Tinggalkan Bisnis Smartphone, Light Alihkan Teknologi Multi-Kameranya ke Ranah Otomotif

Tiga tahun lalu, sebuah perusahaan bernama Light sempat mencuri perhatian ketika merilis kamera saku yang dibekali 16 lensa yang berbeda. Lalu pada pertengahan tahun 2018, Light kembali menjadi buah bibir saat mengumumkan rencananya untuk membawa teknologi multi-kamera rancangannya ke ranah smartphone.

Lanjut ke ajang Mobile World Congress 2019, visi besar Light itu akhirnya terwujud. HMD Global menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi multi-kamera Light pada produk bikinannya, spesifiknya Nokia 9 PureView yang mengemas lima kamera sekaligus. Sayangnya, ulasan demi ulasan yang beredar mengenai Nokia 9 Pureview menyimpulkan bahwa tidak ada yang terlalu istimewa dari kamera milik smartphone tersebut.

Nokia 9 PureView / HMD Global
Nokia 9 PureView / HMD Global

Apa yang kelima kameranya lakukan pada dasarnya tidak lebih dari teknik image stacking, dan seperti yang Ars Technica jelaskan secara mendetail, ini sebenarnya sudah bisa dicapai via software. Bedanya tentu saja adalah kelengkapan datanya; kalau mengandalkan software, data depth map yang ditangkap tidak akan bisa selengkap yang diambil oleh kelima kamera Nokia 9 PureView.

Dalam fotografi smartphone, informasi kedalaman (depth) sendiri paling sering digunakan untuk memberikan efek bokeh buatan. Google, lewat seri Pixel-nya, telah membuktikan kalau efek bokeh buatan ini bisa tetap bagus walaupun cuma mengandalkan software. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah teknologi multi-kamera rancangan Light ini punya tempat di industri smartphone?

Berhubung biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi dan berujung pada harga jual perangkat yang mahal — Nokia 9 PureView dihargai $700, padahal spesifikasinya setara ponsel flagship keluaran setahun sebelumnya – saya kira jawabannya jelas tidak. Teknologi ini mungkin akan lebih cocok diterapkan di bidang yang betul-betul membutuhkan informasi depth yang amat presisi, bidang otomotif misalnya.

Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light
Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light

Benar saja, kepada Android Authority, Light menyampaikan bahwa mereka tak lagi terlibat dalam industri smartphone. Halaman utama situs Light kini menunjukkan bahwa mereka sedang membangun platform 3D depth perception untuk industri otomotif, lebih tepatnya untuk dimanfaatkan dalam sistem kemudi otomatis (self-driving).

Ini sebenarnya bukan pertama kali Light menyampaikan ketertarikannya untuk terjun ke ranah otomotif. Saat prototipe smartphone multi-kameranya menjadi bahan pembicaraan di tahun 2018 lalu, Light juga sempat menyinggung soal potensi pengaplikasian teknologi rancangannya di bidang otomotif, spesifiknya untuk menjadi ‘indera penglihatan’ mobil tanpa harus mengandalkan bantuan sensor-sensor khusus.

Singkat cerita, Light pada akhirnya memutuskan untuk pivot. Nokia 9 PureView tampaknya bakal menjadi smartphone pertama sekaligus terakhir yang dibekali teknologi multi-kamera besutan Light, sebab sejauh ini tidak ada informasi lebih lanjut terkait kemitraan antara Light dan Xiaomi yang diumumkan tahun lalu.

Pivot masih jauh lebih bagus daripada harus benar-benar gulung tikar, dan ini sejatinya sudah bisa dibilang cukup umum buat perusahaan yang mengembangkan teknologi kamera. Lihat saja Lytro, salah satu pelopor teknologi kamera light-field yang pada akhirnya harus tutup meski teknologinya terdengar menjanjikan.

Sumber: Android Authority.

Mobil Bisa Menyetir Sendiri Bukan Berarti Kita Boleh Lepas Tangan (Untuk Sekarang)

Tahun demi tahun, industri otomotif semakin dekat dengan realisasi sistem kemudi otomatis. Namun sebelum teknologinya benar-benar matang – dan sebelum regulasi setempat mengizinkan – kita masih akan terus melihat (dan memegang) setir di dashboard.

