Startup Remitansi Wallex Technologies Raih Pendanaan Seri A

Wallex Technologies mengumumkan telah berhasil meraih pendanaan Seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Startup teknologi finansial yang berkantor pusat di Singapura ini mendapat suntikan dana dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital. Beberapa investor yang terlibat alam pendanaan putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi.

Rencananya pendanaan kali ini akan dimanfaatkan Wallex untuk memperluas skala usaha di sejumlah pasar baru, juga meningatkan produk-produk yang mereka miliki.

“Kami gembira untuk bermitra dengan investor-investor baru, serta memperoleh dukungan mereka di sejumlah perekonomian terbesar dan paling menarik di dunia. Kami akan terus menjalankan misi Wallex untuk memberdayakan kalangan UKM dengan menyediakan berbagai perangkat yang bisa mengembangkan bisnisnya,” ungkap Co-founder & COO Wallex Hiroyuki Kiga.

Wallex dengan layannya sebagai penyedia platform remitansi online mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah memperoleh izin transfer dana dari Bank Indonesia pada akhir 2018 silam. Sebagai sebuah bisnis, Wallex cukup yakin dengan perjalanan dan performa bisnis mereka. Mereka mengklaim berkembang 20% setiap bulan.

“Wallex memanfaatkan teknologi yang mempermudah, mempercepat, dan menyederhanakan pembayaran lintas negara bagi kalangan UKM. Kami mencermati pentingnya pembayaran digital setelah Covid-19 berlalu agar UKM bisa terlibat dalam pemulihan ekonomi. Kam yakin bahwa Wallex sangat berpotensi menjadi solusi pembayaran dan dompet digital untuk segmen yang belum banyak memanfaatkan layanan tersebut,” terang Managing Director BAce Capital Mulyono.

Di Indonesia sendiri layanan remitansi online adalah salah satu perwujudan perkembangan industri teknologi finansial. Beberapa nama sudah mulai menjalankan layanan remitansi online di Indonesia. Mereka adalah Nium, Zendomoney, OY!, Transfez, dan RemitPro.

Salah satu rencana Wallex dengan pendanaan ini adalah layanan baru dan peningkatan produk-produk yang sudah ada. Co-founder & CEO Wallex Jody Ong menjelaskan mereka akan segera menawarkan layanan baru seperti virtual receivable account dan dompet digital dalam berbagai mata uang di negara-negara tertentu.

“Pendanaan ini akan membantu kami untuk membangun fitur-fitur mutakhir bagi pelanggan UKM. Dengan demikian mereka dapat mengelola arus kas dan melindungi diri dari risiko valas pada suatu platform tunggal. Kami juga terus merekrut tenaga kerja dan menjalin kemitraan demi memperluas bisnis,” imbuh Jody.

Wallex saat ini memang tengah berfokus pada segmen B2B. Untuk saat ini mereka menerima pembayaran dalam lebih dari 40 mata uang. Terkait regulasi untuk saat ini Wallex diregulasi Monetary Authority of Singapore sebagai Lembaga Pembayaran Utama, Bank Indonesia, dan Hongkong Custom and Excise Department.

Perjalanan Wallex di Indonesia

Pihak Wallex mengaku bahwa mendapatkan lisensi resmi di Indonesia adalah salah satu capain penting mereka. Dengan lisensi tersebut kini Wallex bisa menawarkan solusi mereka yang berupa layanan pembayaran untuk 40 lebih kurs dari Indonesia.

“Dalam setahun beroperasi, kami masuk top 15 penyedia pengiriman uang untuk nilai transaksi (oleh Bank Indonesia). Pertumbuhan yang cepat ini sangat menggembirakan bagi kami,” klaim Co-founder dan COO Wallex Hiroyuki Kiga.

Ia juga melanjutkan bahwa transaksi pembayaran internasional melalui media digital masih dalam tahap sangat baru di Indonesia yang kebanyakan masih offline atau datang ke bank, sehingga Wallex pun mencoba mengambil peran dalam mengedukasi masyarakat terkait layanan remitansi online.

