Menilik Perkembangan Bisnis ShopBack Setelah Bukukan Pendanaan Lebih dari 1,1 Triliun Rupiah

Setelah mengantongi putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun rupiah bulan Juni 2022 lalu, startup agregator cashback ShopBack dikabarkan memiliki rencana untuk melakukan IPO. Putaran pendanaan tersebut membawa total modal yang dikumpulkan oleh ShopBack menjadi lebih dari $310 juta, membawa valuasi perusahaan di angka [sekitar] $900 juta.

Teranyar, salah satu unit milik Temasek, yakni 65 Equity Partners Holdings Pte akan bergabung ke dalam putaran seri F tersebut. Disebutkan juga oleh perwakilan dari 65 Equity Partners, investor yang terlibat dalam putaran pendanaan Seri F ini, nantinya akan mendapatkan board seat di ShopBack.

Rencana IPO di Singapura

Dilansir dari Bloomberg, ShopBack berencana melakukan IPO di Singapura. Perusahaan juga melirik potensi IPO di negara lain seperti Hong Kong, Australia, dan New York.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Galuh menyebutkan, saat ini perusahaan masih baru memasuki proses di tahap awal, dan ke depannya akan terbuka menyampaikan berbagai kemungkinan yang ada.

Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Setelah akuisisi Hoolah, ShopBack menunjuk Hamish Moline, mantan CMO di perusahaan fintech Australia Zip Co., sebagai Managing Director untuk layanan keuangan.

Memperluas model bisnis

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Sejak beberapa tahun lalu perusahaan juga mulai merambah ke bisnis model yang lain di luar online cashback. Misalnya, ShopBack Voucher, layanan yang memungkinkan pengguna ShopBack untuk membeli voucher dari rekanan, baik dengan pembayaran melalui debit/kartu kredit, ataupun dengan cashback yang ada di akun ShopBack pengguna. Layanan ini tersedia di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Selain itu, ada ShopBack Mart, yang menyatukan pengalaman belanja online to offline. Dengan ShopBack Mart, pengguna bisa berbelanja di toko offline, melakukan scanning terhadap struk belanja, dan mendapatkan cashback. Layanan ini tersedia di Taiwan.

Mulai akhir tahun lalu, mereka juga merilis ShopBack Pay dan ShopBack PayLater, yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan keringanan bayar 3x dengan bunga 0%. Saat ini, ShopBack Pay dan PayLater ada di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Thailand. Di luar dari itu, perusahaan juga mempunyai beberapa prototype business model yang sedang diuji-coba, termasuk di Indonesia.

“Seperti semua business model, tantangannya adalah bagaimana agar produk yang kami luncurkan bisa sesuai dengan masyarakat dan diterima oleh kebanyakan orang,” kata General Manager ShopBack Indonesia Galuh Kirana.

Terkait dengan target ShopBack untuk pasar Indonesia, Galuh mengungkapkan untuk bisa menjadi aplikasi yang membuat belanja tidak hanya menyenangkan, tapi juga memberikan keuntungan. Perusahaan juga ingin terus membesarkan komunitas smart shopper di Indonesia.

Di luar hal tersebut, dari sisi bisnis, mereka ingin terus berkembang dan menjadi rekan bisnis yang dapat membantu partner mencapai tujuan untuk menjadi perusahaan yang profitable.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Application Information Will Show Up Here

Berkaca dari Nasib Groupon, Melihat Prospek Bisnis E-Voucher di Indonesia

Tidak ada konsumen yang tidak suka dapat diskon atau uang kembali (cashback) saat belanja, meski secara konsep keduanya berbeda. Yang pertama, potongan harga sebelum pembelian, yang satunya lagi, mengembalikan uang konsumen setelah pembelian. Tapi keduanya punya ujung yang sama, merebut hati konsumen dengan harga termurah. Apalagi di tengah persaingan yang ketat, brand/perusahaan selalu putar otak bagaimana pabriknya tetap “ngebul”, strategi seperti demikian tetap dibutuhkan.

Kondisi tidak jauh berbeda ketika masuk ke dunia online. Suka atau tidak, dalam benak pelanggan sudah mulai mengharapkan diskon saat mereka berbelanja online. Diskon sepanjang tahun, diskon berbasis keanggotaan dan berbasis pendaftaran, kode diskon, dan kode kupon adalah mekanisme yang menonjol untuk memberikan diskon kepada pelanggan. Jadi, pada prinsipnya, pemain e-voucher sangat selaras dengan paradigma di mana e-commerce beroperasi.

Konsumen biasanya tertarik untuk belanja karena pemberian voucer (bentuk baku versi KBBI dari istilah voucher). Hampir di tiap situs belanja online terdapat opsi untuk memasukkan kode voucer saat checkout. Bila, UI/UX dari situs belanja ramah terhadap konsumen, akan tersedia mana voucher yang valid mana yang tidak sesuai dengan nominal belanjaan. Tidak perlu manual harus menulis kode voucernya. Belanja impulsif semakin terasa dimudahkan.

Di Indonesia sendiri, pemain e-vouchercashback, reward, dan bentuk sejenis lainnya— sangat beragam. ShopBack dan Fave adalah nama terbesar dari non-Indonesia yang punya massa di sini. Di luar itu, terdapat Ultra Voucher sebagai perusahaan lokal yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski begitu, hingga saat ini di sini belum ada yang menjadi pemain dominan seperti Groupon saat masa kejayaannya.

Kemudian, timbul pertanyaan baru, memangnya seperti apa model bisnis voucer ini? Apakah prospeknya meragukan sehingga belum ada yang jadi dominan?

Menurut hipotesis yang diunggah Small Business, alasan pertama adalah beberapa pihak menduga bahwa seiring matangnya dunia e-commerce —dalam artian mulai berfokus pada laba alih-alih berfokus secara gila-gilaan pada bottom line—akan ada tekanan untuk menyingkirkan diskon. Jika hal ini terjadi, voucer bisa menjadi korban pertama.

