Peak XV Partners, Wajah Baru Sequoia untuk Kawasan Asia Tenggara dan India

Pekan lalu, firma investasi terkemuka Sequoia India & Southeast Asia (SEA) mengumumkan perubahan namanya menjadi Peak XV Partners. Dengan wajah baru ini, Peak XV Partners bakal melanjutkan perluasan portofolionya dengan dana $2,5 miliar yang belum diinvestasikan.

Lewat situs resminya, Shailendra Singh mewakili Peak XV Partners mengungkap bahwa perkembangan bisnis, skala, hingga kepemimpinan Sequioa di berbagai belahan dunia selama beroperasi bertahun-tahun menimbulkan kebingungan terhadap brand dan konflik pada portofolionya.

Hal ini dikarenakan sejak awal Sequoia Capital (AS/Eropa), Sequoia China, dan Sequoia India/SEA dibangun sebagai bisnis terpisah dengan pengambilan keputusan investasi secara independen.

“Ini mendorong para pemimpin di setiap bisnis secara kolektif memutuskan untuk bergeser ke kemitraan yang sepenuhnya independen dengan brand yang lebih jelas demi melayani para founder dan LP kami dengan cara terbaik,” ujar Singh.

Maka itu, Peak XV Partners akan beroperasi sepenuhnya sebagai firma independen. Tim investasi di Peak XV Partners akan dipimpin oleh 11 Managing Director dengan pengalaman lebih dari 12 tahun di Sequioa.

Melanjutkan investasi

Singh menyatakan akan berfokus investasi di seluruh sektor, termasuk SaaS, AI, keamanan siber, cloud, fintech, climate tech, healthtech, hingga consumer. Peak XV juga akan menggandakan program-program unggulannya, seperti Surge dan Spark.

“Peak XV adalah nama awal yang diberikan untuk Gunung Everest. Bagi kami, ini menandakan upaya pengejaran sebuah tujuan yang berani tanpa henti oleh para pendiri sambil mengatasi tantangan di sepanjang jalan. Kami sangat percaya pada masa depan India dan SEA, serta potensi para pendiri di wilayah ini,” tuturnya.

Beroperasi 17 tahun di India dan 10 tahun di Asia Tenggara, perusahaan telah mengumpulkan dana sebesar $9,2 miliar melalui 13 dana kelolaan, dan telah berinvestasi di lebih dari 400 startup di kawasan tersebut. Tercatat lebih dari 50 startup telah melampaui lebih dari $1 miliar valuasi, termasuk 19 di antaranya melantai di bursa saham dan berkonsolidasi lewat aksi M&A: menghasilkan exit $4,5 miliar.

“Perusahaan kami akan terus dikelola oleh tim kepemimpinan saat ini dan akan terus berinvestasi lewat dana kelolaan baru yang berfokus pada India dan Asia Tenggara.” Tutupnya.

Sumber: Startup Report 2022 oleh DS/innovate

Pada pertengahan 2022, Sequoia SEA sempat mengumumkan dana kelolaan perdana untuk kawasan Asia Tenggara senilai Rp12,5 triliun di mana Indonesia menjadi negara prioritas investasinya. Perlu diketahui, perusahaan telah menyuntikkan investasi ke 22 startup di Indonesia–termasuk Gojek, Tokopedia, dan Kopi Kenangan–di mana 9 startup terlibat di program akseleratornya.

Berdasarkan laporan Startup Report 2022, Sequoia Capital India merupakan investor yang sering terlibat dalam pendanaan startup di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Di sepanjang 2022, Sequoia Capital India menempati urutan ketiga sebagai investor paling aktif dengan 15 kesepakatan investasi yang diumumkan. Sementara, di 2021, Sequoia berada di urutan keempat dengan berinvestasi ke 17 portofolio.

Somethinc Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Perusahaan beautytech yang dikenal dengan brandSomethinc”, dikabarkan tengah menggalang dana seri B. Dari data yang telah diinputkan ke regulator, saat ini mereka telah membukukan investasi senilai $10 juta atau lebih dari 150 miliar Rupiah. Pemodal ventura yang telah masuk ke putaran pendanaan ini adalah Sequoia Capital dan Prosus Ventures.

Sebelumnya, Sequoia Capital sudah lebih dulu mendukung perjalanan bisnis perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2019 ini. DailySocial.id mencoba menghubungi tim terkait untuk meminta konfirmasi, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan atas surel yang dikirimkan.

