capital fund tahap pertama dengan dana terkumpul sebesar $50 juta atau setara dengan Rp778 miliar. Jumlah ini diklaim telah melebihi separuh target pendanaan untuk Asia Fund II.

Sebelumnya, di Asia Fund I, Quest Ventures cukup aktif dalam mencari startup yang berpotensi untuk tumbuh. Nama-nama seperti Carousell, Shopback, 99.co, Carro, StyleTheory, SGAG/MGAG/PGAG, Glife, Xfers, dan lainnya masuk dalam portofolionya. Di Asia Fund II ini Quest Ventures mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk Pavillion Capital dari Singapura dan QazTech Ventures dari Kazakhstan.

“Kami sengaja memilih investor karena kami menghargai kontribusi finansial dan operasional. Sebagai operator sendiri sebelum menjadi investor kami menghargai apa yang bisa dibawa oleh tim yang beragam. Dengan dana ini kami berharap dapat menghadirkan berbagai keterampilan, pengalaman, dan koneksi untuk membantu perusahaan kami,” ujar Partner Quest Ventures Yiping Goh.

Asia Fund II ini rencnaanya akan fokus untuk startup yang berada di kawasan Asia Tenggara dan yang sedang berkembang di Asia. Setelah sebelumnya masuk ke Vietnam pada Asia Fund II ini Indonesia, Myanmar, dan Filipina masuk dalam radar dengan target mereka yang ada dalam putaran Post Seed dan Pre-Series B.

Pihak Quest Ventures sendiri juga merencanakan untuk meluncurkan akselerator di Kazakhstan untuk memulai ekonomi digital di kawasan tersebut.

“Kami melihat pendiri yang memiliki landasan bisnis dan operasional yang kuat yang memecahkan masalah dengan kempuan untuk berkembang secara signifikan,” lanjut Yiping.

Quest Ventures didirikan oleh James Tan dan Wang Yunming dan berbasis di Tiongkok di tahun 2011. Mereka memiliki kantor di Singapura dengan dua Partner, yaitu Yiping Goh dan Jeffrey Seah. Yiping sebelumnya sempat terlibat di pendirian Matahari Mall.

Indonesia dan pandemi

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Quest Ventures tentang fokus perusahaan. Indonesia masuk dalam radar Asia Fund II ini. Dinilai sebagai salah satu negara dengan lanskap teknologi yang berkembang, Indonesia telah berhasil membuktikan diri dengan melahirkan unicorn. Beberapa industri seperti e-commerce, ride hailing dan fintech secara bergantian mulai dikenal luas dan memberikan dampak di masyarkat.

Pemerintah yang memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu pilar pertumbuhan bersama dengan industri bahan baku, minyak, kelapa sawit, dan tekstil juga menjadi salah satu salah tanda bahwa teknologi sedang berkembang dinegara ini.

“Kami berharap dampak yang lebih besar akan terlihat di EdTech, Healthcare, mungkin Agritech dan bahkan topik lama e-commerce masih menyimpang peluang di dalam enabler dan ekosistem perdagangan, seperti offline ke online, omnichannel, dan lainnya. Kami telah melihat beberapa contoh sukses pemain seperti itu di sektor-sektor yang disebutkan dan berharap mereka terus tumbuh,” terang Yiping.

Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk kondisi ekosistem dan industri startup di Indonesia. Pertama, karena jumlah startup di Indonesia tumbuh cepat, demikian juga dengan pendanaan. Tantangannya adalah untuk merekrut karyawan untuk memenuhi amunisi untuk tumbuh.

Di Indonesia, menurut Yiping, banyak talenta yang bagus, hanya saja kekurangan untuk mengisi jumlah startup yang meningkat. Ditambah lagi dengan terbatasnya perekrutan talenta asing dan budaya tatap muka. Bisa jada orang yang sama akan berpindah dari satu startup ke startup lain. Dan yang kedua soal valuasi yang terlalu berlebih.

“Kami juga melihat sejumlah startup mengambil lebih banyak uang daripada yang mereka butuhkan. Meskipun tidak ada yang salah meningkatkan lebih banyak untuk ‘tide over‘ lebih lama, kami juga berharap bahwa startup tidak terlalu lama masuk ke dalam rasa aman yang salah dan ‘melemparkan fundamental ke dalam angin’,” imbuh Yiping.

Sama seperti negara di seluruh dunia, pandemi Covid-19 juga mengubah banyak hal di Indonesia. Bagi Yiping, pandemi ini ibarat tombol reset yang besar bagi dunia. Ini akan mengembalikan orang ke cara lama membangun bisnis dan dengan disiplin keuangan dan metrik pertumbuhan yang lebih seimbang.

“[Kondisi] ‘New normal‘ akan melihat permintaan layanan digital yang lebih tinggai dari B2G, B2B, dan B2C. Mulai berdamai dengan kolaborasi jarak jauh dan mungkin kesetimbangan yang lebih dari topline vs bottom line,” tutup Yiping.