Alasan kedua, untuk memberdayakan keuntungan yang diberikan pemain voucer, bisnis e-commerce harus menyerahkan dua kantong duit, untuk pelanggan dan untuk pemain voucer. Hal ini mungkin akan dianggap tidak menarik dan situs voucer dapat dihilangkan. Terakhir, social marketing, content marketing, affiliate marketing, dan sejenisnya tampak jauh lebih menarik bagi pemain e-commerce daripada kupon. Ini mungkin segera menghilangkan voucer sebagai senjata pemasaran di mata e-commerce.

“Tapi kami cenderung percaya bahwa voucer adalah alat yang terlalu kuat untuk menghilang dari muka e-commerce. Terutama ketika bisnis voucer cukup masuk akal untuk diintegrasikan secara mendalam ke dalam jejaring sosial penggunanya dan menawarkan penawaran yang benar-benar berfungsi, kami pikir pelanggan akan lebih memilih untuk membeli dari situs tempat mereka dapat menerapkan kode kupon. Dan itu akan mendorong bisnis e-commerce untuk terus menawarkan kode kupon agar tetap menjadi tujuan yang menarik,” tulis laporan tersebut.

Model bisnis Groupon

Sumber: Groupon

Sebelum masuk ke perkembangan bisnis voucer di Indonesia, kiprah Groupon perlu ditengok terlebih dahulu karena pemain global dan mengubahnya menjadi sesuatu yang paling diburu oleh discount hunter. Perusahaan menghubungkan pelanggan dengan bisnis lokal, terutama dengan menjual voucer dan kupon diskon untuk bisnis fisik.

Dalam hal ini, Groupon menghasilkan pendapatan dengan menggunakan salah satu model bisnis tertua: menjadi perantara. Perusahaan menghasilkan pendapatan produk dan layanan dalam tiga kategori: Lokal, Barang, dan Perjalanan. Dalam beberapa kasus, konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan diskon lebih dari 50% dengan menggunakan voucer Groupon.

Perusahaan melakukan IPO pada 2011, tetapi sejak saat itu pendapatan terus loyo sebagai akibat dari meningkatnya persaingan dan perjuangan untuk mempertahankan popularitas. Akhirnya, Groupon mengubah model bisnisnya dari pendekatan berbasis voucer ke kartu, di mana pelanggan menerima cashback setelah menggunakan kartu kredit tertaut tertentu untuk menyelesaikan pembelian produk yang diiklankan di platform Groupon.

Groupon menjual berbagai produk dengan diskon besar, termasuk barang fashion dan kecantikan, paket liburan, layanan spa, dan sertifikat hadiah ke bar dan restoran. Meskipun konsumen dapat dengan mudah membeli produk yang sama langsung dari bisnis yang menawarkannya, Groupon sering kali menawarkan harga jauh di bawah harga eceran.

Pada dasarnya, Groupon berfungsi sebagai mesin periklanan yang kuat, menghasilkan penjualan dan pengenalan merek yang lebih kuat untuk bisnis dengan imbalan biaya. Meskipun bisnis menerima barang dan jasa lebih sedikit daripada yang biasanya mereka kenakan, Groupon berfungsi sebagai pengiklan dengan jangkauan yang sangat luas, dan pebisnis juga diuntungkan dengan tidak harus membayar iklan di muka. Sebaliknya, mereka membayar sebagian pendapatan yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dengan Groupon sesudahnya.

Groupon menarik bagi pemilik bisnis karena dijanjikan akan dikunjungi banyak pembeli yang melintas dan menjamin sejumlah peningkatan pendapatan. Akan tetapi dengan catatan, penawaran Groupon ini belum berlaku sampai sejumlah orang tertentu mendaftar, sehingga bisnis yang berpartisipasi tahu bahwa seberapa banyak pelanggan yang masuk.

Dengan munculnya kartu kredit yang tertaut diskon pada 2018, Groupon telah mendaftarkan hampir tujuh juta kartu kredit pada laporan tahunan terakhirnya. Sistem baru ini bertujuan untuk membuat proses lebih lancar bagi pelanggan; konsumen mungkin lebih mungkin untuk mengambil keuntungan dari beberapa penawaran terkait kartu daripada serangkaian voucher kupon individu.

Lebih lanjut, penawaran tertaut kartu memungkinkan pelanggan untuk tidak membayar sampai titik layanan dan menggunakan penawaran yang sama beberapa kali, fitur yang tidak tersedia dengan model voucer lama.

Melalui segmen Barang, Groupon juga menjual barang dagangan langsung ke pelanggan, melewati proses voucer sama sekali. Adapun untuk segmen Perjalanan, Groupon menjual penawaran perjalanan, termasuk penerbangan dan menginap di hotel, kepada pelanggan; beberapa di antaranya dilakukan melalui voucer, yang harus ditukarkan pelanggan nanti, dan dipesan langsung melalui Groupon.

Dengan model bisnis seperti ini, banyak pelanggan yang akhirnya menghabiskan uangnya lebih dari nilai Groupon yang mereka beli. Misalnya, seorang pelanggan yang membeli voucer salon mungkin juga memanjakan dirinya dengan pedikur, karena dia menghemat banyak untuk layanan awal. Jika bisnis menyediakan produk atau layanan berkualitas tinggi, pelanggan yang awalnya datang karena kesepakatan Groupon dapat menjadi pelanggan tetap.

Groupon sempat hadir di Indonesia. Pada masa jayanya sekitar 2011-2012, Groupon Indonesia merupakan pemain terbesar di segmen daily deals. Mereka hadir di sini berkat aksi akuisisinya terhadap Disdus. Mereka hengkang dari kawasan regional Asia Tenggara karena diakuisisi kompetitornya Fave pada Juni 2016.

