Lewat Prototipe Mobil Elektriknya, Sony Akan Bereksperimen dengan Konsep PlayStation untuk Mobil

Sony mengejutkan banyak orang di ajang CES 2020 dengan menyingkap sebuah prototipe mobil listrik bernama Vision-S. Wujudnya yang begitu keren – lebih keren daripada Tesla Model S kalau menurut saya pribadi – membuat sebagian dari kita bertanya-tanya: “Kapan Sony bisa memproduksinya secara massal?”

Sayangnya tidak. Di bulan Agustus 2020, Sony menegaskan bahwa mereka tidak berniat memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik, terlepas dari keputusan mereka untuk mengujinya di jalanan umum, sekaligus menyiapkan prototipe mobil yang kedua. Tujuan dari pengujian tersebut tidak lebih dari sebatas pengumpulan data, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang Sony buat.

Namun di event CES 2021 kemarin, Vision-S kembali muncul, kali ini bersama drone pertama Sony yang bernama Airpeak. Sony pun lagi-lagi harus meluruskan kabar yang simpang siur mengenai Vision-S. Kepada Car & Driver, juru bicara Sony memastikan bahwa untuk sekarang mereka sama sekali tidak punya rencana untuk memproduksi ataupun menjual Vision-S.

Vision-S tidak lebih dari sebatas test bed yang dapat Sony manfaatkan untuk bereksperimen. Lewat mobil ini, Sony pada dasarnya sedang mengeksplorasi bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap era kemudi otomatis nantinya. Salah satunya tentu dengan menyediakan beragam sensor kamera.

Pada kenyataannya, Vision-S datang membawa sebanyak 40 sensor di tubuhnya, dan 18 di antaranya merupakan kamera. Namun selain soal keselamatan dan reliabilitas sistem kemudi otomatis, Sony juga ingin punya kontribusi terhadap industri otomotif dari sisi hiburan.

Itulah mengapa mereka menyematkan teknologi 360 Reality Audio pada kabin Vision-S. Namun yang lebih menarik mungkin adalah tujuan jangka panjangnya, yakni mengintegrasikan PlayStation ke dalam kabin, lengkap bersama konektivitas 5G.

Interior Sony Vision-S / Sony
Interior Sony Vision-S / Sony

Eksekusi dari konsep “PlayStation untuk mobil” ini tentu bisa bermacam-macam. Apakah yang Sony maksud dengan PlayStation di sini adalah hardware console itu sendiri, atau cuma sebatas layanan cloud gaming yang bisa diakses dari sistem infotainment bawaan mobil? Sejauh ini semuanya baru sebatas spekulasi, dan Sony juga belum menyingkap rencana konkretnya.

Terlepas dari itu, ide akan sebuah game console yang terintegrasi ke mobil tentu kedengaran sangat menarik. Di saat mobil-mobil dengan sistem kemudi otomatis Level 4 atau Level 5 sudah siap untuk turun ke jalanan, itu artinya kita tidak perlu lagi siaga di depan lingkar kemudi, dan waktu selama perjalanan bisa kita habiskan dengan bermain Gran Turismo 12 (sekarang baru akan ada Gran Turismo 7).

Nyatanya, sekarang saja kita sudah bisa bermain video game di dashboard Tesla Model 3, dan saya kira tidak berlebihan seandainya ide ini akan terus dikembangkan ke depannya. Untuk sekarang, gamegame tersebut memang hanya bisa dimainkan ketika mobilnya berhenti, tapi bagaimana seandainya nanti mobilnya sudah bisa menyetir sendiri tanpa memerlukan sedikitpun input dari kita?

Well, di titik itu mungkin persaingan antara PlayStation dan Xbox bakal berpindah dari ruang keluarga menuju kabin mobil.

Sumber: Car & Driver.

Lidar Bikinan Luminar Berpotensi Mempercepat Pengembangan Mobil Kemudi Otomatis

Saat membicarakan tentang mobil kemudi otomatis, sudah pasti ada bahasan mengenai suatu komponen yang amat esensial bernama lidar. Lidar merupakan singkatan dari “Light Detection and Ranging”, atau umum juga diibaratkan sebagai radar berbasis laser. Peran lidar begitu penting karena pada dasarnya komponen inilah yang menjadi mata untuk mobil kemudi otomatis.