Sistem-sistem yang sudah ada sekarang, macam Tesla Autopilot atau Cadillac Super Cruise, pada dasarnya sudah cukup canggih untuk bisa mengemudikan mobil dengan sendirinya. Namun itu bukan berarti pengemudi boleh tidur begitu saja di sepanjang perjalanan; mereka tetap harus siaga dan siap mengambil alih kemudi kapan saja diperlukan.

Pasalnya, seperti yang saya bilang tadi, teknologinya belum sepenuhnya matang, dan sebenarnya cuma ditujukan untuk membantu meringankan tugas mengemudi – itulah mengapa pabrikan memakai istilah ADAS, singkatan dari advanced driver-assistance systems. Namun namanya manusia, pasti ada saja yang bandel dan terlalu percaya diri dengan kinerja ADAS mobilnya masing-masing.

2021 Mercedes-Benz E-Class

Maka dari itu, pabrikan menilai dibutuhkan semacam sistem untuk mencegah para pengemudi tak bertanggung jawab itu melukai dirinya sendiri (dan orang lain). Seandainya mereka mengaktifkan ADAS lalu melepas tangannya dari setir, maka mobil akan menepi dengan sendirinya dan menolak untuk berjalan sebelum pengemudi meletakkan kembali tangannya ke lingkar kemudi.

Bagaimana cara mobil tahu pengemudi melepaskan tangannya dari setir? Dengan bantuan panel kapasitif yang tertanam di setir, seperti yang didemonstrasikan oleh Mercedes Benz E-Class terbaru. Mercy sebenarnya bukan yang pertama menerapkan teknologi ini, Cadillac sudah lebih dulu mengimplementasikan mekanisme yang sama pada sistem Super Cruise-nya.

Yang diterapkan Cadillac malah lebih menyeluruh karena selain memantau keberadaan tangan di setir, ada kamera yang memantau ke mana mata pengemudi memandang / Cadillac
Yang diterapkan Cadillac malah lebih menyeluruh karena selain memantau keberadaan tangan di setir, ada kamera yang memantau ke mana mata pengemudi memandang / Cadillac

Apa yang diterapkan Cadillac malah sebenarnya lebih advanced karena turut mencakup sistem eye tracking. Satu tangan menggenggam setir tapi tangan lainnya sibuk menggeser profil demi profil di Tinder jelas terdengar percuma, sebab pengemudi tak akan bisa bertindak dengan sigap kalau matanya tidak tertuju ke jalanan.

Terlepas dari itu, setir berpanel kapasitif masih lebih baik ketimbang sistem yang diterapkan Mercy sebelumnya, yakni mengukur pergerakan setir. Pengemudi yang nakal tentu masih akan menemukan cara untuk mengibuli sistem kapasitif ini, tapi setidaknya ini menunjukkan bahwa pabrikan mobil sudah berada di jalur yang tepat dalam memikirkan cara untuk menyikapi pengemudi-pengemudi tak bertanggung jawab.

Sumber: The Verge.

Lupakan Rivalitas, BMW dan Daimler Bekerja Sama Kembangkan Teknologi Kemudi Otomatis

BMW dan Mercedes-Benz, dua brand Jerman ini merupakan salah satu dari pasangan rival terbesar di industri otomotif. Namun ketika membicarakan soal masa depan industri, keduanya memutuskan untuk melupakan sejenak persaingan di antaranya, dan justru memilih untuk berkolaborasi.

Ranah yang hendak mereka garap bersama adalah seputar teknologi kemudi otomatis. Wacana ini sebenarnya sudah BMW dan Daimler (induk perusahaan Mercedes-Benz) umumkan sejak bulan Februari lalu, akan tetapi kontrak kerja samanya baru saja diselesaikan, dan ini bersifat jangka panjang.

Kerja sama antara BMW dan Daimler ini bakal berfokus pada pengembangan teknologi driver assistance, kemudi otomatis di jalan tol, serta parkir otomatis, dengan merujuk pada standar SAE Level 4 (Level 5 adalah yang paling tinggi). Setelah semua ini tercapai, kolaborasinya masih akan berlanjut sampai ke teknologi kemudi otomatis di area urban dan perkotaan.

Selain memang lebih kompleks, teknologi kemudi otomatis di area urban juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur. Regulasi masing-masing daerah juga memegang peran yang tak kalah penting, itulah mengapa kolaborasi jangka panjang merupakan hal yang krusial dalam perwujudan ekosistem otomotif masa depan.

BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW
BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW

Sinergi antara mobil dan infrastruktur ini sebenarnya sudah mulai ditanam benih-benihnya oleh masing-masing pabrikan. Dalam kasus BMW, salah satu contohnya adalah sistem cruise control yang dapat mendeteksi lampu lalu lintas. Teknologi semacam ini tentu saja bakal semakin efektif jika ditunjang oleh infrastruktur yang tepat.

Juga menarik untuk disoroti adalah sifat kerja sama ini yang non-eksklusif. Artinya, hasil kolaborasi BMW dan Daimler di ranah teknologi kemudi otomatis ini juga bakal bisa dimanfaatkan oleh pabrikan-pabrikan otomotif lain dengan mengandalkan sistem lisensi. Kedua perusahaan sebenarnya bisa saja merahasiakan hasil kerja samanya, tapi rupanya mereka memilih untuk bersaing secara sehat dengan pemain lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi sifat non-eksklusif itu adalah hasil studi BMW dan Daimler bersama sejumlah pabrikan lain seperti Audi dan Volkswagen, di mana mereka mencoba menetapkan semacam standar keselamatan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi kemudi otomatis.

Masalah keselamatan ini merupakan topik yang sangat penting, apalagi mengingat sebagian besar publik masih menganggap teknologi kemudi otomatis belum siap untuk diaplikasikan secara luas. Dengan adanya standar yang jelas, setidaknya pabrikan tidak jadi saling berlomba mengembangkan sistem yang kelewat canggih, tapi ternyata belum siap untuk konsumsi publik.

Problem yang terakhir ini sejatinya sudah beberapa kali ditunjukkan oleh Tesla melalui sistem Autopilot-nya. BMW, Daimler, serta pabrikan-pabrikan lainnya pada dasarnya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan menumbuhkan image yang buruk di hadapan publik.

Terlepas dari itu, BMW dan Daimler menargetkan teknologi kemudi otomatis hasil racikannya bersama dapat dinikmati oleh konsumen paling cepat mulai tahun 2024. Sekali lagi tentu saja ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kesiapan infrastruktur dan regulasi setempat.

Sumber: Electrek.

Truk Otomatis Volvo, Vera, Siap Bertugas Mengangkut Kontainer dengan Sendirinya

Secara umum, tujuan utama dari pengembangan teknologi robotik dan autonomous adalah untuk menyediakan bantuan terhadap pekerjaan-pekerjaan repetitif. Kalau perlu contoh, pencapaian terbaru Volvo Trucks belum lama ini bisa menjadi contoh yang tepat.

Mereka baru saja mengumumkan bahwa truk otomatisnya yang diperkenalkan tahun lalu, Vera, siap menjalankan tugas perdananya tidak lama lagi. Bekerja sama dengan perusahaan logistik asal Swedia, DFDS, Volvo bakal menugaskan Vera untuk mengangkut kontainer dari area gudang di kota Gothenburg menuju ke pelabuhan.

Volvo Trucks Vera

Melihat wujud Vera, tampak jelas bahwa truk ini sengaja dirancang untuk tidak dikemudikan oleh seseorang. Mesinnya pun murni mengandalkan tenaga listrik, dengan kecepatan maksimum 40 km/jam. Selama bertugas, Vera akan terus dipantau oleh operator dari sebuah menara kontrol.

Koneksi antara Vera dan menara kontrol ini merupakan komponen yang esensial, sebab yang dimonitor secara akurat bukan cuma posisi tiap-tiap unit Vera saja, tapi juga parameter-parameter penting lain, macam sisa baterai misalnya. Kecepatan setiap unitnya juga bakal diatur dari pusat kontrol yang sama, menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Volvo Trucks Vera

Rute yang akan diambil Vera memang sudah paten, akan tetapi rupanya masih mencakup sejumlah jalan umum di kawasan industri. Jaraknya pun tidak begitu jauh, tapi kembali lagi, tujuan yang hendak dicapai adalah menyediakan solusi yang lebih efisien dan presisi terhadap pekerjaan repetitif.

Terakhir, program ini juga disiapkan sebagai salah satu langkah awal untuk mengadaptasikan infrastruktur. Tanpa dukungan infrastruktur yang tepat, semisal gerbang otomatis di area pelabuhan, teknologi canggih yang diusung Vera juga tidak akan bisa bekerja secara maksimal, dan ini sangat berpengaruh terhadap implementasi teknologi autonomous dalam skala yang lebih besar.