Kinerja Groupon

Dalam laporan keuangannya, Groupon mengidentifikasi dua jenis pendapatan: tagihan kotor dan pendapatan. Jumlah tagihan bruto adalah total pendapatan dari penjualan barang dan jasa, tidak termasuk pajak dan pengembalian uang. Pendapatan mewakili jumlah transaksi di mana Groupon bertindak sebagai pasar dikurangi porsi layanan atau penyedia produk. Perusahaan juga menerima pendapatan langsung dari penjualan persediaan barang dagangan melalui situs marketplace.

Pada 2018, Groupon melaporkan tagihan kotor sebesar $5,2 miliar dan pendapatan $2,6 miliar. Pendapatan ini turun dari $2,8 miliar pada tahun sebelumnya. Adapun, basis pelanggan aktif mencapai 48,2 juta, turun dari 49,5 juta pada tahun sebelumnya. Sementara, laba bersih untuk 2018 adalah $2 juta dan arus kas operasi adalah $191 juta.

Bisnis Groupon terus merosot pada puncaknya hingga 2021. Mengutip dari Statista, selama beberapa tahun terakhir jumlah pembeli Groupon menurun tajam. Dari hampir 54 juta pelanggan unik yang membeli setidaknya satu penawaran di situs pada kuartal IV 2014, angka ini menyusut menjadi 22,2 juta pembeli pada kuartal I 2022.

Penurunan jumlah pelanggan telah berdampak signifikan pada pendapatan Groupon. Pada 2021, pendapatan global Groupon sekitar $967 juta, jauh lebih sedikit dari setengah dari apa yang tercatat pada puncaknya di 2016. Sebagian besar karena pandemi Covid-19 pada 2020, membukukan kerugian bersih sekitar $286 juta. Namun pada satu tahun berikutnya, perusahaan mengumpulkan lebih dari $120 juta dari laba bersih, peningkatan besar setelah kerugian pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, aplikasi Groupon diunduh 5,8 juta kali di seluruh dunia. Sementara Amerika Serikat, tempat kelahirannya, menempati peringkat teratas untuk unduhan aplikasi – dengan lebih dari 4,3 juta unduhan tercatat tahun itu. Uni Emirat Arab menyajikan pertumbuhan tertinggi dalam unduhan aplikasi Groupon di App Store dan Google Play.

Investopedia menyebut, kelangsungan model bisnis Groupon dalam jangka panjang adalah topik yang banyak diperdebatkan. Untuk beberapa bisnis, pelanggan yang besar ini hanya membayar sebagian kecil dari harga eceran sebenarnya bisa dimaksimalkan nominalnya. Selain itu, beberapa kritikus turut menyoroti penurunan kualitas penawaran Groupon dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi kehancuran yang akan datang.

Bisnis UVCR

Corporate Secretary Ultra Voucher (UVCR) Ayu Kusuma Trisyani masih meyakini prospek bisnis voucer di Indonesia masih cerah dan dapat tumbuh secara berkelanjutan. Kepada DailySocial.id, dia menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Groupon Indonesia tidak bisa mewakili dari kondisi bisnis voucer di Indonesia.

Profitability dan liquidity harus tetap menjadi goals utama bagi sebuah perusahaan. Bukan tentang seberapa besar market size-nya, tapi tentang menghadirkan revenue generator baru dengan menyelesaikan problem yang ada di market,” kata Ayu.

Dia melanjutkan, program marketing yang bertujuan untuk konversi —penjualan maupun akuisisi pelanggan— masih akan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ruang untuk platform rewards akan selalu ada dan berkelanjutan. Alasan ini yang mendorong UVCR pada 2016 menginisiasi bisnis utama di bidang voucer.

“Ke depannya, rewards model mungkin akan menggunakan tools yang berbeda, namun masih dengan core model yang sama. Untuk tetap sustain tentu saja UVCR melakukan adaptasi terhadap interest & demand di market, baik B2B dan B2C,” kata dia.

Berdasarkan laporan keuangan sepanjang 2021, UVCR mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 253% atau senilai Rp5,57 miliar dari sebelumnya Rp1,57 miliar, menunjukkan tren tumbuh positif dari 2019 sebesar Rp291 juta. Kinerja dari bottom line UVCR ini melesat karena ditopang oleh kenaikan penjualan bersih sebesar Rp939,20 miliar. Perolehan itu meningkat 177,26% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp338,74 miliar.

“Untuk kuartal I 2022, kami telah mencapai hampir 50% goal kami di tahun 2022. Target kuantitatif kami adalah revenue Rp1,3 triliun dengan beberapa inisiasi yang siap kami luncurkan di kuartal III.”

Distribusi produk di channel e-commerce dianggap menjadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar UVCR di tahun lalu, sekaligus berperan dalam meningkatkan laba kotor UVCR sebesar 127% secara yoy. Meski tidak dirinci oleh Ayu, mayoritas kontribusi datang dari penjualan di channel B2C.

UVCR merupakan perusahaan yang menjual berbagai macam voucer fisik dan digital dari merchant yang telah bekerja sama dengan perusahaan, sesuai dengan ketentuan regulasi di Indonesia. Voucer yang diproduksi kemudian didistribusikan ke seluruh channel milik UVCR, baik B2C dan B2B. Hingga saat ini, perseroan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 400 brand yang tersebar sebanyak 40.000 outlet di seluruh Indonesia.

“Voucer menjadi core business model kami, tapi generating revenue dari teknologi merupakan bisnis model terbaru kami untuk meningkatkan net profit margin kami.”

Dimaksudkan lebih jauh, UVCR memiliki aplikasi yang dapat membeli, menyimpan, dan membagikan voucer untuk kerabat dari raturan merchant yang telah hadir di aplikasi. Mulai dari F&B, lifestyle, hiburan, investasi, kesehatan, dan kecantikan. Disamping itu, terdapat fitur biller untuk membayar tagihan rutin dan berulang, seperti bayar BPJS, listrik, paket data, item game, dan sebagainya.