Lidar bukanlah barang yang murah. Model paling top dari produsen lidar ternama seperti Velodyne misalnya, disebut bisa mencapai harga $75.000 per unitnya. Kalau harga satu dari seabrek komponennya saja begitu mahal, bagaimana dengan harga mobilnya sendiri?

Namun tentu saja Velodyne bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengembangkan lidar. Pada kenyataannya, TechCrunch melaporkan ada lusinan perusahaan baru yang berfokus di bidang pengembangan lidar. Dari sekian banyak startup dan perusahaan, ada satu yang cukup mencuri perhatian, yakni Luminar.

Startup asal Silicon Valley ini baru saja mengumumkan bahwa mereka telah memulai pengembangan Iris, lidar generasi baru yang diproyeksikan bisa merambah mobil produksi untuk konsumen. Iris punya banyak kelebihan, salah satunya perihal dimensi.

Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar
Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar

Dibandingkan unit uji coba yang selama ini dikerjakan oleh Luminar, ukuran Iris cuma sekitar sepertiganya. Kalau Anda pernah melihat foto mobil kemudi otomatis yang tengah diuji coba, yang di atapnya terdapat semacam sensor berukuran besar, itulah wujud lidar yang kita kenal sekarang.

Iris tidak demikian. Kalau Anda lihat gambar di awal artikel, dua kotak kecil berwarna putih yang terletak sekitar 30 cm di bawah lampu depan itu adalah Iris. Ukuran merupakan salah satu faktor penting, sebab ruang kosong yang terdapat di mobil jelas sangat terbatas, dan pabrikan mobil tentunya tak ingin menjual mobil dengan bagian atap yang begitu jelek kepada konsumen.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah ongkos. Luminar Iris kabarnya akan dihargai kurang dari $1.000 per unit, menjadikannya salah satu solusi paling terjangkau untuk pabrikan yang tertarik memproduksi mobil kemudi otomatis. Ongkos produksi yang murah tentu akan berujung pada harga jual yang lebih murah pula.

Faktor penting yang ketiga adalah software. Luminar berencana mengembangkan software-nya sendiri guna melengkapi Iris, dan ini krusial untuk memaksimalkan kinerja hardware-nya dalam menjalankan tugas-tugas seperti object detection, gaze direction, maupun kalibrasi otomatis.

Kita tahu bahwa mobil kemudi otomatis harus bisa mendeteksi beragam objek di sekitarnya, dan di sinilah salah satu fungsi utama dari lidar. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Luminar berharap bisa memasok Iris ke pabrikan-pabrikan mobil yang tertarik paling cepat mulai tahun 2022.

Sumber: TechCrunch.

Tesla Resmi Ungkap Chip AI Bikinannya Sendiri

Sekitar setahun lalu, Tesla mengumumkan niatnya untuk merancang chip AI sendiri, menghapuskan ketergantungannya terhadap Nvidia. Rencananya tersebut akhirnya terwujud. Bukan cuma menyingkapnya ke publik, Tesla bahkan sudah menyematkan chip bikinannya itu ke Model S, Model X dan Model 3 yang diproduksi belum lama ini.

Paket lengkapnya Tesla sebut dengan istilah “full self-driving computer” atau FSDC. Pada papan sirkuit tersebut, bernaung dua chip yang identik. Mengapa harus dua dan tidak disatukan saja supaya daya komputasinya lebih hebat lagi? Karena bukan itu prioritas utama yang diincar.

Eksistensi dua chip itu didasari oleh prinsip redundancy. Sederhananya, ketika satu chip mengalami malfungsi, chip lainnya bisa mengambil alih semua kendali, mengingat masing-masing chip dilengkapi dengan manajemen daya dan storage-nya sendiri. Ini sangat krusial demi tidak membahayakan penumpang mobil.

Yang menarik, Tesla mengaku desain chip ini sudah selesai mereka buat sejak sekitar dua tahun lalu, dimotori oleh sosok bernama Pete Bannon yang merupakan mantan chip engineer Apple. Proses produksinya sendiri mengandalkan bantuan Samsung melalui salah satu pabriknya di Texas, Amerika Serikat.

Pekerjaan tim desainer chip Tesla pun kini telah dialihkan ke chip generasi yang lebih baru lagi, yang diklaim tiga kali lebih baik daripada yang mereka gunakan sekarang, dan diperkirakan bakal siap diproduksi dan digunakan paling tidak dua tahun lagi.

