8 Game Terbaik di Tahun 2019 Versi Yoga Wisesa – Senior Writer DS/Hybrid

Nikmati game-game berkualitas yang Anda sukai, dan waktu akan berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin remake Resident Evil 2 meluncur, lalu dunia dikejutkan oleh Apex Legends. Kemudian tak terasa Death Stranding dan Star Wars Jedi: Fallen Order dilepas. Nyatata, momen ini berjarak kurang lebih sembilan bulan. Dan dalam beberapa hari lagi, kita akan mengucapkan selamat tinggal pada 2019.

2019 kembali menjadi tahun istimewa bagi gamer. Selama 12 bulan ini, sejumlah developer menetapkan standar baru penggarapan remake (Resident Evil 2, Crash Team Racing Nitro-Fueled, The Legend of Zelda: Link’s Awakening), studio-studio indie kembali menunjukkan taringnya (Disco Elysium, Manifold Garden), dan kita juga menjadi saksi lahirnya layanan cloud gaming yang ditujukan untuk pasar mainstream (Google Stadia).

Tentu saja, tiap gamer punya pendapat berbeda mengenai 2019 serta permainan-permainan favoritnya sendiri. Perbedaan inilah yang membuat gaming jadi begitu berwarna. Ada cukup banyak game yang sempat saya mainkan di tahun ini, namun delapan judul ini berhasil mencuri perhatian dan waktu saya.

 

8. Gears 5

Saya memang bukanlah penggemar berat seri Gears of War, tapi kehadiran game third-person shooter blockbuster Microsoft ini di Steam sangat saya apresiasi. Di Indonesia, Xbox Game Studios membanderol Gears 5 di harga terjangkau dan mereka yang membelinya akan memperoleh game berkonten lengkap serta pengalaman multiplayer kooperatif split-screen seru – cukup jarang ditemui di platform PC.

 

7. Tom Clancy’s The Division 2

Meski didesain sebagai game co-op, The Division 2 tetap mengesankan ketika dinikmati seorang diri. Massive Entertainment berhasil menciptakan dunia pasca-bencana artistik berlatar belakang kota Washington DC, menyuguhkan aksi baku tembak sengit yang diselingi momen-momen eksplorasi adiktif. Sistem loot dan kustomisasi menjadi kekuatan utama The Division 2 dan hingga kini developer terus meng-update kontennya.

 

6. Star Wars Jedi: Fallen Order

Jedi: Fallen Order mungkin bukanlah penerus seri Jedi Knight seperti yang diharapkan para veteran, namun ia merupakan game single-player Star Wars murni terbaik yang dirilis dalam lima tahun terakhir. Dalam membuatnya, Respawn Entertainment menggabungkan sejumlah elemen permainan populer: desain level khas Metroidvania, sistem pertempuran ala Soulsborne (tepatnya Sekiro), dan eksplorasi mirip Tomb Raider atau Uncharted.

 

5. Metro Exodus

Lewat Exodus, 4A Games mencoba meneruskan kisah petualangan Artyom dengan sedikit berbeda. Developer tetap mempertahankan elemen horor, survival, stealth, dan sistem karma; tapi kali ini, dunia permainan terbuka lebih luas dan pemain dibebaskan untuk menyelesaikan tugas dengan metode yang mereka mau. Metro Exodus juga merupakan salah satu game pertama yang mengadopsi teknologi real-time ray tracing Nvidia.

 

4. The Outer Worlds

Dibanding karya Obsidian sebelumnya, The Outer Worlds terasa lebih ringan dan jenaka. Walaupun demikian, jagatnya merefleksikan banyak hal di dunia nyata: bagaimana jika nasib banyak orang berada di genggaman perusahaan korporat? Developer mengangkat tema ini ke dunia berlatar sci-fi, memperkenankan pemain menjelajahi beragam planet dan stasiun luar angkasa, sembari menciptakan karakter unik sesuai keinginan Anda.

 

3. Control

Selalu ada hal unik yang Remedy Entertainment suguhkan di karya digitalnya, dan Control tak kalah istimewa dari Max Payne dan Quantum Break. Permainan action ini mengombinasikan aksi tembak-menembak menegangkan dengan elemen misteri dan superhero. Control juga menyajikan kejutan menyenangkan: game memberikan penjelasan sekaligus konklusi mengenai kejadian di Alan Wake. Kedua game ternyata di-setting di dunia yang sama.

 

2. Sekiro: Shadows Die Twice

Sekiro membuktikan bahwa formula Soulsborne masih bisa diulik lagi. Game ini meneruskan semangat Dark Souls, namun kita dihidangkan latar belakang fantasi Jepang. Selanjutnya, FromSoftware mengedepankan sistem parry (tangkis) dalam pertarungan, menuntut pemain untuk selalu sigap saat menghadapi lawan. Sekiro memang tak mudah ditaklukkan, tetapi ia adalah salah satu game dengan aksi pertempuran paling memuaskan.

 

1. Resident Evil 2

Remake dari game survival horror yang Capcom luncurkan lebih dari dua dekade silam ini berhasil mengembalikan kengerian teror zombi ke era kejayaannya. Capcom merancang peta secara teliti dan memanfaatkan pencahayaan untuk mengejutkan dan menjaga ketegangan, lalu menyempurnakan pengalaman horor itu dengan desain suara super-apik.

Sukses secara komersial dan mampu mengesankan gamer, Resident Evil 2 membuka jalan bagi pengembangan remake Resident Evil 3. Dari penilaian saya secara pribadi, Resident Evil 2 ialah game terbaik di 2019.

Game-game lain di tahun 2019 yang saya mainkan dan saya saranan agar Anda juga mencobanya: Devil May Cry 5, Total War: Three Kingdoms, Apex Legends, Red Dead Redemption 2 (PC).

Ini Dia Permainan-Permainan Finalis The Game Awards 2019

Jurnalis Geoff Keighley memutuskan untuk menciptakan The Game Awards karena acaranya yang sebelumnya ia tangani – Spike Video Game Awards – lama-lama lebih bersifat komersial. The Game Awards dilangsungkan sejak 2014, dan jumlah pemirsanya terus bertambah di tahun-tahun berikutnya. Dan sesuai tradisi, seremoni The Game Awards tahun ini akan digelar di bulan Desember besok.

Menjelang momen seremoni, sudah jadi kebiasaan bagi penyelenggara untuk mengumumkan daftar permainan yang berpeluang merebut gelar-gelar paling bergengsi. Namun tak cuma game, The Game Awards juga menganugerahkan penghargaan pada sosok-sosok yang berkontribusi besar bagi industri. Pemenang nantinya dipilih oleh komite juri, tapi The Game Awards juga mempersilakan para gamer buat memilih langsung permainan-permainan favorit mereka.

The Game Awards 2019 1

Nominasi The Game Awards 2019 terbagi dalam 29 kategori, tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, tak semuanya merupakan judul permainan. Ada juga aktor/aktris, kreator konten, tim, hingga pemain esports dengan prestasi yang istimewa. Daftar lengkapnya bisa Anda simak di bawah:

 

Game of the Year

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • The Outer Worlds

 

Action Game

  • Apex Legends
  • Astral Chain
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Devil May Cry 5
  • Gears 5
  • Metro Exodus

 

Action/Adventure Game

  • Borderlands 3
  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Art Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Gris
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening

 

Audio Design

  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Control
  • Death Stranding
  • Gears 5
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Community Support

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Family Game

  • Luigi’s Mansion 3
  • Ring Fit Adventure
  • Super Mario Maker 2
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Yoshi’s Crafted World

 

Fighting Game

  • Dead or Alive 6
  • Jump Force
  • Mortal Kombat 11
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate

 

Fresh Indie Game

  • ZA/UM
  • Nomada Studio
  • Deadtoast Entertainment
  • Mobius Digital
  • Mega Crit
  • House House

 

Game Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Outer Wilds

 

Games For Impact

  • Concrete Genie
  • Gris
  • Kind Words
  • Life Is Strange 2
  • Sea of Solitude

 

Independent Game

  • Baba Is You
  • Disco Elysium
  • Katana Zero
  • Outer Wilds
  • Untitled Goose Game

 

Mobile Game

  • Call of Duty: Mobile
  • Grindstone
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sky: Children of Light
  • What the Golf?

 

Multiplayer Game

  • Apex Legends
  • Borderlands 3
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Tetris 99
  • Tom Clancy’s The Division 2

 

Narrative

  • A Plague Tale: Innocence
  • Control
  • Death Stranding
  • Disco Elysium
  • The Outer Worlds

 

Ongoing Game

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Performance

  • Ashly Burch (The Outer Worlds)
  • Courtney Hope (Control)
  • Laura Bailey (Gears 5)
  • Mads Mikkelsen (Death Stranding)
  • Matthew Porretta (Control)
  • Norman Reedus (Death Stranding)

 

Role-Playing Game

  • Disco Elysium
  • Final Fantasy XIV
  • Kingdom Hearts III
  • Monster Hunter World: Iceborne
  • The Outer Worlds

 

Score & Music

  • Cadence of Hyrule
  • Death Stranding
  • Devil May Cry 5
  • Kingdom Hearts III
  • Sayonara Wild Hearts

 

Sports/Racing Game

  • Crash Team Racing Nitro-Fueled
  • Dirt Rally 2.0
  • Efootball Pro Evolution Soccer 2020
  • F1 2019
  • FIFA 20

 

Strategy Game

  • Age of Wonders: Planetfall
  • ANNO 1800
  • Fire Emblem: Three Houses
  • Total War: Three Kingdoms
  • Tropico 6
  • Wargroove

 

VR/AR Game

  • Asgard’s Wrath
  • Blood & Truth
  • Beat Saber
  • No Man’s Sky
  • Trover Saves the Universe

 

Esports Game of the Year

  • Counter-Strike: Global Offensive
  • Dota 2
  • Fortnite
  • League of Legends
  • Overwatch

 

Content Creator of the Year

  • Jack ‘Courage’ Dunlop
  • Benjamin ‘ Dr. Lupo’ Lupo
  • Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • David ‘Grefg’ Martinez
  • Michael ‘Shroud’ Grzesiek

 

Esports Coach

  • Eric ‘Arden’ Hoag
  • Nu-Ri ‘Cain’ Jang
  • Fabian ‘Grabbz’ Lohmann
  • Kim ‘Kkoma’ Jeong-Gyun
  • Titouan ‘Sockshka’ Merloz
  • Danny ‘Zonic’ Sorensen

 

Esports Host

  • Eefje ‘Sjokz’ Depoortere
  • Alex ‘Machine’ Richardson
  • Paul ‘ Redeye’ Chaloner
  • Alex ‘Goldenboy’ Mendez
  • Duan ‘Candice’ Yu-Shuang

 

Esports Player

  • Kyle ‘Bugha’ Giersdorf
  • Lee ‘Faker’ Sang-Hyeok
  • Luka ‘Perkz’ Perkovic
  • Oleksandr ‘S1mple’ Kostyliev
  • Jay ‘Sinatraa’ Won

 

Esports Team

  • Astralis
  • G2 Esports
  • OG
  • San Francisco Shock
  • Team Liquid

 

Esports Event

  • 2019 Overwatch League Grand Finals
  • EVO 2019
  • Fortnite World Cup
  • IEM Katowice 2019
  • League of Legends World Championship 2019
  • The International 2019

The Game Awards 2019 2

Ada 107 permainan yang ada di daftar finalis The Game Awards 2019, dan jika diteliti lebih jauh, Death Stranding tampak mendominasi dengan masuk ke delapan kategori nominasi berbeda, disusul oleh Control (tujuh nominasi), lalu diikuti oleh Sekiro: Shadows Die Twice (lima nominasi), serta Resident Evil 2 dan The Outer Worlds (masing-masing empat nominasi). Untuk Game of the Year, saya pribadi menjagokan remake Resident Evil 2 dan Sekiro. Dua game tersebut merupakan favorit saya di tahun ini.

Para pemenang rencananya akan diumumkan di tanggal 12 Desember 2019 melalui acara seremoni yang dilangsungkan di Microsoft Theater, Los Angeles.

The Game Awards 2019 3

Ini Dia Para Pemenang Golden Joystick Awards 2019, Resident Evil 2 Rebut Gelar Paling Bergengsi

Golden Joystick Awards juga dikenal sebagai People’s Gaming Awards karena ajang pemberian penghargaan gaming tersebut mempersilakan khalayak untuk berpartisipasi langsung dalam proses pemilihan judul permainan terbaik. Event tahun ini (Golden Joystick Awards ke-37) kembali diikuti oleh jutaan peserta dan seremoninya telah dilangsungkan di Bloomsbury Big Top di kota London minggu lalu.

Seperti biasa, para gamer dipersilakan memilih permainan favorit mereka selama 12 bulan ke belakang. Game-game di Golden Joystick Awards 2019 terbagi ke lebih dari 20 kategori, termasuk pemberian penghormatan pada sosok yang berjasa pada industri, aktor/aktris, streamer, hingga hardware terbaik. Tentu saja, di sana ada pula pemilihan permainan terfavorit di 2019, jatuh pada remake salah satu game survival horror fenomenal.

Daftar lengkap pemenang Golden Joystick Awards ke-37 bisa Anda simak di bawah:

  • Best Storytelling – Days Gone
  • Best Multiplayer Game – Apex Legends
  • Still Playing Award – Minecraft
  • Best Visual Design – Devil May Cry 5
  • Best Indie Game – Outer Wilds
  • Esports Game of the Year – Fortnite
  • Best Audio – Resident Evil 2
  • Best Game Expansion – GTA Online: Diamond Casino Update
  • Best VR/AR Game – Beat Saber
  • Best Gaming Hardware – Nvidia 20-Series Super Graphics Card
  • Best Performer – Logan Marshall-Green
  • Studio of the Year – Epic Games
  • Best New Streamer/Broadcaster – Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • Breakthrough Award – House House
  • Mobile Game of the Year – BTS World
  • Outstanding Contribution – Life is Strange
  • PC Game of the Year – World of Warcraft Classic
  • PlayStation Game of the Year – Days Gone
  • Xbox Game of the Year – Gears 5
  • Nintendo Game of the Year – Super Smash Bros. Ultimate
  • Most Wanted Game – Cyberpunk 2077
  • Critics’ Choice Award – Control
  • Lifetime Achievement – Yu Suzuki

Gelar paling bergengsi sendiri – Ultimate Game of the Year – diperebutkan oleh tidak kurang dari 12 permainan. Game-game di sana merupakan judul-judul terkuat di 2019, menyajikan gameplay berbeda dan dijagokan oleh penggemar beratnya masing–masing. Ini dia daftar nominasinya (lengkap dengan nama publisher serta developer-nya).

  • Apex Legends (EA / Respawn Entertainment)
  • Call of Duty: Modern Warfare (Activision Blizzard / Infinity Ward)
  • Control (505 Games / Remedy Entertainment)
  • Disco Elysium (Studio ZA/UM / Studio ZA/UM)
  • Fire Emblem: Three Houses (Nintendo / Intelligent Systems)
  • Gears 5 (Xbox Game Studios / The Coalition)
  • Outer Wilds (Annapurna Interactive / Mobius Digital)
  • Resident Evil 2 (Capcom / Capcom)
  • Sekiro: Shadows Die Twice (Activision / FromSoftware)
  • Telling Lies (Annapurna Interactive / Furious Bee)
  • The Outer Worlds (Private Division / Obsidian Entertainment)
  • Untitled Goose Game (House House / Panic Inc.)

Pada akhirnya, Resident Evil 2  remake-lah yang sukses merebut gelar Ultimate Game of the Year di Golden Joystick Awards 2019. Game ini dirilis di awal tahun dan hingga saat ini Resident Evil 2 terus mengamankan urutan pertama permainan dengan skor rata-rata tertinggi di situs agregat review seperti OpenCritic serta Metacritic. Walaupun penyajiannya sangat berbeda dari versi tahun 1998-nya, Capcom berhasil menghindangkan pengalaman petualangan yang tak kalah mengerikan.

Berkat Resident Evil 2, zombie kembali terasa menakutkan. Dan dengan pemanfaatan perspektif kamera yang berbeda, Capcom mencoba mencari cara baru untuk menyembunyikan musuh – memanfaatkan faktor-faktor seperti pencahayaan dan asap. Desain audio juga memegang peranan penting di game. Suara-suara objek serta bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh mayat hidup jelas membuat permainan jadi lebih mencekam, dan inilah alasannya mengapa Resident Evil 2 sukses pula merebut titel Best Audio.

Via GamesRadar+.

[Opini] Rasa Takut Adalah Candu, dan Game Horor Adalah Buktinya

Bulan Oktober selalu jadi momen seru dalam industri game setiap tahunnya. Sebagai bulan di mana perayaan hari Halloween jatuh di dalamnya, bulan ini adalah alasan tepat bagi developer untuk merilis game yang memiliki tema horor atau mistis. Sepanjang Oktober 2019 ini contohnya, kita bisa menemukan judul-judul seperti Luigi’s Mansion 3, MediEvil, hingga game lokal Ghost Parade. Sementara di game yang bersifat live service, Oktober jadi motivasi untuk merilis/menjual konten baru, entah berupa event atau item kosmetik. Apalagi para pengguna Steam, pasti sudah banyak yang bersiap menyambut kehadiran Halloween Sale untuk memborong sejumlah game horor incaran.

Sayangnya untuk orang yang tidak menyukai horor seperti saya, momen Oktober ini tidak begitu terasa relatable. Tentu saja saya tidak menolak kehadiran skin Wheatfield Nightmare untuk Franco di Mobile Legends, atau ekspansi The Devils Awaken yang memunculkan konten Devil May Cry 5 di Teppen. Namun rasanya tidak ada beda bila konten semacam ini hadir tidak pada momen Halloween. Steam Halloween Sale pun lebih sering saya lewatkan, karena game di Wishlist saya biasanya tidak ikut terkena diskon.

Rainbow Six Siege - Doktors Curse
Event Halloween di Rainbow Six: Siege | Sumber: Ubisoft

“Memangnya apa yang salah dengan game horor?” Sebetulnya tidak ada yang salah, hanya saja saya tidak merasa bisa menikmatinya. Bukan saya menolak main game horor karena terlalu takut, tapi bagi saya game (atau film) horor itu melelahkan. Bikin tegang dan bikin kaget, bertentangan dengan tujuan saya main game yang salah satunya adalah untuk istirahat.

Jelas banyak orang yang tidak setuju dengan pandangan di atas, karena hingga kini masih banyak game dan film horor yang laku di pasaran. Tapi terkadang saya juga bertanya-tanya, kenapa sih horor jadi salah satu genre hiburan yang terus populer? Bagaimana bisa rasa takut—yang harusnya mendorong kita untuk menjauh—malah jadi sumber kesenangan yang adiktif bagi sebagian orang?

Ketegangan membawa nikmat

Daya tarik horor adalah sesuatu yang sudah cukup banyak diteliti oleh para akademisi. Jamie Madigan dalam artikelnya yang berjudul The Psychology of Horror Games misalnya, mengatakan bahwa motivasi seseorang untuk memainkan game horor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama adalah kelompok orang pencari sensasi. Kelompok ini adalah orang-orang yang memang pada dasarnya senang mencari rasa “mabuk” (high) secara emosional. Mereka suka mengalami situasi-situasi menegangkan yang biasanya tak terjadi dalam kehidupan normal. Contohnya merasakan ketakutan dari film horor, atau melakukan olahraga ekstrem seperti sky diving.

Dr. Andrew Weaver, seorang peneliti bidang horor yang berasal dari Indiana University, mengatakan dalam tulisan Madigan bahwa pengalaman merasakan sensasi tersebut bisa menjadi sarana berlatih untuk menghadapi situasi menyeramkan di dunia nyata. Terutama bagi anak-anak muda, pengalaman seperti ini mengajari mereka untuk mengendalikan emosi dengan cara yang aman. “Kita bisa mengalami kejadian tidak menyenangkan lewat fim dan kita tahu kejadian itu akan berakhir, kita akan melaluinya, dan akan lanjut menjalani kehidupan,” papar Weaver.

Anehnya, kenikmatan dari sensasi ini sepertinya hanya berlaku bila kita sudah jelas tahu bahwa apa yang kita lihat itu palsu (misalnya game atau film). Dalam sebuah riset, orang-orang yang menyukai film horor dan sudah terbiasa melihat adegan sadis, ketika ditunjukkan kejadian sadis sungguhan (video dokumenter) ternyata tidak bisa menikmatinya. Mereka menolak menonton video tersebut sampai habis, padahal film-film horor yang biasa mereka tonton mungkin punya adegan yang lebih sadis atau lebih menjijikkan.

Resident Evil Revelations 2
Resident Evil Revelations 2 | Sumber: Steam

Kelompok yang kedua punya kemiripan dengan kelompok pertama, yaitu sama-sama mencari sensasi. Bedanya, mereka bukan menikmati ketegangan emosional itu sendiri, tapi mereka menikmati rasa lega yang muncul setelah ketegangan berakhir.

Madigan mengutip ucapan Prof. Glen Sparks dari Purdue University tentang teori ini. “Orang-orang menjadi terangsang secara psikologis akibat rasa takut yang mereka alami selama kejadian di media, kemudian ketika kejadian di media itu berakhir, rangsangan itu teralihkan ke rasa lega dan memperkuatnya. Mereka bukan menikmati pengalaman merasa takut, tapi sebaliknya, mereka menikmati emosi positif kuat yang mungkin muncul setelahnya,” papar Sparks.

Fenomena ini dikenal sebagai “excitation transfer theory” (teori transfer ketegangan), dan dikemukakan oleh psikolog Amerika, Dolf Zillmann, pada tahun 1971. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat rangsangan psikologis, ada periode di mana rangsangan itu akan tertinggal tanpa ia sadari. Kemudian ketika ia memperoleh rangsangan lain setelahnya, orang tersebut bisa “mengalihkan” respons yang ia rasakan dari rangsangan pertama ke rangsangan kedua. Bahasa gampangnya, perasaan lega akan terasa lebih nikmat bila didahului oleh perasaan tegang sebelumnya.

Resident Evil 2
Resident Evil 2 | Sumber: Steam

Terakhir, seseorang bisa menjadi penikmat hiburan horor akibat dorongan sosial. Kemampuan mengatasi rasa takut dalam horor bisa menjadi sebuah pembuktian bahwa seseorang itu kuat atau pemberani di hadapan teman-teman dan keluarganya.

Mungkin terdengar agak seksis, tapi teori ini terbukti lebih banyak terjadi di pergaulan antar lawan jenis, terutama kalangan remaja/dewasa muda. Laki-laki ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjalankan peran sebagai “pelindung” bagi kaum perempuan yang takut. Sebaliknya, perempuan ingin merasa aman karena melihat bahwa laki-laki yang ada disekitarnya tidak penakut dan bisa diandalkan.

Teori yang dikenal dengan istilah “snuggle theory”  (atau “gender socialization theory”) ini muncul dalam sebuah studi di tahun 1996 oleh Dolf Zillmann. Ia menemukan bahwa laki-laki yang menonton film horor bersama perempuan cenderung lebih bisa menikmati filmnya bila si perempuan merasa takut. Sebaliknya, perempuan yang menonton cenderung lebih bisa menikmatinya bila si laki-laki terlihat tidak takut. Ini artinya konstruksi sosial punya peran besar dalam menentukan media hiburan seperti apa yang bisa kita nikmati.

Teori-teori di atas menunjukkan bahwa meski rasa takut secara inheren adalah emosi yang negatif, emosi ini bisa memberikan kenikmatan tersendiri bila disandingkan dengan faktor lain—seperti jaminan rasa aman, excitation transfer, dan konstruksi sosial. Sebetulnya masih ada teori-teori lain tentang daya tarik game horor. Riset oleh Michelle Park dari Long Island University menyebutkan bahwa ada delapan teori tentang motivasi ini, dan sumber teori itu sudah dikemukakan oleh tokoh-tokoh zaman dahulu seperti Sigmund Freud bahkan Aristoteles. Namun jelas tidak bisa kita bahas semua di sini.

Video game memberi sensasi lebih kuat

Untuk memancing rasa takut muncul di kalangan pemain, seorang kreator horor bisa memanfaatkan berbagai aspek tergantung dari medium apa yang ia gunakan. Apabila wujud medianya adalah novel, jelas ia akan terbatas pada penggunaan kata-kata saja serta mungkin sejumlah kecil ilustrasi. Akan tetapi video game adalah media yang kompleks dan canggih, sehingga “lahan bermain” sang kreator pun jadi lebih luas.

Aspek pertama yang paling jelas terlihat adalah tampilan visual. Manusia diyakini punya rasa takut terhadap kegelapan sebagai bagian dari proses evolusi. Setelah sekian lama berkembang, kini kita telah menjadi makhluk yang sangat tergantung pada informasi visual, sehingga absennya informasi tersebut dapat membuat kita merasa tidak aman.

Blair Witch
Blair Witch, salah satu game horor yang rilis tahun ini | Sumber: Steam

Psikoanalis terkenal Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa rasa takut adalah reaksi terhadap persepsi akan adanya bahaya eksternal yang terprediksi, dan bisa dianggap sebagai salah satu wujud insting bertahan hidup. Ia juga berkata bahwa rasa takut adalah hal yang relatif, sangat bergantung pada pengetahuan dan penguasaan kita terhadap obyek eksternal yang dimaksud. Contoh: manusia primitif mungkin merasa takut ketika melihat gerhana matahari, sementara manusia di era sains modern tidak takut karena tahu itu adalah fenomena alam biasa.

Game horor menggunakan trik-trik visual untuk merenggut pengetahuan tersebut dari tangan pemain. Ketika dikelilingi oleh lingkungan yang gelap, pemain akan tahu bahwa ada bahaya di sekitarnya, tapi ia tidak tahu apa wujudnya, kapan dan dari mana datangnya, serta apa yang harus ia siapkan untuk mengatasinya.

Semakin sedikit informasi yang ia akses, semakin tinggi rasa gelisah yang ia rasakan. Dan ketika nantinya bahaya itu muncul—misalnya dalam wujud musuh yang melompat keluar di layar—si pemain harus berpikir cepat untuk mencari solusi atas bahaya tersebut. Hasilnya adalah ketegangan emosional tinggi yang memicu adrenaline rush.

Video game termasuk media yang sangat spesial di dunia horor, sebab video game punya satu aspek yang tidak ada di media-media lainnya: kontrol. Di media lain misalnya film, kita hanya bisa pasrah atas kejadian yang disajikan di depan mata. Tapi dalam video game, kitalah yang mengambil keputusan, dan kitalah yang menjadi pemicu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

The Evil Within
The Evil Within | Sumber: Steam

Sesuai teori Freud, seberapa besar kontrol kita terhadap lingkungan sekitar kita akan menentukan seberapa besar pula rasa takutnya. Jadi kualitas sebuah game horor sangat bergantung pada keseimbangan ini. Beri pemain terlalu sedikit kekuasaan, maka game akan jadi stressful dan tidak menyenangkan. Tapi beri pemain terlalu banyak kekuatan (kekebalan, senjata, dsb), maka game akan kehilangan unsur seramnya. Rasa kepemilikan dan kehilangan kontrol ini membuat video game bisa memberikan sensasi horor yang lebih dinamis. Ada rasa puas tersendiri dari video game yang tidak akan kita temukan ketika mengonsumsi noninteraktif, dan hal itu terutama sangat terasa di genre horor.

Kreator asli seri Resident Evil, Shinji Mikami, pernah menjabarkan hal ini dalam sebuah wawancara. Menurut Mikami, genre survival horror seharusnya adalah game yang menakutkan, namun memberi pemain kesempatan untuk mengatasi rasa takut itu dan mendapatkan sense of achievement. Pemain tahu bahwa ada kemungkinan ia akan mati (dalam game), namun ia juga tahu bahwa ada kemungkinan dirinya akan selamat. Keberanian untuk mengambil risiko, melawan ketidakpastian, dan pada akhirnya berhasil keluar dari bahaya, adalah kunci menuju momen katarsis yang jadi candu bagi para penikmat game horor.

Lucunya, kompleksitas dan kecanggihan video game ini terkadang justru menyusahkan untuk para kreator horor. Ambil contoh saja aspek audio. Dengan desain audio yang dibuat secara teliti, developer game bisa memanfaatkan efek suara, musik, hingga ambient noise untuk memunculkan rasa gelisah atau takut di alam bawah sadar. Tapi tidak ada yang menghalangi pemain di rumah untuk mengganti lagu itu sesuka hati, membuat suasana horor di dalam game jadi berkurang bahkan hilang sama sekali.

Ini masalah yang pernah dialami oleh John Williamson, desainer game Saw II: Flesh and Blood. “Kami diwajibkan oleh Microsoft dan Sony untuk memperbolehkan pemain mematikan track musik atau menggantinya dengan lagu Backstreet Boys atau lagu lain pilihan mereka,” papar Williamson. Main game horor diiringi lantunan lagu “I Want It That Way” jelas tidak akan seram, bukan?

Shinji Mikami
Shinji Mikami, legenda hidup dunia game horor | Sumber: Gameranx

Contoh kesulitan lain adalah aspek kamera dan kontrol dalam game yang kini sudah semakin modern. Sudah jadi standar umum bahwa di luar cutscene, pemain bebas menentukan akan ke mana karakter dalam game menghadap, ke mana dia melihat, seberapa cepat dia berjalan, dan sebagainya. Jadi developer harus menyiapkan adegan horor dengan mempertimbangkan semua itu, jangan sampai ada adegan penting terjadi tapi pemain malah melewatkannya hanya karena ia sedang menghadap ke tempat lain.

Dengan kualitas visual yang semakin realistis, kini transisi antara gameplay dengan cutscene pun harus dirancang sehalus mungkin agar suasana yang dirasakan pemain tidak terputus. Shinji Mikami mengaku harus mempertimbangkan seluruh aspek di atas ketika mengembangkan The Evil Within, beda dengan game era 90an yang lebih simpel dan biasanya menggunakan sudut kamera statis.

Butuh perhatian khusus

Menciptakan sebuah game adalah pekerjaan yang sulit, tapi rasanya tidak berlebihan bila kita bilang bahwa game horor punya kesulitan khusus yang tidak dimiliki genre lain. Karena genre ini erat kaitannya dengan perasaan dan psikologi manusia, segala aspek di dalamnya harus dirancang sedemikian rupa agar selaras dan menghasilkan pengalaman yang believable. Wajar bila kemudian kreator game horor yang bagus akan dipuja-puja bahkan hingga beberapa dekade setelah game itu dirilis.

Akan tetapi sebenarnya bila kita melihat pangsa pasar keseluruhan, horor masih merupakan genre yang niche di kalangan gamer. Bahkan setelah menghabiskan banyak biaya untuk menciptakan pengalaman terbaik pun, developer belum tentu bisa untung, apalagi bila dibandingkan dengan genre mainstream seperti first person shooter. Terus mengandalkan satu formula yang sama akan berujung pada para penggemar yang bosan, tapi di sisi lain eksperimen punya risiko membuat penggemar setia menjauh. Menciptakan game horor yang bagus tidak semudah pesta jump scare.

Resident Evil 7
Resident Evil 7 | Sumber: Sony

Contoh kasus yang paling terkenal mungkin seri Resident Evil. Shinji Mikami pergi meninggalkan Capcom pada tahun 2007, setelah menyelesaikan Resident Evil 4 dan game eksperimental berjudul God Hand. Sepeninggal Mikami, seri survival horor ini berubah menjadi lebih action-oriented. Lebih banyak ledakan, lebih banyak baku tembak, dan lebih sedikit rasa seram. Penggemar horor jelas kecewa, tapi secara finansial, Resident Evil 5 dan Resident Evil 6 adalah kesuksesan luar biasa, masing-masing terjual sebanyak 7,5 juta dan 7,3 juta unit di seluruh dunia.

Sementara itu, Resident Evil 7 yang kembali ke akarnya sebagai survival horror terjual lebih sedikit, yaitu 6,6 juta unit. Resident Evil 2 remake, yang mendapat penerimaan sangat positif dan meraih nilai 93 di Metacritic, juga terjual lebih sedikit yaitu sebanyak 4,5 juta unit. The Evil Within dan The Evil Within 2, meski disokong oleh nama besar Shinji Mikami, angka penjualannya lebih sedikit lagi.

Tentu saja tidak semua game harus mencapai angka penjualan 110 juta unit seperti Grand Theft Auto V untuk disebut sukses. Capcom pun berkata bahwa meski secara angka kalah dibanding Resident Evil 6, Resident Evil 7 tetap menguntungkan karena memiliki anggaran pengembangan yang lebih kecil. Mereka juga sadar bahwa di era sekarang sebuah game bisa terus terjual untuk waktu yang lama, tidak seperti dulu di mana hari pertama atau minggu pertama sangat penting untuk penjualan game. Capcom tidak menganggap Resident Evil 7 dan Resident Evil 2 sebagai produk gagal.

Tapi itu bukan berarti mereka tidak merasa was-was ketika mengembangkan dua game tersebut. Antoine Molant, EMEA Marketing Director di Capcom, dalam sebuah wawancara bercerita bahwa Resident Evil 7 dan 2 merupakan sebuah pertaruhan besar. Meski dari segi kualitas para developernya cukup percaya diri, mereka khawatir kalau-kalau apa yang mereka buat tidak sesuai keinginan penggemar. Bagaimana bila fans tidak suka Resident Evil 7 menggunakan sudut pandang orang pertama? Bagaimana bila fans ingin Resident Evil 2 remake tetap mempertahankan sistem kontrol ala tank, seperti era PS1 dulu?

Resident Evil 5
Resident Evil 5 sukses luar biasa, tapi melenceng dari genre aslinya | Sumber: Steam

“Ketika kami mengumumkan strategi kami beberapa tahun lalu, kami berkata kami akan fokus pada pilar-pilar utama kami: Street Fighter, Resident Evil, Monster Hunter, dan sebagainya,” ujar Molant. “Sebagian orang menilainya sebagai budaya menghindari risiko, tapi sebenarnya kami mengambil risiko. RE7 bisa saja gagal total. Dan dengan Monster Hunter World, kami berpotensi meninggalkan 4 juta pasar domestik (Jepang) demi mengejar pasar Barat.”

Sebagai perusahaan, Capcom jelas juga mengejar keuntungan finansial. Mereka punya karyawan untuk diberi makan, juga pemegang saham untuk disenangkan. Tapi secara internal, Capcom memiliki cara sendiri untuk menilai apakah sebuah game itu sukses atau tidak. Alih-alih mengejar angka penjualan setinggi-tingginya, mereka punya pertimbangan lain dari segi artistik dan penerimaan penggemar. “Kami lebih menyukai game yang mendapat skor 9 dan terjual lebih sedikit, daripada game yang mendapat 6 tapi terjual lebih banyak,” kata Molant.

Molant menyebut Capcom sebagai sebuah “penerbit butik”. Artinya, Capcom dari awal memang tidak merancang game mereka sebagai game yang akan dimainkan oleh semua orang. Capcom tahu bahwa mereka menciptakan sesuatu yang niche, dan mereka berusaha sebisa mungkin untuk mengoptimalkan niche tersebut. Caranya dengan benar-benar mencari tahu apa yang diinginkan penggemar, mencari momen yang tepat untuk merilis game, hingga menciptakan game dengan skala serta risiko yang lebih kecil.

“Kami tahu judul-judul dan para penggemar kami, dan kami tahu daya tarik yang kami miliki, dan kami juga tahu apa yang dilakukan dan dicoba oleh para kompetitor kami,” ujar Molant. “Kami tidak akan bisa bersaing melawan perusahaan-perusahaan yang menghabiskan puluhan juta dolar untuk marketing. Kami, bisa dibilang, adalah sebuah penerbut butik, dan jadwal rilis di bulan Januari itu cocok dengan kami.”

Resident Evil 4
Banyak orang berpendapat Resident Evil 4 masih yang terbaik | Sumber: Steam

Kata-kata Molant mungkin terdengar agak lucu karena rasanya lebih cocok diucapkan oleh developer indie, bukan developer AAA yang bisa menjual game hingga jutaan kopi. Tapi indie maupun AAA, keduanya sama-sama sebuah bisnis dan sama-sama butuh strategi yang tepat agar bisa terus bertahan hidup.

Dengan strategi pengoptimalan niche tersebut, Capcom berhasil membangkitkan kembali genre survival horror yang beberapa tahun lalu sempat dianggap telah mati. Mereka membuktikan bahwa Resident Evil sejati—bukan action shooter seperti Resident Evil 6—masih punya tempat di pasaran, sekaligus menunjukkan ke mata dunia bahwa mereka tidak takut menciptakan inovasi radikal. Yang lebih penting, Capcom mematahkan anggapan bahwa teknologi hanya membuat game semakin “cantik” namun mengikis kreativitas.

Di era di mana semakin banyak perusahaan yang “main aman” dan menciptakan game yang mirip-mirip, visi Capcom ini merupakan sebuah angin segar, dan saya berharap idealisme tersebut bisa terus dipertahankan. Meskipun kemungkinan besar saya tetap tidak akan main Resident Evil, sih.

[Review] Resident Evil 2, Hidangkan Sensasi Horor Klasik Dengan Penyajian Baru, Siap Rebut Gelar Game Terbaik di 2019

Saat itu tahun 1998. Mayat hidup memang sudah lama meneror pemirsa layar kaca, tapi kehadirannya di video game terbilang cukup jarang. Dua tahun sebelumnya, Resident Evil laris terjual di Amerika serta Inggris, menyemangati Capcom buat membangunnya jadi franchise raksasa. Setelah proses pengembangan yang panjang serta revisi besar-besaran, Resident Evil 2 lebih sukses lagi dari pendahulunya.

Di E3 2015, Capcom mengungkap rencana untuk membangun ulang Resident Evil 2 buat platform game current-gen berbekal teknologi engine dan grafis terbaru, namun baru tiga tahun setelahnya sang developer berkesempatan menyingkap apa yang sudah mereka kerjakan. Pengumumannya di E3 2018 disambut gamer dengan begitu antusias, dan ia menjadi salah satu permainan yang perilisannya paling ditunggu di 2019.

Meski demikian, banyak orang juga cemas mengenai nasibnya. Sejak Resident Evil 4, arahan franchise ini lebih condong mengedepankan action ketimbang horor. Pada akhirnya, Resident Evil 6 dikritisi akibat kualitas campaign single-player yang tidak rata serta melenceng jauhnya arahan game dari tema survival horror. Demi mengembalikan Resident Evil ke akarnya, Capcom nekat bereksperimen di permainan ketujuhnya, buat pertama kalinya menyajikan petualangan mendebarkan dalam perspektif orang pertama.

Salah satu alasan keberhasilan Resident Evil 7: Biohazard adalah, game ini berperan sebagai sekuel sekaligus gerbang masuk bagi mereka yang sama sekali belum pernah bermain Resident Evil. Anda tidak perlu menyelesaikan permainan-permainan sebelumnya agar bisa menikmatinya, melalui pengenalan tokoh-tokoh serta formula gameplay baru. Tapi bagaimana dengan remake Resident Evil 2?

RE2 3

 

Tradisi klasik dengan penyajian baru

Situasi sulit yang dihadapi Capcom dalam penggarapan remake Resident Evil 2 adalah tingginya ekspektasi gamer serta aspek cerita yang bukan lagi rahasia di kalangan gamer veteran. Itu artinya, tim developer  Jepang ini harus menemukan titik keseimbangan antara penyuguhan konten baru, sembari memastikan kengerian khas Resident Evil 2 tetap terjaga. Mereka juga tidak berniat untuk menawarkan formula yang pernah dipakai sebelumnya.

RE2 14

Aspek yang membuat Resident Evil 2 ‘lawas’ jadi tambah menegangkan adalah kurang bersahabatnya sistem kendali. Seperti game pertama dan ketiga, Resident Evil 2 mengusung metode kontrol ala tank dengan kamera fixed. Itu artinya, menghindar dan membidik musuh sangatlah sulit. Dari sisi presentasi, RE2 remake sendiri lebih menyerupai Resident Evil 4, tetapi ada banyak keputusan jenius dari Capcom yang membuat game baru ini se-mengerikan pendahulunya.

RE2 17

Resident Evil 2 remake memanfaatkan sudut pandang kamera orang ketiga over-the-shoulder. Bertolak belakang dari Resident Evil 7, pengendalian karakter terasa lebih intuitif dan kita bisa lebih mudah mengetahui keadaaan di sekitar – apalagi dukungan keyboard dan mouse di versi PC yang saya mainkan membuat kontrolnya lebih luwes lagi. Bahkan sebelum game dimulai, saya bisa merasakan bagaimana Capcom betul-betul memperhatikan hal ini.

RE2 18

Di PC, segala macam fungsi kendali karakter berada di jangkauan jari Anda. Selain untuk menggunakan persenjataan, tombol kiri dan kanan mouse berguna buat berinteraksi dengan objek. Lalu lewat kombinasi Tab dan tombol WASD, kita bisa mudah mengakses menu pause serta membuka dokumen, sangat berguna saat kita mencoba mencari petunjuk puzzle. Developer juga menyediakan fitur quick turn 180 derajat, tapi berkat ringkasnya mouse, fungsi ini jarang sekali saya gunakan.

 

Zombie jadi kembali menyeramkan

Seri Resident Evil 2 lahir sebelum ‘zombie berlari’ jadi tren di layar lebar dan video game. Di edisi remake ini, Capcom tidak mencoba mengubah cara mereka menyajikan teror pada pemain – malah terus berpegang pada tradisi lawas Resident Evil. Namun ada sejumlah hal yang Capcom utak-atik agar mayat hidup tetap mengerikan; pertama adalah lewat penempatan strategis serta efek suara, dan kedua ialah dengan mengubah karakteristik mereka.

RE2 2

Saat berjumpa pertama kali dengan mayat hidup di RE2 remake, insting yang terbentuk dari pengalaman menikmati puluhan game shooter mendorong saya untuk segera menembak mereka di kepala. Langkah ini ternyata keliru. Butuh sekitar tujuh tembakan di kepala buat merobohkan satu zombie. Dan itu artinya ada banyak peluru berharga yang harus dihabiskan jika Anda ingin mengalahkan mereka satu per satu.

RE2 12

Situasi ini membuat saya berpikir ulang tentang apa yang harus dikerjakan. Untungnya solusi muncul sebelum terlambat: tembak zombie di kaki untuk memutuskan bagian tersebut demi menghambat gerakan mereka. Lebih baik hindari lawan dari pada konfrontasi langsung, kecuali jika tak ada pilihan lain. Dengan cara itu, kita bisa lebih menghemat amunisi. Metode ini mengingatkan saya pada bagaimana cara menangani Necromorph di Dead Space.

RE2 13

Pola pikir ‘hidari ketimbang konfrontasi’  tersebut penting karena di satu titik dalam permainan, pemain akan berhadapan dengan lawan yang tak bisa dikalahkan. Kita hanya bisa melarikan diri atau membuatnya roboh secara sementara, namun ia baru benar-benar bisa tumbang ketika pemain mendapatkan senjata berukuran besar. Tyrant ber-codename Mr. X ini akan terus memburu Anda. Ia akan mengejar saat melihat Anda dan berpatroli tanpa lelah. Itu berarti, pengetahuan terhadap lokasi serta kesadaran lingkungan sangatlah esensial.

RE2 20

Berkaitan dengan faktor awareness tadi, saya sangat mengapresiasi desain audio edisi remake ini. Suara derakan nafas dan rintihan zombie terdengar sangat menyeramkan, apalagi jika muncul dari lokasi yang tidak disangka. Suara juga bisa sangat membantu, apalagi ketika Anda sudah mulai dikejar oleh sang tyrant. Bunyi derap langkah bisa terdengar ketika ia berada di dekat kita, dan itulah alasannya saya sangat menyarankan penggunaan headset berfitur surround 7.1.

RE2 15

Namun seperti mayoritas game survival horror sejenis, Resident Evil 2 (2019) masih mengandalkan elemen jump scare. Kejutan bisa saja bersembunyi di tiap lorong dan tikungan, atau di tempat-tempat yang Anda kira aman. Sejujurnya, pendekatan ini mulai terasa membosankan, terutama jika Anda punya pengalaman dalam menangani permainan-permainan semisal Bloodborne, Amnesia atau Alien: Isolation.

RE2 19

Bagi saya, bagian terbaik dari Resident Evil 2 remake adalah kehadiran Mr. X serta ketidakpastian dan kepanikan yang ia timbulkan. Sensasinya mirip ketika menghadapi Xenomorph di Alien: Isolation. Bedanya, sang tyrant tidak bergerak secepat alien sehigga lebih gampang dihindari. Dan bahkan di situasi terpojok sekali pun, kematian dini dapat dielakkan jika Anda bisa berpikir serta beraksi cepat atau kebetulan membawa peralatan yang tepat.

 

Nostalgia dengan wajah-wajah lama

Remake Resident Evil 2 kembali mempersilakan Anda bermain sebagai dua tokoh favorit di franchise ini, Leon S. Kennedy dan Claire Redfield. Penampilan keduanya disesuaikan dengan standar desain karakter modern, berbasis pada gaya tahun 90-an (rambut belah pinggir Leon tidak direvisi, sukurlah). Kedua tokoh ini tampaknya pernah menjalani pelatihan bela diri dan senjata api, tapi sama sekali belum berpengalaman dalam menghadapi mayat hidup. Claire ialah seorang mahasiswi, sedangkan Leon adalah polisi pemula.

RE2 11

Claire dan Leon akan menjalani pengalaman berbeda di Kota Raccoon, namun narasi yang mereka lalui kurang lebih sama. Kedua tokoh beberapa kali bertemu, mengunjungi lokasi serupa, serta menyelesaikan teka-teki yang sama. Walaupun demikian, cerita Leon menyuguhkan sensasi ala investigasi polisi, sedangkan kisah Claire berhubungan dengan tema keluarga. Perbedaan di sisi narasi terletak pada NPC yang mereka temui, lalu beberapa area cuma bisa diakses oleh karakter tertentu.

RE2 5

Game memang dirancang untuk diselesaikan minimal dua kali, dan Capcom sudah menyiapkan banyak hal untuk memotivasi kita melakukannya – misalnya lewat kostum baru, karakter rahasia, dan sistem achievement. Alternatifnya, menamatkan permainan secepat mungkin di tingkat kesulitan tertentu akan membuka bonus amunisi tak terbatas yang dapat digunakan di petualangan Anda berikutnya.

RE2 7

Selain menghadapi mayat hidup dan senjata biologis, puzzle merupakan elemen esensial dari Resident Evil 2. Mereka yang familier dengan seri ini akan segera menyadari bahwa segala sesuatu di game tidaklah sederhana. Contohnya sewaktu Claire mencoba membuka gerbang area parkir mobil. Ia harus mendapatkan kunci, buat memperoleh kunci berbeda, demi mendapatkan sirkuit listrik pengganti agar pintu bisa terbuka, untuk memperoleh keycard di dalamnya.

RE2 4

Penyelesaian teka-teki dipersulit dengan sistem inventory yang sangat terbatas. Bahkan tanpa item-item quest, kita akan terus mengadapi dilema soal barang-barang apa saja sebaiknya dibawa: apakah pisau, amunisi untuk senjata sekunder, atau obat? Sejumlah senjata berukuran besar memakan lebih dari satu slot penyimpanan. Bersediakah Anda meninggalkannya demi ruang penyimpanan yang lebih lega?

RE2 5

Satu hal yang sangat saya sukai ialah, banyak hal tak dijelaskan secara gamblang dan pemain sering kali harus mencari jawabannya sendiri – misalnya ‘mencuci film’ buat mencari petunjuk, melacak kode loker yang tersembunyi di lokasi berbeda, dan menyadari bahwa papan kayu berguna untuk menutup jendela untuk menghalangi zombie masuk. Dan di sejumlah skenario, beberapa item penting disembunyikan di benda lain (kunci atau batu permata), mendorong kita buat memeriksa objek secara teliti.

RE2 9

 

Konklusi

Bagi saya, edisi PC Resident Evil 2 remake ialah versi terbaik. Di sistem berprosesor Intel Core i7-6700HQ dan berkartu grafis GeForce GTX 1070, permainan berjalan sangat mulus di setting visual tertinggi dengan resolusi 1080p, rata-rata di atas 100-frame per detik. Di tingkat ini, detail wajah, lipatan di jaket, hingga efek basah pada pakaian terlihat jelas. Lalu, game juga bisa dibeli di harga lebih ekonomis.  Ketika Resident Evil 2 di PlayStation 4 dibanderol di atas Rp 700 ribu, edisi Steam dapat dimiliki cukup dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 500 ribu.

RE2 1

Remake Resident Evil 2 merupakan salah satu game yang dibahan-bakari konsep nostalgia. Namun berbeda dari upaya remake/remaster judul lain, Capcom tidak mengambil jalan pintas. Seluruh aset permainan dibangun dari nol, berbekal engine RE yang digunakan dalam penggarapan Resident Evil 7: Biohazard, dan upaya developer tidak sia-sia. Game ini menawarkan keseimbangan antara aspek-aspek baru dan lawas, membuat petualangan horor di sana terasa menyegarkan, dan siap merebut gelar permainan terbaik di 2019.

RE2 8

Resident Evil 2 mengingatkan kembali mengenai hal yang membuat saya jatuh hati pada franchise ini. Saya akan segera merekomendasikannya pada siapa saja yang mengaku fans berat Resident Evil atau penggemar permainan horor pada umumnya. Capcom berhasil menetapkan sebuah standar baru mengenai bagaimana sebuah remake video game seharusnya dikerjakan. Tapi sebelum membelinya, perlu diketahui bahwa permainan ini kental dengan tema kekerasan, sangat tak disarankan bagi Anda yang sensitif dengan kejutan dan darah.

RE2 6

Jika boleh diberi kesempatan untuk memberi masukan, saya pribadi sebetulnya berharap agar Capcom menghidangkan dunia game secara lebih luas dan ekspansif. Seperti edisi tahun 1998-nya, struktur level Resident Evil 2 remake terdiri dari lorong-lorong saling menyambung yang berujung pada area hub. Seandainya permainan menyuguhkan ruang lebih terbuka, akan ada banyak peluang buat membenamkan elemen gameplay lain. Lalu, bayangkan serunya bermain bersama kawan jika game juga dibekali mode multiplayer kooperatif.

Claire Redfield, Resident Evil 2 remake.

 

Sparks

  • Standar tinggi dalam penggarapan remake
  • Gameplay baru dengan sensasi horor khas Resident Evil klasik
  • Konten melimpah walaupun campaign-nya linier
  • Tingkat kesulitan teka-teki yang pas, tidak terlalu susah ataupun mudah
  • Desain audio jempolan
  • Berjalan mulus di PC

 

Slacks

  • Dunia permainan yang kurang terbuka
  • Jump scare jadi cara utama buat mengagetkan Anda
  • Absennya mode multiplayer

Bundel Spesial Resident Evil 2 Versi Remake Datang Bersama Keyboard Bluetooth Antik

Salah satu bintang panggung E3 2018 kemarin adalah Resident Evil 2, remake dari game berjudul sama yang dirilis 20 tahun silam. Capcom pun tidak mau setengah-setengah dalam mengerjakannya. Mereka menggabungkan elemen-elemen unggulan dari seri Resident Evil mereka selama ini, contohnya engine memukau RE 7 serta perspektif kamera RE 5 dan 6.

Tak hanya tahap pengerjaan yang diseriusi Capcom, tahap promosinya pun juga. Di kampung halamannya, Capcom belum lama lini merilis bundel khusus RE 2 Premium Edition. Di dalamnya, terdapat satu benda yang tidak umum, yakni sebuah keyboard Bluetooth.

Namun seperti yang bisa Anda lihat, ini bukan sembarang keyboard Bluetooth. Nuansa RE 2 tampak cukup melekat di perangkat ini, dan Capcom bilang bahwa desainnya terinspirasi dari mesin ketik Lexington yang ada pada game, yang berfungsi untuk menyimpan progress (save game) asalkan pemain memiliki gulungan pitanya (ink ribbon).

Pada kenyataannya, perangkat ini merupakan modifikasi dari keyboard bernama Qwerkywriter S yang memang terinspirasi mesin ketik lawas dan dibanderol $249. Spesifikasinya pun sama, dan kabar baiknya, aspek ini cukup bisa diunggulkan, terbukti dari penggunaan switch mekanis Cherry MX Blue pada masing-masing tombolnya.

Tampilan mesin ketik Lexington dalam game yang dijadikan inspirasi / Capcom
Tampilan mesin ketik Lexington dalam game yang dijadikan inspirasi / Capcom

Gimmick lain yang siap membuat konsumen tersenyum di antaranya adalah kenop di sisi kiri dan kanan atas perangkat yang berfungsi untuk mengatur volume dan scrolling halaman, serta tuas di kiri atas yang bisa dijadikan alternatif tombol Enter. Bagian atasnya pun juga bisa dipakai untuk menyangga smartphone atau tablet yang terhubung.

Produk kolektor biasanya memang dijual cukup mahal, akan tetapi Capcom sepertinya agak melampaui batas di sini. Mereka mematok harga 99.800 yen (± Rp 13,2 juta, bukan typo) untuk RE 2 Premium Edition, atau 75.000 yen (± Rp 9,9 juta) untuk keyboard-nya saja. Padahal, seperti yang saya bilang tadi, keyboard asli yang menjadi basisnya cuma dibanderol $249.

Resident Evil 2 Premium Edition

Sumber: Kotaku dan Variety.

Capcom Pertimbangkan Untuk Menggarap Lebih Banyak Game Remake?

Dengan yang arahan tepat, nostalgia bisa dijadikan senjata ampuh bagi perusahaan dalam mengembangkan produk. Sebagai buktinya, penjualan NES dan SNES Classic Edition laris manis, lalu remake Shadow of the Colossus menjadi kandidat game terbaik di tahun ini. Contoh lainnya: remake Resident Evil 2 yang Capcom pamerkan di E3 2018 menyabet penghargaan Best of Show di Game Critics Awards.

Dan ada peluang besar Resident Evil 2 bukanlah judul terakhir yang dibangun ulang oleh developer dari Jepang itu dan dihidangkan buat para pemilik platform game current-gen. Berdasarkan laporan keuangan yang diungkap perusahaan di tanggal 30 Juli kemarin, Capcom menunjukkan kepercayaan diri mereka terhadap pendekatan ini. Di waktu ke depan, perusahaan kemungkinan akan merilis lebih banyak permainan remake.

Resident Evil 2 1.

Menjawab pertanyaan seorang investor terkait ekspektasi perusahaan terhadap penjualan Resident Evil 2 dan langkah remake pada judul lain, Capcom menjelaskan bahwa permainan tersebut merupakan salah satu ‘judul besar’ mereka. Developer yakin Resident Evil 2 akan menjadi game yang terjual jutaan kopi, apalagi respons khalayak pada penyingkapannya di E3 2018 sangat positif.

Demi menjamin kesuksesan Resident Evil 2, Capcom tengah fokus pada strategi promosi. Karena dibangun berdasarkan game yang telah ada, developer tak perlu lagi memikirkan setting serta cerita, dan bisa mengerahkan sumber daya buat menciptakan ulang asetnya. Jumlah modal yang Capcom gunakan kabarnya setara dengan pengembangan permainan Resident Evil sebelumnya.

Resident Evil 2 2

Terkait remake dan perilisan ulang di masa yang akan datang, Capcom bilang mereka sedang melakukan eksplorasi terhadap sejumlah franchise. Hal ini merupakan bagian dari strategi perusahaan dalam memanfaatkan IP-IP miliknya.

Menariknya lagi, ada dampak unik dari pengumuman yang Capcom lakukan di E3 2018, khususnya Resident Evil 2 dan Devil May Cry 5. Sejak pengungkapan dua permainan ini, terdapat kenaikan pembelian game-game sebelumnya di seri tersebut – salah satunya adalah DmC: Devil May Cry. Capcom berencana untuk menerapkan strategi marketing buat ‘menstimulasi’ pembelian konsumen lebih jauh lagi.

Resident Evil 2.

Ada satu alasan lain mengapa Capcom yakin pada strategi remake dan ‘rerelease‘ yang mereka ambil: kesuksesan tak terduga dari Street Fighter 30th Anniversary Collection. Developer tidak mengeluarkan terlalu banyak modal dalam menggarap game yang disiapkan buat merayakan ulang tahun Street Fighter ke-30 itu, namun sambutan media ternyata cukup positif, dan jumlah penjualannya melampaui dugaan.

Resident Evil 2 sendiri sudah punya jadwal rilis, akan meluncur pada tanggal 25 Januari 2019 di Windows, Xbox One dan PlayStation 4.

Via IGN.

Permainan Remake Capcom Sabet Penghargaan Paling Bergengsi di Game Critics Awards 2018

E3 ialah momen diungkapnya detail beragam game kelas blockbuster serta disingkapnya hardware gaming baru. Event tahun ini sendiri memang terasa lebih condong pada konten, meski Microsoft sempat mengonfirmasi pengembangan Project Scarlet. E3 2018 sudah rampung, tetapi tak sedikit gamer yang menanti pengumuman Game Critics Awards.

Game Critics Awards adalah ajang pemberian penghargaan tahunan yang dilangsungkan setelah E3 usai. Penghargaan tersebut diberikan oleh penyelenggara secara independen pada judul-judul permainan terbaik yang dipamerkan di sana, biasanya mengusung tajuk ‘Best of E3’. Dan untuk E3 2018, satu permainan remake garapan Capcom berhasil menyabet award paling bergengsi.

Ini di daftar lengkap pemenangnya:

 

Best of Show: Resident Evil 2

Nominasi: Anthem, Marvel’s Spider-Man, Sekiro: Shadows Die Twice, Super Smash Bros. Ultimate

 

Best Original Game: Dreams

Nominasi: Anthem, Days Gone, Sekiro: Shadows Die Twice, Skull & Bones

 

Best Console Game: Marvel’s Spider-Man

Nominasi: Assassin’s Creed Odyssey, Dreams, Resident Evil 2, Sekiro: Shadows Die Twice, Super Smash Bros. Ultimate

 

Best VR/AR Game: Tetris Effect

Nominasi: Astro Bot: Rescue Mission, Déraciné, Echo Combat, Trover Saves the Universe

 

Best PC Game: Anthem

Nominasi: Battlefield V, Metro: Exodus, Rage 2, Total War: Three Kingdoms

 

Best Hardware/Peripheral: Xbox Adaptive Controller

Nominasi: Neogeo Mini, Poké Ball Plus, Starlink: Battle for Atlas, Vantage Controller for PS4

 

Best Action Game: Anthem

Nominasi: Battlefield V, Call of Duty: Black Ops 4, Metro: Exodus, Rage 2

 

Best Action/Adventure: Marvel’s Spider-Man

Nominasi: Assassin’s Creed Odyssey, Resident Evil 2, Sekiro: Shadows Die Twice, Shadow of the Tomb Raider, Tom Clancy’s The Division 2

 

Best RPG: Kingdom Hearts III

Nominasi: Divinity: Original Sin II, Dragon Quest XI: Echoes of an Elusive Age, Octopath Traveler, Pokémon: Let’s Go, Pikachu! and Eevee!

 

Best Fighting Game: Super Smash Bros. Ultimate

Nominasi: Dead or Alive 6, Jump Force, Soul Calibur VI

 

Best Racing Game: Forza Horizon 4

Nominasi: F1 2018, Team Sonic Racing, The Crew 2, Trials Rising

 

Best Sports Game: FIFA 19

Nominasi: Mario Tennis Aces, Pro Evolution Soccer 2019

 

Best Strategy Game: Total War: Three Kingdoms

Nominasi: Mutant Year Zero: Road to Eden, Two Point Hospital, Wargroove

 

Best Family/Social Game: Overcooked 2

Nominasi: Dreams, Lego DC Super-Villains, Pokémon: Let’s Go, Pikachu! and Eevee!, Mario Tennis Aces

 

Best Online Multiplayer: Battlefield V

Nominasi: Anthem, Call of Duty: Black Ops 4, Destiny 2: Forsaken, Skull & Bones, Tom Clancy’s The Division 2

 

Best Independent Game: Ori and the Will of Wisps

Nominasi: Outer Wilds, Overcooked 2, Sable, Tunic

 

Best Ongoing Game: Fortnite

Nominasi: Destiny 2: Forsaken, For Honor, PlayerUnknown’s Battlegrounds, Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Special Commendation for Graphics:

  • Cyberpunk 2077

  • The Last of Us Part II

  • Ghost of Tsushima

 

Special Commendation for Sound: The Last of Us Part II

 

Special Commendation for Innovation: Cyberpunk 2077

Resident Evil 2 merupakan sebuah remake besar-besaran, dibangun ulang berbekal engine Resident Evil 7 dan menyajikan perspektif baru. Sistem kendali ala tank di game terdahulu digantikan dengan kamera orang ketiga ‘over-the-shoulder‘ mirip Resident Evil 5 dan 6. Konsepnya terdengar menjanjikan. Namun walaupun RE2 membawa pulang Best of E3 2018, beberapa game seperti Anthem, Spider-Man, The Last of US Part II dan Cyberpunk 2077 memenangkan lebih dari satu award. Di E3 2018, favorit saya pribadi adalah Cyberpunk 2077 dan Ghost of Tsushima.

Sumber: GameCriticsAwards.com.

Proyek Remake Resident Evil 2 Buatan Fans Dihentikan, Harapan Belum Hilang

Ketika diluncurkan perdana 17 tahun silam, Resident Evil 2 memperoleh banyak pujian dari media dan gamer, melambungkan nama Resident Evil sebagai salah satu franchise terbesar Capcom. Banyak fans bergembira setelah mendengar ada tim indie yang mencoba me-remake permainan tersebut berbekal Unreal 4. Sayang proyeknya terpaksa dihentikan atas permintaan Capcom. Continue reading Proyek Remake Resident Evil 2 Buatan Fans Dihentikan, Harapan Belum Hilang

Remake Game Resident Evil 2 Segera Tersedia Secara Gratis

Mungkin tidak banyak gamer muda mengetahui, sekuel pertama Resident Evil merupakan judul paling sukses di PlayStation. Beberapa tahun setelah dilepas, ia masuk ke daftar 100 permainan terbaik, di-port ke Windows, Dreamcast serta GameCube. Tidak sedikit orang setuju bahwa Capcom perlu me-remake Resident Evil 2 agar bisa dinikmati di platform game modern. Continue reading Remake Game Resident Evil 2 Segera Tersedia Secara Gratis