Usung Dashboard Canggih, Audi Q4 e-tron Turut Dilengkapi Augmented Reality Heads-up Display

Petunjuk navigasi berbasis augmented reality (AR) adalah masa depan dunia otomotif. Tidak percaya? Silakan lihat salah satu fitur opsional yang diunggulkan oleh mobil listrik terbaru Audi, Q4 e-tron. Dashboard bernuansa futuristisnya tidak hanya dilengkapi heads-up display (HUD), melainkan yang bekerja sesuai dengan prinsip AR.

HUD sendiri bukanlah barang baru di industri otomotif, sebab sudah banyak mobil di jalanan yang menggunakan teknologi. Umumnya, HUD di mobil melibatkan sebuah panel kaca kecil yang berada persis di belakang kaca depan, lalu ada proyektor yang ‘menembakkan’ informasi ke panel tersebut.

Lain halnya dengan augmented reality heads-up display (AR HUD) seperti yang Audi kembangkan ini. Ketimbang memproyeksikan informasi ke sebuah panel kecil, justru kaca depan Q4 e-tron yang dijadikan bidangnya secara langsung. Menurut Audi, sistem AR HUD ciptaannya mampu meng-cover porsi kaca depan seluas 70 inci secara diagonal.

Ada dua macam informasi yang dapat ditampilkan. Yang pertama adalah indikator umum seperti kecepatan mobil maupun batas kecepatan untuk ruas jalan yang tengah dilalui. Pengemudi akan melihat informasi statis ini seperti sedang berada sekitar 3 meter di depannya.

Yang kedua adalah informasi dinamis yang bisa muncul di mana saja dalam cakupan 70 inci secara diagonal itu tadi. Yang paling relevan tentu adalah petunjuk arah, dan pengemudi bakal melihatnya seperti berada sekitar 10 meter di depan hidung mobil. Selain petunjuk arah, sistemnya juga dapat menampilkan indikator untuk memperjelas marka jalan.

Rahasia dari teknologi AR HUD ini terletak pada sebuah komponen bernama picture generation unit (PGU) yang Audi tanamkan ke dashboard Q4 e-tron. Hardware khusus tersebut juga hadir bersama software spesifik bernama AR Creator yang bertugas me-render semua informasi digital tersebut dalam kecepatan 60 fps, sekaligus memastikan posisinya tetap sinkron selagi mobil bergerak.

Dari kacamata sederhana, AR Creator bekerja dengan mengalkulasikan pergerakan mobil sekaligus memprediksi di mana letak objek-objek di sekitar mobil secara terus menerus berdasarkan informasi yang diterima dari beragam sensor eksternal. Informasi ini kemudian dipakai untuk mengubah peletakan grafik AR secara dinamis, mencegahnya agar tidak lompat ke sana-sini selagi posisi mobil berubah setiap sepersekian detik.

Kalau ditanya apa tujuan dari penerapan AR HUD, jawabannya sudah pasti adalah untuk membantu pengemudi tetap fokus ke jalanan. Agar misi ini lebih mudah tercapai, Audi pun tidak lupa melengkapi sistem infotainment Q4 e-tron dengan dukungan perintah suara sehingga kedua tangan pengemudi bisa terus berada di setir.

Audi bukan satu-satunya produsen mobil yang menerapkan teknologi AR HUD ini. Pertengahan 2020 kemarin, Mercedes-Benz juga sempat mendemonstrasikan beragam inovasi digital yang dimiliki seri S-Class generasi terbaru, salah satunya juga merupakan AR HUD.

Sumber: Engadget dan Audi.

Tesla Ungkap Versi Baru Model S dan Model X dengan Interior yang Dirombak Total

Tesla Model S memang bukan mobil listrik pertama bikinan Tesla, akan tetapi sedan premium itulah yang berhasil melambungkan nama Tesla sampai ke titik ini. Meski sudah dipasarkan sejak tahun 2012, wujud luar dan dalamnya tidak begitu banyak berubah. Namun Tesla rupanya sudah menyiapkan kejutan secara diam-diam.

Mereka baru saja menyingkap versi anyar Model S yang siap mengaspal mulai bulan Maret, dengan sejumlah perombakan di eksterior, dapur pacu, sekaligus interiornya. Perubahan di tampilan luarnya memang tidak terlalu kentara jika tidak benar-benar diamati dan dibandingkan langsung dengan versi sebelumnya. Yang mungkin agak mencuri perhatian adalah klaim bahwa Model S merupakan mobil produksi yang paling aerodinamis yang ada sekarang.

Untuk dapur pacunya, Model S kini hadir dalam varian “Plaid” yang dibekali tiga buah motor elektrik dengan sistem penggerak empat roda. Total output daya yang dihasilkan bisa mencapai angka 1.020 tenaga kuda, dan akselerasi 0 – 100 km/jam mampu dicatatkan dalam waktu 1,99 detik saja. Kalau Anda menilai Model S sudah sangat kencang, maka varian barunya ini bakal lebih ngebut lagi.