Juga sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya, chip ini tak hanya bisa dinikmati oleh konsumen Tesla baru. Mereka yang sudah terlanjur meminang Model S, Model X maupun Model 3 sebelum ini juga bisa ikut menikmatinya dengan membayar ongkos upgrade. Ya, Tesla dengan sengaja merancang chip ini agar backwards-compatible dengan sistem lama yang masih mengandalkan chip bikinan Nvidia.

Tesla cukup percaya diri dengan pencapaian mereka di bidang pengembangan chip sekaligus sistem kemudi otomatis secara menyeluruh. Begitu optimisnya Tesla, mereka juga berencana meluncurkan armada taksi robot dengan prinsip ride-sharing di tahun 2020. Kita tunggu saja kehadiran taksi online tanpa sopir dan tanpa bensin ini.

Sumber: TechCrunch.

Tesla Buat Sendiri Chip AI untuk Sistem Kemudi Otomatisnya

Selain memelopori tren mobil elektrik, Tesla juga bisa dibilang terdepan soal sistem kemudi otomatis alias self-driving. Kombinasi software bikinannya, platform supercomputer Nvidia dan sederet sensor pada mobil pada akhirnya melahirkan sistem Autopilot yang begitu canggih.

Namun kemitraan Tesla dengan Nvidia kemungkinan bakal berakhir tahun depan. Penyebabnya adalah niat Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri, yang sejauh ini dikenal secara internal dengan sebutan Hardware 3. Kabar ini disampaikan oleh CEO Elon Musk pada laporan finansial terbaru Tesla.

Anggap saja Nvidia Drive itu Qualcomm Snapdragon, nah keputusan Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri di sini mirip seperti langkah Apple membuat chipset-nya sendiri untuk iPhone. Alhasil, kendali atas perangkat bisa lebih maksimal, demikian pula untuk performanya.

Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla
Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla

Memangnya seberapa besar dampaknya pada performa? Menurut Elon, kalau software computer vision Tesla yang ditenagai hardware Nvidia bisa mengatasi sekitar 200 frame per detik, maka angkanya bisa naik menjadi 2.000 frame per detik menggunakan chip buatan mereka sendiri.

Ini dikarenakan chip-nya memiliki akses yang lebih dalam lagi ke sistem secara keseluruhan. Kalau dengan chip Nvidia, kalkulasi datanya tidak bisa dilakukan langsung di hardware, melainkan harus melalui mode emulasi, sehingga pada akhirnya kinerjanya tidak bisa benar-benar maksimal.

Di samping itu, seumpama ke depannya perlu dilakukan perbaikan atau penambahan fitur baru, Tesla jadi tidak perlu menunggu Nvidia. Mereka bisa langsung bertindak dan menyempurnakan apa yang kurang. Lebih penting lagi, Elon juga bilang bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk menggarap chip sendiri ini kurang lebih sama seperti yang dibutuhkan untuk meng-outsource dari Nvidia.

Tesla Roadster 2 / Tesla
Tesla Roadster 2 / Tesla

Pertanyaan selanjutnya, apakah chip AI buatan sendiri ini hanya akan tersedia di mobil-mobil baru Tesla ke depannya, macam Roadster 2 dan Model Y? Ternyata tidak. Model S, Model X dan Model 3 juga bakal kebagian jatah melalui program hardware upgrade yang akan dijalankan tahun depan.

Bukankah sulit melepas komputer dalam mobil lalu menggantinya dengan yang baru? Ya, tapi Tesla rupanya sudah memikirkannya sejak awal, dan Elon memastikan bahwa proses penggantiannya mudah, sekaligus menjaga kompatibilitas sistem dengan yang baru.

Tesla masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa mereka tidak sekadar membual. Sebelumnya, mereka selalu dicecar akibat produksi Model 3 yang lambat, dan yang hingga kini belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen yang telah memesan. Semoga saja itu tidak terulang pada rencana ini tahun depan.

Sumber: TechCrunch.