Potensi pasar kecantikan yang cukup besar di Indonesia telah mengundang berbagai inovasi baru di sektor ini. Somethinc menjadi salah satu produk lokal yang bersinar di tengah gempuran merek global yang mendominasi industri. Belum genap tiga tahun berdiri, perusahaan ini sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare.

Dirintis dari tahun 2014 oleh Irene Ursula, Somethinc merupakan sebuah merek dari perusahaan teknologi, Beautyhaul. Kala itu e-commerce masih di tahap early, Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Perusahaan memosisikan diri sebagai creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Dalam wawancara terakhir bersama Co-Founder Marsela Limesa, perusahaan saat ini tengah intensif mengimplementasikan teknologi dan gencar mencari talenta untuk mendukung pertumbuhan bisnis. Ke depannya, perusahaan berharap bisa menawarkan layanan end-to-end, jika memungkinkan, memiliki supply sendiri.

Investasi di industri kecantikan

Seputar tahun 2020-2021, industri kecantikan cukup disoroti karena pendanaan yang tidak sedikit untuk sektor yang sering kali dianggap tidak mengimplementasikan teknologi. Pada kenyataannya, beberapa perusahaan bermunculan dengan inovasi yang cukup baru untuk mendisrupsi sektor ini.

Sebelumnya DailySocial.id sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Perusahaan seperti Sociolla berhasil meraih lebih dari 841 miliar Rupiah dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Selain itu, beberapa startup lokal berhasil mendapatkan pendanaan dari venture capital (VC) termasuk Base, Nusantics, SYCA, Callista, Raena dan Alatte Beauty. Masing-masing perusahaan telah memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan produk dan mengenali kebutuhan konsumen.

Menurut Statista, permintaan untuk produk kecantikan akan meningkat hingga $9.6 miliar di tahun 2025. Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin beauty tech startup akan melebarkan sayapnya di Asia Pasifik. Asia Pasifik merupakan pasar industri kecantikan terbesar di dunia, sebesar 43% dari total pasar dunia. Beberapa negara yang menjadi pasar terbesar yaitu Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Semaai dan Whiz Jadi Startup Lokal yang Terpilih di Surge Kohort ke-7

Surge, selaku program akselerator besutan Sequoia Southeast Asia dan India resmi mengumumkan kohort ketujuhnya yang diikuti oleh 15 startup tahap awal, melibatkan 37 founder. Terdapat dua startup asal Indonesia yang terpilih untuk bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Selama tiga tahun terakhir, Surge telah berkembang pesat, termasuk memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Hingga saat ini,  komunitas Surge telah menaungi 281 founder dari 127 startup dalam 16 sektor. Startup-startup Surge telah mengumpulkan pendanaan secara kolektif sebesar lebih dari Rp25,2 triliun ($1,7 miliar), dengan lebih dari 60% perusahaan dari lima kohort pertamanya mengumpulkan pendanaan seri A dan seterusnya.

Para founder masa kini membidik bisnis mereka untuk panggung dunia. Mayoritas dari perusahaan ini membangun dari tahap awal untuk pasar-pasar global dan membidik khalayak di luar pasar asal mereka, hampir setengahnya hadir di pasar-pasar Amerika Serikat dan Eropa.

Beberapa founder yang terlibat sudah pernah memiliki pengalaman, seperti mantan CFO dari Nykaa, insinyur pertama Uber di India, teknisi yang membantu pengembangan Apache Hive, dan sebagainya. Selain itu, sepertiga dari startup-startup di kohort kali ini memiliki setidaknya satu founder perempuan.

Rajan Anandan selaku Managing Director Sequoia India & Southeast Asia dan Surge mengungkapkan kekaguman yang mendalam akan ambisi dan keanekaragaman ide yang ada, serta kaliber para founder dari tiap kohort dalam program Surge, tak terkecuali Surge 07.

“Kami telah bermitra dengan semua perusahaan tersebut di tahap paling awal pembangunan perusahaan, dengan hampir setengahnya masih dalam tahap pra-peluncuran pada saat memulai kemitraannya. Para founder kami membawa pengalaman dan kreativitas mereka yang luas, dan kami percaya bahwa para pemimpi, inovator dan pembangun kategori ini memiliki potensi untuk mengubah masa depan kawasan ini dan dunia,” ujarnya.