Inisiasi tersebut akan terus dilanjutkan dengan memosisikan UVCR sebagai CATS (Catalogue-Service-as-SAAS). Ayu bilang, solusi ini hadir untuk platform yang ingin memiliki ekosistem voucher sekarang cukup dengan menjadi partner UVCR. Perseroan sudah melakukan pilot project bersama BCA dan Bank Sinarmas. Kedua bank ini punya basis nasabah yang besar, jadi momok empuk bagi UVCR akusisi pengguna baru.

Di luar itu, perusahaan juga melayani konsumen korporat untuk pembelian gift card dalam jumlah banyak. Voucer tersebut dapat diintegrasikan lewat aplikasi UVCR dalam bentuk penambahan saldo yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran untuk beli voucer apa pun yang tersedia di aplikasi.

“UV Gift Card edisi terbaru kami juga sudah dapat digunakan di seluruh Alfamart seluruh indonesia, dan kami continue untuk dapat meng-enable UV Gift Card ini agar bisa digunakan di merchant-merchant kami secara direct redemption tanpa aplikasi.”

Dalam laporan keuangan di tahun lalu, dijelaskan skema kerja sama antara perusahaan dengan mitra. Salah satunya, Boga Group untuk penyediaan dan/atau penerbitan voucer digital di dalam aplikasi Ultra Voucher, yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran oleh konsumen dalam melakukan transaksi di outlet milik Boga Group.

Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada Mei 2018, pembelian voucer seluruhnya bernilai Rp1 miliar dalam waktu satu tahun. Boga Group akan memberikan cashback berupa voucer sebesar 12,5% kepada UVCR berlaku apabila pembelian voucer mencapai nilai sekurang-kurangnya Rp500 juta atau kelipatannya dalam satu tahun. Perjanjian ini sudah beberapa kali diperpanjang sampai terakhir Maret 2021.

Dijelaskan lebih jauh, Boga Group akan memberikan diskon jika akumulasi pembelian dalam kurun waktu periode kerja sama, i) Tiering 1: Rp1 miliar – Rp2,99 miliar mendapatkan diskon 10%; ii) Tiering 2: di atas Rp3 miliar mendapatkan diskon 12,5%. Masa berlaku voucer satu tahun efektif sejak tanggal penerbitan voucer.

Tokopedia, Shopee, JD.id, Bhinneka, adalah platform online lainnya yang turut memanfaatkan solusi e-voucher yang turut disediakan oleh UVCR. Masing-masing skema kerja sama tergantung kesepakatan masing-masing perusahaan.

Head of External Communications Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menuturkan, perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak stratagis untuk menghadirkan pengalaman belanja online yang lebih menyenangkan dan efisien. Salah satunya melalui voucer, bisa berupa voucer cashback, voucer diskon, voucer toko, bebas ongkos kirim, dan lainnya.

“Praktiknya misal, kami memberikan voucer belanja Rp0 khusus unutk pengguna baru lewat program Traktiran Pengguna Baru. Untuk masyarakat di berbagai kota di Indonesia, kami juga menyediakan voucer bebas ongkir instan di kampanye Kumpulan Toko Pilihan (KTP) yang dipersonalisasi untuk setiap daerah dan menerapkan teknologi geo-tagging sebagai turunan inisiatif hyperlocal,” kata Ekhel.

Kehadiran voucer, sambung dia, memberikan dampak positif terhadap tren belanja di Tokopedia selama kuartal I 2022 hingga Ramadan 2022. Tanpa didetailkan dengan angka, diklaim dari data internal, voucer potongan harga belanja, voucer tiket acara, serta voucer potongan harga restoran menjadi kategori e-voucher yang paling laris selama kurun waktu tersebut.

“Manfaat dari hadirnya voucer juga dirasakan langsung oleh para pegiat usaha. [..] Melihat antusiasme masyarakat terhadap promo, termasuk voucer belanja sangat tinggi, ke depannya kami akan terus berinvasi agar kehadiran voucer dapat terus sesuai dengan kebutuhan pembeli.”

Prospek UVCR

Bila target bisnis pendapatan UVCR tercapai Rp1,3 triliun tahun ini, tentu saja prospek bisnisnya akan cerah. Setidaknya, perseroan sudah berhasil cetak laba dan tidak terjerat dalam strategi bakar duit yang berkepanjangan. Akan tetapi, bila mengacu pada laporan keuangannya, kemampuan UVCR dalam menghasilkan laba relatif tidak besar.

Mengutip dari data RTI, pada tahun lalu margin laba bersih atau net profit margin (NPM) UVCR hanya 0,60%. Angka ini jauh lebih baik dari kuartal I 2021 sebesar 0,28%. Namun ini masih sangat jauh bila melihat rata-rata industri sebesar 65,08%. Dengan kata lain, UVCR membutuhkan runway yang lebih panjang untuk terus meningkatkan kinerjanya. Masuk ke produk baru CATS dan melebarkan sayap bisnis ke ASEAN dapat menjadi penolong.

Pasalnya, bisnis seperti UVCR ini bukan tanpa risiko. Sebagai pemain digital, perseroan juga senantiasa dihadang oleh isu keamanan data, penipuan, dan peretasan.

Selain itu, model bisnisnya juga relatif mudah ditiru, sehingga tidak menutup kemungkinan bakal ada pesaing baru yang siap merebut kue di vertikal tersebut.

Sumber: ShopBack

ShopBack, yang satu vertikal dengan UVCR, patut disoroti. Terlebih pasca mengumumkan perolehan dana segar Seri F sebesar Rp1,18 triliun yang dipimpin Asia Partners. Perusahaan yang didirikan Henry Chan dan Joel Leong ini, telah memiliki 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara. Tahun lalu, perusahaan perluas solusi dengan mengakuisisi startup paylater asal Singapura, Hoolah.

Dengan amunisi yang besar, bukan jadi isu bagi ShopBack untuk lebih agresif mengembangkan kemitraannya dengan merchant offline, sesuatu yang belum hadir di Indonesia atau solusi lainnya di vertikal yang bersinggungan.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb, situs ShopBack menempati peringkat ke-6 di antara platform e-commerce lainnya. Adapun untuk kunjungan bulanannya hampir 600 ribu kali kunjungan, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Adapun aplikasinya di Google Play masuk dalam urutan ke-19 untuk kategori Shopping, berjajaran dengan aplikasi e-commerce.