Bosch Umumkan Layanan Informasi Kondisi Jalan untuk Mobil Kemudi Otomatis

Tahun 2015 lalu, Bosch sempat menjabarkan visinya terkait mobilitas masa depan yang sarat teknologi baru. Sebagai supplier besar di industri otomotif, Bosch tentu tidak hanya pintar berwacana saja. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan asal Jerman itu sibuk menyiapkan teknologi-teknologi pendukung untuk menyambut era baru di dunia otomotif.

Salah satunya baru saja mereka umumkan, yakni sebuah layanan informasi yang dikhususkan untuk membantu mengamankan kendaraan self-driving, terutama yang melaju di atas jalanan dengan kondisi kurang ideal (licin misalnya). Sistem ini mengandalkan data ramalan cuaca dari perusahaan asal Finlandia, Foreca, untuk meracik berbagai skenario yang bisa terjadi, sehingga mobil dapat mengantisipasi.

Layanan ini pada dasarnya bakal menjadi sumber peringatan bagi mobil kemudi otomatis terkait potensi bahaya jauh sebelum insiden terjadi. Dengan begitu, mobil tak perlu menyerahkan kemudinya kembali ke seseorang yang berada di balik setir ketika menjumpai tanda-tanda kondisi jalanan yang kurang baik, tapi bisa langsung mengantisipasi dengan berbagai cara, tergantung kondisinya.

Rencananya, layanan ini bakal mulai beroperasi pada tahun 2020. Ke depannya, Bosch juga akan memanfaatkan data dari mobil-mobil self-driving yang melaju di jalanan, bukan sebatas data ramalan cuaca dari Foreca itu saja.

Datanya cukup bervariasi, mulai dari yang simpel seperti informasi suhu di dalam dan luar mobil, sampai yang lebih rumit dan krusial seperti frekuensi aktivasi wiper dan rem mobil. Sistem bikinan Bosch ini sederhananya bakal menjadi perantara komunikasi antar mobil self-driving, dan kinerjanya tentu bakal semakin bisa diandalkan seiring bertambah banyaknya mobil kemudi otomatis yang turun ke jalan.

Sumber: Engadget.

Daimler dan Bosch Percayakan Platform Nvidia untuk Kembangkan Taksi Tanpa Sopirnya

Ajang CES 2018 lalu menjadi saksi atas komitmen dan keseriusan Nvidia di bidang otomotif. Miliaran dolar telah mereka habiskan dalam beberapa tahun belakangan guna mengembangkan sistem kemudi otomatis, dan ini tentu didasari oleh keyakinan mereka akan prospek bisnis ke depannya.

Tidak sedikit nama besar industri otomotif yang memercayakan Nvidia sebagai mitra utamanya dalam mengembangkan mobil kemudi otomatis. Salah satu yang terbaru adalah Daimler dan Bosch, yang sendirinya menjalin kerja sama untuk mengembangkan taksi otonom sejak tahun lalu. Keduanya berharap bisa melepas buah kolaborasinya dalam waktu lima tahun.

Lima tahun adalah waktu yang tergolong singkat, apalagi jika yang dibicarakan adalah mobil kemudi otomatis yang masuk di kategori Level 4 dan 5, di mana Level 5 merepresentasikan teknologi paling mutakhir dan kesiapan untuk mengaspal tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun. Itulah mengapa Daimler dan Bosch melirik ke Nvidia, yang sejauh ini bisa dibilang paling teruji platform kemudi otomatisnya di samping Waymo (Google).

Daimler sebagai induk perusahaan Mercedes-Benz bakal menyematkan sistem Nvidia Drive Pegasus ke sedan mewah S-Class dan van V-Class. Keduanya bakal menjalani uji coba di kawasan Silicon Valley mulai babak kedua 2019. Selain itu, pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah merancang sistem layanan yang nantinya bakal menatap konsumen secara langsung.

Namun mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa harus taksi? Mengapa tidak kendaraan pribadi saja? Alasannya simpel: di saat awal mobil kemudi otomatis Level 4 dan Level 5 terealisasikan nanti, harganya bisa dipastikan sangat mahal dan kurang masuk akal untuk konsumen secara luas.

Jadi mungkin akan lebih bijak kalau dalam beberapa tahun pertama mobil-mobil tersebut dijadikan transportasi umum saja. Selanjutnya ketika teknologi di baliknya semakin terjangkau untuk diproduksi secara massal, barulah mobil-mobil ini dapat menyasar konsumen secara langsung.

Sumber: Engadget dan Daimler.