Startup Indonesia di program Surge

Indonesia sendiri diketahui menjadi salah satu negara yang ditargetkan oleh program akselerator ini. Dalam setiap kohort, terdapat minimal satu startup asal Indonesia yang menjadi perwakilan. Pertama kali dimulai pada Maret 2019, Bobobox dan Qoala bergabung sebagai representasi Indonesia. Diikuti dengan Bobobox dan Qoala.

Dalam tiga kohort terakhir, ada BukuKas, Hangry, CoLearn, Otoklix, Durianpay, Bukugaji/Vara, dan Rara Delivery. Dalam kohort ketujuh ini, terdapat dua startup asal Indonesia yang bergabung, yaitu Semaai dan Whiz.

Semaai merupakan startup agritech yang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah sistemik seperti itu di industri dengan menawarkan platform yang komprehensif untuk komunitas pertanian, dengan fokus awal pada input pertanian, seperti benih, pupuk, pestisida dan alat pertanian.

Belum lama ini perusahaan juga telah mengumumkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Surge, diikuti oleh Beenext dan sejumlah angel investor, seperti Nipun Mehra (Ula), Harshet Lunani (Qoala), dan Prashant Pawar (Houlihan Lokey).

Sektor pertanian dalam ekosistem startup digital di Indonesia sendiri kian menunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa, beberapa di antaranya sudah menjadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery.

Sementara itu, Whiz merupakan perusahaan fintech yang memfokuskan layanannya untuk kalanganr remaja di Indonesia. Startup yang digawangi oleh Agnes Wirya Lie, Dominic Sumarli, dan Frederick Widjaja ini memungkinkan remaja dapat membuka rekening keuangan pertama mereka dengan aplikasi yang mudah digunakan, melakukan pembelian melalui sistem pembayaran QR yang diterima secara luas di Indonesia, dan belajar tentang penganggaran dan tabungan.

Di antara padatnya persaingan di ranah fintech, solusi yang ditawarkan oleh Whiz membuka ruang untuk pasar yang lebih awam untuk sedini mungkin bisa terpapar oleh literasi keuangan. Beberapa aplikasi yang sudah lebih dulu meluncur seperti Finansialku, Sribuu, Pay Ok, PINA, Finoo, Moni, Xettle, Finku, Neu (Fazz Financial Group). Sebagian dari mereka juga sudah mengantongi kepercayaan dari investor dalam bentuk perolehan dana segar.

Saat ini, Semaai dan Whiz tengah menjalani program 16 minggu yang ketat secara hybrid. Surge 07 juga menghadirkan pembicara dan mentor yang sebelumnya sudah pernah terlibat dalam program ini termasuk Siu Rui Quek (Carousell), William Tanuwijaya (Tokopedia/GoTo), Chatri Sityodtong (ONE Championship) dan Doug Leone (Sequoia Capital).

Pada dasarnya, program-program inkubator dan akselerator yang ada saat ini menawarkan kemudahan bagi founder dalam melakukan eskalasi bisnis. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial.id, per tahun 2021, ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru.

Startup Perawatan “Diri Care” Umumkan Pendanaan 64 Miliar Rupiah

Diri Care adalah sebuah klinik digital on-demand yang membantu masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan kulit, rambut, dan area intim. Selain konsultasi dengan dokter profesional, mereka turut menyajikan produk perawatan dan aneka obat yang telah teruji klinis.

Guna meningkatkan akselerasi bisnisnya, Diri Care mengumumkan telah menutup putaran pendanaan awal senilai $4,3 juta atau setara 64 miliar Rupiah dipimpin East Ventures, Sequoia Capital India, dan Surge; dengan partisipasi lanjutan dari angel investor Henry Hendrawan.

Dana segar akan dialokasikan untuk memperluas akses penawaran Diri Care kepada jutaan pelanggan dan meningkatkan kemampuan teknologi.

“Investasi ini menjadi bukti kuat terhadap misi Diri Care dalam merevolusi solusi perawatan kesehatan konsumen. Diri Care menggabungkan teknologi dan ilmu kedokteran untuk mendorong kesejahteraan dan kepercayaan diri otentik bagi konsumen modern,” ujar Co-Founder & CEO Diri Care Christian Suwarna.