Dalam memperoleh pendapatan, ShopBack beroperasi di bawah model bisnis marketplace, menghubungkan merchant dengan pembeli yang ingin menerima cashback untuk pembelian. Perusahaan menghasilkan uang melalui dua strategi. Pertama, komisi afiliasi. Jadi, merchant membayar ShopBack komisi dengan imbalan mengirimi mereka pelanggan yang termotivasi untuk belanja. Perusahaan kemudian membagikan sebagian dari komisi ini kepada pelanggan dalam bentuk hadiah cashback.

Kedua, periklanan. ShopBack juga menghasilkan uang dengan menjual tempat iklan di situs web atau aplikasi selulernya. Di beranda situs web, misalnya, ada dua iklan spanduk menonjol di paruh atas yang mengiklankan berbagai merek dan acara promosi. Perusahaan dikompensasi oleh pengiklan dalam bentuk biaya tetap selama durasi iklan.

ShopBack Peroleh Pendanaan 1,18 Triliun Rupiah; Bisnisnya Moncer di Indonesia

Startup agregator cashback ShopBack mengumumkan perolehan putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun Rupiah. Pendanaan yang dipimpin oleh Asia Partners ini akan dipakai mendukung pengembangan platform untuk memberikan pengalaman belanja online terbaik di Asia Pasifik.

Mengutip laporan Bloombergputaran pendanaan ini turut didukung oleh investor existing January Capital. Dengan suntikan tersebut, ShopBack telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $230 juta.

“Ini menjadi momentum tepat untuk mendukung para pemenang, mengonsolidasikan posisinya, dan mendapatkan hasil,” ungkap Managing Partner Asia Partners Nick Nash.

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di sepuluh negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas sekop layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Sementara itu, dalam laman Linkedin-nya, Co-founder dan CEO ShopBack Henry Chan mengungkap ingin terus memberikan pengalaman berbelanja sambil berhemat dengan cerdas di situasi perekonomian saat ini.

“Setiap hari kami mengirimkan lebih dari satu juta perjalanan belanja ke 10.000 mitra merchant di mana mereka bisa menemukan promo, perbandingan harga, dan reward dari pesanannya. Kami tetap menjadi partner terpercaya untuk memberikan solusi marketing dengan biaya efektif bagi merchant,” tuturnya.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Menurut laporan “2020 Global Cashback Report”, ukuran pasar untuk layanan ini secara global diproyeksi telah mencapai $108 miliar, termasuk didorong oleh adopsi e-commerce yang signifikan akibat pandemi. Sekurangnya ada 450 pemain global yang berpartisipasi memberikan layanan tersebut.

Pasar e-commerce

Potensi pertumbuhan bagi platform reward dari transaksi belanja online masih sangat besar di Indonesia. Sektor e-commerce masih menjadi kontributor terbesar di Indonesia. 

Menurut laporan NielsenIQ, jumlah konsumen yang belanja di mencapai 32 juta di 2021 atau naik 88% dari 2020. Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2021 mencatat sektor e-commerce tumbuh 52% secara tahunan. GMV e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai $53 miliar atau naik dari $35 miliar di 2020.

Pertumbuhan ini turut didongkrak dari penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi, di mana 72% di antaranya bukan berasal dari kota-kota besar.

Di Indonesia, aplikasi reward cukup diminati oleh online shopper. Selain ShopBack, beberapa aplikasi yang menawarkan layanan serupa di antaranya Snapcart yang hadir sejak 2015 dan Cashbac yang baru beroperasi sejak 2018.

Cashbac menyasar pasar social economy A dan B yang memiliki spending power tinggi dan rata-rata punya kartu kredit. Sementara, Snapcart memungkinkan pembeli mendapatkan cashback dari foto/video struk belanja dan memungkinkan brand berinteraksi dengan konsumen melalui survei.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Menyimak Pertumbuhan Bisnis Platform “Discovery” dan “Reward” Belanja

DailySocial bersama Galuh Chandra Kirana, Country General Manager ShopBack Indonesia, berbincang tentang layanan ShopBack di Indonesia untuk membantu brand, UMKM, dan konsumen untuk berbelanja secara pintar.

Sejak awal hadir, sejumlah tantangan terus dihadapi ShopBack. Galuh mengaku ada beberapa strategi agar mereka bisa menjadi favorit pengguna masyarakat Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

ShopFest Kembali Digelar, Festival Belanja Online Tahunan Terbesar di Indonesia

Di tengah pandemi, transaksi yang terjadi di e-commerce di Indonesia justru melonjak drastis dengan angka transaksi mencapai Rp 253 triliun pada akhir tahun 2020. Angka ini diproyeksikan leh Bank Indonesia akan terus naik hingga Rp 330 triliun pada akhir tahun 2021.

Continue reading ShopFest Kembali Digelar, Festival Belanja Online Tahunan Terbesar di Indonesia

ShopBack Receives 643.5 Billion Rupiah Funding from EV Growth and Rakuten

ShopBack, a platform for cashback rewards and promo curator, announces funding worth of US$45 million (around Rp643.5 billion) led by EV Growth and Rakuten. EDBI with the other investors are also participated in this round. This fund added to the total US$83 million (around Rp1.18 trillion) funding received by Shopback.

Amit Patel, CEO of Ebates Inc (Rakuten’s subsidiary) with EV Growth’s Managing Partner, Willson Cuaca will join ShopBack’s boards of Directors. In the meantime, ShopBack Indonesia’s Co-Founder and Country Manager, Indra Jonathan is reportedly resigned from his position.

The latest fund will be focused on creating a simpler shopping experience for users, improving data analysis in order to gain insight, in terms of business or personal, and speed up the growth in ShopBack‘s major markets. In addition, the company will have more innovation by launching a new feature related to the discovery and cashback giving for better experience.