Land Rover Kembangkan Sistem Kemudi Otomatis Khusus Off-Road

Bukan hal yang mengejutkan lagi apabila banyak pabrikan mobil tengah sibuk mengembangkan sistem kemudi otomatisnya masing-masing. Namun saya yakin penggemar otomotif bakal sedikit heran mendengar nama Land Rover sebagai salah satunya.

Alasannya simpel: Land Rover identik dengan mobil off-road yang sangat jago menerjang banjir, melintasi medan terjal, atau sesinting mendaki ratusan anak tangga. Kalau mereka memutuskan untuk mengerjakan sistem kemudi otomatisnya sendiri, sudah pasti ada hubungannya dengan off-road, bukan?

Benar. Bukan Land Rover namanya kalau tidak mengedepankan aspek off-roading, dan proyek baru mereka yang bernama Cortex ini punya tujuan untuk merealisasikan sebuah SUV yang sanggup mengemudikan dirinya sendiri di medan off-road. Tidak tanggung-tanggung, dana sebesar nyaris 5 juta dolar mereka kucurkan hanya untuk proyek ini.

Ini jelas bukan pekerjaan mudah bagi Land Rover, sebab di medan off-road tidak ada alat bantu seperti marka jalan yang dapat dimanfaatkan sistem untuk memprediksi pergerakan mobil selanjutnya. Itulah mengapa mereka memutuskan untuk meminta bantuan para ahli machine learning dari Myrtle AI dan University of Birmingham.

Land Rover Project Cortex

Untuk sekarang, yang sedang dikembangkan adalah bagaimana sistem dapat memaksimalkan potensi radar pada mobil. Land Rover ingin sistemnya bisa memanfaatkan lebih dari sebatas sepuluh persen data radar seperti kasusnya pada sistem active cruise control sekarang.

Untuk itu, diperlukan komponen radar yang mampu menangkap data dalam resolusi lebih tinggi, dan yang lebih sulit adalah bagaimana sistem dapat mengolah data berukuran masif tersebut setiap detiknya. Ini tentu baru sebagian cerita, sebab masih ada faktor penting lain seperti misalnya optimasi algoritma prediktif.

Ketika tujuan akhir Cortex terwujud nanti, dua premis unggulan Land Rover pun dapat semakin dipertegas, spesifiknya kapabilitas off-road dan kenyamanan dalam kabin, sebab seseorang yang berada di balik lingkar kemudi bisa bersantai menjadi penumpang dan menikmati keindahan alam selagi mobilnya melintasi medan tak bersahabat.

Sumber: Wired dan Land Rover.

Cadillac Super Cruise Siap Tantang Tesla Autopilot dengan Sistem yang Benar-Benar Hands-Free

Tesla Autopilot mengundang banyak perhatian karena merupakan salah satu sistem kemudi otomatis pertama yang tersedia untuk konsumen umum. Autopilot memang belum sempurna, dan sejauh ini masih punya beberapa batasan, salah satunya adalah pengemudi diwajibkan untuk tetap meletakkan tangannya di lingkar kemudi.

Cadillac melihat batasan ini sebagai peluang untuk menawarkan sistemnya sendiri yang diyakini lebih superior. Dijuluki Cadillac Super Cruise, sistem ini memungkinkan mobil untuk berjalan dengan sendirinya di jalan tol tanpa mewajibkan pengemudi memegang setir. Hands-free driving, demikian jargon yang dipakai oleh pabrikan asal AS tersebut.

Kamera kecil di belakang setir yang bertugas mendeteksi apakah pengemudi sudah terlalu lama mengalihkan pandangannya dari jalanan / Cadillac
Kamera kecil di belakang setir yang bertugas mendeteksi apakah pengemudi sudah terlalu lama mengalihkan pandangannya dari jalanan / Cadillac

Yang unik dari Super Cruise adalah apa yang Cadillac sebut dengan istilah driver attention system. Sistem ini melibatkan sebuah kamera kecil di belakang setir yang memanfaatkan sinar inframerah untuk memonitor posisi kepala pengemudi, menentukan ke mana pengemudi mengarahkan pandangannya.