Diri Care didirikan oleh Christian Suwarna (CEO), Armand Amadeus (COO), dan Deviana Himawan (Chief Clinical Officer). Sebelumnya, Chris adalah CMO Traveloka Group dan CEO Traveloka Experience. Armand adalah Project Leader di Boston Consulting Group (BCG) di New York. Sementara Devi adalah dokter kecantikan dan kesehatan di Jakarta.

Gabungkan konsep telemedis dan D2C

Saat ini pengguna bisa mengakses situs diricare.com untuk menikmati layanan yang disajikan. Pelanggan yang memiliki keluhan seputar kulit, rambut, dan kondisi kesehatan pribadi seperti jerawat, bintik hitam, penuaan kulit, rambut rontok, hingga kecemasan performa pria dapat terhubung ke layanan virtual Diri Care 24/7.

Selain layanan telemedis, mereka juga menggunakan model direct-to-consumer (D2C) untuk menjual rangkaian produk yang dikembangkan secara in-house setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter terkait. Perusahaan mengklaim, pengiriman ke alamat tujuan bisa dilakukan dalam waktu 2 jam saja.

“Indonesia memiliki pasar kesehatan konsumen yang terus berkembang, dengan 270+ juta penduduk yang mencari solusi kesehatan dan kesejahteraan yang berkualitas dan terjangkau. Transformasi digital adalah pendorong utama hadirnya peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas sektor pelayanan kesehatan bangsa,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Peluang pasar layanan kesehatan digital

Menurut data yang dihimpun Statista, nilai pasar untuk layanan kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia akan berkembang pesat hingga $9,6 miliar pada tahun 2025 mendatang. Model layanan telemedis memiliki peluang pertumbuhan besar, mengingat saat ini diperkirakan hanya terdapat 0.4 dokter per 1.000 orang. Sehingga waktu tunggu menjadi lama — berdampak pada harga produk/layanan yang menjadi lebih mahal.

Diri Care cukup optimis bisa menangkap peluang tersebut. Sejak meluncurkan platform versi beta pada Maret 2022, mereka telah mencatat lebih dari 13.000 konsultasi dan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 600%. Untuk menunjang pertumbuhan, dalam waktu dekat mereka segera luncurkan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Beautytech terus mendapatkan dukungan

Sejumlah startup bidang beautytech beberapa terakhir,  termasuk salah satunya Base yang juga turut didukung East Ventures dalam pendanaan pra-seri A mereka. Selain itu sejumlah startup juga telah mendapatkan dukungan pendanaan, seperti SYCA (Salt Ventures dll), Callista (SKALA dll), dan beberapa lainnya.

Industri ini sebenarnya juga telah ramai pemain. Per tahun 2019, pemerintah mencatat ada 797 pelaku usaha kosmetik besar dan skala kecil-menengah. Sebanyak 294 brand telah terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Yang jelas, teknologi terus dioptimalkan para pengembang produk untuk memberikan pelayanan yang lebih relevan — baik di sisi distribusi maupun dalam rangka memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik.

Dengan peran teknologi dalam mengefisiensikan rantai bisnis, dinilai konsumsi produk kecantikan akan terus meningkat, dari rata-rata saat ini berkisar  $20 per kapita. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan Thailand ($56 per kapita) dan Malaysia ($75 per kapita).

Surge Tingkatkan Ukuran Tiket Pendanaan Awal Startup Binaannya

Setelah mengumumkan dana kelolaan perdana untuk kawasan Asia Tenggara senilai $850 juta (lebih dari 12,5 triliun Rupiah), Sequoia India dan Asia Tenggara melalui program akseleratornya Surge kembali memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Kendati di tengah pasar yang sedang melambat, Surge menaikkan ukuran tiket demi memberi para founder landasan pacu dan waktu yang lebih lebar untuk mendapatkan product-market fit; serta membangun tim yang kuat sebelum mengumpulkan putaran pendanaan berikutnya. Hal ini dilakukan Surge untuk bisa tetap relevan bagi sebanyak mungkin founder, termasuk mereka yang baru memulai serta yang tengah dalam proses mengumpulkan modal tambahan.

Para peserta di Surge 08 atau kohort selanjutnya berkesempatan mendapatkan pendanaan awal dengan ukuran tiket di atas. Namun Surge juga tidak menutup kesempatan bagi startup di tahap pre-seed untuk memperoleh dana dengan nominal yang lebih kecil, misalnya $300 ribu s/d $500 ribu. Faktanya lebih dari 20% startup Surge sedang dalam tahap pre-launch ketika mereka mulai bergabung.

