Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

The impact of the Covid-19 pandemic has finally brought Indonesia officially into a row of countries experiencing a recession. The Central Bureau of Statistics (BPS) recorded a growth of minus 3.49 percent Gross Domestic Product (GDP) on an annual basis (Year-on-Year/YoY).

This condition claims an alert for all the business sectors in Indonesia, considering that not a few have been affected by Covid-19. Business people, large to small, have struggled to survive this situation over the past few months.

How do fintech players run business in times of recession? See in full the interesting explanation from CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai and Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma in the following #SelasaStartup session.

Trend for consumer behavior and business impact

Pandemic triggers changes in consumer behavior in transactions. This trend applies worldwide, including in Indonesia. For OVO and Asetku, shifting from offline to online has a positive and negative impact on their business.

Based on company data, Jaygan admitted that there was a significant increase in food ordering (Grab Food) and online shopping (Tokopedia). Because of this shift, consumers tend to be promo-centric and cost-centric.

“We do see a decline, but it’s not as bad as we thought. We are trying to reach [the target] that we have corrected. Currently, we see that people are getting used to [transacting online] during the pandemic,” he said.

Meanwhile, Asetku, who plays in P2P lending, admitted that he experienced an increase in Non-Performing Loans (NPL) as a result of business difficulties during the PSBB period. As of September 2020, the company noted that the NPL of My Assets increased to 8.27% from the average NPL before the pandemic of 1% -2%.

Jimmi even saw an increase in the number of lenders rather than borrowers on his platform. According to him, this happened due to several factors, such as changes in consumer behavior in shopping, a decline in the JCI, tightening borrower criteria, and government initiatives to restructure debt.

“We see that the demand for borrowers has increased, so we have tightened the criteria. In addition, consumer loans have also increased because of the shifting behavior. Consumers often shop online,” he said.

Mitigation act

With the current situation, business players have started to secure the business and keep the runway long by mitigating both in terms of cost efficiency and re-evaluating their future strategies.

Both Jaygan and Jimmi claim to be efficient in their business by cutting unnecessary costs. In the Asetku case, his party took mitigation steps according to the government’s initiative to restructure.

However, according to Jimmi, one thing that should be underlined is to continue to observe trends in existing consumer behavior. According to him, it is important to understand this so that the company can continue to channel and maybe even increase loans to existing borrowers.

Meanwhile, Jaygan assessed the importance of understanding consumers to maintain the relevance of his services in the future. His party even evaluated a number of collaborations with several partners because they became irrelevant during a pandemic, for example with malls.

“This is all about optimizing what we spend, the difficult thing is to grow revenue lines and stay relevant to our consumers, especially when the promo period ends. That’s why we build risk mitigation, it takes time being customer centric,” he said.

Opportunities for SMEs to drive cashless

On the other hand, the pandemic is recognized as a momentum to accelerate a cashless society, especially since there are still many people in Indonesia who depend on cash. One of the most highlighted segments of MSME players is considered to be the most affected by the pandemic.

For Jaygan, this situation is an opportunity to encourage the penetration of QRIS features throughout Indonesia through the MSME segment, such as merchants in the market. According to company data, there are OVO merchant partners from this segment that are affected.

“Before the pandemic, we acquired MSMEs in Indonesia, for example with Pujasera. Because many were affected by the pandemic, we tried to convert merchants from offline to online with Tokopedia and Grab so that their business would continue,” he said. Now he sees an increasing trend of additional users outside Java who have been identified as being cash centric.

Meanwhile, as mentioned earlier, said Jimmi, his party continues to strive to accommodate loans to the MSME segment, especially for merchants selling on e-commerce platforms that are partners.

“The SMEs loan is not large, around Rp. 5-15 million. With KYC, algorithms, and mitigation measures, we are trying to accommodate their loans because this segment is untouched by banks, ”he explained.

Recession: Challenge or Opportunity?

Personally, Jaygan considered that a recession due to a prolonged pandemic has become a kind of reality check in running a business. He learned to think carefully before executing something.

According to him, this could be a good implication or not in the future.
“If there was no reality check, we would have just spent, not necessarily we could come up with new products or think about new market segments,” said Jaygan.

Meanwhile, Jimmi did not see this recession as a brutal challenge for fintech players, but a learning moment to be able to sustain a business. Moreover, he said, Indonesia was not the first to face this situation. Indonesia experienced economic crises in 1998 and 2008.

“The definition of economy is very broad, of course this situation can be an opportunity to learn because we have experienced crises before,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Tantangan dan Peluang Pelaku Fintech di Masa Resesi

Imbas pandemi Covid-19 akhirnya membawa Indonesia resmi masuk dalam deretan negara yang mengalami resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49 persen secara tahunan (Year-on-Year/YoY).

Kondisi ini otomatis menjadi red alert bagi sektor bisnis di Indonesia, mengingat tak sedikit yang terdampak dari Covid-19. Para pelaku bisnis berskala besar hingga kecil berupaya keras untuk bisa bertahan dari situasi ini selama beberapa bulan terakhir.

Bagaimana pelaku fintech menjalankan bisnis di situasi resesi? Simak selengkapnya paparan menarik dari CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai dan Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma pada sesi #SelasaStartup berikut ini.