Ketika pengemudi terdeteksi telah cukup lama mengalihkan pandangannya dari jalanan, sistem akan mengingatkan pengemudi untuk kembali memusatkan perhatiannya ke jalan. Bentuk peringatannya bermacam-macam; bisa berupa lampu pada setir yang menyala, indikator visual pada panel instrumen, peringatan suara atau malah goyangan pada jok.

Seandainya rentetan peringatan itu masih belum berhasil membujuk pengemudi untuk kembali mengarahkan pandangannya ke jalanan, sistem dapat menepikan mobil dan menghentikannya secara total.

Bentuk peringatan yang diberikan bisa bermacam-macam, salah satunya dengan sebuah LED strip yang menyala pada setir / Cadillac
Bentuk peringatan yang diberikan bisa bermacam-macam, salah satunya dengan sebuah LED strip yang menyala pada setir / Cadillac

Selebihnya, Super Cruise menawarkan fungsionalitas yang serupa dengan Autopilot. Selama berada di jalan tol, sistem sanggup mengendalikan mobil untuk berpindah jalur. Semuanya mengandalkan perpaduan data real-time yang dikumpulkan oleh sejumlah kamera, radar dan GPS.

Unik juga untuk Super Cruise adalah tambahan informasi yang berasal dari database peta berbasis LIDAR. Alhasil, selain bisa memberikan informasi jalanan yang lebih mendetail pada mobil, pengecekan lokasi secara real-time diperkirakan juga bisa meningkat empat hingga delapan kali lipat.

Super Cruise rencananya bakal hadir bersama Cadillac CT6 generasi terbaru. Kecuali regulasi dimana pabrikan mobil sudah boleh menerapkan sistem kemudi otomatis ‘murni’ – pengemudi benar-benar tidak lagi dibutuhkan di kabin depan – sudah ditetapkan, sistem hands-free seperti ini adalah yang terbaik yang bisa kita nikmati dalam waktu dekat.

Sumber: Cadillac.

Faraday Future Ungkap Mobil Elektrik Versi Produksi Pertamanya, FF 91

Masih ingat dengan Faraday Future, startup ambisius yang pada ajang CES tahun lalu memamerkan konsep mobil elektrik perdananya, FFZero1 Concept? Tahun 2017 ini mereka kembali berdiri di atas panggung CES, kali ini dengan prototipe mobil produksi pertamanya, FF 91.

FF 91 merupakan sebuah SUV elektrik yang sangat pantas dijadikan penantang utama Tesla Model X. Desainnya futuristis sekaligus aerodinamis, performanya gila-gilaan, dan teknologinya juga super-canggih – tentu saja melibatkan sejumlah elemen kemudi otomatis.

Segila apa performanya? Lebih gila dari Tesla Model S dalam mode Ludicrous aktif. Berbekal tenaga sebesar 1.050 hp, FF 91 sanggup melesat dari 0 – 100 km/jam dalam waktu 2,39 detik saja. Faraday Future tidak mau dituduh membual, lihat saja aksi prototipenya dalam video di bawah ini.

Dengan performa sekencang itu, konsumen pastinya menginginkan handling yang lincah untuk bermanuver di beragam kondisi jalanan. Untuk itu, Faraday Future telah menyematkan sistem kemudi roda belakang, dimana kedua roda belakangnya juga akan ikut membelok mengikuti arah setir.

Cepat bukan berarti boros daya. Faraday Future telah menanamkan baterai berkapasitas 130 kWh pada panel dasar FF 91, memberinya jarak tempuh sejauh 608 km dalam satu kali charge. Proses charging-nya pun juga diklaim cepat, dimana konsumen dapat mengisi separuh kapasitas baterainya dalam waktu kurang dari 4,5 jam di garasinya masing-masing.

Performa FF 91 sangat cepat tapi konsumsi energinya juga amat efisien / Faraday Future
Performa FF 91 sangat cepat tapi konsumsi energinya juga amat efisien / Faraday Future

Oke, waktunya bicara soal kemudi otomatis. Di sini FF 91 mengandalkan total 13 radar, 12 sensor ultrasonik, 10 kamera HD dan sebuah LIDAR. Komponen LIDAR ini istimewa karena ia hanya akan muncul di atas kap depan ketika sistem kemudi otomatis diaktifkan.

Sistem yang amat kompleks ini memungkinkan FF 91 untuk memarkir dirinya sendiri. Faraday Future menyebut fitur ini dengan istilah Driverless Valet, yang berarti pemilik mobil juga dapat memanggilnya dari lahan parkir menuju depan lobi menggunakan ponsel.

Berbekal teknologi pengenal wajah, FF 91 sama sekali tidak memerlukan kunci mobil / Faraday Future
Berbekal teknologi pengenal wajah, FF 91 sama sekali tidak memerlukan kunci mobil / Faraday Future

FF 91 turut mengemas teknologi pengenal wajah. Fungsinya untuk mendeteksi pengemudi sekaligus penumpang; kamera yang terpasang di pilar B akan mendeteksi wajah pengemudi dan penumpang lalu membukakan pintu, sedangkan kamera di dalam kabin akan mendeteksi wajah lalu mengaktifkan pengaturan interior sesuai selera masing-masing penumpang.

Faraday Future saat ini telah menerima pemesanan FF 91 sebanyak 300 unit, akan tetapi produksinya baru akan dimulai pada tahun 2018. Ya, tahun depan sepertinya akan jadi tahun yang berat buat Tesla, dimana rival-rival barunya akan mulai memasarkan mobil elektrik produksinya masing-masing.

Sumber: Faraday Future via TechCrunch.

Hyundai Kembangkan Sistem Kemudi Otomatis yang Lebih Terjangkau dari Biasanya

Selama membahas mobil tanpa sopir dalam beberapa tahun ini, tanpa kita sadari sangat jarang yang membicarakan soal harga. Yang menjadi pertanyaan sebenarnya sederhana: sebagai konsumen, berapa budget yang harus kita sediakan untuk bisa meminang mobil tanpa sopir?

Kalau mempertimbangkan semua teknologi yang dipakai, mulai dari deretan sensor sampai bagasi yang pada dasarnya diisi oleh supercomputer, tentunya banderol harga mobil tanpa sopir bisa cukup tinggi. Jadi apakah ini artinya hanya golongan menengah ke atas saja yang bisa mengambil manfaat dari teknologi kemudi otomatis?

Menurut Hyundai, semestinya tidak seperti itu. Pabrikan asal Korea Selatan tersebut sedang sibuk mengembangkan sistem kemudi otomatis yang lebih ekonomis ketimbang yang sudah dikerjakan oleh pabrikan-pabrikan lain sekarang. Caranya adalah dengan mengurangi beban komputasi yang dibutuhkan.

Berkurangnya beban komputasi berarti unit komputer yang digunakan bisa lebih inferior daripada biasanya, yang pada akhirnya dapat menekan ongkos produksi sekaligus harga jual. Lalu apakah ini berarti kinerjanya jadi kurang bisa diandalkan?

Tidak juga. Pada prototipe Hyundai Ioniq yang didemonstrasikan ke media, Hyundai sengaja tidak menyematkan sensor LIDAR 360 derajat yang biasanya terlihat terus berputar secara konstan di bagian atap mayoritas prototipe mobil tanpa sopir. Sebagai gantinya, terpasang sensor LIDAR dengan jangkauan 130 derajat di depan, dan yang berjangkauan 110 derajat di kiri-kanan mobil.

Bagian belakangnya sengaja diabaikan karena kurang begitu relevan, sekaligus dapat diatasi dengan radar. Absennya sensor bagian belakang ini akan mengurangi beban komputasi yang diperlukan untuk mengolah semua data yang dikumpulkan.

Prototipe Hyundai ini masih mengandalkan sejumlah kamera dan radar untuk memperhatikan objek-objek di sekitarnya. Lebih lanjut, mobil juga banyak mengandalkan sistem pemetaan mendetail yang dikembangkan oleh Mnsoft, yang merupakan anak perusahaan Hyundai sendiri.

Ketergantungan akan sistem pemetaan ini bisa menjadi indikasi bahwa Hyundai butuh waktu yang cukup lama untuk bisa merealisasikan sistem kemudi otomatis ramah kantong semacam ini. Gampangnya, tanpa data peta lokasi di sekitar yang lengkap, mobil tidak akan sanggup menavigasikan dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, inisiatif dan upaya Hyundai ini patut diberi apresiasi. Meski jalan yang ditempuh masih panjang, setidaknya mereka sudah punya gambaran jelas perihal masa depan otomotif yang berlaku untuk semua kalangan.

Sumber: Engadget dan Hyundai.