Sumber: Volvo.

Robot Ini Gantikan Peran Petugas Valet di Salah Satu Bandara Tersibuk di Perancis

Tenaga kerja robot tidak akan sepenuhnya menggantikan manusia, setidaknya dalam waktu dekat ini. Kendati demikian, untuk pekerjaan-pekerjaan repetitif, seperti misalnya menjadi petugas valet, kombinasi robot dan teknologi automasi jauh lebih efisien ketimbang manusia, dan itu sedang dibuktikan oleh bandara tersibuk keempat di Perancis, Lyon–Saint-Exupéry Airport.

Mereka baru saja memulai layanan robot valet secara resmi. Robot yang dipekerjakan merupakan bikinan Stanley Robotics, yang sendirinya sudah menguji robot valet otomatis selama beberapa tahun dan di beberapa bandara. Lyon–Saint-Exupéry Airport merupakan debut perdananya sebagai layanan resmi yang bukan bersifat ujicoba.

Robot-robot yang dijuluki Stan ini pada dasarnya merupakan forklift berteknologi kemudi otomatis. Sebagian besar teknologi yang digunakan sama persis seperti di mobil kemudi otomatis, termasuk kemampuan untuk memonitor lingkungan di sekitarnya dan bereaksi ketika ada rintangan di rutenya.

Stanley Robotics robot valet

Pengunjung bandara yang hendak menggunakan layanan ini cuma perlu menempatkan mobilnya ke semacam hangar khusus, di mana mobilnya akan dipindai guna mengonfirmasi merek dan modelnya. Setelahnya, Stan akan datang dan menarik mobil tersebut menuju ke satu dari 500 lahan parkir yang tersedia – target akhirnya, layanan robot valet ini bakal meng-cover sekitar 6.000 lahan parkir.

Menurut tim pembuatnya, satu unit Stan mampu memarkir dan mengambil kembali hingga 200 mobil per harinya. Bukan cuma itu, Stanley Robotics mengklaim Stan mampu memanfaatkan lahan kosong lebih efisien ketimbang petugas valet manusia; spesifiknya, Stan dapat menjejalkan 50% lebih banyak mobil ke satu area yang sama.

Ini dikarenakan Stan memiliki kemampuan menyetir yang sangat presisi, dan ia tak segan memarkirkan mobil sampai menumpuk berbaris-baris, sebab sistemnya akan terus memonitor waktu kedatangan masing-masing pemilik mobil (berdasarkan info dari boarding pass). Jadi untuk pemilik mobil yang akan menginapkan mobilnya cukup lama, Stan bakal menempatkannya di baris paling ujung sendiri.

Stanley Robotics robot valet

Selama Stan beroperasi, ada sejumlah manusia yang akan selalu mengawasi demi memastikan semuanya aman dan bisa langsung bertindak kala ada malfungsi yang terjadi. Ke depannya, tugas supervisi ini bakal dilangsungkan dari jarak jauh alias secara remote.

Selain menawarkan kepraktisan ekstra kepada konsumen, layanan robot valet ini rupanya juga termasuk ramah kantong. Berdasarkan pantauan The Verge dari situs resmi Lyon–Saint-Exupéry, tarif parkir pribadi selama seminggu di area terjauh dari bandara dipatok 54 euro, sedangkan tarif layanan robot valet ini dipatok 55,80 euro di area parkir yang sama.

Sumber: The Verge.

Robomart Adalah Minimarket Berjalan yang Otomatis dan Tanpa Kasir

Baru-baru ini, saya sempat membahas soal Caper, troli belanja pintar untuk pasar swalayan tanpa kasir. Caper sejatinya dapat dilihat sebagai solusi alternatif atas teknologi yang diterapkan Amazon Go, dan yang namanya alternatif sering kali bukanlah satu-satunya pilihan yang ada.

Alternatif lainnya datang dari startup bernama Robomart. Premis yang ditawarkan sebenarnya sedikit berbeda: ketimbang mengharuskan konsumen berkunjung ke toko, kenapa tidak tokonya saja yang dibawa ke konsumen? Sederhananya, Anda bisa menganggap Robomart sebagai perpaduan Uber dan Amazon Go.