Sebagai salah satu pemain di industri yang cukup baru membangun kepercayaan pengguna juga menjadi salah satu tantangan. Selanjutnya, di Indonesia Wallex akan fokus pada menjangkau lebih banyak UKM terutama mereka yang ada di luar Jakarta.

 

KooBits Edtech Startup Finally Expands, Starting to Develop Content in Bahasa Indonesia

The Singapore based edtech startup, KooBits just announced two new products, Home-Based Learning and Live Tutoring. Both services are to help parents monitoring their children’s growth. It is now available for users in the neighbor countries, including Indonesia.

In Indonesia, KooBits has started since 2018. It was targeting international and bilingual schools. However, they’re now provide content in Bahasa Indonesia in order to reach more students.

“Yes, we localize content to Bahasa Indonesia, also adjusting to the Indonesia’s math curriculum. Indonesian students an have unlimited access to our math content, with Singapore Curriculum, Cambridge Curriculum, and IB Curriculum in English, and National Curriculum in Bahasa Indonesia,” KooBits’ CEO, Stanley Han said.

In addition, KooBits also serious to penetrate the Indonesian market. Aside from localize their content, they also open branch office and build a team. Particularly, in terms of marketing, also product and business development.

“We already plant technology team in Batam, and on progress to build a branch office in Jakarta for marketing, also product and business development. We also have 3 local partners acting as a distributor for KooBits products to schools,” he added.

Produk KooBits

In Indonesia, online learning platforms or educational technology services have surfaced since last year. It becomes widely known and some have been announced continuous innovations. The huge potential of edutech market has captured some global startups like SnapAsk and Progate to start penetration in the Indonesian market.

Despite having different segments, the wave of innovation and expansion of foreign players to Indonesia more or less prove that the positive direction of the development of Indonesia’s edutech ecosystem.

“First of all, I think the market is big and there is enough space for many innovations to occur simultaneously, to make the edtech space as attractive as the consumer market. Therefore, competition is not what really matters, I see more opportunities to collaborate and to raise awareness together, to make the change from traditional brick-and-mortar education to digital online education,” Han revealed.

The new KooBits Home-Based Learning and Live Tutoring products are claimed to be equipped with AI technology. The sophistication of artificial intelligence will be used to personalize it for each user. Meanwhile, they also implemented big data to produce deeper insights for teachers and parents.

In addition to Math, which has been the main focus of KooBits, they have plan to launch Science and English learning this year.

The latest news said, KooBits has received seed funding at the end of 2018, with participation of Golden Gate Ventures and Access Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Matangkan Ekspansi, Startup Edtech KooBits Mulai Kembangkan Konten Berbahasa Indonesia

Startup edtech asal Singapura KooBits mengumumkan dua produk terbarunya yakni Home-Based Learning dan Live Tutoring. Kedua layanan ini disiapkan untuk membantu orang tua memantau perkembangan anaknya. Dua produk tersebut kini juga sudah bisa dinikmati pengguna di negara lain, termasuk Indonesia.

Di Indonesia KooBits sebenarnya sudah hadir sejak tahun 2018 silam. Kala itu targetnya adalah sekolah internasional dan bilingual. Namun kini mereka mulai menyediakan konten berbahasa Indonesia sehingga mereka bisa menjangkau lebih banyak siswa.

“Ya, konten kami lokalkan ke Bahasa Indonesia, dan diselaraskan dengan kurikulum matematika Indonesia. Siswa dari Indonesia dapat memperoleh akses tanpa batas ke konten matematika kami, dengan Kurikulum Singapura, Kurikulum Cambridge, dan Kurikulum IB dalam Bahasa Inggris, dan Kurikulum Nasional dalam Bahasa Indonesia,” klaim CEO KooBits Stanley Han.

KooBits juga tampak serius menggarap pasar Indonesia. Selain melokalkan konten mereka juga membuka kantor dan tim. Terutama untuk kepentingan pemasaran dan pengembangan bisnis dan produk.