Cepat sekaligus efisien sudah menjadi pegangan Tesla selama ini, dan varian anyar Model S ini pun tidak luput dari arahan tersebut. Varian termahalnya, “Plaid+” yang dihargai mulai $139.000, bisa menempuh jarak sejauh 836 km sebelum baterainya perlu diisi ulang. Bahkan varian termurahnya yang dibanderol mulai $79.990 pun sudah bisa menempuh jarak 663 km dalam sekali charge.

Interior baru dan kapabilitas gaming yang lebih mumpuni

Namun semua itu kalah menarik jika dibandingkan dengan perubahan yang Tesla terapkan pada interiornya. Nuansa kabin Model S versi anyar ini jauh lebih minimalis ketimbang sebelumnya. Memang tidak sampai sesimpel interior milik Model 3, tapi kita bisa melihat filosofi desain yang sama di sini.

Perubahan yang paling mencolok bisa dilihat pada layar dashboard-nya, yang kini diposisikan dalam orientasi landscape ketimbang portrait. Layar ini jauh lebih besar daripada iPad Pro sekalipun, dengan bentang diagonal 17 inci dan resolusi 2200 x 1330 pixel. Tidak seperti Model 3, Model S masih mempunyai satu layar ekstra di depan lingkar kemudinya.

Seperti yang bisa kita lihat, setirnya pun juga sudah diperbarui dengan bentuk yang menyerupai setir milik KITT, mobil canggih dari serial TV lawas Knight Rider. Tidak ada lagi tuas di sebelah kiri maupun kanannya, dan semua kontrolnya kini mengandalkan tombol-tombol pada setir.

Juga sangat menarik adalah penambahan layar 8 inci di kabin belakangnya. Mengingat Tesla memang menyediakan sejumlah video game pada sistem infotainment-nya, keputusan ini jelas tidak terdengar mengejutkan. Lalu, supaya penumpang di belakang bisa bermain dengan nyaman, Tesla pun memastikan bahwa sistemnya kompatibel dengan controller nirkabel.

Tesla Model S

Bicara soal game, ada satu pemandangan yang sangat menarik menurut saya. Coba Anda lihat baik-baik layar dashboard-nya, di situ terpampang jelas ada The Witcher 3 yang ditawarkan sebagai salah satu game-nya. Kedengarannya mungkin konyol, tapi apakah ini berarti penumpang Model S nantinya bisa memainkan salah satu RPG terbaik karya CD Projekt Red tersebut?

Baik Tesla maupun CD Projekt Red belum mau berkomentar soal ini, tapi saya yakin Tesla tidak sembarangan mencantumkan detail seperti ini kalau memang maksudnya hanya bercanda. Satu informasi penting yang Tesla beberkan adalah, sistem infotainment yang terintegrasi di kabin Model S ini punya daya komputasi sebesar 10 teraflop, setara dengan yang ditawarkan oleh console next-gen.

Sebagai referensi, PlayStation 5 tercatat mempunyai daya sebesar 10,28 teraflop, sedangkan Xbox Series sebesar 12 teraflop. Meski memang ini tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan, setidaknya ini bisa memberikan sedikit gambaran bahwa sistem bawaannya memang cukup kuat untuk menjalankan game sekelas The Witcher 3, yang bisa dibilang tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan game AAA yang dirilis dalam satu atau dua tahun terakhir.

Apakah gaming di dalam mobil merupakan masa depan industri otomotif, terutama jika melihat visi akan mobil yang bisa menyetir sendiri sepenuhnya (sehingga kita sebagai penumpang bisa memanfaatkan waktu selama perjalanan untuk bermain game)? Bisa jadi begitu. Kalau perlu bukti lain, coba lihat Sony: salah satu tujuan mereka menciptakan prototipe mobil elektrik adalah untuk bereksperimen dengan konsep “PlayStation untuk mobil”.

Demi menyuguhkan pengalaman hiburan yang terbaik, Tesla pun tidak lupa soal audio. Total ada 22 speaker yang tertanam di kabin Model S yang membentuk sebuah sistem audio berdaya 960 watt, dan Tesla juga melengkapi semuanya dengan teknologi active noise cancellation.

Buat yang lebih suka dengan model SUV ketimbang sedan, tentu mereka bisa memilih Model X yang dibangun di atas platform yang identik, dan yang kebetulan juga sudah diperbarui interiornya dengan arahan yang sama.

Mungkin bakal lucu kedengarannya jika ada yang mengulas kedua mobil ini, lalu menyebutnya sebagai mobil terbaik buat para gamer. Lucu untuk sekarang, tapi bisa saja bakal terdengar biasa di masa yang akan datang.

Sumber: Electrek.

Lewat Prototipe Mobil Elektriknya, Sony Akan Bereksperimen dengan Konsep PlayStation untuk Mobil

Sony mengejutkan banyak orang di ajang CES 2020 dengan menyingkap sebuah prototipe mobil listrik bernama Vision-S. Wujudnya yang begitu keren – lebih keren daripada Tesla Model S kalau menurut saya pribadi – membuat sebagian dari kita bertanya-tanya: “Kapan Sony bisa memproduksinya secara massal?”

Sayangnya tidak. Di bulan Agustus 2020, Sony menegaskan bahwa mereka tidak berniat memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik, terlepas dari keputusan mereka untuk mengujinya di jalanan umum, sekaligus menyiapkan prototipe mobil yang kedua. Tujuan dari pengujian tersebut tidak lebih dari sebatas pengumpulan data, yang pada akhirnya bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang Sony buat.