In the official release, ShopBack Indonesia’s Head of Business Development, Yolanda Margaretha said, the rapid user growth is a proof of the value given by the company to all partners and users in all over Asia Pacific.

“We’re glad to be partners with a great team, consists of more than 200 employees and global investors, to keep making innovations in providing the smart, faster and better shopping solution,” she added, Wed (4/10)

Last year, Shopback’s transaction record is said to reach 2.5 million per month and exceeding US$80 million. The visitor rates, either PC or mobile, has reached more than 8 million every month. The app has been downloaded more than 6.6 million times with year-on-year order and sales growth of 250%.

Shopback’s total user has reached 7 million in 7 Asia Pacific countries, Singapore, Malaysia, Indonesia, Philippines, Thailand, Taiwan, and Australia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

ShopBack Terima Suntikan Dana 643,5 Miliar Rupiah dari EV Growth dan Rakuten

ShopBack, platform cashback rewards dan kurator promo, mengumumkan perolehan pendanaan sebesar US$45 juta (setara Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten. EDBI dan investor lainnya turut berpartisipasi dalam putaran ini. Dengan suntikan tersebut, total pendanaan yang diperoleh ShopBack hingga putaran kali ini menjadi US$83 juta (setara Rp1,18 triliun).

CEO Ebates Inc (anak perusahaan Rakuten) Amit Patel dan Managing Partner EV Growth Willson Cuaca akan bergabung dalam jajaran Dewan Direksi ShopBack. Menariknya, di waktu yang sama, Co-Founder dan Country Manager ShopBack Indonesia Indra Jonathan dikabarkan telah mundur dari posisinya saat ini.

Pendanaan terbaru ini akan dipakai untuk menyederhanakan pengalaman belanja pengguna, memperluas kemampuan analisa data guna memberikan insight baik dari segi bisnis dan personal, serta mempercepat pertumbuhan di pasar-pasar utama ShopBack. Di samping itu, perusahaan akan berinovasi meluncurkan fitur terbaru seputar penemuan dan pemberian cashback rewards untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Dalam keterangan resminya, Head of Business Development ShopBack Indonesia Yolanda Margaretha mengatakan, pertumbuhan pengguna yang sangat cepat merupakan bukti terhadap nilai yang perusahaan berikan kepada mitra dagang serta pengguna di seluruh kawasan Asia Pasifik.

“Kami juga sangat senang dapat bekerja dengan tim yang handal, terdiri dari lebih dari 200 karyawan serta investor global, untuk terus berinovasi dalam memberikan solusi belanja yang cerdas, lebih cepat, dan lebih baik,” ujarnya, Rabu (10/4).

Tahun lalu, volume transaksi di ShopBack diklaim menembus angka 2,5 juta transaksi per bulan dengan nominal lebih dari US$80 juta. Tingkat kunjungan, baik melalui desktop maupun mobile, mencapai lebih dari 8 juta tiap bulannya. Aplikasi sudah diunduh lebih dari 6,6 juta kali dengan pertumbuhan order dan penjualan tumbuh 250% secara year-on-year.

Total pengguna Shopback saat ini mencapai 7 juta orang yang tersebar di 7 negara kawasan Asia Pasifik, yaitu di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand, Taiwan, dan Australia.

Application Information Will Show Up Here

 

Cara Tepat Menggunakan Media Sosial

Dahulu media sosial merupakan platform paling mudah, dengan biaya minimum, untuk memberikan hasil organik dalam melancarkan kegiatan pemasaran. Di tahun 2018 ini, dengan persaingan yang semakin ketat dan perubahan aturan (dari pemilik platform) tentang bagaimana perusahaan menggunakan media sosial, strategi seperti apa yang harus dilakukan saat memanfaatkan media sosial?

Tentukan fokus sejak awal

Berdasarkan laporan We Are Social 2018, dari empat miliar pengguna internet di dunia, 3,1 miliar atau lebih dari 75% nya merupakan pengguna sosial media aktif. Angka ini naik hingga 13% dibandingkan dengan tahun lalu. Hal inilah yang membuat platform media sosial menjadi salah satu channel yang paling berpengaruh dalam meningkatkan brand awareness sebuah produk.

“Shopback memanfaatkan channel ini untuk membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Shopback serta menciptakan sebuah komunitas yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Shopback,” kata Social Media & Community Manager Shopback Indonesia Lalitya Hayuningtyas.

Strategi konten media sosial untuk meningkatkan brand awareness yang kemudian dapat mewujudkan follower yang aktif berinteraksi, baik untuk meminta bantuan dalam menyelesaikan masalah teknis, memberi masukan dan rekomendasi konten yang ingin mereka tonton, maupun melontarkan ide dan keluhan serta saran mengenai apa pun yang berhubungan dengan produk.

“Tujuan utama menggunakan media sosial bagi kami adalah menciptakan persona yang berperan sebagai teman bagi para follower yang notabene juga pengguna iflix,” kata Senior Content Marketing Executive Iflix Suryo Hapsoro.

Sementara itu, menurut VP Digital Marketing Traveloka Sandeep Bastikar, Traveloka ingin selalu hadir di semua tahapan travelling. Tujuan penggunaan media sosial adalah untuk tiga hal yaitu discovery, experience, dan sharing.

“Untuk discovery kami ciptakan dengan kehadiran kami di beberapa platform media sosial, disitu kami memberi inspirasi dan informasi travelling dan destinasi wisata. Untuk experience, kami memberikan tautan yang mengarah langsung ke app kami. Supaya follower kami bisa langsung membukanya saat mereka mempertimbangkan untuk menggunakan produk kami. Selain itu kami juga membantu menjawab pertanyaan tentang destinasi atau produk kami via media sosial,” kata Sandeep.

Sementara untuk sharing, saat pengguna share/post konten di media sosial dan menceritakan pengalaman mereka dalam menggunakan produk di media sosial, Traveloka akan memberi apresiasi, berkomunikasi langsung dengan mereka dan membagikan konten mereka di akun media sosial.