Hingga saat ini, program Surge telah berlangsung sebanyak enam kali. Di enam kohort, Surge telah bermitra dengan 246 founder dari 112 startup — termasuk 45 dari Asia Tenggara dan 64 dari India. Startup di bawah naungan Surge secara kolektif telah mengumpulkan lebih dari $1,5 miliar.

Rajan Anandan selaku Managing Director Sequoia Capital India mengungkapkan, “Saat kami memperluas Surge, kami berharap untuk bermitra dengan startup masa depan yang akan mengubah ekosistem Indonesia di berbagai sektor. Selama tiga tahun terakhir, Surge telah bermitra dengan startup luar biasa dari Indonesia, termasuk Qoala, Lummo, Otoklix, Hangry, CoLearn, Durianpay, RaRa Delivery, Bobobox, Rukita dan lainnya.”

Tren pendanaan awal startup di Indonesia

Berdasarkan laporan DSInnovate yang bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, jumlah putaran pendanaan meningkat dari 113 pada 2019 menjadi 214 pada tahun 2021. Berdasarkan laporan ini, pendanaan tahap awal menjadi putaran yang paling banyak terjadi.

Tingginya jumlah pendanaan awal juga menyiratkan bahwa masih ada peluang bagi generasi baru pendiri untuk menciptakan inovasi untuk mendemokratisasikan aspek bisnis tertentu.

Sumber: DSInnovate

Sementara itu, dari semua putaran pendanaan, terdapat sekitar 341 investor institusi yang terlibat. Daftar ini diisi oleh masing-masing dari Venture Capital (VC), Corporate Venture Capital (CVC), Limited Partners (LP), dan korporasi baik lokal maupun global.

Dalam daftar ini, East Venture menjadi VC dengan transaksi pendanaan terbanyak, diikuti oleh AC Ventures dan MDI Ventures. Sequoia Capital India sendiri masuk ke dalam lima teratas daftar ini dengan total 17 transaksi pendanaan. Berikut tabel lengkap para investor yang paling banyak menyalurkan investasi di Indonesia.

Sumber: DSInnovate

Astro Umumkan Pendanaan Seri B Senilai 872 Miliar Rupiah

Startup quick commerce Astro hari ini (30/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $60 juta atau setara dengan 872 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Accel, Citius, dan Tiger Global dengan partisipasi investor sebelumnya seperti AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, dan Sequoia Capital India.

Dengan dana segar yang didapat, sejak berdiri September 2021, Astro secara total telah membukukan pendanaan ekuitas $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Sebelumnya mereka juga telah membukukan pendanaan seri A yang diumumkan awal Februari 2022 lalu senilai $27 juta atau setara 387 miliar Rupiah dipimpin Accel dan Sequoia Capital India.

Turut disampaikan, dana yang baru terkumpul akan difokuskan untuk akuisisi pelanggan dan memperkaya cakupan produk. Perekrutan tim juga akan menjadi fokus di tahun 2022 ini.

Catatkan pertumbuhan positif

Astro baru mengakomodasi pengguna di seputar Jabodetabek. Saat ini mereka telah beroperasi di 50 titik yang tersebar di wilayah tersebut. Titik kehadiran (dark store) ini menjadi penting, pasalnya memungkinkan Astro untuk bisa melakukan pemenuhan pesanan dengan durasi maksimal 15 menit.

Sepanjang tahun 2022 ini, Astro mencatatkan pertumbuhan 10x lipat dengan mengklaim efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Disampaikan juga, aplikasi Astro telah diunduh hampir 1 juta kali dalam enam bulan pertama. Jajaran tim juga meningkat pesat, kini memiliki 200 staf yang bekerja secara WFA (Work From Anywhere).

“Misi Astro adalah membuat hidup orang lebih sederhana dan lebih mudah. Astronauts (sebutan untuk tim Astro) kami terus melayani pelanggan saat mereka sangat membutuhkan kami, terutama selama lonjakan Omicron Covid-19 terakhir, di mana Indonesia mengalami jumlah kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra.

Astro menawarkan lebih dari 1.500 SKU produk dengan harga bersaing melalui aplikasi. Untuk meningkatkan retensi pengguna, sejumlah strategi dibangun. Termasuk dengan menyajikan UX yang mempertimbangkan aksesibilitas bagi pelanggan di semua kelompok usia.

Masuk ke bisnis private-label

Astro juga mulai berkolaborasi dengan pebisnis lokal untuk meluncurkan produk private-label. Produk awal mereka adalah roti dan kopi — menjadi upaya awal Astro untuk berkolaborasi dengan lebih banyak mitra untuk menyediakan pilihan produk yang lebih banyak. Sebelumnya untuk memenuhi permintaan di bualan Ramadan, Astro juga bekerja sama dengan petani hidroponik untuk menyediakan produk buah dan sayuran segar.

Astro tidak sendirian menggarap segmen pasar ini. Sejumlah pemain lain juga berusaha menyajikan layanan serupa, termasuk AlloFresh yang didirikan CT Corp dan Bukalapak, SayurKilat dari SayurBox, Tokopedia Now, Bananas, dan lain sebagainya.

Dari data yang disampaikan, potensi layanan pemenuhan bahan makanan segar masih sangat besar di Indonesia. Penetrasi digitalisasi layanan di sektor tersebut masih sekitar 0,4%, dibandingkan dengan e-commerce yang telah mencapai 10%. Pandemi turut mendongkrak adopsi online grocery, diproyeksikan sektor tersebut akan bernilai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Pintarnya Umumkan Pendanaan Awal 93 Miliar Rupiah Dipimpin Sequoia India dan General Catalyst

Pintarnya adalah platform job marketplace yang menyasar kalangan pekerja kerah biru. Hari ini (19/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Capital India dan General Catalyst. Nilai investasi yang dapat dibukukan $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah.

Startup tersebut didirikan oleh Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Nelly dan Henry sebelumnya dikenal sebagai eksekutif senior di Traveloka, khususnya di divisi produk keuangan dan teknologi. Sementara Ghirish sebelumnya bekerja menjadi eksekutif senior di KKR yang juga fokus di layanan finansial.

Nelly sendiri juga menjadi bagian dari kohort pertama program mentoring Sequoia Spark — yang secara spesifik didesain Sequoia untuk calon pengusaha perempuan potensial di Asia Tenggara dan India.

Dengan pendanaan ini, Pintarnya akan mengakselerasi pertumbuhan bisnis dengan melakukan perekrutan tim di bidang pengembangan, produk, desain, pemasaran, operasional, dan bisnis di Jakarta.

Latar belakang pendirian Pintarnya

Di segmen kerah biru, untuk mencari pekerjaan biasanya seseorang akan bergantung dari informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Kanal online yang ada pun juga menyajikan banyak informasi lowongan, hanya saja banyak yang tidak terverifikasi — bahkan tidak sedikit yang berujung pada penipuan terhadap pencari kerja.

Namun, di sisi lain pemberi kerja juga memiliki gap yang cukup serius untuk menjangkau calon tenaga kerja. Mereka membutuhkan platform yang dapat diandalkan dalam mengidentifikasi, memverifikasi, hingga memperkerjakan pekerja. Demikian diceritakan oleh Nelly (CEO). Permasalahan tersebut dialami secara langsung.

“Dulu saya mempekerjakan staf salon kecantikan melalui platform iklan baris online atau referensi para pekerja lain. Sangat sulit untuk menyaring dan memverifikasi kandidat dan pengalaman kerjanya dengan cepat. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa untuk para pencari kerja, sangat menjengkelkan untuk mencari dan melamar pekerjaan, lalu mereka menjadi korban penipuan dalam prosesnya,” ujar Nelly.

Ia melanjutkan, “Pintarnya bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut untuk kedua belah pihak. Lalu, 80% dari populasi memiliki smartphone, jadi ini saat yang tepat untuk meluncurkan sebuah platform digital. Perubahan perilaku yang dipicu oleh pandemi COVID-19 baru-baru ini dan bangkitnya Open Finance di Indonesia juga memberikan dorongan pada misi kami.”

Solusi yang dihadirkan Pintarnya

Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.

Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan. Termasuk mempertimbangkan berbagai parameter termasuk namun tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.

Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait.

“Misi dari Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, kami akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak,” imbuh Henry.

Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.

Potensi platform job marketplace kerah biru

Tidak dimungkiri juga, potensi nilai ekonomi pekerja kerah biru sangat besar, namun sangat kompleks dan terfragmentasi. Di Indonesia, 60 juta pekerja kerah biru mencakup lebih dari 70% pekerja berbayar dan menyumbangkan 20% pada PDB.

Hal ini turut disampaikan oleh Alex Tran dari General Catalyst. Ia berujar, “Indonesia memiliki salah satu populasi termuda di dunia, yang merupakan hal langka dan potensi bonus demografi jika orang diberi kesempatan untuk menjadi produktif dan stabil secara finansial. Hal Ini adalah tantangan dan peluang besar yang dapat dipecahkan oleh teknologi.”

Alex melanjutkan, “Kami senang dapat mendukung tim di Pintarnya saat mereka memulai misi untuk membantu pekerja kerah biru menyesuaikan diri dengan pemberi kerja, membangun komunitas, dan meningkatkan keterampilan. Kami juga senang dengan peluang fintech yang dapat muncul dari sini. Pekerjaan mengarah ke pendapatan mengarah ke akses pada layanan keuangan, jadi kami pikir masuk akal bahwa satu platform harus memiliki seluruh hubungan ini.”

Sejumlah platform untuk pekerja kerah biru sebelumnya juga sudah banyak bermunculan. Sebut saja AdaKerja, Sampingan, MyRobin, Lumina, sampai yang terbaru ada Atma. Atma juga baru-baru ini mengumumkan pendanaan pre-seed untuk mendukung debutnya senilai $5 juta — mereka hadir dengan pendekatan berbeda, yakni dengan pemberdayaan komunitas.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

Moladin to Secure Series B Funding Worth of 1.4 Trillion Rupiah

The car marketplace Moladin is reported to have secured a series B funding of $95 million or equivalent to 1.4 trillion Rupiah. Based on the regulator’s data, this round was led by DST Global, with the involvement of Sequoia Capital India, Northstar Group, East Ventures and a number of other investors.

We tried to confirm with Moladin, however, the rep still refuse to comment regarding funding.

The latest funding is estimated to bring Moladin’s valuation to over $700 million — one step closer to a unicorn. Previously, the company had announced series A funding in early 2022 worth $42 million. Sequoia Capital India and Northstar Group are leading this funding.

The startup was founded by Jovin Hoon and Mario Tanamas, it is accelerating its business even faster after pivoting in 2021, from a motorcycle purchasing platform to a used cars marketplace.

In an interview with DailySocial.id last January, Moladin’s CEO, Jovin Hoon said the used car market in Indonesia is still very fragmented and unorganized. There are many players in the ecosystem such as agents, micro dealers, and large dealers with no structured platform and work system. Moladin is here to bridge the gap.

Post-pivot, Jovin said that Moladin has experienced explosive business growth for the past 6 months. This provide founders with confidence to focus their resources on the used car business, with short-term plans to expand the business to other verticals such as financing and other automotive additional services.

Market competition

Car marketplace services is commonly have a C2B2C business model. It provides services of buying used cars from consumers, then auctioning them off to dealer partners and/or reselling them to consumers through the digital platform. They also carry out detailed inspections, allowing consumers to get the most ideal price due to the vehicle’s current.

There are also several players in Indonesia, including Carro, Carsome, and OLX Autos. The first two has reached the unicorn milestone last year, prompting them to make a massive expansion by presenting Experience Centers in various cities in Indonesia to reach more consumers.

Jovin and the Moladin management team are well aware of its position in the market. A series of business models and strategies are prepared. One thing that sets Moladin apart from other car marketplaces is its focus on empowering its network of agents.

“Our agents is our value proposition. They are key and an integral part of our business. By empowering agents through providing the right tools and ecosystem, we can offer customers a highly personalized car transaction experience,” Jovin said.

In addition, technology adoption will also be Moladin’s main focus, in order to digitize business processes as a whole. Some of the things in the roadmap include: (1) speed of transaction and disbursement on the same day; (2) competitive price; (3) good inventory selection; and (4) accessibility, with a strong presence even outside the big cities. Currently, Moladin is available in more than 115 cities throughout Indonesia.

The above model is claimed to be well received by the market. Jovin said that the company has experienced rapid growth from its used car business with transaction volume growing >20x over the last few months. Their digital services are also claimed to have increased the productivity of agents and dealers by >2.5x.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Moladin Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri B Senilai 1,4 Triliun Rupiah

Platform car marketplace Moladin dikabarkan telah membukukan pendanaan seri B senilai $95 juta atau setara 1,4 triliun Rupiah. Berdasarkan data yang telah disetor ke regulator, putaran ini dipimpin DST Global, dengan keterlibatan Sequoia Capital India, Northstar Group, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Kami telah mencoba menghubungi pihak Moladin untuk meminta keterangan, namun untuk mereka masih menolak untuk berkomentar terkait pendanaan.

Ditaksirkan pendanaan baru tersebut membawa valuasi Moladin di angka lebih dari $700 juta — selangkah lagi menuju unicorn. Sebelumnya mereka baru mengumumkan pendanaan seri A pada awal tahun 2022 senilai $42 juta. Sequoia Capital India dan Northstar Group memimpin pendanaan tersebut.

Startup yang didirikan Jovin Hoon dan Mario Tanamas tersebut makin kencang mengakselerasi bisnisnya setelah sebelumnya melakukan pivot pada tahun 2021, dari portal pembelian sepeda motor menjadi platform marketplace untuk jual-beli mobil bekas.

Dalam wawancaranya bersama DailySocial.id pada Januari lalu, CEO Moladin Jovin Hoon mengatakan, pasar mobil bekas di Indonesia masih sangat terfragmentasi dan belum terorganisir. Masih banyak pemain di ekosistem seperti agen, diler mikro, dan juga diler besar yang belum memiliki platform dan sistem kerja yang terstruktur. Moladin hadir untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

Pasca-pivot, Jovin mengatakan selama 6 bulan terakhir Moladin mendapati pertumbuhan bisnis yang eksplosif. Ini turut memberikan keyakinan tersendiri kepada para founder untuk memfokuskan sumber daya yang dimiliki pada bisnis mobil bekas, dengan rencana jangka pendek untuk memperluas bisnis ke vertikal lain seperti pembiayaan dan layanan tambahan otomotif lainnya.

Kompetisi pasar

Layanan car marketplace umumnya memiliki model bisnis C2B2C. Memberikan pelayanan berupa pembelian mobil bekas dari konsumen, kemudian melelangnya ke mitra diler dan/atau menjualnya kembali kepada konsumen melalui platform digital yang dimiliki. Mereka turut melakukan inspeksi mendetail, memungkinkan konsumen mendapatkan penawaran harga yang paling ideal menyesuaikan kondisi kendaraan yang dimiliki.

Pemainnya pun ada beberapa di Indonesia, tiga di antaranya Carro, Carsome, dan OLX Autos. Dua yang disebutkan pertama telah mencapai tonggak unicorn pada tahun lalu, mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran menghadirkan Experience Center di berbagai kota di Indonesia untuk menjangkau lebih banyak konsumen.

Jovin dan tim manajemen Moladin sadar betul tentang posisinya di pasar. Sejumlah model bisnis dan strategi di siapkan. Satu yang paling membedakan Moladin dengan car marketplace lainnya adalah fokusnya dalam memberdayakan jaringan agen yang dimiliki.

“Agen kamilah yang membedakan kami. Mereka adalah kunci dan bagian integral dari bisnis kami. Dengan memberdayakan agen melalui penyediaan perangkat dan ekosistem yang tepat, kami dapat menawarkan pengalaman transaksi mobil yang sangat personal kepada pelanggan,” jelas Jovin .

Selain itu, adopsi teknologi juga akan menjadi fokus utama Moladin, guna mendigitalkan proses bisnis secara menyeluruh. Beberapa hal yang ingin ditawarkan di antaranya: (1) kecepatan transaksi dan pencairan di hari yang sama; (2) harga yang kompetitif; (3) pilihan inventaris yang baik; dan (4) aksesibilitas, dengan kehadiran yang kuat bahkan di luar kota-kota besar. Saat ini Moladin telah hadir di lebih dari 115 kota di seluruh Indonesia.

Model di atas diklaim dapat diterima dengan baik oleh pasar. Jovin berujar bahwa perusahaan telah mengalami pertumbuhan pesat dari bisnis mobil bekas dengan volume transaksi tumbuh >20x lipat selama beberapa bulan terakhir. Layanan digital mereka juga diklaim telah meningkatkan produktivitas agen dan diler hingga >2,5x lipat.

Application Information Will Show Up Here