Namun di event CES 2021 kemarin, Vision-S kembali muncul, kali ini bersama drone pertama Sony yang bernama Airpeak. Sony pun lagi-lagi harus meluruskan kabar yang simpang siur mengenai Vision-S. Kepada Car & Driver, juru bicara Sony memastikan bahwa untuk sekarang mereka sama sekali tidak punya rencana untuk memproduksi ataupun menjual Vision-S.

Vision-S tidak lebih dari sebatas test bed yang dapat Sony manfaatkan untuk bereksperimen. Lewat mobil ini, Sony pada dasarnya sedang mengeksplorasi bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap era kemudi otomatis nantinya. Salah satunya tentu dengan menyediakan beragam sensor kamera.

Pada kenyataannya, Vision-S datang membawa sebanyak 40 sensor di tubuhnya, dan 18 di antaranya merupakan kamera. Namun selain soal keselamatan dan reliabilitas sistem kemudi otomatis, Sony juga ingin punya kontribusi terhadap industri otomotif dari sisi hiburan.

Itulah mengapa mereka menyematkan teknologi 360 Reality Audio pada kabin Vision-S. Namun yang lebih menarik mungkin adalah tujuan jangka panjangnya, yakni mengintegrasikan PlayStation ke dalam kabin, lengkap bersama konektivitas 5G.

Interior Sony Vision-S / Sony
Interior Sony Vision-S / Sony

Eksekusi dari konsep “PlayStation untuk mobil” ini tentu bisa bermacam-macam. Apakah yang Sony maksud dengan PlayStation di sini adalah hardware console itu sendiri, atau cuma sebatas layanan cloud gaming yang bisa diakses dari sistem infotainment bawaan mobil? Sejauh ini semuanya baru sebatas spekulasi, dan Sony juga belum menyingkap rencana konkretnya.

Terlepas dari itu, ide akan sebuah game console yang terintegrasi ke mobil tentu kedengaran sangat menarik. Di saat mobil-mobil dengan sistem kemudi otomatis Level 4 atau Level 5 sudah siap untuk turun ke jalanan, itu artinya kita tidak perlu lagi siaga di depan lingkar kemudi, dan waktu selama perjalanan bisa kita habiskan dengan bermain Gran Turismo 12 (sekarang baru akan ada Gran Turismo 7).

Nyatanya, sekarang saja kita sudah bisa bermain video game di dashboard Tesla Model 3, dan saya kira tidak berlebihan seandainya ide ini akan terus dikembangkan ke depannya. Untuk sekarang, gamegame tersebut memang hanya bisa dimainkan ketika mobilnya berhenti, tapi bagaimana seandainya nanti mobilnya sudah bisa menyetir sendiri tanpa memerlukan sedikitpun input dari kita?

Well, di titik itu mungkin persaingan antara PlayStation dan Xbox bakal berpindah dari ruang keluarga menuju kabin mobil.

Sumber: Car & Driver.

Aptera Paradigm Adalah Mobil Listrik Berpenampilan Unik dengan Panel Surya Terintegrasi

Tujuan utama mobil listrik diciptakan adalah untuk mengeliminasi emisi karbon yang selama ini dihasilkan oleh mesin bensin. Kendati demikian, di saat energi listriknya sendiri masih berasal dari sumber yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakarnya, mungkin gagasan soal nol emisi itu masih belum dapat terwujud sepenuhnya.

Ceritanya bakal berbeda saat mobil listrik sudah bisa menciptakan energinya sendiri, dan kita sepertinya sedang dalam proses menanti tren baru itu terealisasikan. Tahun lalu, kita sempat membahas mengenai Lightyear One, sebuah mobil listrik dengan panel surya yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakangnya.

Mobil tersebut memang belum mengaspal secara resmi, dan kalau melihat situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, mungkin pengembangnya bakal sulit memenuhi target “awal 2021”. Namun Lightyear One bukanlah satu-satunya ‘mobil bertenaga surya’ yang diproyeksikan bakal hadir tahun depan. Di tempat lain, ada sebuah perusahaan bernama Aptera yang sedang mengejar target serupa.

Aptera bukanlah perusahaan baru. Aptera sudah didirikan sejak 2005, tapi mereka sempat bangkrut di tahun 2011. Barulah pada tahun 2019 Aptera dibentuk ulang oleh para pendiri aslinya, dan sekarang mereka sudah siap untuk memperkenalkan mobil pertamanya kepada publik: Aptera Paradigm.

Sepintas, wujudnya terkesan tidak umum. Rodanya cuma tiga, dan bentuknya mirip badan pesawat tanpa sayap, dan ini rupanya menjadi alasan di balik nilai koefisien hambatannya yang begitu kecil: 0,13. Menggunakan basis angka ini, Aptera optimis bahwa Paradigm hanya memerlukan energi listrik sebesar 100 Wh per milnya (1,6 km).

Dengan kata lain, pada varian yang dibekali baterai berkapasitas 100 kWh, jarak tempuhnya diyakini bisa mencapai angka 1.000 mil (1.600 km) per charge. Namun efisiensi baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab Aptera Paradigm juga dibekali dengan kemampuan untuk menciptakan energinya sendiri, kurang lebih sama seperti Lightyear One itu tadi.

Metode yang diterapkan pun hampir sama, yakni dengan menambatkan panel surya pada atap mobil beserta kap bagian depan dan belakangnya. Dalam sehari – dengan asumsi cuaca tidak mendung dan matahari bersinar begitu terang – panel surya milik Aptera Paradigm diklaim bisa menghasilkan energi listrik yang setara dengan jarak tempuh 64 mil (± 103 km).

Tentunya ini bisa diartikan bahwa Aptera Paradigm bukan sepenuhnya mobil bertenaga surya dan masih perlu di-charge seperti biasa, tapi setidaknya kehadiran panel surya tersebut bisa membantu mengeliminasi rasa khawatir bahwa energi yang dimiliki mobil tidak akan cukup untuk mencapai tujuan, atau yang lebih dikenal dengan istilah keren “range anxiety“.

Proses charging-nya sendiri sangat cepat jika menggunakan DC fast charger; satu jam pengisian cukup untuk menempuh jarak 500 mil (800 km). Performanya pun juga memukau di atas kertas, dengan klaim akselerasi 0 – 100 km/jam dalam waktu 5,5 detik, atau 3,5 detik saja jika memilih varian yang berpenggerak semua roda.

Andai tidak meleset, Paradigm kabarnya bakal mulai diproduksi pada tahun 2021, dan Aptera sudah menerima pemesanan dari konsumen di Amerika Serikat mulai sekarang. Banderol harganya berada di kisaran $25.900 – $46.900. Tentu saja harga paling murah itu bukan untuk yang berkapasitas 1.000 kWh, melainkan 250 kWh.

Sumber: Car and Driver dan Aptera.

BMW Ungkap SUV Elektrik Baru, BMW iX

Masih ingat dengan mobil konsep bernama iNext yang BMW pamerkan dua tahun silam? Seperti yang sudah dijanjikan, mobil itu akhirnya bakal diproduksi secara massal sebagai sebuah mobil elektrik. Namun ada sedikit revisi pada namanya, yang kini dikenal sebagai BMW iX.

Secara estetika, iX banyak mempertahankan elemen futuristis yang diperkenalkan iNext. Beberapa bagian memang harus disederhanakan demi memudahkan tahap produksi, akan tetapi iX tetap kelihatan paling modern di antara mobil-mobil BMW lainnya.

Selain desain, hal lain yang paling mencolok dari fisik iX adalah ukurannya. Mobil ini besar, dengan panjang dan lebar setara SUV BMW X5, serta ukuran ban sekelas milik BMW X7. Kalau mengacu pada dimensi BMW X5 dengan panjang 4.922 mm dan lebar 2.004 mm, berarti iX bakal menjadi yang paling bongsor di antara kedua rivalnya yang juga berdarah Jerman, yakni Audi e-tron dan Mercedes-Benz EQC, sekaligus mendekati ukuran Tesla Model X.

Kalau eksteriornya terlihat agresif, interior iX malah terbilang kalem. Saking minimalisnya kabin iX, kita hanya akan menjumpai satu buah layar saja, meski memang layar itu menutupi lebih dari separuh dashboard-nya. Seperti biasa, layarnya dibagi menjadi dua: porsi kiri dengan bentang diagonal 12,3 inci sebagai panel instrumen, porsi kanan dengan dimensi 14,9 inci untuk sistem infotainment.

Dilihat sepintas, penampilan interiornya lagi-lagi tidak berbeda drastis dibanding versi konsepnya dulu. Teknologi “Shy Tech” yang diusung memang tidak secanggih yang dijanjikan sebelumnya, tapi BMW tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menyamarkan sejumlah komponen interiornya sehingga terlihat membaur dengan material yang digunakan.

BMW membangun iX di atas platform mobil elektrik generasi kelimanya. Sepasang motor elektrik yang terpasang pada iX sanggup menghasilkan output daya maksimum lebih dari 370 kW (500 hp), dan untuk urusan akselerasi 0-100 km/jam, iX diyakini mampu mencatatkan waktu di bawah 5 detik.

Untuk baterainya, BMW masih enggan menyebut kapasitas persisnya, namun mereka bilang ada di kisaran 100 kWh. Baterai sebesar itu diperkirakan cukup untuk menenagai iX hingga menempuh jarak sekitar 482 kilometer dalam sekali pengisian, dan proses pengisiannya pun sangat cepat berkat dukungan teknologi DC fast charging.

Secara teknis, iX diklaim sanggup menerima asupan daya dengan output maksimum 200 kW. Dalam skenario ini, baterainya dapat terisi dari 10 sampai 80 persen dalam waktu kurang dari 40 menit. Kalau dilihat dari perspektif lain, iX sanggup menempuh jarak 120 km dalam setiap 10 menit charging.

Sebagai model flagship, BMW iX jelas terdengar menjanjikan. Sayang mobil ini baru akan diproduksi mendekati akhir 2021, dan sejauh ini juga belum ada informasi soal banderol harganya. Kalau boleh menebak, harganya bakal lebih mahal daripada BMW X5, yang sendirinya berada di kisaran $60.000.

Sumber: Electrek dan BMW.

eBussy Adalah Mobil Elektrik Modular dengan 10 Wujud yang Berbeda

Dibandingkan mobil tradisional, mobil elektrik jauh lebih mudah diperlakukan sebagai suatu platform. Berhubung tidak perlu ada ruang khusus untuk menyimpan mesin, satu macam sasis mobil elektrik yang umumnya berbentuk seperti skateboard bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi banyak tipe. Dalam kasus yang ekstrem, satu macam sasis bahkan bisa dikemas menjadi 10 wujud mobil yang berbeda.

Kasus ekstrem itu bukanlah imajinasi pribadi saya, melainkan visi yang tengah dikejar oleh sebuah perusahaan asal Jerman bernama Electric Brands. Mereka memulai kiprahnya dengan memproduksi skuter elektrik di tahun 2018, dan sekarang tengah berfokus mewujudkan mobil bernama eBussy ini menjadi kenyataan.

Namanya merupakan singkatan dari “electric bus system“, dengan “system” sebagai kata kuncinya. eBussy hadir dalam dua varian sasis – Off-road dan City, dengan perbedaan di ground clearance – dan masing-masing dapat dikonfigurasikan secara modular menjadi 10 jenis bodi yang berbeda.

Jadi dari satu sasis yang sama, eBussy bisa disulap menjadi sebuah mobil boks, pickup, minivan, station wagon, bahkan camper lengkap dengan TV, kulkas, tangki air bersih, hingga wastafel. Hampir semua bagian eBussy modular, mulai dari interior sampai unit baterainya, yang bisa dilepas dan diganti dengan unit yang baru seandainya tidak ada waktu untuk mengisi ulang. Bahkan setir dan pedal gas beserta remnya bisa dipindah dari satu sisi ke yang lain jika memang diperlukan.

Eksterior sekaligus interior yang modular tentu membuat eBussy terkesan lapang meski sebenarnya dimensinya tergolong mungil. Tanpa modul baterai, bobotnya berkisar 450 – 600 kg, sedangkan panjangnya sendiri tidak sampai 4 meter. Terlepas dari ukurannya, eBussy siap mengangkut kargo dengan bobot maksimum 1 ton.

Urusan baterai, versi standar eBussy mengemas modul berkapasitas 10 kWh yang diestimasikan cukup untuk menempuh jarak 200 kilometer dalam sekali pengisian. Kapasitas maksimum yang bisa diusung adalah 30 kWh, dengan jarak tempuh maksimum 600 km dibantu oleh atap panel surya seperti pada varian camper-nya itu tadi.

Baterainya ini menyalurkan energi ke empat motor elektrik yang menggerakkan tiap-tiap rodanya. Output daya total yang dihasilkan memang kecil, cuma 15 kW atau sekitar 20 tenaga kuda, akan tetapi berhubung eBussy merupakan mobil elektrik, torsinya luar biasa besar: nyaris 1.000 Nm, atau setara dengan torsi supercar bermesin V12 sekalipun. Jadi walaupun larinya tidak ngebut, menggotong beban berat sama sekali bukan masalah buat eBussy.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, eBussy siap mengaspal di jalanan Eropa mulai tahun depan. Harganya dipatok mulai 15.800 euro sampai 28.800 euro pada varian termahalnya, yakni varian camper itu tadi.

Sumber: SlashGear.

Sony Siap Uji Prototipe Mobil Elektriknya di Jalanan Umum

Januari lalu, tepatnya di acara CES 2020, Sony memamerkan sebuah prototipe mobil elektrik bernama Vision-S. Kabar itu tentu sangat mengejutkan, sebab selama ini memang tidak pernah terpikirkan bagaimana perusahaan elektronik seperti Sony bisa terjun ke industri otomotif dan menjual mobil bikinannya sendiri.

Namun kenyataannya tidak serumit yang kita bayangkan. Setidaknya untuk sekarang, Sony tidak punya sedikit pun keinginan untuk memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik. Seperti yang kita tahu, Sony juga tidak sendirian dalam menggarap Vision-S. Mereka dibantu oleh Magna Steyr, perusahaan Austria yang pabrik perakitannya sudah sering digunakan oleh merek-merek kenamaan seperti Mercedes-Benz, BMW, Audi maupun Aston Martin.

Lalu apa sebenarnya tujuan Sony menciptakan Vision-S? Sebagai medium untuk mengumpulkan beragam data, dengan tujuan akhir untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang mereka buat. Ya, selain memproduksi sensor kamera untuk smartphone, Sony selama ini juga menyuplai beberapa pabrikan otomotif, meski memang pangsa pasarnya tidak terlalu besar, apalagi kalau dibandingkan dengan supplier sekelas ON Semiconductor.

Vision-S sendiri akhirnya sudah tiba di Jepang dan siap menjalani berbagai pengujian di jalanan publik menjelang akhir tahun fiskal nanti (kemungkinan di bulan September). Selain di Jepang, sedan empat pintu ini juga akan diuji di jalanan di Eropa dan Amerika Serikat. Berhubung tujuannya adalah untuk mengumpulkan data, tentu saja pengujian harus dilakukan di lebih dari satu lokasi dan meliputi iklim yang berbeda.

Vision-S tidak akan dijual. Oke, perkara ini sudah jelas. Lalu bagaimana dengan ke depannya? Apa rencana Sony setelah ini? Well, berdasarkan laporan Nikkei, Sony juga sedang mengembangkan prototipe mobil kedua yang akan dilengkapi lebih banyak sensor. Sekadar mengingatkan, Vision-S sendiri mengemas total 33 sensor di sekujur tubuhnya.

Pengujian Vision-S di jalan umum tentu bakal menghasilkan banyak insight buat Sony, dan ini pasti bakal mereka manfaatkan dalam pengembangan prototipe mobil keduanya. Mematangkan sensor-sensor ini krusial seiring tren industri otomotif yang semakin mengarah ke sistem kemudi otomatis, dan Sony percaya mereka bisa ikut memegang andil dalam bidang ini.

Satu hal yang dari dulu mengganjal di benak saya adalah, Sony sebenarnya tidak perlu sampai membangun prototipe mobilnya sendiri kalau memang tujuannya hanya sebatas memamerkan teknologi sensor otomotif yang mereka punyai. Mereka bisa saja memakai mobil paling laris yang dijual di masing-masing negara yang menjadi lokasi pengujian, lalu menyematkan deretan sensor bikinannya ke mobil tersebut.

Namun kenyataannya tidak demikian. Sony dengan serius menciptakan prototipe mobil elektriknya sendiri, dan sekarang, mereka malah punya niatan merancang prototipe mobil kedua. Semoga saja ke depannya ada pabrikan yang bisa bernegosiasi dengan Sony dan akhirnya mewujudkan visi Sony ini menjadi tunggangan yang bisa dinikmati oleh konsumen secara luas.

Sumber: Nikkei.

Mercedes-Benz Pamerkan Beragam Inovasi Digital pada S-Class Generasi Terbaru

Keberadaan touchscreen pada dashboard mobil sudah tidak bisa dibilang barang baru lagi. Kendati demikian, saya kira belum ada pabrikan yang seberani Tesla, yang sejak Model 3 sudah sepenuhnya mengandalkan layar sentuh untuk mengendalikan beragam fungsi mobil.

Arahan yang diambil Tesla mungkin agak kelewat ekstrem. Kalau untuk keperluan seperti mengecek tekanan ban, touchscreen mungkin merupakan medium interaksi yang sangat pas. Namun kalau untuk mengatur arah semburan AC atau membuka jendela mobil, saya rasa reflek manusia akan lebih nyaman dengan kehadiran tuas fisik.

Sayang sepertinya trennya lebih condong ke visi Tesla. Mercedes-Benz baru-baru ini menjabarkan secara detail mengenai pembaruan yang mereka terapkan pada sistem infotainment MBUX-nya, yang siap menjalani debutnya bersama S-Class generasi terbaru. Kalau mau penjelasan sederhananya, versi baru MBUX ini melibatkan touchscreen berukuran besar sebagai panel kontrol utamanya.

Layar sentuh OLED sebesar 12,8 inci dengan orientasi vertikal ini langsung mengingatkan saya pada touchscreen milik Tesla Model S. Menurut Mercy, kehadiran layar sentuh ini membantu mereka mengeliminasi 27 tombol yang biasanya terdapat dalam kabin S-Class. Seketika itu juga saya berpikir: “Apakah ini berarti S-Class generasi terbaru tidak dilengkapi tombol power window?”

Untungnya tidak demikian. Mercy memastikan bahwa tombol power window, tuas wiper dan lampu, serta sejumlah tombol fisik lain yang sudah sangat familier masih ada di tempat aslinya. Namun untuk kenop-kenop pengaturan sistem climate control, Mercy sudah memindahnya ke layar sentuh, meski untungnya Mercy juga merancangnya agar menghuni porsi bawah layar secara permanen.

MBUX

Tepat di balik lingkar kemudinya, tentu saja panel instrumennya juga sudah sepenuhnya digital. Satu hal baru yang Mercy perkenalkan di sini adalah semacam teknologi 3D display yang glasses-free. Pastinya untuk apa fitur ini Mercy buat belum dijelaskan, dan yang menurut saya lebih menarik adalah teknologi AR-HUD alias augmented reality heads-up display.

Penerapan AR di bidang otomotif bukanlah hal baru, akan tetapi Mercy berhasil mengintegrasikan teknologinya dengan HUD, yang berarti konten AR bisa diproyeksikan langsung ke jendela depan mobil. Hasil proyeksinya pun cukup luas, setara layar 77 inci kalau kata Mercy.

Tentu saja implementasi AR di sini bukan sebatas untuk keren-kerenan saja. Salah satu fungsinya adalah sebagai format baru untuk menampilkan panduan navigasi. Dan karena tampilannya sekarang bisa diproyeksikan ke jendela depan, maka pengemudi bisa melihat arah panah petunjuk navigasi yang seakan-akan berada tepat di atas jalanan.

Berhubung S-Class identik dengan mobil para bos yang pasti punya sopir pribadi, tentu saja kabin belakangnya turut dibanjiri layar sentuh. Maksimal hingga tiga buah, satu di konsol pembatas dan dua sisanya di belakang jok depan.

MBUX

Teknologi keamanan biometrik juga menjadi salah satu fitur yang diunggulkan MBUX versi terbaru. Dari yang sederhana seperti memindai kode QR untuk mengaktifkan profil pengemudi (yang menyimpan informasi-informasi seperti posisi jok, pengaturan climate control, dan lain sebagainya), sampai yang lebih kompleks seperti fingerprint scanning dan facial recognition.

Pada S-Class terbaru nanti, facial recognition tak hanya dipakai untuk memantau apakah pengemudi mulai mengantuk, melainkan juga untuk mengaktifkan beragam fungsi-fungsi cerdas, seperti misalnya menyesuaikan posisi kaca spion secara otomatis (dengan memperhatikan posisi kepala dan mata pengemudi relatif terhadap sandaran jok dan parameter-parameter lainnya).

Mercy juga tak mau melupakan sistem voice recognition. Pada MBUX versi terbaru, perintah suara dapat diberikan tanpa harus menyebutkan “Hey Mercedes” setiap kali. Mercy mengklaim sistemnya telah mendukung 27 bahasa yang berbeda, serta mampu memahami instruksi-instruksi yang implisit seperti misalnya “Saya kepanasan” daripada yang terang-terangan seperti “Turunkan suhu AC ke 20 derajat”.

Sejauh ini penawaran Mercy terdengar lebih menarik daripada Tesla kalau buat saya. Digitalisasi itu penting, dan kita tentu ingin bisa mengakses beragam fitur mobil semudah menavigasikan smartphone. Kendati demikian, beberapa hal tetap lebih mudah dikendalikan via tombol atau tuas fisik. Anda tentunya bakal keberatan kalau tombol volume pada ponsel Anda dihilangkan, bukan?

Sumber: CNET dan Daimler.

BMW Ungkap Visinya Menjadikan Mobil Sebagai Platform Digital

Belum lama ini, Tesla sempat mendapat kritik keras setelah menonaktifkan fitur Autopilot pada Model S bekas. Fitur opsional seharga $8.000 itu tiba-tiba tidak bisa digunakan oleh si pembeli Model S bekas, dan saat ditanyakan ke Tesla, pihak Tesla hanya menjelaskan bahwa si pembeli tidak berhak mengakses fitur yang tidak dibayar olehnya, sehingga mereka memutuskan untuk menonaktifkannya dari pusat.

Untuk bisa menikmati fitur Autopilot, si pembeli diharuskan membayar lagi $8.000 langsung kepada Tesla. Kedengarannya tidak masuk akal memang, sebab salah satu alasan si pembeli tertarik dengan unit Model S bekas tersebut bisa jadi adalah ketersediaan fitur Autopilot itu sendiri.

Poin yang ingin saya angkat dari kasus ini adalah, tren digitalisasi di industri otomotif terus bertumbuh dengan pesat, dan terkadang hasilnya belum tentu menguntungkan buat konsumen. Fakta bahwa Tesla bisa menonaktifkan fitur Autopilot dari pusat berarti hardware yang terdapat pada mobil tersebut sebenarnya kapabel, tinggal kita sebagai konsumen mau menebusnya atau tidak.

Di titik ini, mobil pun bisa kita anggap sebagai platform tempat pabrikan menawarkan beragam layanannya. Fitur-fitur opsional mobil yang tadinya harus kita bayar di muka sekarang bisa kita tebus layaknya in-app purchase dalam suatu aplikasi atau game. Dalam kasus Tesla tadi, mengaktifkan fitur Autopilot ibarat membeli diamond di game Mobile Legends.

BMW modern kini juga mendukung software upgrade ala Tesla / BMW
BMW modern kini juga mendukung software upgrade ala Tesla / BMW

Selain Tesla, BMW juga mulai menunjukkan ketertarikannya pada konsep mobil sebagai platform digital itu tadi. Melalui sebuah sesi presentasi VR, BMW membeberkan banyak rencananya perihal digitalisasi mobil-mobilnya. Namun bagian yang paling menarik adalah rencananya untuk menjadikan berbagai fitur opsional mobil sebagai layanan digital yang dapat ditebus sewaktu-waktu.

Fitur seperti Active Cruise Control misalnya; sebelumnya fitur semacam ini merupakan opsi yang harus konsumen centang saat melakukan pemesanan mobil. Namun ke depannya, ketimbang harus membayar di depan, konsumen dapat memesannya secara digital langsung melalui dashboard mobil, atau lewat aplikasi My BMW di smartphone. Kedengaran praktis? Tentu saja, tapi ini juga berarti beberapa fiturnya tidak bersifat permanen dan bisa dinonaktifkan dari pusat oleh BMW seperti kasus Tesla tadi.

Sepintas konsep seperti ini terdengar seperti akal-akalan pabrikan untuk mengeruk untung lebih banyak dari konsumen. Namun kalau dilihat dari perspektif lain, tentu juga ada keuntungan yang bisa didapat oleh konsumen. Utamanya, mobil yang dibeli benar-benar bisa dikonfigurasikan sesuai kebutuhan.

Kalau memang tidak butuh Active Cruise Control karena jarang melakukan perjalanan luar kota, maka fiturnya tak perlu dipesan dan pengeluaran pun bisa dihemat. Barulah ketika musim liburan tiba dan konsumen hendak pergi ke luar kota menggunakan mobilnya, fitur Active Cruise Control bisa ia pesan dengan durasi selama sebulan misalnya.

Dalam konteks jual-beli mobil bekas, konsep seperti ini juga berarti pembeli bisa mendapatkan mobil yang berfitur lebih lengkap daripada saat masih di tangan pemilik aslinya. Namun sebaliknya, penjual mobil jadi tidak bisa menentukan harga mobil berdasarkan fitur-fitur ekstra yang sebelumnya tersedia.

Apakah tren seperti ini juga akan ikut diadopsi pabrikan-pabrikan lain ke depannya? Belum ada yang bisa memastikan. Ini juga bukan pertama kalinya BMW menerapkan konsep serupa. Di tahun 2018, mereka sempat menawarkan kompatibilitas CarPlay sebagai layanan berlangganan seharga $80 per tahun, namun reaksi negatif konsumen pada akhirnya mendorong BMW untuk membatalkan program tersebut.

Sumber: CNET.

Tinggalkan Bisnis Smartphone, Light Alihkan Teknologi Multi-Kameranya ke Ranah Otomotif

Tiga tahun lalu, sebuah perusahaan bernama Light sempat mencuri perhatian ketika merilis kamera saku yang dibekali 16 lensa yang berbeda. Lalu pada pertengahan tahun 2018, Light kembali menjadi buah bibir saat mengumumkan rencananya untuk membawa teknologi multi-kamera rancangannya ke ranah smartphone.

Lanjut ke ajang Mobile World Congress 2019, visi besar Light itu akhirnya terwujud. HMD Global menjadi perusahaan pertama yang mengimplementasikan teknologi multi-kamera Light pada produk bikinannya, spesifiknya Nokia 9 PureView yang mengemas lima kamera sekaligus. Sayangnya, ulasan demi ulasan yang beredar mengenai Nokia 9 Pureview menyimpulkan bahwa tidak ada yang terlalu istimewa dari kamera milik smartphone tersebut.

Nokia 9 PureView / HMD Global
Nokia 9 PureView / HMD Global

Apa yang kelima kameranya lakukan pada dasarnya tidak lebih dari teknik image stacking, dan seperti yang Ars Technica jelaskan secara mendetail, ini sebenarnya sudah bisa dicapai via software. Bedanya tentu saja adalah kelengkapan datanya; kalau mengandalkan software, data depth map yang ditangkap tidak akan bisa selengkap yang diambil oleh kelima kamera Nokia 9 PureView.

Dalam fotografi smartphone, informasi kedalaman (depth) sendiri paling sering digunakan untuk memberikan efek bokeh buatan. Google, lewat seri Pixel-nya, telah membuktikan kalau efek bokeh buatan ini bisa tetap bagus walaupun cuma mengandalkan software. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah teknologi multi-kamera rancangan Light ini punya tempat di industri smartphone?

Berhubung biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi dan berujung pada harga jual perangkat yang mahal — Nokia 9 PureView dihargai $700, padahal spesifikasinya setara ponsel flagship keluaran setahun sebelumnya – saya kira jawabannya jelas tidak. Teknologi ini mungkin akan lebih cocok diterapkan di bidang yang betul-betul membutuhkan informasi depth yang amat presisi, bidang otomotif misalnya.

Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light
Konsep teknologi multi-kamera pada perangkat dash cam / Light

Benar saja, kepada Android Authority, Light menyampaikan bahwa mereka tak lagi terlibat dalam industri smartphone. Halaman utama situs Light kini menunjukkan bahwa mereka sedang membangun platform 3D depth perception untuk industri otomotif, lebih tepatnya untuk dimanfaatkan dalam sistem kemudi otomatis (self-driving).

Ini sebenarnya bukan pertama kali Light menyampaikan ketertarikannya untuk terjun ke ranah otomotif. Saat prototipe smartphone multi-kameranya menjadi bahan pembicaraan di tahun 2018 lalu, Light juga sempat menyinggung soal potensi pengaplikasian teknologi rancangannya di bidang otomotif, spesifiknya untuk menjadi ‘indera penglihatan’ mobil tanpa harus mengandalkan bantuan sensor-sensor khusus.

Singkat cerita, Light pada akhirnya memutuskan untuk pivot. Nokia 9 PureView tampaknya bakal menjadi smartphone pertama sekaligus terakhir yang dibekali teknologi multi-kamera besutan Light, sebab sejauh ini tidak ada informasi lebih lanjut terkait kemitraan antara Light dan Xiaomi yang diumumkan tahun lalu.

Pivot masih jauh lebih bagus daripada harus benar-benar gulung tikar, dan ini sejatinya sudah bisa dibilang cukup umum buat perusahaan yang mengembangkan teknologi kamera. Lihat saja Lytro, salah satu pelopor teknologi kamera light-field yang pada akhirnya harus tutup meski teknologinya terdengar menjanjikan.

Sumber: Android Authority.