Pilihan platform dan konten

Setelah tujuan sudah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan platform media sosial mana yang paling ideal untuk masing-masing perusahaan.

“Saat ini Shopback lebih banyak menggunakan media sosial seperti Facebook Page, Facebook Group, Instagram, dan LINE. Keempat platform ini dirasa cocok dengan karakteristik target market dari pengguna Shopback. Platform tersebut kami nilai mampu mengakomodir kebutuhan Shopback sebagai brand, membantu membangun komunitas, meningkatkan brand awareness dan tentunya juga conversion,” kata Lalitya.

Sementara itu untuk layanan Video on Demand (VOD) seperti Iflix, sebelum menentukan platform media sosial yang tepat perlu juga dilakukan trial and error pada hampir seluruh platform media sosial yang tersedia di Indonesia.

“Instagram juga merupakan platform yang ideal bagi iflix untuk melancarkan kegiatan pemasaran, dengan adanya fitur Instagram Stories dan IGTV, kami bisa melakukan berbagai variasi kegiatan pemasaran seperti ulasan film atau mengunggah video dengan durasi yang lebih panjang,” kata Suryo.

Dalam hal ini format video diklaim memiliki keunggulan lebih saat melancarkan kegiatan pemasaran memanfaatkan media sosial. Sebagai layanan video streaming, YouTube banyak digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan kampanye tersebut.

“Terkait konten, Shopback biasanya menggunakan video, foto, serta blogpost dengan porsi yang berbeda-beda. Kami ingin membuat pengguna kami tidak merasa bosan dengan konten yang itu-itu saja. Untuk yang mana yang lebih ideal, semua balik lagi kepada platform serta tujuan dari konten tersebut. Misalnya untuk review produk, mungkin akan lebih ideal menggunakan video, sehingga pengguna atau audience lebih mendapatkan gambaran yang nyata,” kata Lalitya.

Sementara menurut Sandeep, di Traveloka platform media sosial yang digunakan adalah Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube. Alasan utamanya mayoritas digunakan penduduk Indonesia dan pengguna aplikasi Traveloka.

Selain itu, fokus lain yang wajib diperhatikan adalah konten apa yang paling banyak disukai pengguna. Sandeep melihat Traveloka ingin hadir di semua key points di dalam journey para traveller.

“Sebelum mereka memutuskan untuk memesan di Traveloka, mereka mencari inspirasi dan melakukan riset mengenai destinasi yang akan mereka kunjungi. Maka menjadi penting bagi kami untuk dapat menghadirkan konten-konten yang informatif bagi pengguna kami. Kami fokus di konten visual, baik berupa foto atau video, dan juga blog di website kami yang bisa memberikan inspirasi atau memberi rekomendasi destinasi dan atraksi liburan.”

Mengukur aktivitas

Untuk mengetahui kesuksesan sebuah kampanye memanfaatkan media sosial, perlu juga ditentukan cara terbaik memonitor kegiatan tersebut untuk mengetahui jenis posting yang sukses, tidak sukses, bagaimana hasilnya divisualisasikan, dan optimasi seperti apa yang memberikan hasil.

“Seluruh kegiatan di atas sebetulnya kami terapkan untuk memonitor kinerja media sosial Iflix. Laporan yang kami buat setiap minggu, kami analisis untuk melihat apa yang perlu kami perbaiki di minggu berikutnya. Tingkat keterlibatan pengguna dan para follower sejauh ini menjadi parameter evaluasi kami untuk menentukan apakah yang kami lakukan sudah tepat atau belum. Kami juga memantau data dari platform media sosial yang kami gunakan. Sehingga kami dapat mengetahui konten, waktu, dan angle seperti apa yang paling maksimal untuk menampilkan konten,” kata Suryo.

Hal senada dilakukan Traveloka yang merasa terbantu dengan adanya social media reporting tools dan tracking angka-angka yang menjadi metric dalam setiap campaign. Reporting tersebut kemudian dikaji ulang dan menjadi referensi untuk melakukan campaign selanjutnya. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana untuk bisa mengenali sinyal dari sekian banyak noise yang ada di media sosial.

“Untuk itu, kami melakukan analisis, evaluasi, dan membuat perbaikan untuk konten berikutnya. Tentu kami melakukan ini setiap hari, karena tren media sosial yang cepat berubah, dan kami tidak mau melewatkan setiap kesempatan yang ada untuk menyajikan konten menarik. Terkadang rencana media sosial kami bisa berubah seketika jika kami melihat ada tren baru atau hasil evaluasi dari konten sebelumnya tidak seperti yang kami harapkan,” kata Sandeep.

Melihat tren

Tidak dapat dipungkiri, Instagram masih menjadi platform media sosial favorit yang banyak dipilih oleh perusahaan. Sifatnya yang viral dan paling banyak dipilih secara global menjadikan Instagram platform ideal. Munculnya fitur Stories dan IGTV juga mulai digunakan perusahaan untuk melancarkan kegiatan pemasaran.

Menurut Sandeep, dengan aktivitas di media sosial, kesempatan untuk dapat masuk ke ranah emosional (emotional mindspace) pengguna terbuka lebih lebar dibandingkan jika menggunakan jalur pemasaran lainnya.

“Tren followers kami saat ini banyak dipengaruhi Instagram Stories sebagai media baru yang terus bertambah fiturnya. Followers dapat berinteraksi dengan kami dengan berbagai cara, mulai dari rekomendasi, pertanyaan, dan berbagi cerita,” kata Sandeep.

Selain Instagram, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling sering diakses masyarakat. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa saat ini pengguna sudah mulai cerdas memilih dan menelaah konten dari brand. Jadi mulailah untuk lebih banyak berinteraksi dengan konsumen ketimbang memberikan konten hard selling.