Tren perilaku konsumen dan dampak bisnis

Pandemi memicu perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Tren ini terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi OVO dan Asetku, shifting dari offline ke online memberikan dampak positif dan negatif terhadap bisnis mereka.

Berdasarkan data perusahaan, Jaygan mengaku ada peningkatan transaksi secara signifikan pada pemesanan makanan (Grab Food) dan belanja online (Tokopedia). Karena pergeseran ini, konsumen jadi cenderung menjadi promo-centric dan cost-centric.

We do see a decline, tapi belum separah yang kami kira. Kami lagi berupaya mencapai [target] yang sudah kami koreksi. Saat ini kami lihat orang-orang sudah mulai terbiasa [bertransaksi online] selama pandemi,” ujarnya.

Sementara Asetku yang bermain di P2P lending mengaku mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) sebagai akibat dari kesulitan bisnis selama masa PSBB. Per September 2020, perusahaan mencatat NPL Asetku naik sampai 8,27% dari NPL rerata sebelum pandemi 1%-2%.

Jimmi bahkan melihat terjadinya peningkatan jumlah lender ketimbang borrower di platformnya. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, penurunan IHSG, pengetatan kriteria peminjam, dan inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang.

“Kami melihat demand borrower naik, maka itu kami perketat kriterianya. Selain itu, pinjaman konsumtif juga naik karena ada shifting behaviour. Konsumen jadi sering berbelanja online,” ungkapnya.

Melakukan langkah mitigasi

Dengan situasi saat ini, pelaku bisnis sudah mulai mengamankan bisnis dan menjaga runway tetap panjang dengan melakukan mitigasi, baik dari sisi efisiensi biaya hingga mengevaluasi kembali strateginya ke depan.

Baik Jaygan dan Jimmi mengaku melakukan efisiensi di bisnisnya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Pada kasus Asetku, pihaknya melakukan langkah mitigasi sesuai inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Namun, menurut Jimmi, salah satu yang patut digaris bawahi adalah terus mengamati tren perilaku konsumen existing. Menurutnya, penting untuk memahami hal tersebut agar perusahaan tetap bisa menyalurkan bahkan mungkin menaikkan pinjaman kepada borrower existing.

Sementara Jaygan menilai pentingnya memahami konsumen untuk menjaga relevansi layanannya di masa depan. Pihaknya bahkan mengevaluasi sejumlah kolaborasi dengan beberapa mitra karena menjadi tidak relevan selama pandemi, misalnya dengan mal.

“Ini semua tentang optimalisasi what we spend, yang sulit adalah grow revenue line dan stay relevant to our consumer, apalagi ketika masa promo berakhir. Makanya kami build risk mitigation, it takes time being customer centric,” ujarnya.

Peluang bagi UMKM dorong cashless

Di sisi lain, pandemi diakui menjadi momentum untuk mengakselerasi cashless society, apalagi saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang bergantung pada uang tunai. Salah satu yang paling banyak disoroti adalah segmen pelaku UMKM yang dinilai paling terdampak dari pandemi.

Bagi Jaygan, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong penetrasi fitur QRIS di seluruh Indonesia melalui segmen UMKM, seperti merchant di pasar. Menurut data perusahaan, ada mitra merchant OVO dari segmen tersebut yang terdampak.

“Sebelum pandemi, kami memang acquire UMKM di Indonesia, misalnya dengan Pujasera. Karena banyak yang terdampak dari pandemi, kami coba convert merchant dari offline ke online dengan Tokopedia dan Grab supaya bisnis mereka tetap lanjut,” tuturnya. Kini ia melihat ada tren peningkatan penambahan pengguna di luar Jawa yang selama ini diidentifikasikan masih cash centric.

Sementara sebagaimana disebutkan di awal, ungkap Jimmi, pihaknya terus berupaya untuk mengakomodasi pinjaman kepada segmen UMKM, terutama pada merchant yang berjualan di platform e-commerce yang menjadi mitranya.

“Pinjaman UMKM itu tidak besar berkisar Rp5-15 juta. Dengan KYC, algoritma, dan langkah mitigasi, kami coba mengakomodasi pinjaman mereka karena segmen ini kan tidak tersentuh bank,” jelasnya.

Resesi: tantangan atau peluang?

Secara personal, Jaygan menilai bahwa resesi akibat pandemi berkepanjangan menjadi semacam reality check dalam menjalankan bisnis. Ia mendapat pembelajaran untuk berpikir matang sebelum mengeksekusi sesuatu.

Menurutnya, ini dapat menjadi implikasi baik atau tidak di masa depan.
“Kalau tidak ada reality check, kami pasti spending begitu saja, belum tentu kami bisa come up dengan produk baru atau memikirkan segmen pasar baru,” tutur Jaygan.

Sementara Jimmi tidak melihat resesi ini sebagai tantangan brutal bagi pelaku fintech, melainkan momen pembelajaran untuk bisa mempertahankan bisnis. Terlebih, ungkapnya, Indonesia bukan baru sekali menghadapi situasi ini. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di 1998 dan 2008.

“Definisi ekonomi itu sangat luas, tentu situasi ini dapat menjadi peluang untuk belajar karena kita pernah mengalami krisis sebelumnya.” Tambahnya.

6 Catatan Pelaku Agritech Beradaptasi dengan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku belanja di Indonesia dari offline ke online. Masyarakat mulai banyak memanfaatkan platform jual-beli untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari selama PSBB.