“Kami memiliki tim teknologi yang ditempatkan di Batam, dan kami sekarang sedang dalam proses mendirikan kantor di Jakarta untuk pemasaran, pengembangan bisnis dan produk. Kami juga memiliki 3 mitra lokal yang bertindak sebagai distributor produk KooBits ke sekolah,” sambung Stanley.

Produk KooBits

Di Indonesia sendiri sejak tahun lalu platform belajar online atau layanan teknologi pendidikan banyak muncul di permukaan. Mulai banyak dikenal dan banyak yang mengumumkan inovasi lanjutan. Besarnya potensi pasar pendidikan di Indonesia juga membuat beberapa nama startup luar seperti SnapAsk dan Progate juga turut hadir menggarap pasar Indonesia.

Kendati memiliki segmentasi yang berbeda, gelombang inovasi dan ekspansi masuknya pemain luar ke Indonesia sedikit banyak membuktikan bahwa arah positif perkembangan ekosistem pendidikan teknologi Indonesia.

“First of all, saya pikir pasarnya besar dan ada cukup ruang untuk banyak inovasi terjadi secara bersamaan, untuk membuat ruang edtech semenarik pasar konsumen. Jadi saya tidak benar-benar melihat persaingan, saya melihat lebih banyak peluang untuk berkolaborasi dan untuk membangkitkan kesadaran bersama, untuk membuat perubahan dari pendidikan bata-dan-mortir tradisional ke pendidikan online digital terjadi,” jelas Stanley.

Produk baru KooBits Home-Based Learning dan Live Tutoring diklaim dilengkapi dengan teknologi AI. Kecanggihan kecerdasan buatan itu akan dimanfaatkan untuk personalisasi untuk setiap penggunanya. Sementara itu, mereka juga mengaplikasikan kecanggihan big data untuk menghasilkan wawasan lebih mendalam bagi guru dan orang tua.

Selain pembelajaran Matematika yang selama ini fokus utama KooBits, rencananya tahun ini mereka juga akan meluncurkan pembelajaran Sains dan Bahasa Inggris.

Terakhir diinfokan, KooBits mendapatkan pendanaan awal pada akhir 2018, melibatkan Golden Gate Ventures dan Access Ventures.

Sensing Self and Its Commitment for Health Democratization through Technology

Digitization in the health industry developed continuously with various innovations for everyone to have equal access to health products and medical experts. Sensing Self becomes one of the healthtech players with a commitment to achieve the vision.

The startup is based in Singapore, founded three years ago by entrepreneurs from Indonesia named Santo Purnama and Shripal Gandhi. Santo has a background in computer science and technology from Purdue University and Standford University. While Shripal has a chemical and biosciences background from the University of Mumbai and the University of California.

They both put Sensing Self as a company that focuses on creating independent health test kits for everyone can detect their own health and get treatment at the earliest possible stage.

“Our main goal is to democratize medical equipment so that it can be tested at home using a mobile phone. To date, if there are patients in remote villages who need urine tests, he may need to take a 2-3 hour vehicle to the nearest clinic with lab service. And the results have to wait a day or two,” Santo explained to DailySocial, Thursday (2/4).

He continued, “Our technology can facilitate urine test by smartphones. That is one of our mission.”

To date, the company has created an app for both the detection and prevention of diabetes or pre-diabetes through saliva and urine tests. Within five minutes, the user already knows the results of their sugar level. It is hoped that with this information, users can pay attention to their lifestyle from their diet and nutrition.

Sensing Self has targeted India as a key country for these products. In the area, this test kit has been used to detect more than 120 million adults and pre-diabetic children and 70 million detected diabetes.

Around the globe, according to data from the global diabetes association and federation, there are 750 million people who have pre-diabetes and diabetes. For most countries, this disease threatens more people of working age and children.

“Applications for testing for diabetes through saliva and urine have not yet entered Indonesia. Given the Covid-19 problem, we will continue our efforts to enter Indonesia after the pandemic has passed. ”

The next product that was successfully released was a self-test kit for Covid-19. This test tool provides fast and accurate detection results because it uses enzyme analysis. Enabling everyone to test at their own homes, within 10 minutes, and an affordable price of around Rp160 thousand per unit.

Diabetes test kit by Sensing Self / Sensing Self
Diabetes test kit by Sensing Self / Sensing Self

The company also holds various international licenses from Europe (CE certification), India (approved by the National Institute of Virology and Indian Council of Medical Research), and the United States. Specifically in the US, the Food and Drug Administration (FDA) gives its approval that the terms of use must be done in a formal medical institution.

“The presence of this independent test tool can help the government to provide access to tests that are safer, practical, and affordable. When there are positive patients, they can immediately isolate themselves or get treatment in the hospital. ”

“That way, medical workers can really focus on treating Covid-19 patients with moderate-severe symptoms, instead of spending time testing thousands of people,” he continued.

The product has been distributed by India, which ordered millions of units. He claimed intention to enter Indonesia but still hampered by approval from the authorities. The price sold, according to him, is the price of production because it carries a social mission to save more human lives.

“We have sent these test kits to well-known research institutions such as Mayo Clinix, University of California, and Chan Zuckerberg Biohub.”

The company’s business plans

As he said, Sensing Self is targeting developed countries with a low ratio of medical tools with massive citizens. India and Indonesia are both the best example of these criteria. “And they are our focus.”

Furthermore, Santo avoids specifying the product sales contribution to the company in terms of business. He believed that what the company provided was to improve things around humanity. “[Therefore] revenue and profit will come naturally.”

The next innovation the company has been preparing is the Covid-19 infection detection test kit as early as possible with a nucleic acid test. Santo claims the test results are able to detect with an accuracy of up to 99% on the first day they are exposed to the virus. This product will be released in the near future.

Innovations that move around COVID-19 by making an independent rapid test tool are actually also carried out by East Ventures along with its portfolios. They collaborated to collect non-profit funds with a total target of IDR10 billion.

Of the total budget, Rp9 billion will be used to support Nusantics to provide 100 thousand test kits, and the rest will be used for the whole genome sequencing project (mapping the mutation of the virus that causes Covid-19 to spread in Indonesia).

This project is part of Nusantics’ task as a member of the Task Force for Research and Technology Innovation for Handling COVID-19 (TFRIC19) formed by BPPT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sensing Self dan Komitmennya Demokratisasi Kesehatan Lewat Teknologi

Digitalisasi industri kesehatan terus berlanjut dengan berbagai inovasi yang dihasilkan agar setiap orang punya akses yang sama untuk mendapatkan obat dan menjangkau dokter. Sensing Self menjadi salah satu pemain startup healthtech yang berkomitmen untuk mewujudkannya visi tersebut.

Startup ini berbasis di Singapura, didirikan tiga tahun lalu oleh pengusaha asal Indonesia bernama Santo Purnama dan Shripal Gandhi. Santo berlatar belakang ilmu komputer dan teknologi dari Purdue University dan Standford University. Sementara Shripal berlatar belakang teknik kimia dan biosains dari University of Mumbai dan University of California.

Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

“Tujuan utama kita ialah mendemokratiskan peralatan medis, sehingga dapat diuji sendiri di rumah dengan menggunakan mobile phone. Saat ini, apabila ada pasien di pelosok desa yang perlu tes air seni, dia mungkin perlu naik kendaraan 2-3 jam ke klinik terdekat yang mempunyai lab. Dan hasilnya harus ditunggu satu dua hari,” terang Santo kepada DailySocial, Kamis (2/4).

Ia melanjutkan, “Teknologi kami dapat memberikan kemudahan untuk tes air seni hanya dengan ponsel. Itulah salah satu misi kami.”

Sejauh ini perusahaan telah menciptakan aplikasi untuk deteksi sekaligus pencegahan diabetes atau keadaan pra-diabetes melalui ludah dan test air seni. Dalam lima menit, pengguna sudah mengetahui hasil sejauh mana level gula mereka. Harapannya dengan informasi ini, pengguna dapat memperhatikan gaya hidup mereka dari pola makan dan nutrisinya.

India menjadi negara yang disasar Sensing Self untuk produk tersebut. Di sana, test kit ini sudah dipakai untuk mendeteksi lebih dari 120 juta orang dewasa dan anak pra-diabetes dan 70 juta deteksi diabetes.

Di seluruh dunia, menurut data dari asosiasi dan federasi diabetes global, ada 750 juta orang memiliki kondisi pra-diabetes dan diabetes. Bagi sebagian besar negara, penyakit ini mengancam lebih banyak orang usia kerja dan anak-anak.

“Aplikasi untuk pengujian diabetes melalui ludah dan air seni masih belum masuk di Indonesia. Mengingat masalah Covid-19, kita akan lanjutkan usaha memasuki indonesia setelah pandemi berlalu.”

Produk berikutnya yang berhasil dirilis adalah alat tes mandiri untuk Covid-19. Alat tes ini memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau sekitar Rp160 ribu per unit.

Alat pengujian diabetes yang dikembangkan Sensing Self / Sensing Self
Alat pengujian diabetes yang dikembangkan Sensing Self / Sensing Self

 

Perusahaan juga mengantongi berbagai lisensi internasional dari Eropa (sertifikasi CE), India (disetujui oleh National Institute of Virology dan Indian Council of Medical Research), dan Amerika Serikat. Khusus di AS, Food and Drug Administration (FDA) memberikan persetujuan dengan syarat penggunaan harus dilakukan di lembaga medis formal.

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit.”

“Dengan begitu, para tenaga medis bisa benar-benar memfokuskan diri untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala menengah-parah, alih-alih menghabiskan waktu untuk melakukan tes pada ribuan orang,” sambungnya.

Produk tersebut telah didistribusi India yang memesan jutaan unit. Dia mengaku ingin masuk ke Indonesia, namun masih terganjal persetujuan dari pihak berwenang. Harga yang dijual, menurutnya, adalah harga produksi, sebab menyimpan misi sosial untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia.

“Kami telah mengirimkan alat tes ini untuk lembaga-lembaga riset ternama seperti Mayo Clinix, University of California, dan Chan Zuckerberg Biohub.”

Rencana perusahaan

Menurutnya, Sensing Self menyasar ke negara berkembang yang memiliki rasio antara peralatan medis yang rendah dan jumlah masyarakat yang banyak. India dan Indonesia adalah dua contoh negara yang mewakili kriteria tersebut. “Dan merekalah yang menjadi fokus kita.”

Lebih lanjut Santo enggan merinci kontribusi penjualan produk untuk perusahaan secara bisnis. Menurutnya, dia meyakini bahwa apa yang diberikan perusahaan adalah untuk memperbaiki hal-hal seputar kemanusiaan. “[sehingga] revenue dan profit akan datang sendirinya.”

Inovasi berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan adalah alat test kit deteksi infeksi Covid-19 sedini mungkin dengan tes asam nukleat (nucleic acid test). Santo mengklaim hasil tes ini mampu mendeteksi dengan akurasi sampai 99% pada hari pertama mereka terpapar virus. Produk ini akan dirilis dalam waktu dekat.

Inovasi yang bergerak seputar Covid-19 dengan membuat alat rapid test mandiri sebenarnya juga dilakukan oleh East Ventures bersama jajaran portofolionya. Mereka berkolaborasi menggalang urun dana non profit dengan total target Rp10 miliar.

Dari anggaran tersebut, sebesar Rp9 miliar akan digunakan untuk mendukung Nusantics menyediakan 100 ribu test kit, dan sisanya untuk proyek whole gnome sequencing (memetakan mutase virus penyebab Covid-19 yang menyebar di Indonesia).

Proyek ini adalah bagian tugas Nusantics sebagai anggota Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC19) yang dibentuk BPPT.

TIX ID Terlibat dalam Putaran Pendanaan Seri B PouchNATION

Hari ini (13/2), pengembang platform digital untuk pembelian tiket bioskop TIX ID mengumumkan keterlibatannya dalam putaran pendanaan seri B PouchNATION. Tidak diinfokan mengenai besaran investasi, yang jelas aksi korporasi ini menjadi pembuka kerja sama strategis kedua perusahaan. Nantinya teknologi yang dikembangkan startup berbasis di Singapura tersebut akan digunakan TIX ID untuk mendukung kegiatan off-air.

Salah satu produk unggulan PouchNATION adalah perangkat berbasis NFC (Near-field Communication) yang diaplikasikan untuk memudahkan penyelenggara acara mengelola mobilitas peserta. Penerapan paling umum, ketika mengikuti sebuah acara peserta akan mendapatkan gelang yang dilengkapi dengan sensor NFC. Panitia dapat mendata dengan menempel gelang tersebut ke alat scanner atau ponsel, saat peserta masuk atau keluar dari venue.

Pelaporan dilakukan secara otomatis, karena data yang berhasil terekam akan tersinkronisasi ke server dan dianalisis melalui dasbor yang disediakan. Selain untuk akses keluar-masuk acara, produk tersebut juga bisa didesain sebagai sistem pembayaran cashless menunjang transaksi di acara.

“Kolaborasi ini akan memudahkan pengelolaan sebuah acara menjadi sangat efektif, dimulai dari pembelian tiket secara online melalui platform TIX ID, hingga pengelolaan massa, kontrol akses dan kegiatan aktivasi sebuah brand melalui platform PouchNATION,” terang Managing Director TIX ID Sean Kim.

Sementara itu CEO PouchNATION Ilya Kravtsov mengatakan, “Investasi ini sesuai dengan tujuan PouchNATION untuk menajamkan posisi bisnis, bukan hanya di area acara, namun juga di area bisnis lokasi pelaksanaan acara. Kami melihat TIX ID yang memiliki jangkauan lebih dari 80% bisnis bioskop di Indonesia sebagai partner strategis yang tepat untuk visi PouchNATION.”

TIX ID terasosiasi dengan grup korporasi EMTEK, dengan kepemilikan saham 30%. Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki sekitar 5 juta pengguna aktif. Di bulan Maret 2020, cakupan platform akan diperluas, tidak hanya jual tiket bioskop, namun juga tiket ke berbagai acara. Selain itu akan turut membantu promotor melakukan pengelolaan acara off-air secara lebih efektif dengan teknologi.

Di Indonesia, TIX ID bersaing langsung dengan beberapa perusahaan. Misalnya dengan decacorn Gojek yang telah miliki layanan pemesanan tiket bioskop GoTix dan platform penjualan tiket acara Loket. Selain itu ada beberapa pemain seperti Goers yang juga berada di lini bisnis serupa.

Putaran pendanaan dipimpin Traveloka

Putaran pendanaan seri B PouchNATION telah dimulai sejak Juni 2019, waktu itu Traveloka membuka sekaligus memimpin pendanaan, didukung SPH Ventures. Investasi tersebut diberikan setelah Traveloka mulai fokus kembangan lini bisnis Xperience, diharapkan teknologi NFC yang dikembangkan dapat mendukung posisi perusahaan sebagai “discovery platform”.

PouchNATION telah menangani rata-rata $5 juta nilai transaksi bulanan dari beragam jenis acara. Persebaran produknya sudah meliputi pasar Singapura, Filipina, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Di Indonesia, mereka bernaung di bawah PT Easy Touch Group yang belokasi di Jakarta.

Application Information Will Show Up Here

ONE Esports Singapore Major Dota 2 Telah Diumumkan

Kabar gembira bagi warga Asia Tenggara karena akan ada turnamen Major Dota 2 yang diselenggarakan di Asia Tenggara tahun 2020 nanti. ONE Esports Singapore Major ini adalah turnamen terakhir dari rangkaian turnamen di Dota Pro Circuit musim tahun 2020. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 20 sampai 28 juni 2020 di Singapore Indoor Stadium.

Singapore Major kali ini sudah ditunggu-tunggu oleh penggemar Dota 2 di Asia Tenggara. Pasalnya, turnamen berkelas Major terakhir kali diadakan di Asia Tenggara adalah Kuala Lumpur Major di akhir tahun 2018 kemarin. Dikutip dari website ONE Esports, mereka mengumumkan Singapore Major di sela-sela media day ONE Esports Dota 2 Singapore World Pro Invitational.

Menjadi yang terakhir dari rangkaian turnamen Dota Pro Circuit, turnamen ini jadi semakin menarik karena tim-tim Dota 2 yang ingin mengumpulkan poin DPC untuk masuk ke The International harus mengeluarkan seluruh kemampuannya di turnamen ini. Total ada 15.000 poin DPC yang akan diperebutkan beserta prizepool sebesar US$1 juta.

Sumber: business-review.eu
Sumber: business-review.eu

Silviu Stroie selaku CEO dari PGL mengatakan, “bekerja sama dengan perusahaan terbaik yang pernah saya temui di Asia, ONE Esports dan PGL akan memberikan pengalaman turnamen Major terbaik lagi di Asia Tenggara.”

ONE Esports sendiri memiliki hubungan dengan ONE Championship yang berdiri sebagai promotor pertandingan olahraga bela diri sejak tahun 2011. Mereka sudah bekerja sama dengan banyak pihak di industri penyiaran seperti ESPN. Bahkan pernah ditulis di Forbes, ONE Championship merupakan media olahraga terbesar di Asia.

Sumber: TribunNews
Sumber: TribunNews

Kerjasama ONE Esports dengan PGL harusnya memberikan kualitas yang layak untuk dinantikan. Pasalnya, PGL bertanggung jawab atas kualitas produksi acara The International dan turnamen-turnamen Major Dota 2.

Selain kerjasama untuk Singapore Major Dota 2 tadi, ONE Esports juga menggelar 2 turnamen dengan skala lebih kecil di Singapura dan Jakarta. One Esports Dota 2 World Pro Invitational Singapore digelar dari tanggal 17-22 Desember 2019 dengan total hadiah sebesar US$500 ribu. Sedangkan untuk ONE Esports Dota 2 World Pro Invitational Jakarta, acara ini akan digelar pada tanggal 17-19 April 2020 dengan total hadiah yang sama dengan yang sebelumnya.

Gojek Ties Up with Local Taxi to Win the Singapore Market

Gojek has a big ambition and great effort to top the taxi ride-hailing market in Singapore. The new strategy, is to partner with Trans-Cab Services as the local taxi. The partnership will allow around 3000 Trans-Cab vehicles to provide services through Gojek application by December 2019.

With the additional vehicles of Trans-Cab, there will be enough fleet to minimize waiting for the customers. Therefore, Trans-Cab can also increase their total trip using Gojek access to customers.

“The collaboration with Gojek is fascinating. It allows our drivers to access on-demand service through Gojek application. In the meantime, they can continue the street-hail. Our drivers will have many benefits of the flexibility, also with the additional income,” Trans-Cab’s CEO, Teo Kiang Ang said.

Meanwhile, Gojek Singapore’s General Manager, Lien Choong Luen said that their team is glad to make this partnership happened. Besides the customers gain access to more availability, the drivers will also gain additional benefits.

Gojek in Singapore

Gojek’s first year in Singapore has resulted 30 million trips. This amount has increased three times in the last six month. The company is currently making more innovation to accelerate growth in Singapore, and the Trans-Cab deal is one of the strategy.

Gojek’s Co-CEO, Andre Soelistyo said their first year in Singapore to be very amusing. He also compliments Gojek Singapore team, drivers, and also the customers.

“I believe next year will be way more massive for us since we’ll be focusing on what our next offer in the second year in Singapore,” he added.

Gojek had its debut in Singapore in the mid-2018. Unlike the other countries, Singapore’s business keep using the Gojek name, and only provide taxi-services. Currently Gojek is in a tight competition with Grab in Southeast Asia. Aside from Singapore, both are available in Vietnam, Thailand, and soon to be the new battlefield, Malaysia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gojek Gandeng Perusahaan Taksi Lokal untuk Merajai Pasar Singapura

Gojek berupaya keras untuk menjadi pimpinan pasar layanan pemesanan taksi di Singapura. Strategi terbaru mereka, menjalin kerja sama dengan Trans-Cab Services selaku perusahaan taksi lokal. Kerja sama ini akan memungkinkan 3000 armada Trans-Cab bisa melayani pesanan penumpang melalui aplikasi Gojek per Desember 2019.

Dengan tambahan armada yang dimiliki Trans-Cab jumlah ketersediaan armada akan lebih banyak sehingga bisa memangkas waktu tunggu pengguna. Di sisi lain, armada Trans-Cab bisa meningkatkan jumlah perjalanan mereka dengan akses ke pengguna melalui Gojek.

“Kolaborasi dengan Gojek ini fantastis. Ini akan memungkinkan pengemudi kami untuk mengakses pemesanan on-demand melalui aplikasi Gojek. Sementara mereka masih bisa melanjutkan steet-hail. Driver kami akan sangat diuntungkan dari fleksibilitas ini dan peluang peningkatan penghasilan,” terang CEO Trans-Cab Teo Kiang Ang.

Sementara itu General Manager Gojek Singapura Lien Choong Luen menyampaikan bahwa pihaknya menyambut gembira kerja sama ini. Karena selain pelanggan mendapatkan ketersediaan armada yang lebih banyak para mitra pengemudi juga akan mendapat sejumlah keuntungan lainnya.

Gojek di Singapura

Satu tahun berjalan Gojek di Singapura sudah mencapai 30 juta perjalanan. Jumlah ini meningkat hingga tiga kali lipat dalam enam bulan terakhir. Gojek saat ini tengah berupaya menghadirkan lebih banyak inovasi untuk semakin meningkatkan pertumbuhan mereka di Singapura, dan kesepakatan dengan Trans-Cab adalah satu bentuk strateginya.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengungkapkan bahwa satu tahun capaian Gojek di Singapura sangat mengagumkan. Ia juga menyanjung tim Gojek Singapura, mitra pengemudi, hingga pelanggan yang ada.

“Saya percaya bahwa tahun depan akan lebih besar bagi kami karena kami fokus pada peningkatan penawaran kami di tahun kedua kami di Singapura,” terang Andre.

Gojek memulai kiprahnya di Singapura pada pertengahan tahun 2018 silam. Berbeda dengan negara lainnya di Singapura Gojek tetap memakai brand Gojek, dan khusus melayani armada taksi. Saat ini Gojek bersaing ketat dengan Grab di Asia Tenggara. Selain Singapura keduanya juga hadir di Vietnam, Thailand, dan negara akan menjadi medan persaingan baru, Malaysia.

Application Information Will Show Up Here

A Singapore Based Startup Eatsy to Arrive in Jakarta, Promoting a Queue Booking App in Restaurants

Eatsy, a Singapore based startup stated itself as a “dining mobile app” announced to arrive soon in Jakarta. The firm was getting seed round from East Venture in January 2019 worth of $550 thousand.

The Eatsy app is to help users in booking queues and food in the restaurant. Therefore, when customers arrived, they don’t have to wait longer to queue for seating and ordering food.

“Using Eatsy, not only saving time but customers can also order their food peacefully. The restaurant, particularly those with small space but high demand, can cut the queue service and manage the order well,” Eatsy‘s Founder & CEO, Shaun Heng said.

To date, their team has reached hundreds of restaurants in Indonesia to join their system. They also have partnered up with Ovo for the payment system.

Meanwhile, to indulge restaurant merchants with the best experience, Eatsy also take Moka (also one of East Venture’s portfolio) for the point of sales service. The collaboration allows all orders to be integrated into a system. Meanwhile, Moka’s merchants will automatically be registered into the Eatsy app, including their menus.

In Singapore, Eatsy currently has partnered up with 400 merchants, the solution is said to increase sales by 1.5 times up.

“We’re glad to deliver Eatsy in Jakarta, furthermore, we aim to expand to the other first-tier cities in Southeast Asia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here