Uber dikarenakan pasar berjalan ini harus dipanggil menggunakan aplikasi pendampingnya terlebih dulu sebelum akhirnya ia datang ke lokasi konsumen. Setibanya ia di lokasi, konsumen dapat membuka pintu gesernya dan mengambil produk-produk yang hendak dibelinya, kemudian menutup kembali pintunya dan membiarkannya pergi meninggalkan lokasi.

Robomart

Robomart memanfaatkan perpaduan teknologi computer vision dan RFID untuk mendeteksi produk-produk yang diambil oleh konsumen. Dari situ sistem akan langsung menagihkan belanjaan ke kartu kredit konsumen, sekaligus mengirimkan struk belanjanya via email. Prosesnya kurang lebih mirip seperti Amazon Go, hanya saja ini berlangsung di pinggir jalan ketimbang di satu lokasi permanen.

Robomart pun bukan lagi sebatas konsep; jaringan swalayan asal AS, Stop & Shop, telah mengumumkan rencananya untuk mengoperasikan armada Robomart mulai musim semi mendatang di kawasan Boston. Di samping buah dan sayuran segar, Stop & Shop juga akan membekali pasar berjalan ini dengan stok makanan kotak instan serta sejumlah produk lainnya.

Semua unit Robomart murni mengandalkan energi listrik, dan kapabilitas otonomnya turut dibarengi oleh kendali jarak jauh dari fasilitas Robomart, sehingga operator bisa langsung turun tangan seandainya ada kendala dengan sistem otomatisnya.

Sumber: SlashGear dan Globe Newswire.

Tesla Buat Sendiri Chip AI untuk Sistem Kemudi Otomatisnya

Selain memelopori tren mobil elektrik, Tesla juga bisa dibilang terdepan soal sistem kemudi otomatis alias self-driving. Kombinasi software bikinannya, platform supercomputer Nvidia dan sederet sensor pada mobil pada akhirnya melahirkan sistem Autopilot yang begitu canggih.

Namun kemitraan Tesla dengan Nvidia kemungkinan bakal berakhir tahun depan. Penyebabnya adalah niat Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri, yang sejauh ini dikenal secara internal dengan sebutan Hardware 3. Kabar ini disampaikan oleh CEO Elon Musk pada laporan finansial terbaru Tesla.

Anggap saja Nvidia Drive itu Qualcomm Snapdragon, nah keputusan Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri di sini mirip seperti langkah Apple membuat chipset-nya sendiri untuk iPhone. Alhasil, kendali atas perangkat bisa lebih maksimal, demikian pula untuk performanya.

Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla
Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla

Memangnya seberapa besar dampaknya pada performa? Menurut Elon, kalau software computer vision Tesla yang ditenagai hardware Nvidia bisa mengatasi sekitar 200 frame per detik, maka angkanya bisa naik menjadi 2.000 frame per detik menggunakan chip buatan mereka sendiri.

Ini dikarenakan chip-nya memiliki akses yang lebih dalam lagi ke sistem secara keseluruhan. Kalau dengan chip Nvidia, kalkulasi datanya tidak bisa dilakukan langsung di hardware, melainkan harus melalui mode emulasi, sehingga pada akhirnya kinerjanya tidak bisa benar-benar maksimal.

Di samping itu, seumpama ke depannya perlu dilakukan perbaikan atau penambahan fitur baru, Tesla jadi tidak perlu menunggu Nvidia. Mereka bisa langsung bertindak dan menyempurnakan apa yang kurang. Lebih penting lagi, Elon juga bilang bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk menggarap chip sendiri ini kurang lebih sama seperti yang dibutuhkan untuk meng-outsource dari Nvidia.

Tesla Roadster 2 / Tesla
Tesla Roadster 2 / Tesla

Pertanyaan selanjutnya, apakah chip AI buatan sendiri ini hanya akan tersedia di mobil-mobil baru Tesla ke depannya, macam Roadster 2 dan Model Y? Ternyata tidak. Model S, Model X dan Model 3 juga bakal kebagian jatah melalui program hardware upgrade yang akan dijalankan tahun depan.

Bukankah sulit melepas komputer dalam mobil lalu menggantinya dengan yang baru? Ya, tapi Tesla rupanya sudah memikirkannya sejak awal, dan Elon memastikan bahwa proses penggantiannya mudah, sekaligus menjaga kompatibilitas sistem dengan yang baru.

Tesla masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa mereka tidak sekadar membual. Sebelumnya, mereka selalu dicecar akibat produksi Model 3 yang lambat, dan yang hingga kini belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen yang telah memesan. Semoga saja itu tidak terulang pada rencana ini tahun depan.

Sumber: TechCrunch.

NVIDIA Tegaskan Keseriusan Masuki Dunia Auto, Luncurkan Rangkaian Hardware dan Software Pendukung “Artificial Intelligence”

NVIDIA tidak lagi hanya fokus di industri gaming. Setelah menjadi salah satu yang terdepan di industri senilai $100 miliar itu, NVIDIA memusatkan perhatian ke industri IT, khususnya Artificial Intelligence (bernilai $3 triliun), dan otomotif, khususnya autonomous vehicle (bernilai $10 triliun).

Di ajang CES 2018, Founder dan CEO NVIDIA Jensen Huang mengumumkan kehadiran perangkat hardware dan software terbaru, yang mendukung teknologi Artificial Intelligence, untuk mewujudkan implementasi mobil tanpa pengemudi (self driving). NVIDIA juga mengumumkan sejumlah kemitraan dengan perusahaan terkait di industri transportasi dan otomotif, termasuk VW dan Uber.

Huang mengatakan, “Kami telah membangun PC, laptop, konsol game, supercomputer, dan [kini] membangun sebuah komputer untuk kendaraan autonomous yang memiliki level kompleksitas yang belum pernah diketahui sebelumnya.”

DRIVE Xavier

Prosesor DRIVE Xavier menjadi “bintang” di acara yang dihadiri DailySocial secara langsung ini. Untuk mendukung pengembangan teknologi self driving, NVIDIA kembali ke dasar dengan membuat sebuah “otak” baru yang bisa dibilang fenomenal.

Sebagai buah riset selama 4 tahun dan menghabiskan dana $2 miliar, DRIVE Xavier adalah prosesor sampel yang mendukung skema mesin otonomi. Memiliki lebih dari 9 miliar transistor dan dikembangkan oleh lebih dari 2000 engineer, prosesor ini diklaim sebagai yang terkompleks yang pernah dibuat sejauh ini.

Huang mengungkapkan, “Kompleksitas autonomous driving, kompleksitas software untuk mobil masa depan sangat luar biasa. Itu dimulai dengan membangun tipe prosesor yang benar-benar baru yang kami sebut DRIVE Xavier, sebuah prosesor autonomous machine yang bisa melakukan deep learning, persepsi, memiliki kemampuan untuk melakukan parallel computing, computer vision, dan performa komputasi tinggi dengan level energi yang efisien.”

Disebutkan DRIVE Xavier dibangun dengan CPU custom 8-core, GPU Volta 512-core, akselerator deep learning terbaru, akselerator computer vision terbaru, dan menggunakan prosesor video 8K HDR. Menariknya, untuk menghasilkan 30 triliun operasi per detik hanya dibutuhkan konsumsi daya sebesar 30 watt. Nilai ini diklaim 15 kali lebih efisien untuk konsumsi energi ketimbang arsitektur generasi sebelumnya.

DRIVE Xavier akan mengotaki dua perangkat software terbaru NVIDIA, DRIVE IX dan AR. DRIVE IX adalah SDK untuk perangkat AI, sementara DRIVE AR adalah SDK untuk perangkat augmented reality. AR di sini akan membantu mengembangkan simulasi dunia nyata untuk pengembangan teknologi self driving, termasuk pengembangan informasi point of interest sepanjang perjalanan, penciptaan alert, dan navigasi yang lebih aman dan mudah.

Kemitraan dengan berbagai perusahaan

Di bulan Juli lalu, NVIDIA mengumumkan kemitraan dengan Baidu, kini mereka mengumumkan kemitraan dengan lebih banyak perusahaan transportasi dan otomotif untuk mendukung percepatan teknologi self driving. Secara total ada lebih dari 320 mitra, termasuk dengan Uber dan VW.

Huang mengatakan, “Di masa depan, setiap mobil akan bersifat self driving. Akan ada lebih dari 100 juta mobil dibuat setiap tahun, jutaan robotaxi, dan ratusan ribu truk. Semua akan bersifat autonomous. Di atas semua ini, yang akan mendefinisikan pengalaman mengemudi adalah AI.”

“Kami percaya bahwa AI dapat mendorong biaya per mil untuk kendaraan autonomous di level yang sama, atau bahkan lebih murah dari kendaraan biasa. Jika itu terjadi, kami percaya, AV [Autonomous Vehicle] dapat merevolusi layanan mobilitas.” tutupnya.

Cadillac Super Cruise Siap Tantang Tesla Autopilot dengan Sistem yang Benar-Benar Hands-Free

Tesla Autopilot mengundang banyak perhatian karena merupakan salah satu sistem kemudi otomatis pertama yang tersedia untuk konsumen umum. Autopilot memang belum sempurna, dan sejauh ini masih punya beberapa batasan, salah satunya adalah pengemudi diwajibkan untuk tetap meletakkan tangannya di lingkar kemudi.

Cadillac melihat batasan ini sebagai peluang untuk menawarkan sistemnya sendiri yang diyakini lebih superior. Dijuluki Cadillac Super Cruise, sistem ini memungkinkan mobil untuk berjalan dengan sendirinya di jalan tol tanpa mewajibkan pengemudi memegang setir. Hands-free driving, demikian jargon yang dipakai oleh pabrikan asal AS tersebut.

Kamera kecil di belakang setir yang bertugas mendeteksi apakah pengemudi sudah terlalu lama mengalihkan pandangannya dari jalanan / Cadillac
Kamera kecil di belakang setir yang bertugas mendeteksi apakah pengemudi sudah terlalu lama mengalihkan pandangannya dari jalanan / Cadillac

Yang unik dari Super Cruise adalah apa yang Cadillac sebut dengan istilah driver attention system. Sistem ini melibatkan sebuah kamera kecil di belakang setir yang memanfaatkan sinar inframerah untuk memonitor posisi kepala pengemudi, menentukan ke mana pengemudi mengarahkan pandangannya.

Ketika pengemudi terdeteksi telah cukup lama mengalihkan pandangannya dari jalanan, sistem akan mengingatkan pengemudi untuk kembali memusatkan perhatiannya ke jalan. Bentuk peringatannya bermacam-macam; bisa berupa lampu pada setir yang menyala, indikator visual pada panel instrumen, peringatan suara atau malah goyangan pada jok.

Seandainya rentetan peringatan itu masih belum berhasil membujuk pengemudi untuk kembali mengarahkan pandangannya ke jalanan, sistem dapat menepikan mobil dan menghentikannya secara total.

Bentuk peringatan yang diberikan bisa bermacam-macam, salah satunya dengan sebuah LED strip yang menyala pada setir / Cadillac
Bentuk peringatan yang diberikan bisa bermacam-macam, salah satunya dengan sebuah LED strip yang menyala pada setir / Cadillac

Selebihnya, Super Cruise menawarkan fungsionalitas yang serupa dengan Autopilot. Selama berada di jalan tol, sistem sanggup mengendalikan mobil untuk berpindah jalur. Semuanya mengandalkan perpaduan data real-time yang dikumpulkan oleh sejumlah kamera, radar dan GPS.

Unik juga untuk Super Cruise adalah tambahan informasi yang berasal dari database peta berbasis LIDAR. Alhasil, selain bisa memberikan informasi jalanan yang lebih mendetail pada mobil, pengecekan lokasi secara real-time diperkirakan juga bisa meningkat empat hingga delapan kali lipat.

Super Cruise rencananya bakal hadir bersama Cadillac CT6 generasi terbaru. Kecuali regulasi dimana pabrikan mobil sudah boleh menerapkan sistem kemudi otomatis ‘murni’ – pengemudi benar-benar tidak lagi dibutuhkan di kabin depan – sudah ditetapkan, sistem hands-free seperti ini adalah yang terbaik yang bisa kita nikmati dalam waktu dekat.

Sumber: Cadillac.

Mobil Konsep Chevrolet FNR Ialah Jelmaan Nyata Kendaraan Fiksi Ilmiah

Apa yang Anda bayangkan dari sebuah mobil masa depan? Dari segi penampilan, Italdesign Giugiaro Gea dan LM2 Streamliner mungkin sudah menunjukkan arah desain ideal. Namun saya cukup yakin, Anda akan terkagum-kagum melihat rancang dan fitur mobil konsep teranyar garapan General Motors, meskipun ia bisa jadi hanya diciptakan untuk menarik perhatian. Continue reading Mobil Konsep Chevrolet FNR Ialah Jelmaan Nyata Kendaraan Fiksi Ilmiah