Tren ini tentu menjadi peluang besar bagi pelaku agritech yang memasarkan bahan pangan, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dengan kesiapannya menghadapi lonjakan pemesanan yang signifikan.

Lalu, bagaimana agritech beradaptasi terhadap perilaku konsumen selama pandemi? Simak insight menarik dari Co-founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Atasi penurunan transaksi lewat jalur petani

Pandemi menghantam berbagai sektor bisnis tanpa terkecuali. Bagi Kedai Sayur yang sejak awal bermain di segmen B2B, pandemi mengakibatkan volume transaksinya menurun.

Saat pertama kali diterapkan, masa PSBB berdekatan dengan bulan Ramadan, sedangkan mitra tukang sayur yang menjadi salah satu ujung tombak bisnisnya, mudik dalam jangka waktu lama. Belum lagi mitra dari hotel, restoran, dan cafe terpaksa harus menurunkan volume pesanan karena PSBB.

Menurut Adrian, perusahaan berupaya mencari celah baru untuk menghadapi situasi ini. Caranya adalah membantu distribusi hasil panen para petani agar cepat terserap, dan membantu siklus tanam mereka agar tidak berhenti.

“Biasanya volume pesanan mencapai Rp1 juta per hari. Karena pandemi, size-nya turun menjadi Rp400 ribu per hari. Untuk menyesuaikan demand, kami cari solusi dengan membantu distribusi ke customer base. Pendapatan mereka terdisrupsi karena jalur konvensional logistik terhambat,” ungkap Adrian.

Memberdayakan komunitas sebagai agen

Karena masih fokus di area B2B, Kedai Sayur belum memiliki channel B2C untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen. Kanal B2C sendiri ditargetkan meluncur di kuartal I 2021. Saat Covid-19 mewabah, ada banyak permintaan untuk bahan pangan dari segmen consumer.

Untuk beradaptasi terhadap permintaan tersebut, Adrian mau tak mau melakukan pivoting ke B2C. Ia menggunakan pendekatan komunitas untuk menjadi agen Direct-to-Consumer (DTC) kebutuhan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

Inisiatif ini diwujudkan lewat layanan Kedai Emak yang diluncurkan pada awal PSBB. Selain merangkul komunitas untuk menjadi agen, cara ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Melakukan efisiensi operasional bisnis

Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan efisiensi. Kedai Sayur melakukan shifting pasar dengan mengacu pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sebagai contoh, pada saat PSBB di Jakarta dipercepat, Kedai Sayur shifting pasar ke Bekasi dan Tangerang.

Adrian juga mengungkap bahwa pihaknya melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengevaluasi pusat distribusi yang sekiranya mendatangkan permintaan besar. Selama pandemi, ia terpaksa harus menutup satu pusat distribusi dikarenakan volume transaksinya menurun.

“Bagian logistik juga perlu diefisiensikan karena startup itu critical dengan runaway. Startup memang perlu mempertahankan service level, tetapi mereka harus tetap efisien,” tutur Adrian.

Masuk ke semua segmen pasar

Salah satu tantangan pelaku agritech di industri perishable adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan grade produknya secara lengkap. Menurut Adrian, kuncinya adalah masuk ke semua segmen pasar, baik B2B dan B2C.

Dengan masuk ke semua segmen, pelaku bisnis dapat memenuhi berbagai permintaan produk dari grade apapun. Penyerapan produk juga menjadi lebih cepat.

“Tukang sayur biasanya punya spesifik grade dalam memilih produk, sedangkan sourcing dari petani harus ambil semua grade. Nah, perishable itu baiknya masuk ke semua segmen supaya terserap. Kombinasi antara sourcing dan market demand itu jadi kunci sukses di bisnis ini,” kata Adrian.

Memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasional

Tak dapat dimungkiri, data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

Ambil contoh, harga cabe rawit di Bekasi dan Jakarta Timur bisa berbeda dengan di Jakarta Selatan. Justru dari situasi tersebut, Kedai Sayur dapat memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasionalnya.

“Kuncinya adalah meng-capture informasi dari last mile kami. Makanya, engine di back end dibuat sedemikian rupa untuk capture data secepat mungkin. Ini bisa jadi feedback ke bagian sourcing dan pricing untuk optimalisasi layanan,” jelasnya.

Value proposition yang kuat lewat logistik

Adrian menilai logistik menjadi elemen paling krusial dalam memasarkan produk pertanian. Apalagi produk ini masuk dalam kategori produk perishable. Bagi mitra seperti tukang sayur, tentu hal tersebut menjadi tantangan sendiri.

Ritme kegiatan kerja tukang sayur umumnya dimulai sejak malam hari, di mana mereka berbelanja produk satu per satu ke pasar dan mulai berjualan di pagi hari. Sementara, produk perishable tidak dapat dijual lagi apabila tidak laku,

“Maka itu kami menawarkan value proposition dengan solusi logistik sehingga tukang sayur bisa punya normal working hours, working capital, dan harga yang lebih baik. Sekarang tukang sayur tinggal login dan order saja. Mereka jadi punya bargaining power,” tutupnya.

Memanfaatkan Platform Crowdfunding untuk Kegiatan Sosial dan Modal Usaha

Platform crowdfunding saat ini sudah menjadi alternatif komunitas, individu dan masyarakat untuk menggalang dana secara independen. Mulai dari biaya pendidikan, kesehatan, modal usaha hingga acara sosial. Didukung dengan teknologi, transparansi dan keamanan yang ditawarkan crowdfunding dinilai lebih relevan.

Salah satu layanan crowdfunding yang mencoba untuk meng-cater kebutuhan tersebut adalah IndoGiving, platform crowdfunding yang baru berdiri 5 bulan lalu dan menargetkan pengguna dari kalangan milenial.

“Alasan utama mengapa kami menargetkan kalangan milenial, karena ke depannya mereka yang akan menjadi pemimpin di Indonesia. Selain itu kita juga ingin membiasakan kalangan milenial untuk ‘berbagi’ menjadi bagian dari gaya hidup,” kata CMO IndoGiving Jessica Sugandi dalam sesi #Selasastartup DailySocial.

Di Indonesia saat ini sudah banyak platform crowdfunding yang dapat digunakan oleh masyarakat. Mulai dari Kitabisa, Gandengtangan, Indiegogo, Kolase dan masih banyak lagi. Semua memiliki komunitas, organisasi hingga pengguna aktif.

IndoGiving menegaskan perbedaan yang dimiliki dibanding platform lainnya adalah konsep “sinergi” yang lebih dikedepankan dibandingkan kolaborasi.

“Dengan sinergi semua bisa ambil bagian tanpa adanya bagian untuk masing-masing. Di IndoGiving kami mengedepankan transparansi, mulai dari data pemberi hingga payment gateway yang kami gunakan,” kata Jessica.

Menyadari pentingnya menumbuhkan kepercayaan kepada pengguna dan pemberi donasi, IndoGiving juga memastikan mulai dari proses, prosedur hingga pemilihan komunitas, organisasi yang ingin memanfaatkan platform IndoGiving dikurasi dengan baik didukung dengan teknologi.

Dukungan OJK untuk platform crowdfunding

Saat ini bukan hanya keperluan sosial dan edukasi, crowdfunding juga mulai banyak dimanfaatkan oleh pelaku UKM hingga startup untuk mendapatkan tambahan modal.

Melihat peluang tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian memberikan ruang bagi perusahaan kecil dengan modal kurang dari Rp30 miliar untuk melakukan penghimpunan dana dari publik di luar pasar modal. Mekanisme ini dinamakan Layanan Urun Dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi equity crowdfunding.

OJK telah menerbitkan peraturan terkait crowdfunding melalui penawaran saham berbasis teknologi. Aturan tersebut tertuang dalam POJK Nomor 37/POJK.04/2018 pada 31 Desember 2018.

Lewat aturan ini, OJK menjelaskan sebagai otoritas pengawasan, menerapkan pendekatan pengawasan berbasis market conduct pada kegiatan urun dana. Dengan pendekatan ini OJK mendorong keterbukaan informasi oleh penerbit, terbentuknya penyelenggara yang kredibel, serta terbangunnya sistem TI yang aman dan andal dalam kegiatan urun dana.

Menggapi aturan yang telah dirilis oleh OJK, Bekraf juga menyambut baik keputusan tersebut. Sehingga bisa memunculkan lebih banyak lagi peluang UKM untuk mengembangkan bisnis, memanfaatkan platform crowdfunding.

Empat Hal Dasar yang Harus diperhatikan dalam Membangun Startup

Dalam membangun bisnis itu tidak ada resep pasti yang bisa menjamin kesuksesan. Akan tetapi, dengan banyak mendengar kisah-kisah di balik kesuksesan seorang pengusaha akan ada benang merah yang bisa ditarik untuk menjadi bahan pelajaran.

Salah satunya, belajar dari Andrew Tanyono. Dia adalah pendiri sekaligus CEO Promogo, startup yang bergerak di sektor car advertising. Perusahaan ini berdiri sejak tahun lalu.

Kini Promogo telah hadir di 20 kota, tersebar di kota tier ke-2 dan 3 dengan menggandeng 45 brand sebagai pengiklan. Jumlah mobil berstiker sekitar 4 ribu, total perjalanan mencapai 20 juta kilometer.

Secara bisnis, Promogo telah mencetak pendapatan bisnis sebesar US$1 juta dan telah membayar iklan ke pemilik mobil dengan total nilai Rp5 miliar.

Berbekal pengalaman mendirikan Promogo, Andrew berbagi tips empat hal dasar apa saja yang harus diperhatikan dalam membangun startup. Berikut rangkumannya:

Validasi ide

Menurut Andrew, ide itu adalah barang murah. Yang mahal adalah eksekusi. Pasalnya, semua orang memiliki ide, tapi belum tentu bisa mengeksekusinya. Dia juga menekankan bahwa dalam melakukan validasi ide, founder harus memiliki passion yang sama dengan bisnis yang akan digelutinya. Memiliki passion yang sama, dinilai akan lebih mudah dalam memvalidasi.

“Bahkan empat bulan Promogo sudah berdiri, validasi ide itu terus dilakukan karena saya sendiri enggak tahu hasilnya akan seperti apa karena saya selalu coba apapun ide yang muncul,” terangnya, Selasa (21/11).

Bangun tim yang tepat

Perjalanan tim Promogo sejak pertama kali dirintis, pergantian orang-orangnya cukup dinamis. Dari empat orang, berkurang jadi tiga, hingga Andrew sendiri. Sampai akhirnya tim Promogo kini sudah mencapai 25 orang.

Dalam mencari tim, sebelumnya founder perlu identifikasi kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Kemudian cari sosok yang dapat komplementer dengan founder.

Bijak mengalokasikan pengeluaran

Keuangan adalah nyawa perusahaan. Maka dari itu, founder tidak bisa sembarang dalam membelanjakan uangnya. Atau dengan kata lain sadar dengan kapasitas sendiri. Menurut Andrew, bila menempuh cara bootstrapping, jangan sampai besar pasak daripada tiang.

“Kalau founder tidak tahu uang yang keluar dan masuk itu ada berapa totalnya, sebaiknya lupakan [bangun startup] karena itu nyawanya perusahaan.”

Terus belajar

Apa yang Andrew lakukan saat merintis Promogo adalah banyak keluar rumah untuk mendatangi berbagai pertemuan bisnis. Dari sana, dia berkenalan dengan banyak orang untuk belajar dan berteman. Belajar, sambungnya, tidak harus duduk di bangku sekolah saja tapi bisa dari lapangan langsung.

“Jangan lupa untuk terus berbuat baik ke orang asing karena kita semua enggak ada yang tahu di luar akan ketemu siapa. Yang terpenting adalah skill, usaha, dan terus berdoa,” pungkas Andrew.

Hal Mendasar yang Wajib Dicermati Startup Saat Penggalangan Dana

Banyak hal menarik yang disampaikan oleh dua nara sumber #SelasaStartup minggu ini yaitu Head Marketing KoinWorks Jonathan Bryan dan Investment Analyst dari Spiral Ventures Karissa Adelaide. Sesi diskusi yang mengambil tema “Know you potential investor” membahas beberapa cara menarik yang wajib dicermati oleh pelaku startup saat bersiap untuk melakukan fundraising. Mulai dari pitchdeck yang sempurna hingga kebijakan startup memanfaatkan dana yang telah diterima usai penggalangan dana dilakukan.

Spiral Ventures siap dukung startup Indonesia

Usai mengubah nama menjadi Spiral Ventures bulan Maret 2017 lalu, fokus utama mereka adalah startup Indonesia terutama yang berbasis teknologi. Masih fokus kepada pre-seed dan seed stage, Karissa mengungkapkan masih banyak startup asal Indonesia yang memiliki potensi untuk mendapatkan investasi.

“Tentunya saya tidak ingin lagi melihat startup yang masih menerapkan pola yang sama, yaitu membuat bisnis e-commerce, marketplace hingga on-demand. Coba temukan bisnis baru yang memanfaatkan teknologi dan memberikan solusi yang terbaik dari masalah yang ada saat ini,” kata Karissa.

Karissa juga menambahkan penting bagi startup untuk bisa melakukan pendekatan dan relasi yang baik dengan investor. Dalam hal ini tugas Karissa sebagai Investment Analyst menentukan pitchdeck yang memiliki potensi untuk diteruskan kepada venture partner di VC.

“Untuk itu perhatikan dengan teliti pitchdeck yang dimiliki sebelum dikirimkan kepada VC. Mulai dari koreksi penulisan hingga isi dari konten yang ada, pitchdeck yang menarik perhatian VC adalah, pitchdeck yang singkat, jelas dan berisikan informasi yang sarat terkait dengan model bisnis dari startup,” kata Karissa.

Karissa juga menambahkan, penting bagi pelaku startup untuk melakukan pendekatan yang “friendly” kepada investor di acara-acara umum. Informasikan model bisnis startup secara singkat dan padat saat kesempatan tersebut atau yang lebih dikenal dengan sebutan “elevator pitch“.

“Baiknya Anda harus bisa meyakinkan orang tua atau bahkan nenek Anda terlebih dahulu tentang model bisnis yang bakal Anda lancarkan. Kalau mereka mengerti ide Anda dalam waktu satu menit, pastinya investor akan bisa mengerti dan waktu yang singkat tidak terbuang percuma,” kata Karissa.

Selanjutnya usai pendanaan diterima oleh startup, penting bagi pemilik startup untuk menentukan prioritas utama penyaluran dana kepada pengembangan produk, bukan kepada hal-hal yang kurang relevan seperti alokasi gaji pegawai.

“Saya sarankan tidak memutuskan hal-hal yang kurang masuk akal dan tidak mendukung jalannya bisnis startup. Tentukan prioritas dan buat komitmen untuk melancarkan rencana tersebut,” kata Karissa.

KoinWorks dan potensi sebagai pemberi dana startup

Sejak menjalankan bisnisnya selama satu tahun terakhir, saat ini KoinWorks telah memiliki sekitar 15 ribu borrowers atau peminjam dan Jumlah investor atau pemberi pinjaman juga diklaim terus mengalami peningkatan. Untuk jumlah yang diinvestasikan juga beragam, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 500 juta. Dari sekian banyak jumlah pemberi pinjaman yang ada, menurut Jonathan belum bisa diimplementasikan untuk startup yang membutuhkan tambahan modal untuk startup.

“Fokus kami hingga kini masih kalangan individu hingga pelaku UMKM yang merupakan merchant dari layanan e-commerce seperti Lazada. Untuk itu KoinWorks berlum membuka kesempatan startup mendapatkan investasi dari pemberi pinjaman KoinWorks,” kata Jonathan.

Tren startup tahun 2018 mendatang

di Akhir acara Jonathan dan Karissa berbagi prediksi terkait dengan tren dari startup yang bakal memiliki potensi di tahun 2018 mendatang.

“Saya melihat health tech bakal memiliki potensi yang cerah. Karena masih besarnya potensi yang belum digali, sementara kebutuhan orang banyak untuk layanan kesehatan masih sangat dibutuhkan,” kata Karissa.

Sementara menurut Jonathan, meskipun sudah banyak layanan P2P saat ini di tanah air, masih ada celah baru untuk pelaku startup yang ingin menyasar layanan financial technology (fintech) di Indonesia.

“Saya juga melihat layanan edutech masih memiliki potensi untuk digali dan juga health care yang masih jarang saat ini inovasinya di Indonesia,” kata Jonathan.


Andriansyah Agustian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini

Target Pengguna yang Tepat Menentukan Desain Produk Startup

Dalam sesi #SelasaStartup minggu ini, DailySocial menghadirkan Country Lead Canva Indonesia Sony Radhityo. Canva, penyedia layanan platform desain online asal Australia, sejak tahun 2017 sudah hadir di Indonesia dengan pilihan bahasa lokal untuk memudahkan pengguna menggunakan platform-nya.

Makin meningkatnya jumlah pengguna Canva, yang kebanyakan berasal dari kalangan millennial, merupakan salah satu alasan pada akhrnya Canva melakukan pelokalan hingga kolaborasi dengan desainer lokal.

“Sebelum Canva resmi hadir di Indonesia kebanyakan pengguna berasal dari Indonesia yang tertarik untuk menggunakan Canva melakukan editing foto untuk media sosial. Melihat besarnya potensi tersebut akhirnya Canva memutuskan untuk hadir di Indonesia.”

Sebagai salah satu platform yang menyediakan pilihan desain, editing, dan filter yang menarik untuk pengguna, Canva tidak hanya digunakan untuk melakukan penyuntingan foto di media sosial. Pelaku UKM dan startup melakukan kegiatan pemasaran dengan budget terbatas menggunakan Canva.

“Dengan pilihan desain yang beragam dan harga yang terjangkau, Canva ingin menjadi bagian dari para pelaku startup hingga UKM di Indonesia untuk meningkatkan kegiatan pemasarannya dengan harga yang terjangkau,” kata Sony.

Ditambahkan Sony, selain memberikan pilihan desain beragam dan harga terjangkau, Canva juga kerap melakukan kolaborasi dengan para desainer lokal untuk mendaftarkan desain yang mereka miliki ke Canva.

“Kami menyediakan profit sharing yang menarik dan tentunya kesempatan untuk mempromosikan desain kepada orang banyak melalui platform Canva,” kata Sony.

Tentukan target pasar sebelum membuat desain

Salah satu poin penting yang wajib dicermati startup saat bersiap untuk membuat desain produk adalah menentukan terlebih dahulu target pasar yang diincar. Dengan demikian akan tercipta desain yang menarik dan sesuai dengan target pasar yang relevan.

“Untuk Canva misalnya, kami melihat kebanyakan adalah kalangan millennial yang menyukai media sosial dan ingin mempercantik foto mereka sebelum diunggah. Dengan demikian memudahkan Canva untuk membuat desain yang tepat,” kata Sony.

Jika target pasar telah ditemukan, mulailah untuk membuat desain dan lakukan uji coba secara rutin. Lemparkan beberapa pilihan desain kepada publik, dan cermati seperti apa desain yang berpotensi untuk viral dan segera tarik desain yang kurang diminati. Lakukan trial and error  ini secara rutin, sampai akhirnya desain produk yang tepat sudah ditemukan.

Desain idealnya harus berupa gambar dilengkapi dengan informasi yang menarik dan relevan. Untuk itu ciptakan konten desain untuk kalangan atau komunitas tertentu yang sudah dipastikan bakal menggunakan produk startup Anda nantinya. Hindari membuat desain produk untuk orang banyak.


Disclosure: #SelasaStartup adalah kegiatan mingguan DailySocial yang diadakan setiap hari Selasa yang mempertemukan audience dan pelaku industri startup Indonesia

Tiga Hal yang Perlu Dicermati Startup saat Melakukan Penggalangan Dana

Kesuksesan yang telah diraih Aria Rajasa Masna dengan bisnis yang telah dibangun, yaitu gantibaju dan Tees, bisa dijadikan inspirasi kepada calon entrepreneur. Meskipun tidak selalu berjalan mulus sejak awal, dengan Tees Aria bersama mitra dan investor sudah menemukan produk yang tepat dan pasar yang sesuai untuk bisnis yang dijalankan.

Dalam sesi #SelasaStartup yang diselenggarakan DailySocial, Co-Founder dan CEO Tees Aria Rajasa Masna berbagi pengalaman, tips, dan trik yang wajib diketahui calon pelaku startup ketika tengah bersiap melakukan penggalangan dana.

Hindari melakukan penggalangan dana saat startup baru dibangun

Di masa awal startup dibangun, yang menjadi fokus utama adalah bagaimana ide yang dimiliki mampu diimplementasikan menjadi produk yang berfungsi dengan baik melalui percobaan hingga menentukan target pasar. Menjadi hal yang kurang ideal untuk melakukan penggalangan dana di masa itu, karena pada umumnya startup belum memiliki kesiapan dari sisi materi hingga mental untuk mengelola pendanaan tersebut.

Di masa awal ini, pendiri startup juga wajib untuk mempelajari manajemen hingga hal-hal teknis terkait dengan bisnis yang akan dijalankan. Jika pendiri tidak memiliki cukup pengalaman dan pengetahuan, ada baiknya untuk mengajak rekan bisnis yang memiliki kemampuan dan pengalaman tersebut.

“Menjadi hal yang penting bagi startup untuk membentuk tim terlebih dahulu ketika startup baru dibangun. Dengan demikian ketika nantinya produk sudah siap dan target pasar telah ditentukan, startup pun bisa menentukan langkah berikutnya yaitu pertumbuhan atau growth,” kata Aria.

Penting bagi startup untuk melakukan product market fit terlebih dahulu, sebelum kegiatan penggalangan dana dilakukan hingga meluncurkan produk. Proses Product Market Fit yang tidak dilakukan sejak awal, akan mempengaruhi jalannya bisnis ke depannya.

“Lakukan market research terlebih dahulu, dan pastikan Anda memahami bisnis serta siapa target pasar yang paling sesuai untuk produk atau layanan yang bakal Anda hadirkan.”

Hal lain yang menjadi pertimbangan untuk tidak melakukan penggalangan dana kepada investor di masa awal startup adalah pembagian atau kesepakatan yang dituntut investor yang biasanya akan lebih merugikan startup baru ketimbang saat startup mulai tumbuh dan mengalami peningkatan yang positif.

Lakukan penggalangan dana ketika kondisi keuangan masih aman

Pengalaman menarik lainnya yang dibagikan Aria dalam sesi tanya jawab #SelasaStartup adalah ketika akhirnya Tees mendapatkan investor yang tertarik untuk menanamkan modal, Aria dan tim tidak pernah secara langsung melakukan kegiatan penggalangan dana. Semua berjalan secara organik berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan yang telah diraih.

“Ketika bisnis sudah mulai menunjukkan pendapatan yang stabil, biasanya akan datang penawaran dari investor untuk memberikan pendanaan kepada startup Anda. Intinya adalah tunjukkan terlebih dahulu potensi dari bisnis Anda, agar bisa menarik perhatian investor yang tepat untuk berinvestasi.”

Saat pendanaan pada akhirnya didapatkan, gunakan uang tersebut dengan bijak, jangan terlalu fokus kepada hal-hal yang tidak relevan namun prioritaskan rencana dan goal dari bisnis Anda ke depannya.

“Kebanyakan ketika startup telah mendapatkan funding lebih memikirkan untuk eksistensi. Idealnya pendanaan yang dimiliki bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan startup. Apakah itu menambah jumlah pengguna, unduhan aplikasi dan lainnya,” kata Aria.

Bina hubungan baik dengan investor

Melakukan pendekatan dengan investor terutama untuk Anda pemilik startup baru, memerlukan waktu yang lama dan pengenalan yang baik dengan investor dari VC hingga angel investor. Biasanya investor akan lebih mudah didekati ketika telah mengenal Anda pemilik startup sebelumnya, dibandingkan dengan pemilik startup baru yang belum dikenal. Untuk itu ada baiknya untuk memiliki kenalan atau rekomendasi dari pelaku startup lainnya kepada investor yang Anda incar untuk mulai melakukan pitching atau presentasi.

“Cara terbaik adalah membina hubungan baik terlebih dahulu, yaitu berkenalan antara Anda dan investor. Lebih baik lagi jika Anda memiliki teman atau rekomendasi dari kalangan investor, karena biasanya investor lebih nyaman melakukan bisnis dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya,” kata Aria.

Untuk itu lakukan terus networking dan perluas jaringan pertemanan dikalangan pelaku startup, investor, dan komunitas yang relevan.

Application Information Will Show Up Here

Apakah Konten Viral dapat Berkualitas?

Mendengar kata ‘viral’, apa yang langsung terlintas di benakmu? Meme? Hashtag? Atau, hoax?

Sudut pandang medis mengartikan viral sebagai sesuatu yang berhubungan dekat dengan virus. Sedangkan, dari terminologi digital, viral sering dikaitkan dengan konten yang mendapat jempol atau repost berlimpah, diperbincangkan di timeline media sosial, hingga menjadi wacana ringan di grup messenger. Kedua perspektif ini punya benang merah utama, penyebaran.

Saat startup-mu sukses menghasilkan produk yang cocok dengan kebutuhan pasar, mungkin kamu mulai berpikir untuk menciptakan content marketing yang membuat nama usahamu melambung, dan viral, apalagi jika kamu sudah mencapai seri pendanaan tertentu yang memungkinkanmu memperbesar skala dan mengenalkan produk startup seluas-luasnya.

Viral marketing memang menggiurkan karena penyebarannya yang cepat namun masif. Perlu kombinasi dari berbagai medium agar pesan marketing yang ingin disampaikan menjadi buah bibir. Belajar dari pengalaman, Dropbox mengadopsi integrasi antara kualitas produk, word of mouth, dan media sosial sebagai medium viral marketing.

Tantangannya sekarang konten viral seringkali diidentikkan dengan konten remeh-temeh, seperti contohnya konten hoax berbentuk artikel atau meme, yang bersifat clickbait.

Bukan hanya bisnis startup yang erat kaitannya dengan konten dan media saja, semua jenis bisnis dapat menciptakan konten seperti itu, selama menggunakan medium yang menghubungkan ke banyak orang. Jadi, semua berkesempatan menjadi viral, tapi semua juga ‘berkesempatan’ untuk melahirkan konten yang remeh-temeh.

Lantas, apakah konten viral tidak bisa berbanding lurus dengan kualitas konten yang baik? Apakah membuat meme untuk social media marketing menjamin menjadi viral? Bagaimana proses dibalik konten viral?

rsz_img-20170330-wa0001

CEO Brilio Joe Wadakethalakal akan berbagi dan mengajakmu berdiskusi seputar hal ini di #SelasaStartup dengan tema “Viral vs. Quality”, bertempat di kantor DailySocial. #SelasaStartup kali ini pas sekali untukmu yang berkutat di bidang startup, business development, marketing, dan content production.

Selain snack dan coffee, kamu juga akan mendapatkan insight seputar tren content marketing terkini serta kesempatan untuk berjejaring dengan sesama marketing geek dan tech enthusiast. Daftar gratis sekarang juga di sini!

 

#SelasaStartup Episode 1, Menyelami Lingkup Pendanaan Seri A

Berbicara soal membangun bisnis startup jelas tidak bisa lepas dari urusan pendanaan. Lingkup perusahaan teknologi sangat akrab dengan beberapa fase bisnis perihal urusan pendanaan; fase seed, Seri A, Seri B, Seri C, dan seri-seri berikutnya hingga saham perusahaan siap dijual di pasar saham, atau tahap IPO (Initial Public Offering).

Sebelum terlalu jauh mengenal ronde-ronde dalam pendanaan tersebut, mereka yang berencana mendirikan startup, maupun yang telah mengenyam aliran dana di fase seed, umumnya punya satu pertanyaan sama: bagaimana kita mendapatkan pendanaan untuk tahap Seri A?

“Saat product dan market sudah fit, barulah waktunya pendanaan seri A,” terang Co-Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra dalam event #SelasaStartup.

#SelasaStartup adalah acara bulanan yang membahas seputar industri teknologi dari perspektif, yang mencakup di antaranya seperti startup, investasi, pendanaan, inovasi teknologi, dan sejenisnya, dan diselenggarakan oleh DailySocial.

Pada Selasa (21/03) malam kemarin, #SelasaStartup memulai edisi perdananya menyoal satu topik yang menjadi buah bibir bagi tengah mencari sumber dana untuk bisnis teknologi rintisannya. Andi mengisi sharing session ditemani Wiku Baskoro, Co-Founder dan Editor-in-Chief DailySocial.

Andi, yang baru saja menerima dana segar tahap Seri A dari sebuah venture capital milik Bank BUMN bersama Amartha, menceritakan pengalamannya mengembangkan produk sampai teknis menyusun proposal ke investor.

“Ungkapan ‘we are here to change the world’ itu bukan hal yang ambisius,” ujar Andi, menyentil sedikit tentang dorongan dalam berinovasi.

Inovasi inilah yang kemudian berkaitan erat dengan bagaimana perspektif pemodal kala memutuskan untuk berinvestasi di sebuah startup. Berdasarkan apa yang dirasakannya, Andi menjelaskan bagaimana harapan investor yang ingin startup yang didanainya menjadi the next big things di Indonesia.

“Enggak perlu jadi the next Facebook di dunia deh, paling enggak jadi the next Facebook di regional.”

Memulai dengan bootstrapping maupun pendanaan dari angel investor menjadi keuntungan tersendiri bagi Andi. “Waktu seed itu masih leluasa untuk trial-error ke produk,” ujarnya.

Semakin besar skala perusahaan, semakin tinggi pula tanggung jawab yang mesti diemban. Menginjak tahapan Seri A, ruang untuk “coba-coba”sedikit menyempit dan valuasi bisnis pun kemudian menjadi satu pekerjaan rumah sendiri.

Pertanyaan yang muncul mengenai valuasi adalah tentang memulainya. “Bagaimana menghitung valuasi? Ceritakan saja dengan jujur apa yang menjadi strength dan weakness,” terang Andi.

“Di Indonesia itu lebih generik penentuan valuasinya. Bukan jumlah user berapa banyak, tapi produknya fit ke market enggak?”

Dibutuhkan nilai tambah produk untuk memenangkan hati investor dan mendapat valuasi yang tepat. Andi merasa Amartha telah melakukan hal itu dan ia sepenuhnya sadar bahwa investor berupaya mengeruk untung sebesar-besarnya di tengah peer-to-peer lending platform-nya yang dekat dengan kegiatan sosial.

“Bisnis dan sosial bukan hal yang harus dipisahkan dan harusnya bisa paralel. Amartha melihat bahwa para UKM ini bukan memposisikan tangan di bawah, tapi mereka mencari mitra kerja. Makin ke sini orang mulai berpikir bukan how much product you can make, tapi how much value you can bring to community,” jelas Andi.