“Saat ini Facebook lebih bergeser ke komunitas atau group, terlebih untuk membuat engagement yang lebih tinggi. Sedangkan untuk Instagram orang-orang lebih cenderung melihat konten yang bergerak seperti video misalnya. Penggunaan influencer masih memberikan pengaruh yang cukup besar, namun perlu diperhatikan saat ini, micro influencer lebih mendatangkan conversion yang cukup tinggi ketimbang macro influencer,” kata Lalitya.

Makin maraknya fenomena millennial dan generasi Z saat ini sangat mempengaruhi tren media sosial. Generasi ini cenderung lebih selektif dalam memilih konten apa yang ingin mereka lihat. Artinya, sebuah merek harus memproduksi konten yang relevan dan memiliki nilai tambah bagi para follower. Ketika sebuah merek tidak bisa memenuhi kriteria ini, mereka harus bersiap untuk tergerus dari pasar persaingan.

“Menurut saya pribadi, netizen saat ini sedang dalam masa jenuh dengan keindahan mereka [dan saya juga] sedang menggandrungi guyonan receh. Lihat saja beberapa konten video yang belakangan ini berhasil viral bukanlah konten yang menunjukkan keindahan, tetapi konten yang konsepnya berhasil dieksekusi dengan baik sehingga kelucuannya dapat diterima oleh semua kalangan,” kata Suryo.

Shopback Sediakan Fitur Pembanding Harga Layanan Transportasi Online

Shopback berinovasi dengan meluncurkan fitur yang memudahkan pengguna memilih layanan transportasi online. Fitur ini membantu pengguna membandingkan harga dan kecepatan perolehan untuk jasa transportasi online, baik roda dua maupun roda empat dari Uber, Go-Jek, dan Grab. Fitur baru ini disematkan dengan harapan membantu pengguna Shopback mendapatkan layanan transportasi online yang lebih ekonomis.

Dalam keterangannya, Co-Founder dan Country Head Shopback Indonesia Indra Yonathan menyampaikan Shopback berkomitmen menghadirkan fitur-fitur yang dapat membantu masyarakat untuk melakukan transaksi online secara bijak dan hemat, terutama transaksi online yang banyak terjadi dalam keseharian.

“Sejak 2015 lalu, ojek dan taxi online sudah menjadi moda transportasi andalan untuk banyak masyarakat di Indonesia. Dari riset yang Shopback lakukan, lebih dari 91% responden mengaku pernah menggunakan jasa transportasi online ini. Ojek online dinilai sebagai alternatif transportasi yang murah dan juga cepat,” ujar Yonathan.

Infografis dari Shopback

Shopback melakukan riset secara online terhadap 1000 responden di lima kota besar di Indonesia meliputi Jabodetabek, Bandung, Medan, Surabaya, dan Makassar. Riset dari Shopback memaparkan sejumlah data seperti, dalam satu minggu 40,9% responden menggunakan ojek atau taxi online sebanyak 2-5 kali, 33,7% sebanyak satu sekali, dan 15,9% sebanyak 5-10 kali. Riset dari Shopback juga melaporkan bahwa 9 dari 10 responden mengaku selalu membandingkan harga sebelum memutuskan untuk memesan ojek atau taxi online melalui aplikasi.

Hasil riset mengenai kebiasaan pengguna menggunakan transportasi online ini direspon Shopback dengan meluncurkan fitur baru pembanding harga transportasi online. Terobosan yang dilakukan Shopback berwujud sebuah fitur yang  mampu menampilkan aplikasi transportasi online mana yang memberikan harga termurah dan tercepat saat itu. Pengguna diberi kebebasan untuk memilih dan akan langsung diarahkan ke aplikasi transportasi online yang dipilih.

Application Information Will Show Up Here

Tokopedia Introduces “Tokopoints” for Consumer Loyalty Program

Tokopedia officially launched a loyalty program called “Tokopoints” as an attempt to increase repeat sales from the active users. Tokopedia finally used this strategy after some big players are already used the same strategy, such as Tiket.com, Traveloka, Go-Jek, Grab and others.

“We appreciate public support for Tokopedia in the last eight years. Toppers loyalty is Tokopedia’s motivation to innovate more in providing the best online shopping experience for Indonesia’s population,” Tokopedia’s Co-Head Marketplace Aldo Tjahjadi said in an official statement.

Tokopedia users can collect points and loyalty from every transaction they made via website or mobile app. Points can be obtained by making transaction. Later, it can be redeemed into coupons on the catalogue.

Screenshot 2018-01-30 at 13.25.06

Loyalty can be obtained to determine and upgrade the Membership Status. Each membership has different advantages, starts from Classic, Silver, Gold and Platinum with levels of loyalty to be collected up to 100 thousand points.

As for the benefits gained for each level of membership, can get free shipping, discount and cashback. However, there are some transactions do not earn Points or Loyalty, such as the purchase of KAI tickets, Entertainment, Uber, Gift Card and Event.

Based on the latest data in mid-2017, Tokopedia has obtained 2 million merchants, 35 million unique visit per month and 150 million visits in total (website and mobile app).

Digital marketing trend in 2018

Tokopedia is trying to emphasize on the increase of user loyalty through  Tokopoints. The strategy began to used by other big players engaged in technology to focus on maintaining active users to keep repeat order.

Shopback Indonesia’s Co-Founder and Country Head Indra Yonathan said on his presentation in Jakarta E-Commerce Night 2018, at least three marketing trends will happen in the following year.

First, the more attention will be given to the performance of marketing concept 2.0. Currently, e-commerce have many Key Performance Index (KPIs) as measurement of a successful marketing strategy, some of which are looking at the Cost Per Click (CPC), Cost Per Visitor (CPV) and so on.

Second, creating micro moments to be part of consumer’s journey while visiting e-commerce site. A marketing strategy to apply in creating micro moments is positioning yourself as an advisor to the consumer. To provide product recommendation based on interest, give informative inputs and no longer sell just any products to all consumers.

Lastly, loyalty points era. For Yonathan, larger companies began to care on how to keep the existing consumer and disbursed half of its marketing funds by introducing a loyalty program.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian