Alexander Rusli Uraikan Potensi Fintech dan Rencana Ekspansi Digiasia

Co-Founder dan Co-CEO Digiasia Alexander Rusli bicara tentang perkembangan pasar fintech, aksi melantai di bursa saham AS, hingga peran gandanya sebagai angle investor.

Berbincang dengan DailySocial.id, pria yang karib disapa Alex ini melihat potensi pasar Fintech-as-a-Service (FaaS) masih sangat besar seiring dengan semakin matangnya (maturity) pemahaman industri terhadap layanan fintech. Berbeda dengan tiga tahun lalu, saat industri belum memahami bagaimana fintech bisa relevan bagi bisnis B2B. Meningkatnya pemahaman ini juga membuat penjajakan sinergi/kolaborasi menjadi lebih mudah.

Sepanjang 2022, ujarnya, pertumbuhan bisnis Digiasia banyak dimotori oleh sektor fintech, terutama P2P lending. Menurutnya, kebutuhan pelaku fintech mulai meningkat agar mereka bisa lebih fokus mengelola bisnis inti, dan tidak perlu repot untuk mengajukan lisensi baru.

Selain perusahaan fintech, pihaknya juga mulai banyak masuk ke lembaga keuangan konvensional, seperti bank daerah. Ia berujar ke depannya persaingan tidak hanya terjadi pada pemain independen, tetapi juga bank-bank besar yang sudah masuk ke produk Banking-as-a-Service (BaaS).

Saat ini, Alex menyebut pihaknya tengah mengurus lisensi untuk produk payment gateway Syariah dan wallet Syariah. “Belum live, lagi diurus di BI. Kami selalu lihat pain point, kebutuhannya apa. Pada akhirnya, [kebutuhan] orang semakin disiplin, pasti akan ke sana [produk Syariah],” ujarnya kepada DailySocial.id.

Sebagai informasi, Digiasia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Saat ini, pihaknya menawarkan sejumlah solusi keuangan digital dengan lisensi wallet, lending channeling, remittance, hingga LKD.

Terbaru, Digiasia berencana go public melalui kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Dengan mekanisme ini, penilaian pra-ekuitas lewat transaksi penggabungan kedua perusahaan ini ditarget sebesar $500 juta. Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) sebagai pemegang saham Digiasia akan menggulirkan 100% dari ekuitasnya menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi.

“Kami pilih IPO di AS karena [likuiditas] uang di sana banyak, di sini lagi [susah], makanya ada tech winter. SPAC sudah di-set up seperti itu. Target realisasi IPO di kuartal II 2023, tetapi itu tergantung SEC approval. Di sana peraturah lebih jelas. Semua lebih eksplisit,” tuturnya.

Alex menambahkan, modal ini akan dimanfaatkan untuk memuluskan rencana ekspansi Digiasia ke Asia Tenggara. Rencananya, perusahaan akan mencaplok perusahaan sejenis di negara terkait untuk mempermudah lisensi dan komersialisasi layanan. Lisensi yang dimiliki perusahaan mitra tidak harus sama dengan Digiasia.

Peran sebagai investor

Alex juga membeberkan pengalamannya sebagai angel investor yang dilakoni sejak beberapa tahun terakhir. Ia aktif berinvestasi ke berbagai startup tahap awal. Portofolionya sekarang ada 31, termasuk Digiasia yang ia dirikan bersama Prashant Gokarn, sesama eks petinggi Indosat.

Saat mencari peluang bisnis baru, ada sejumlah kriteria penting bagi Alex sebelum memutuskan berinvestasi. Pertama, ia butuh waktu panjang untuk mengenal karakter founder dan memahami bisnisnya, bisa enam bulan hingga lebih dari satu tahun.

“As an early [stage] investor, you have to trust the [founder] character karena produknya belum ada. Saya ingin lihat bagaimana founder mau fight for my money, apakah saya cocok dengan cara kerjanya. Makanya, saya jarang berinvestasi di startup yang founder-nya cuma satu karena risikonya tinggi,” ungkap Alex.

Ia meyakini perusahaan masih dapat tetap berjalan meski tidak bisa memperoleh pendanaan berikutnya. Menurutnya, perusahaan tidak akan mati, hanya saja pertumbuhannya flat. Maka itu, Alex mencari bisnis yang sekiranya 80% sudah berkelanjutan.

Menanggapi penurunan industri startup, Alex bilang bahwa situasi tersebut justru menjadi eye-opener agar ekspektasi para founder menjadi lebih realistis. Bahwasannya, metode valuasi yang ia katakan sejak awal tidak masuk akal, sekarang menjadi common understanding bagi pihak terkait.

Sejauh ini, situasi downturn tersebut tidak mengganggu upayanya dalam mencari peluang bisnis baru. Dengan posisinya sebagai investor tahap awal, Alex berkomitmen untuk berinvestasi dalam jangka panjang, yakni 5-6 tahun.

“Saya tidak berinvestasi di sesuatu yang lagi ramai. Tapi, saat ini sektor yang menarik adalah agriculture and food. Bisnis harus bisa jalan dengan atau tanpa teknologi. Small scale. Kalau mau scale up, baru pakai teknologi,” ujarnya.

Alex memprediksi tahun ini investor akan selektif dan lebih memilih berinvestasi di portofolio existing. “Old VCs belum bisa raise the money now, sedangkan VC yang sudah, akan lebih berhati-hati. Until, the fed rate go down significantly, orang akan berat untuk put their money keluar AS. For me, I’ll still continue what I do.”

Dari sisi startup, Alex memprediksi startup baru akan mulai bermunculan. Namun, mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat model bisnis sekarang karena mimpi muluknya sudah habis.

Application Information Will Show Up Here

Ambisi Zoomcar Pimpin Pasar “Car-Sharing” Marketplace di Indonesia

Industri rental mobil di Indonesia sempat terpuruk di kala pandemi. Pasalnya, kebanyakan bisnis rental mobil cukup bergantung pada kegiatan pariwisata. Meskipun belum sepenuhnya pulih, sektor pariwisata kembali ke fase pertumbuhannya dan menunjukkan permintaan yang kuat untuk layanan penyewaan mobil.

Didirikan pada 2013, Zoomcar merupakan pionir platform car-sharing marketplace di India. Di 2021, perusahaan mengumumkan rencana ekspansinya ke pasar Indonesia dan Vietnam. Pada April 2022, Zoomcar resmi memperkenalkan layanannya di Indonesia serta telah menyiapkan dana sebesar $25 juta atau sekitar Rp366 miliar untuk melancarkan ekspansi bisnisnya.

Di akhir 2022, perusahaan memperkuat komitmennya untuk menggarap pasar Indonesia dengan menunjuk Delly Nugraha sebagai Country Head Zoomcar Indonesia. Sebelum bergabung dengan Zoomcar, Delly memiliki ragam pengalaman dalam operasional perusahaan teknologi di Indonesia seperti Qraved, Gojek, Carsome, dan airasia Super App.

Delly mengungkapkan Zoomcar tengah berada di puncak transformasi dalam mobilitas pribadi. Ia juga sangat bersemangat untuk membantu perusahaan mencapai level baru bersama tim. Tim DailySocial.id diberi kesempatan untuk mewawancarai lebih lanjut Delly Nugraha terkait rencana bisnis Zoomcar di Indonesia serta melihat peluang di sektor ini ke depannya.

Target dan potensi pasar

Di India, Zoomcar disebut telah memimpin pasar car-sharing marketplace dengan memfasilitasi total 20.000 kendaraan roda empat, serta memberdayakan pemilik aset untuk berbagi mobil demi mendapat penghasilan pasif tambahan. Perusahaan yang berbasis di Bengaluru ini telah mempekerjakan lebih dari 300 orang dan beroperasi di 50 kota di seluruh India, Indonesia, Vietnam, dan Mesir.

Seperti yang telah dikatakan oleh Co-Founder dan CEO Zoomcar Greg Moran, Indonesia akan menjadi fokus utama selanjutnya secara khusus karena pasarnya sangat besar dan baru dengan ukuran serta jangkauan yang luas. Saat ini, 90 persen bisnis Zoomcar berasal dari India. Perusahaan telah memproses lebih dari tujuh juta transaksi di negara ini sejak awal. Ia mengaku perusahaan telah mengalami pertumbuhan 6,5 kali selama empat kuartal terakhir.

Disinggung mengenai target ekspansi, Delly mengungkapkan adanya kesamaan kultur dan pasar dengan Indonesia terkait layanan rental mobil. Kawasan ini memiliki tingkat kepemilikan kendaraan yang rendah, sementara populasi yang cukup besar dan semakin bertumbuh. Selain itu, kebutuhan untuk mobilitas yang lebih kolektif (dalam jumlah besar) semakin meningkat.

Dengan model bisnis C2C, perusahaan berharap dapat mengubah kapasitas kendaraan menganggur dengan menyewakan mobil pribadi agar bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Tidak hanya menawarkan penghasilan tambahan, Zoomcar juga dapat dijadikan sebagai alternatif mengurangi kemacetan jalan dan polusi di daerah perkotaan.

Di Indonesia, Zoomcar sendiri baru beroperasi di kawasan Jabodetabek. Saat ini, Delly mengungkapkan bahwa sudah ada lebih dari 1.000 mobil yang didaftarkan serta ratusan host aktif di area ini. Ia juga mengaku bahwa timnya tengah berusaha meng-crack pasar ini sebelum nantinya memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya, bahkan tier dua dan tiga.

Dalam menjalankan bisnis ini, Zoomcar tidak sendiri, pemain lain yang juga menawarkan layanan serupa termasuk Trevo, yakni memberdayakan host untuk mendapatkan uang melalui kendaraan mereka dengan mencocokkan sesama orang yang membutuhkan tumpangan pribadi. Selain itu, beberapa platform yang juga sudah beroperasi di Indonesia seperti Hipcar dan Sharecar.

Ada tiga proposisi nilai yang menjadi diferensiasi Zoomcar dengan pemain lainnya. Pertama, perusahaan menawarkan simplicity melalui teknologi keyless yang memungkinkan transaksi tanpa tatap muka antara host dan guest (penyewa mobil). Lalu, dari sisi security, dengan pemasangan alat monitor untuk menjamin keselamatan dan keamanan mobil saat dikendarai.

Zoomcar juga menawarkan harga yang lebih bersaing dan tanpa deposit untuk para penyewa. Di samping itu, para host akan mendapat keuntungan dari sisi pemeliharaan mobil dan kemudahan akses. Untuk saat ini, mobil yang bisa didaftarkan adalah kendaraan yang sudah mengadopsi sistem immobilizer atau dirancang menggunakan sistem enkripsi elektronik yang lebih aman.

Dalam menjalankan layanannya di Indonesia, Zoomcar juga tengah menggencarkan kolaborasi. Delly mengungkapkan bahwa perusahaan memiliki fokus di empat vertikal. Pertama, di bidang otomotif. Belum lama ini perusahaan juga telah mengumumkan kerja sama dengan OTO dalam rangka akuisisi pengguna.

Kedua, di bidang lifestyle, salah satunya dengan Blibli. Ketiga, kerja sama dengan institusi finansial atau banking untuk memfasilitasi pembayaran dalam platform. Terakhir, juga membuka peluang kolaborasi dengan media untuk awareness produk.

Rencana IPO

Dalam wawancara bersama DailySocial, Delly menegaskan rencana Zoomcar untuk segera melantai di bursa melalui jalur SPAC. Perusahaan akan melakukan aksi merger dengan Innovative International Acquisition Corp.

Aksi korporasi ini bertujuan untuk mengakselerasi pengembangan teknologi serta mendukung ekspansi di Zoomcar. Nilai transaksi perusahaan secara gabungan yang akan berganti nama menjadi Zoomcar Holdings ini diperkirakan mencapai $456 juta.

“Kita sudah memimpin di pasar India. Salah satu cara untuk melakukan ekspansi dan akselerasi bisnis adalah melalui IPO. Haparapannya, dari listing tersebut kami bisa dapat dana segar yang bisa digunakan untuk melanjutkan investasi pada pertumbuhan bisnis di existing dan extension market,” tambah Delly.

Sejak didirikan pada 2013, Zoomcar telah menggalang dana sebanyak dua kali. Di awal 2018, perusahaan berhasil menggalang dana sekitar $40 juta yang dipimpin oleh perusahaan manufaktur mobil India Mahindra & Mahindra. Tahun lalu, Zoomcar meraih $92 juta sebagai modal untuk pengembangan bisnisnya.

Application Information Will Show Up Here

DigiAsia Bios Segera IPO di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

Startup fintech DigiAsia Bios segera melantai di bursa saham Amerika Serikat melalui mekanisme SPAC (special purpose acquisition company). Perusahaan telah menandatangani kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Ticker yang diperdagangan di pasar saham Nasdaq nantinya adalah ‘FAAS’.

Menurut keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari jajaran direksi DigiAsia dan Stonebridge, ditargetkan akan selesai pada kuartal kedua tahun ini.

“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan sedang mencari ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara. Peningkatan modal melalui IPO dan eksekusi selanjutnya akan membantu menjadikan Digi sebagai pemimpin yang jelas dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal Banking-as-a-Service di kawasan ini,” ucap Co-CEO DigiAsia Alexander Rusli.

CEO Stonedridge Bhargav Marpally menambahkan, Stonebridge didirikan sebagai jembatan bagi perusahaan-perusahaan yang siap IPO di kawasan Asia Pasifik untuk mengakses pasar publik Amerika Serikat. Fokus DigiAsia di Indonesia dan kemampuannya untuk menskalakan bisnis dengan cepat, tim dengan rekam jejak yang terbukti, menjadikannya sangat cocok dengan Stonebridge.

Lebih lanjut, transaksi penggabungan kedua perusahaan ini membawa penilaian pra-ekuitas sebesar $500 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah) dan pemegang saham DigiAsia, yakni Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) akan menggulirkan 100% dari ekuitas mereka menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi. DigiAsia juga telah menjalin kemitraan dengan Bank DBS pada 31 Oktober 2022 untuk menyalurkan pinjaman melalui bisnis lending Digiasia, KreditPro.

Dengan asumsi tidak ada penebusan oleh pemegang saham publik Stonebridge, setelah kesepakatan ditutup, entitas operasi gabungan dapat memiliki akses ke kas bersih sebanyak $200 juta (setelah membayar biaya transaksi) dari rekening perwalian Stonebridge. Hasil akhir akan bergantung pada tingkat penebusan pemegang saham Stonebridge saat ini pada penyelesaian transaksi yang diusulkan.

Sebelum menandatangani perjanjian penggabungan, DigiAsia telah menutup investasi sebesar $14,5 juta (lebih dari 225 miliar Rupiah) dengan post-money valuation sebesar $450 juta yang dipimpin oleh Reliance Capital Management. Investasi tersebut akan memperkuat relasi bisnis kedua perusahaan di bidang asuransi, aset manajemen, yang dikuasai oleh RCM. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan DigiAsia dapat menjadi solusi keuangan tertanam B2B full-stack pertama di Indonesia.

Sebagai catatan, DigiAsia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Startup ini memosisikan diri sebagai fintech-as-a-service (FaaS) yang berambisi ingin mempercepat inklusi keuangan melalui lisensi dan kumpulan teknologinya dengan menyediakan solusi embedded finance untuk B2B2C dan B2B2M. Di antaranya mobile wallet, penerbitan kartu, pembayaran tagihan, cash management, pembayaran supply chain, pinjaman, dan lain-lain. Perusahaan memiliki sejumlah lisensi bisnis, yakni dompet dan pembayaran digital, Banking-as-a-Service, remitansi, dan layanan keuangan digital lainnya.

Co-CEO DigiAsia Prashant Gokarn menyampaikan visi DigiAsia adalah menjadi bagian aktif dari revolusi digital Indonesia yang memungkinkan layanan keuangan, mulai dari pinjaman, pembayaran, pengiriman uang, dan perbankan murah, untuk semua individu dan bisnis, terlepas dari ukuran atau status sosial ekonomi mereka.

“Kami juga sangat bangga dapat bekerja sama dengan Mastercard untuk mengembangkan penawaran kami yang sudah ada guna meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Gokarn.

Langkah SPAC

Hingga berita ini diturunkan, DailySocial.id belum mendapat tambahan komentar dari Alexander Rusli mengenai alasan pihaknya memilih mekanisme SPAC untuk masuk ke pasar saham Amerika Serikat. Seperti diketahui, mekanisme ini sebelumnya juga tengah dipertimbangkan oleh sejumlah startup lokal, seperti Traveloka dan Kredivo, namun batal karena berbagai alasan strategis.

Kredivo misalnya, awalnya merencanakan untuk merger dengan perusahaan cangkang bernama VPC Impact Acquisition Holdings yang diumumkan pada Agustus 2021. VPC itu sendiri adalah mitra lama Kredivo yang pernah mengguyurkan dana hingga mencapai $200 juta.

Namun rencana tersebut kandas, dikutip dari keterbukaan informasi dari laman US Securities and Exchange Commission (SEC), yang diunggah pada 14 Maret 2022, gagalnya aksi korporasi ini merupakan dampak kondisi pasar yang bergejolak dan adanya beberapa masalah di luar kendali yang mengancam penundaan transaksi.

Salah satu aksi IPO via SPAC yang ramai di Indonesia adalah Grab dengan memanfaatkan perusahaan cangkang Altimeter Growth Corp. Diklaim kesepakatan tersebut terbesar di antara perusahaan akuisisi tujuan khusus.

Sebelumnya SPAC sempat populer di Amerika Serikat karena menjadi cara tercepat untuk memperoleh dana publik. Menurut data yang dikutip dari South China Morning Post, pada 2021 mencapai 613 IPO melalui SPAC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 248 IPO.

Akan tetapi regulator A.S SEC membuat perubahan peraturan yang dinilai menghambat aksi korporasi ini sejak akhir 2021. Salah satunya, SPAC memiliki waktu terbatas untuk menemukan perusahaan yang beroperasi untuk digabungkan (biasanya 24-36 bulan); jika SPAC gagal menyelesaikan merger dalam jangka waktu yang ditentukan, SPAC harus berhenti berdiri dan mengembalikan semua modal kepada pemegang sahamnya.

Aturan tersebut dibuat lantaran regulator khawatir mekanisme ini dimanfaatkan sebagai penyebar informasi yang menyesatkan, penipuan, dan konflik kepentingan dalam transaksi de-SPAC tertentu. Oleh karena itu, SEC mengusulkan aturan baru untuk menghilangkan asimetris informasi di antara investor, melindungi dari informasi yang menyesatkan dan penipuan dengan mengatur praktik pasar, dan mengurangi konflik kepentingan dengan lebih menyelaraskan insentif antara penjaga gerbang.

Hasilnya dilaporkan bahwa proses SPAC lebih lama dan lebih sulit dari sebelumnya, dengan tinjauan peraturan yang lebih ekstensif atas pernyataan proksi dan pendaftaran. Namun begitu, sejumlah kalangan masih tetap optimistis dengan potensi SPAC untuk jangka panjangnya. Mereka bilang, kebijakan baru ini berdampak bagi perusahaan dapat lebih jelas mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.

Induk Kredivo Batal Merger dengan Perusahaan SPAC, Tunda Rencana Go-Public

Langkah FinAccel untuk segera melantai di bursa saham NASDAQ terpaksa tertunda. Induk usaha Kredivo ini mengumumkan batal merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC), yakni VPC Impact Acquisition Holdings II (VPCB). Sebagai gantinya, Victory Park Capital akan memberikan pendanaan ke Kredivo dengan memimpin sebesar $145 juta atau sekitar 2 triliun Rupiah.

Sebagai informasi, VPCB merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit kepada Kredivo.

Pernyataan pembatalan merger ini disampaikan kemarin, Senin (14/3) oleh kedua belah pihak dengan alasan situasi pasar yang sedang tidak menguntungkan dan proses merger yang tertunda. Menurut Co-CEO VPCB dan Partner di VPC Gordon Watson, kedua faktor ini membuat FinAccel dan VPC tidak dapat menutup transaksi sesuai ketentuan perjanjian yang disepakati.

“Kami berupaya melaksanakan proses ini agar dapat memenuhi kepentingan para pemegang saham sebagai prioritas utama kami. Namun, situasi pasar dan proses yang tertunda di luar kendali kami telah memengaruhi jadwal transaksi kedua belah pihak dalam menyelesaikan penggabungan bisnis ini,” ujar Watson seperti dilansir DealStreetAsia.

Sementara itu, Co-founder dan CEO FinAccel Akshay Garg menambahkan, pihaknya tetap berupaya memperkuat hubungan erat dengan VPC dan investor-investor terbaik lewat putaran pendanaan baru meskipun rencananya untuk go public harus tertunda dulu saat ini.

Lebih lanjut, baik FinAccel maupun VPCB tengah mempertimbangkan opsi alternatif lainnya untuk merealisasikan rencana merger dengan kendaraan SPAC. Apabila VPC dilikuidasi, Kredivo akan menerbitkan penny warrant sehingga dapat mengakuisisi saham setara dengan 3,5% dari ekuitas Kredivo yang sepenuhnya terdilusi.

Rencana ekspansi FinAccel

FinAccel pertama kali mengumumkan rencana IPO pada Agustus 2021. Saat ini, perusahaan menyebut telah memasuki tahap perjanjian definitif untuk menggabungkan bisnisnya usai VPCB menyelesaikan IPO pada Maret 2021. Kedua belah pihak telah mengajukan dokumen kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission/SEC)

Sejak awal,  perusahaan mengincar IPO di bursa Amerika Serikat (AS) agar memiliki kesempatan mendapatkan likuiditas yang jauh lebih besar. Apalagi bursa AS selama ini identik sebagai “rumah” bagi banyak perusahaan teknologi global. FinAccel pun membuka opsi untuk dual listing alias melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) meski belum ada kepastian lebih lanjut.

Merger dengan perusahaan SPAC diestimasi membawa valuasi FinAccel di kisaran $2,5 miliar, asumsinya tidak ada penebusan. Lewat IPO ini, perusahaan membidik dana segar sebesar $430 juta atau lebih dari Rp6,1 triliun dalam bentuk tunai pada neraca keuangan perusahaan gabungan. 

Kala itu, Garg mengungkap dana tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi FinAccel di kawasan Asia Tenggara, terutama lewat Kredivo yang saat ini memimpin pasar BNPL (Buy Now Pay Later) di Indonesia.

FinAccel juga tengah mempersiapkan langkahnya untuk masuk ke bank digital di tahun ini dengan resmi menjadi pengendali Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI). Sebelumnya, FinAccel mencaplok 24% saham Bank Bisnis pada Mei 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi 40% pada Oktober 2021. Dengan demikian, FinAccel kini menguasai 75% saham Bank Bisnis.

Application Information Will Show Up Here

Induk Perusahaan Rumah.com Segera Melantai di Bursa Saham New York

Startup proptech asal Singapura, PropertyGuru atau dikenal dengan produknya Rumah.com di Indonesia, bersiap untuk melantai di Bursa Saham New York (NYSE) pada 18 Maret 2022. Aksi korporasi ini akan direalisasikan usai perusahaan merampungkan proses peleburannya dengan Bridgetown 2 Holdings alias perusahaan cek kosong (SPAC).

Sebagaimana diberitakan oleh The Strait Times, PropertyGuru juga akan menggelar RUPS pada Selasa, 15 Maret 2022 untuk meminta persetujuan dari para pemegang saham. Adapun, aksi mergernya dengan perusahaan SPAC diperkirakan akan mendongkrak valuasi hingga $1,78 miliar. Saat ini, Bridgetown 2 Holdings disokong oleh konglomerat Peter Thiel dan Richard Li.

PropertyGuru merupakan platform listing properti dengan cakupan layanan di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan kinerja keuangan, pertumbuhan PropertyGuru tahun lalu disumbang dari tiga pasar utama, yakni Singapura, Vietnam, dan Malaysia.

Perusahaan mencatatkan pendapatan sebesar $100,7 juta atau naik 22,7% dari $82,1 juta di tahun sebelumnya. Pencapaian tersebut melampaui target perusahaan yang sebesar $97,5 juta. Tahun ini, PropertyGuru memproyeksikan kenaikan pendapatan sebesar 44% menjadi $145,1 juta.

Diberitakan pula, PropertyGuru sempat menaikkan biaya langganan (agent subscription) sebesar 15% di pasar Singapura pada November 2021. CEO PropertyGuru Hari Krishnan punya andil menilai kenaikan didasarkan pada sejumlah faktor, seperti harga properti, minat konsumen, agen properti yang solid, dan posisi kuat PropertyGuru di pasar proptech.

Sekadar informasi, SPAC juga dikenal sebagai perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana lewat penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak punya model bisnis independen selain transaksi keuangan.

Biasanya, perusahaan yang ingin go public, membidik bursa saham di Amerika Serikat. Namun, baru-baru ini bursa saham di Singapura memperkenalkan aturan terkait IPO via SPAC pada September lalu.

Di Indonesia, sejumlah startup teknologi hendak “go public” dengan menggunakan kendaraan SPAC ketimbang melakukan IPO secara konvensional. Beberapa startup yang tengah bersiap IPO dengan SPAC adalah GoTo, Kredivo, dan Traveloka.

Momentum pasar proptech

Secara umum, pasar properti sempat melesu akibat pandemi Covid-19 sejak 2020. Namun, sejumlah pihak memproyeksi ada momentum kebangkitan kembali di sektor ini meski secara perlahan. Menurut survei yang dilakukan Knight Frank Indonesia, ada tiga sektor yang diestimasi memiliki performa pertumbuhan yang baik, yakni residensial, industri & logistik, dan ritel.

Di samping itu, momentum sektor properti juga ikut diperkuat oleh bertumbuhnya kesadaran generasi milenial untuk mulai membeli properti, misalnya rumah, baik untuk kebutuhan esensial maupun investasi. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di 2019, sebanyak 81 juta milenial belum memiliki rumah.

Terlepas dari proyeksi ini, belum diketahui apakah aksi melantai di bursa akan memengaruhi pertumbuhan PropertyGuru di Indonesia atau tidak, mengingat saat ini pasar utama PropertyGuru disumbang oleh Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Di Indonesia, PropertyGuru beroperasi lewat Rumah.com yang merupakan perusahaan patungannya bersama EMTEK Group. Selain itu, EMTEK juga merupakan investor PropertyGuru di putaran pendanaan seri D.

Platform proptech di Indonesia

Kompetisi di ranah proptech juga semakin kuat manakala pelaku besar mulai melakukan M&A untuk diversifikasi dan memperkuat posisinya di pasar. Di antaranya, PropertyGuru melalui Rumah.com mengakuisisi platform properti RumahDijual.com. Kemudian, platform 99co mencaplok Urbanindo, dan Emerging Markets Property Group juga mengakuisisi Lamudi Global untuk Lamudi Indonesia, Filipina, dan Meksiko.

Application Information Will Show Up Here

Grab Melenggang IPO dan Hal-hal yang Perlu Diketahui

Kamis (2/12), Grab melakukan seremonial untuk debut pencatatan perdananya di bursa Amerika Serikat. Tren harga sahamnya masih sangat fluktuatif, bahkan satu hari setelah lonceng Nasdaq dibunyikan, sempat turun sampai 21% ke level $8,75 — sebelumnya saat dibuka saham melesat 19% di level $13,06. Tentu ini wajar, juga terjadi kepada pemain sejenis yang baru melakukan IPO.

“Saham akan naik dan kemudian akan turun,” kata Co-founder Grab Anthony Tan sesaat setelah acara seremonial seperti dikutip Bloomberg.

Grab secara resmi mengumumkan rencananya untuk go-public pada 13 April 2021 lalu melalui kendaraan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bermitra dengan perusahaan cek kosong Altimeter Growth Corp ($AGC) yang sudah tercatat di bursa setempat sejak Oktober 2020. Keberhasilan ini sekaligus mencatatkan mereka menjadi perusahaan pertama di Asia Tenggara yang berhasil melantai di Nasdaq dengan SPAC.

Perusahaan lain mungkin akan menyusul, yang sudah jelas adalah Kredivo melalui kesepakatan dengan perusahaan cangkang putih VPC Impact Acquisition Holdings II ($VPCB).

Performa Bisnis Grab

Secara finansial Grab belum membukukan keuntungan. Namun bisa dikatakan lumrah, karena perusahaan digital seperti itu memang sedang di fase untuk memaksimalkan potensi pertumbuhan (growth). Hal serupa juga mencerminkan kondisi Bukalapak yang baru mengumumkan capaiannya di Q3 2021 — dan kemungkinan unicorn lain (sayang tidak ada data publik yang bisa kami periksa mengingat mereka belum menjadi perusahaan publik).

Menurut data yang disampaikan, pada Q3 2021 Grab membukukan rugi bersih $988 juta, meningkat dibandingkan periode yang sama di tahun lalu dari $621 juta. Sementara untuk revenue berada di angka $157 juta, turun 9% dari periode yang sama di tahun 2020 yakni $172 juta.

Pendapatan dan rugi bersih perusahaan / Grab, divisualisasikan DailySocial.id

Metriks yang mereka gunakan adalah gross merchandise value (GMV) untuk layanan jasa dan total payments volume (TPV) di lini finansial. GMV menghitung total nilai transaksi di ekosistem layanan. Selain biaya-biaya, ini termasuk pajak, tip, dan lain-lain. — pada dasarnya seluruh perputaran uang yang melewati perusahaan. Sedangkan TPV adalah total nilai pembayaran setelah dikurangi pengembalian yang berhasil diselesaikan melalui platform keuangan mereka.

Dilaporkan di Q3 2021 total GMV yang berhasil dibukukan mencapai $4,03 miliar, meningkat 32% YoY dari periode sebelumnya $3,06 miliar. Sementara TPV yang berhasil dibukukan mencapai $3,1 miliar, naik 44% dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang berkisar $2,1 miliar. Capaian ini disokong transaksi di dalam ($1,9 miliar) dan di luar ($1,1 miliar) aplikasi Grab.

GMV dan TPV jadi metriks utama perusahaan / Grab, divisualisasikan DailySocial.id

Bisnis layanan pengantaran (termasuk GrabFood, GrabMart, dan GrabSupermarket), pada periode ini mencatatkan GMV terkuat dengan pertumbuhan 63% dibanding tahun lalu. Sementara bisnis mobilitas (termasuk GrabRide, GrabCar, dll) justru minus 30% dibanding periode tahun lalu. GrabMart sendiri mendapatkan sorotan khusus, karena berhasil mencatatkan kenaikan GMV 380% YoY dan 78% QoQ.

Struktur Bisnis Grab

Dalam pembukaan IPO kemarin, valuasi (kapitalisasi pasar) Grab sempat terdongkrak hingga $51,6 miliar, membawakan total kekayaan Anthony Tan naik melebihi $1 miliar. Dalam jajaran pemegang saham (shareholder), terdapat setidaknya 7 nama penting dengan porsi di atas 1%. Menariknya, disepakati bahwa Anthony sebagai CEO memiliki kekuatan hak suara paling besar — mengindikasikan kepercayaan shareholder kepada founder untuk menentukan arah bisnis ke depannya.

Jajaran pemegang saham Grab / Grab, divisualisasikan DailySocial.id

Di luar itu, mereka masih memiliki beberapa jajaran investor pendukung lainnya. Termasuk yang baru-baru ini tergabung dalam putaran PIPE (private investment in public equity) senilai $4 miliar, yakni BlackRock, Fidelity International, Temasek, Grup Djarum, Keluarga Sariaatmadja (Grup EMTEK), Grup Sinar Mas, dan lain-lain.

Untuk mendukung operasional bisnisnya, Grab (holding) juga mengendalikan sejumlah perusahaan guna menjalankan unit-unit layanannya. Bahkan di Indonesia ada beberapa perseroan terbatas yang berdiri di bawah holding perusahaan, meliputi:

  1. PT Grab Platform Indonesia: GrabTaxi
  2. PT Grab Teknologi Indonesia: GrabCar, GrabBike, GrabFood, GrabMart, Grosir, GrabFresh, Grab for Business, GrabHealth, GrabGift, Bus Marketplace
    • PT Sepeda Untuk Indonesia: GrabWheels
    • PT Solusi Pengiriman Indonesia: GrabExpress
    • PT Solusi Kuliner Indonesia: GrabKitchen
    • PT Grab Teknologi Pariwara: GrabAds
    • PT Kudo Indonesia: GrabBeliBareng
  3. PT Kudo Indonesia: GrabKios, GrabMartDaily
  4. PT Bumi Cakrawala Perkasa: OVO

Selengkapnya, berikut ini struktur perusahaan yang dinaungi dalam holding Grab:

Struktur perusahaan di bawah naungan holding Grab / Grab, divisualisasikan DailySocial.id

Strategi Bisnis

Melihat capaian bisnis yang ada, terdapat beberapa strategi yang akan digalakkan Grab untuk beberapa waktu mendatang. Mereka merencanakan penguatan lebih untuk lini Pengantaran dan Finansial.

Untuk bisnis Pengantaran, mereka ingin menciptakan ekosistem yang menyeluruh untuk bisnis GrabFood, Cloud Kitchen, hingga pengalaman makan di tempat. Tidak berhenti di situ, layanan Online Grocery juga direncanakan akan digenjot dengan meningkatkan persentase penetrasinya.

Riset dari Momentum Works mengatakan, di Indonesia GMV layanan pesan-antar makanan telah mencapai 52 triliun Rupiah di tahun 2020. Perolehan tersebut didominasi oleh Grab dan Gojek, masing-masing memegang 53% dan 47% dari total pangsa pasar. Menariknya, tahun ini kompetisi pasar semakin ramai dengan kehadiran ShopeeFood dan TravelokaEats — keduanya memiliki cakupan pasar yang luas dan dukungan kapital yang besar.

Sementara untuk layanan Finansial, sejumlah aksi penting dilakukan tahun ini, termasuk meningkatkan kepemilikannya terhadap platform pembayaran OVO. Selain itu mereka juga menggandeng Mastercard untuk kemitraan strategis dalam meningkatkan diversifikasi dan jangkauan produk finansial mereka.

Application Information Will Show Up Here

SPAC Terlalu Riuh, MNC Urungkan Niat Bawa Vision+ ke Bursa NASDAQ

Sejak paruh kedua 2020, Asia Vision Network (AVN) atau dikenal dengan produk aplikasinya Vision+ mulai mempertimbangkan untuk melantai ke bursa saham Amerika Serikat melalui kendaraan SPAC. Malaca Straits Acquisition Company (NASDAQ: MLAC) kemudian digandeng untuk menjadi mitra strategis. Hingga kuartal pertama tahun ini rencana tersebut masih optimis dijalankan, hingga mereka memiliki target untuk menuntaskan kesepakatan di kuartal kedua 2021.

Namun dari keterbukaan teranyar yang disampaikan MNC Vision, sebagai induk AVN, perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan transaksi. Ada dua hal yang disorot. Pertama, tahun 2021 ini terjadi banyak transaksi SPAC di NASDAQ, sehingga berpengaruh pada valuasi MLAC di bawah nilai nominal $10 per saham. Menurut data EY, per H1 2021 terdapat 634 transaksi SPAC yang berhasil dijalankan, menjadi rekor baru di bursa saham setempat.

Alasan kedua yang disampaikan, pihak MNC melihat adanya gairah investor di BEI terhadap perusahaan yang bergerak di bidang digital. Walaupun tidak disebutkan detail, kami rasa keberhasilan Bukalapak IPO di Indonesia menjadi salah satu tolok ukur yang digunakan. Bisnis utama AVN sendiri adalah platform video streaming, operator TV berbayar, dan layanan broadband.

Sebelumnya proses penandatanganan Business Combination Agreement sudah dilakukan per 22 Maret 2021 oleh AVN dan MLAC. Proyeksi valuasi perusahaan adalah senilai $573 juta atau setara 8 triliun Rupiah — mencerminkan rasio EV/EBITDA di 5,8 kali dari nilai tersebut. Kombinasi bisnis juga diperkirakan akan menambah modal segar sekitar $135 juta — jika tidak ada penebusan pemegang saham publik MLAC.

Penguatan proposisi nilai

Menurut data yang dihimpun Statista, revenue untuk bisnis video streaming di Indonesia akan mencapai $237 juta pada tahun 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga $467 juta di tahun 2025 dengan CAGR 18,55%. Peningkatan tersebut disokong peningkatan penetrasi mencapai 6,4% tahun ini. Pandemi yang membatasi kegiatan di luar rumah membuat layanan video streaming menjadi salah satu alternatif hiburan.

Sebagai perusahaan media, MNC Vision (IDX: IPTV) melihat ini sebagai potensi untuk meningkatkan platform mereka di bawah AVN. Vision+ hadir mengakomodasi kebutuhan konten on-demand untuk penikmatnya, termasuk untuk menyuguhkan opsi streaming untuk penonton TV yang membutuhkan alternatif medium menonton tayangan jaringan MNC. Konten lokal tentu menjadi satu kekayaan dimiliki perusahaan, banyak IP yang sudah dihasilkan, baik dalam film, sinetron, maupun video berkonsep lainnya.

Inovasi pun terus digencarkan, termasuk melalui kemitraan strategis dengan pemain serupa. Terbaru, MNC Vision memberikan investasi $40 juta atau setara 570 miliar Rupiah untuk aplikasi video streaming Migo. Tujuannya untuk memanfaatkan teknologi yang dikembangkan startup tersebut, yakni memungkinkan penonton aplikasi video streaming untuk menikmati konten secara online.

Teknologi Migo berupa online to offline (O2O) videos-to-go yang memungkinkan pengguna menonton film secara offline tanpa buffering. Distribusi konten dilakukan melalui Wargo (Warung Migo) atau Migo Download Stations (MDS). Pengguna hanya perlu menuju lokasi warung kelontong mitra untuk mengunduh konten lalu bisa dinikmati secara offline di aplikasi.

Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia sendiri cukup ketat, diramaikan oleh pemain lokal dan luar.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia
Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

SPAC lainnya berpotensi tertunda

Tidak hanya AVN, beberapa perusahaan digital lokal lainnya dikabarkan mempertimbangkan SPAC sebagai jalur untuk memasuki bursa saham. Nama-nama yang santer dibicarakan antara lain Tiket.com, Traveloka, GoTo, hingga yang terbaru Kredivo — bahkan yang terakhir ini sudah mengumumkan secara resmi tentang aksi korporasinya tersebut.

Kredivo akan merger dengan VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo. Dengan penggabungan ini, FinAccel (induk Kredivo) akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Sebelumnya berhembus kabar unicorn Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Alasannya kurang lebih sama dengan MNC, karena antusiasme SPAC telah berkurang seiring tingginya frekuensi di pasar. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Perusahaan lain, Grab juga telah mengumumkan secara resmi rencana go-public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC dengan perusahaan cek kosong (blank check company) Altimeter Growth Corp (NASDQ: AGC). Grab membidik valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE (Private Investment in Public Equity) senilai $4 miliar. $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Awal mulanya, kesepakatan tersebut akan dituntaskan pada pertengahan tahun 2021 ini. Namun dalam kabar terbaru, Grab menunda merger tersebut dengan alasan adanya permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Kemungkinan rencana ini akan mundur hingga akhir tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo to Go-Public via SPAC, Aiming for 6.1 Trillion Rupiah Funding

Kredivo’s parent company FinAccel, announced to become a public company on the NASDAQ through SPAC. Kredivo is to merge with VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) shell company, an affiliate of Victory Park Capital (VPC), a global investment firm provided credit facilities to Kredivo several times.

Both FinAccel and VPCB have entered a definitive agreement for merger and filed documents with the US Securities and Exchange Commission (SEC). VPCB alone has completed its IPO in March 2021.

With this merger, FinAccel will have a pro-forma equity valuation around $2.5 billion, assuming no redemption. FinAccel will be the next unicorn startup from Indonesia once the transaction is finalized.

In a virtual press conference held by the company for several media (03/8), FinAccel’s Co-Founder and CEO, Akhsay Garg explained that the opportunity to become a public company arrived as FinAccel and VPC have a strong business relation. He values VPC as a quality and reputable firm.

Moreover, in terms of a huge fresh funds at one time is not possible for a company if it is only through private funding. Therefore, when this opportunity arrived, FinAccel wanted to make the most of it.

“We did not choose to IPO, but the best funding option. This is not a sudden decision, but an opportunity appeared at its finest,” Garg said.

Regarding the NASDAQ listing process, this transaction is expected to generate over $430 million (over 6.1 trillion Rupiah) in cash on the company’s combined balance sheet. The total funds represents a contribution of up to $256 million in cash sent into the account of the VPCB representative (assuming no PVCB shareholders redeem their shares).

Furthermore, $120 million in private placement (PIPE) led by Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, and VPC sponsors, along with an additional $55 million equity commitment from former investor NAVER (via NAVER Financial) and Square Peg.

Garg explained that the market access opening on the US stock exchange creates opportunities for companies to get much greater liquidity. The United States Stock Exchange is indeed the “home” for many big tech companies worldwide. From Asia alone, Sea, Alibaba, and Grab ware to be listed in the near future.

He also stated dual listing is an option, by going public on the Indonesia Stock Exchange. Although the decision is yet to be further specified.

Furthermore, Garg explained that the merger’s fresh funds will later become the company’s ammo to strengthen its position in Southeast Asia, there will be regional expansion plans to Vietnam and Thailand, and the development of new business lines.

His comments on the unicorn status in the future, Garg confirms this. However, he said, unicorn and IPOs were not something the first company’s target since the establishment. He wants to continue the company’s vision of deepening the penetration of digital credit cards, which still have wide opportunities in Southeast Asia.

Kredivo’s growth

PayLater becomes a popular payment option for Indonesia’s e-commerce / Kredivo-Katadata

In its track record, Kredivo disburses instant credit financing to users for e-commerce purchases and offline as well as cash loans, based on real-time decisioning powered by self-made AI technology. The company’s total user has nearly reached 4 million and collaborates with 8 of the 10 leading e-commerce platforms in Indonesia.

Kredivo’s user base has doubled over the past 10 months and its annual revenue has also doubled over the past seven months. The company claims to lead the Buy Now, Pay Later (BNPL) industry, with a wallet share of at least 50% in the majority of e-commerce merchants in Indonesia.

In Indonesia, credit card user penetration from the middle class segment is less than 10%, through a partnership with Kredivo, merchants are able to increase the value of their consumer spending.

The surveyed Kredivo merchants were able to record an increase over two times up in average number of purchases (average basket size), up to three times increase in the frequency of transactions, with more than 50% of these merchants saying Kredivo could increase its cart conversion rate or the number of transactions they made. successful at checkout time.

SPAC trends

SPAC becomes a buzzword since the beginning of this year. Besides Kredivo, other local companies are also interested to use this scheme, including Tiket.com. The company, which is now valued at more than $1 billion, is reportedly considering SPAC to be its vehicle for listing on the stock exchange. Rumor has it that they will cooperate with the COVA Acquisition Corp. (COVA) blank check company, forming a combined company worth more than $2 billion.

In addition, in a statement quoted by Kumparan, GoTo CEO Andre Soelistyo said the Gojek-Tokopedia joint company is also targeted to be listed on the stock exchange before the end of 2021.

And as previously known, other unicorns Traveloka and Bukalapak have also reportedly started exploring the option of going public with SPAC vehicles.

SPAC popularity arises as the conventional IPO process is considered more complicated, expensive, and time-consuming for tech startups. In the United States, 2020 is a significant growth momentum for going public through blank check vehicles. There are more than 200 SPACs raising approximately $799 billion.

However, currently there is a decline in SPAC prices and institutional investors’ interest in entering PIPE; it is possible for startups to rethink going public through this mechanism.

Withersworldwide partner Joel Shen argues that the resurgence of SPAC’s popularity can be attributed to low interest rates, abundant liquidity in the market due to the stimulus from the US central bank system, and an increase in the number of acquisition targets, especially in the technology sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kredivo Segera Go-Public via SPAC, Bidik Dana Segar 6,1 Triliun Rupiah

FinAccel, induk dari Kredivo, mengumumkan langkahnya untuk menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit untuk Kredivo.

Baik FinAccel dan VPCB telah memasuki tahap perjanjian definitif untuk penggabungan bisnis mereka dan mengajukan dokumen kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission/SEC). VPCB sendiri telah menyelesaikan IPO pada Maret 2021.

Dengan penggabungan ini, FinAccel akan memiliki valuasi pro-forma ekuitas di kisaran $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan. FinAccel akan menjadi startup unicorn berikutnya dari Indonesia setelah transaksi ini selesai.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan perusahaan untuk sejumlah media pada hari ini (03/8), Co-Founder dan CEO FinAccel Akhsay Garg menjelaskan kesempatan untuk menjadi perusahaan terbuka ini datang karena FinAccel dan VPC punya hubungan bisnis yang kuat. Ia melihat VPC sebagai firma yang berkualitas dan reputasi baik.

Lagipula, untuk mendapatkan dana segar dalam jumlah banyak dan dalam satu waktu tidak memungkinkan bagi sebuah perusahaan bila dilakukan melalui pendanaan secara privat. Oleh karena itu, kesempatan ini datang dan ingin dimanfaatkan FinAccel sebaik mungkin.

“Jadi kita bukan memilih untuk IPO, tapi memilih opsi pendanaan yang terbaik. Keputusan ini pun tidak mendadak tapi ada kesempatan yang datang dengan sendirinya,” ujar Garg.

Terkait proses listing di NASDAQ, transaksi ini diharapkan akan menghasilkan dana segar lebih dari $430 juta (lebih dari 6,1 triliun Rupiah) dalam bentuk tunai pada neraca keuangan perusahaan gabungan. Dari total dana tersebut, menggambarkan kontribusi hingga $256 juta secara tunai yang telah masuk dalam rekening perwakilan VPCB (dengan asumsi tidak ada pemegang saham PVCB yang menebus sahamnya).

Kemudian, sebesar $120 juta dalam bentuk private placement (PIPE) yang dipimpin oleh Marshall Wace, Corbin Capital, SV Investment, Palantir Technologies, Maso Capital, dan sponsor VPC, bersamaan dengan tambahan komitmen ekuitas sebesar $55 juta dari investor terdahulu, yakni NAVER (melalui NAVER Financial) dan Square Peg.

Garg menjelaskan dengan terbukanya akses pasar di bursa Amerika Serikat membuka kesempatan bagi perusahaan untuk mendapatkan likuiditas yang jauh lebih besar. Bursa Amerika Serikat memang menjadi “rumah” untuk banyak perusahaan teknologi besar di seluruh belahan dunia. Dari Asia saja, terhitung sudah hadir Sea, Alibaba, dan Grab dalam waktu dekat.

Ia pun membuka opsi untuk dual listing, dengan ikut melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski keputusan tersebut belum bisa dispesifikkan lebih lanjut.

Lebih lanjut, Garg menerangkan dana segar hasil merger ini nantinya akan menjadi amunisi perusahaan untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, akan ada rencana ekspansi regional ke Vietnam dan Thailand, dan pengembangan lini bisnis baru.

Komentarnya mengenai label unicorn yang akan disandang perusahaan, Garg mengonfimasi hal tersebut. Tapi menurutnya, label unicorn dan IPO bukanlah hal yang ingin dibidik perusahaan sejak awal didirikan. Ia ingin melanjutkan visi perusahaan dalam memperdalam penetrasi kartu kredit digital yang masih begitu luas kesempatannya di Asia Tenggara.

Perkembangan Kredivo

Paylater jadi opsi pembayaran yang makin diminati untuk pengguna e-commerce di Indonesia / Kredivo-Katadata

Dalam rekam jejaknya, Kredivo menyalurkan pembiayaan kredit instan kepada pengguna untuk pembelian di e-commerce dan offline serta dana pinjaman tunai, berdasarkan real-time decisioning yang didukung oleh teknologi AI buatan sendiri. Total penggunanya hampir mencapai 4 juta orang dan kerja sama dengan 8 dari 10 platform e-commerce terdepan di Indonesia.

Basis pengguna Kredivo tumbuh dua kali lipat selama 10 bulan terakhir dan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama tujuh bulan terakhir. Diklaim perusahaan, memimpin industri untuk kategori Buy Now, Pay Later (BNPL), dengan wallet share setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce di Indonesia.

Di Indonesia, penetrasi pengguna kartu kredit dari segmen kelas menengah kurang dari 10%, melalui kemitraan dengan Kredivo, merchant mampu meningkatkan nilai pembelanjaan konsumennya.

Merchant Kredivo yang disurvei mampu mencatatkan peningkatan untuk rata-rata jumlah pembelian (average basket size) lebih dari dua kali lipat, peningkatan frekuensi transaksi hingga tiga kali lipat, dengan lebih dari 50% merchant tersebut mengatakan Kredivo dapat memperbesar cart conversion rate atau jumlah transaksi yang berhasil pada waktu checkout.

Tren SPAC

SPAC menjadi kata kunci yang ramai sejak awal tahun ini. Selain Kredivo, perusahaan lokal yang ikut tertarik ada Tiket.com. Perusahaan yang kini telah bervaluasi lebih dari $1 miliar tersebut dikabarkan juga mempertimbangkan SPAC untuk menjadi kendaraannya melantai ke bursa saham. Rumornya mereka akan menggandeng perusahaan cek kosong COVA Acquisition Corp. (COVA), membentuk gabungan perusahaan bernilai lebih dari $2 miliar.

Selain itu, dalam sebuah keterangan yang dikutip Kumparan, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan perusahaan gabungan Gojek-Tokopedia juga ditargetkan bisa melantai ke bursa sebelum akhir tahun 2021.

Dan seperti diketahui sebelumnya, unicorn lain Traveloka dan Bukalapak juga sudah dikabarkan mulai menjajaki opsi go-public dengan kendaraan SPAC.

Popularitas SPAC muncul akibat proses IPO konvensional dinilai lebih rumit, mahal, dan memakan waktu lebih banyak bagi startup teknologi. Di Amerika Serikat, tahun 2020 menjadi momentum pertumbuhan signifikan go-public lewat kendaraan cek kosong. Ada lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar $799 miliar.

Kendati demikian, saat ini terlihat adanya penurunan harga SPAC dan minat investor institusi untuk masuk ke PIPE; berkemungkinan para startup berpikir ulang untuk go-public lewat mekanisme ini.

Partner Withersworldwide Joel Shen berpendapat, kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

Bukalapak Tegaskan Segmen O2O Berbasis Kemitraan Jadi Ujung Tombak Bisnis

Bukalapak adalah salah satu startup unicorn yang dikabarkan berencana go public tahun ini. Kehadirannya di bursa saham bakal meningkatkan pembobotan saham-saham teknologi dan mendongkrak visibilitas bursa saham Indonesia di tengah-tengah tren global.

Di bursa saham Amerika Serikat dan Tiongkok, perusahaan-perusahaan teknologi sudah memiliki porsi besar. Di bursa saham Indonesia, sebagai perbandingan, perusahaan teknologi yang sudah go public masih bisa dihitung dengan jari dan skalanya belum ada yang raksasa.

Meski perusahaan belum bisa memberikan keterangan resmi tentang rencana ini, dalam perbincangan dengan DailySocial, Bukalapak menegaskan kembali pilar-pilar bisnis baru yang menjadi fokus perhatiannya.

Mitra Bukalapak

Kios mitra Bukalapak
Kios mitra Bukalapak

Meski Bukalapak mengakui bahwa pihaknya memiliki “ketertinggalan” di sisi e-commerce dibanding kompetitor, perusahaan mengklaim Mitra Bukalapak sebagai first mover di segmen O2O UMKM.

Diluncurkan hampir 5 tahun yang lalu, Mitra Bukalapak kini memiliki sekitar 7 juta mitra. Dengan peluang di kota tier 2 dan tier 3 yang begitu besar–lebih besar porsinya dibandingkan kota tier 1 yang menjadi konsumen utama online marketplace saat ini–perusahaan optimis bisa terus melakukan ekspansi pasar.

Peluang baru ini tidak hanya membantu masyarakat dapat bertahan menghadapi dampak ekonomi yang timbul dari pandemi, tetapi juga diklaim menciptakan dampak sosial-ekonomi yang positif.

Bukalapak mencatat banyak dari bisnis UMKM tersebut adalah kedai milik keluarga (warung). Untuk setiap 50-100 rumah, seseorang atau sebuah keluarga akan membuka sebuah toko di rumah mereka dan menjual Fast Moving Consumer Goods (FMCG) dasar seperti air, sabun, kopi, mie instan, dan lain-lain. Warung-warung tersebut kebanyakan adalah tumpuan masyarakat dan mulai tertinggal karena perkembangan zaman.

Bekerja sama dengan mitra, Bukalapak mengklaim dapat membuat warung-warung mengejar ketertinggalan tersebut, seperti menawarkan layanan pengantaran di hari berikutnya (Next Day) untuk kebutuhan FMCG, memungkinkan UMKM mendapatkan akses ke banyak produk dengan harga yang lebih murah.

Perusahaan juga menyediakan alat pembukuan untuk mendigitalkan bisnis dan menghasilkan data yang membuat mereka creditworthy. Para mitra juga didorong menjadi agen/distributor untuk produk digital seperti pulsa, voucher game, tiket pesawat/bus/kereta api, dan pembayaran digital untuk menyediakan pendapatan tambahan lain.

Solusi inklusi keuangan Bukalapak juga memungkinkan kemudahan pengiriman dana menggunakan jaringan para mitra. Para mitra bekerja dengan bank sebagai agen KYC, memungkinkan mereka yang tidak memiliki rekening bank untuk membuka rekening bank digital dan mengakses kredit.

Layanan finansial digital

Ini merupakan realisasi dari kemitraan layanan Banking-as-a-Service (BaaS) / Standard Chartered Bank
Bukalapak segera mealisasi dari kemitraan layanan Banking-as-a-Service (BaaS) / Standard Chartered Bank

Potensi lain yang menjadi perhatian Bukalapak adalah layanan-layanan finansial. Di luar fitur pembayaran tagihan (PPOB) yang sudah tersedia di marketplace, perusahaan mencoba berekspansi ke segmen yang lain.

Langkah pertama adalah menggandeng sejumlah layanan pembiayaan dan perbankan untuk kemudahan bagi  pembeli dan penjual. Langkah kedua, yang baru dilakukan akhir bulan lalu, adalah mengembangkan layanan investasi reksa dana di aplikasi tersendiri, yang disebut BMoney. Yang ketiga adalah mengembangkan layanan Banking-as-a-Service (BaaS) bersama Standard Chartered Bank yang menjadi salah satu investornya. Platform ini bernama generik nexus.

Ada dua fokus area yang dibidik. Pertama, menghadirkan inovasi keuangan dan e-commerce melalui ekosistem Bukalapak. Kedua, mendorong inklusi keuangan ke 100 juta pengguna dan 13,5 juta UMKM.

Kolaborasi ini nantinya menjadi solusi keuangan baru, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota tier 1 dan membutuhkan akses cepat dan mudah ke layanan perbankan.

Meskipun dari sisi teknologi keduanya mengklaim sudah siap, namun dari sisi regulasi masih banyak aturan yang harus dipenuhi dan disesuaikan. Untuk itu kedua belah pihak memastikan nexus telah dikurasi untuk memenuhi persyaratan Bank dan regulator lokal.

Cluster CEO Indonesia & ASEAN Markets Standard Chartered Andrew Chia mengatakan, “Kami menciptakan solusi keuangan ini dalam kemitraan dengan Bukalapak untuk memberi pengguna pengalaman transformatif dan berpusat pada pengalaman pelanggan yang menggantikan pengalaman tradisional dan mengadaptasinya agar terhubung secara digital – sambil tetap memberlakukan kebijakan pengamanan bank untuk melindungi privasi data pengguna.”

Rencana IPO

Bukalapak dikabarkan bakal melantai di Bursa Efek Indonesia pada pertengahan tahun ini. Perusahaan juga disebutkan menjajaki potensi menggunakan perusahaan cek kosong (Special Purpose Acquisition Company / SPAC) untuk melantai di bursa saham Amerika Serikat.

Dana yang diharapkan diraih dari go public ini bakal menjadi salah satu yang terbesar bagi perusahaan publik di Indonesia. Saat ini Bukalapak memiliki tiga institusi sebagai pemegang saham terbesar, yaitu grup Emtek, Ant Financial (Alibaba Group), dan GIC Singapura.

Selain Bukalapak, sejumlah startup bervaluasi besar lainnya juga mempertimbangkan langkah serupa.

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin, kepada DailySocial, mengatakan, “Kami senantiasa mengeksplorasi kesempatan bagi perusahaan untuk terus bertumbuh dan berkembang secara finansial. Namun, untuk saat ini, kami belum membuat keputusan apapun. Fokus kami saat ini adalah terus mencari strategi yang tepat untuk menjadi perusahaan yang berkelanjutan dan menciptakan nilai tambah bagi para partner dan pengguna untuk waktu-waktu mendatang.”


Disclosure: Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Application Information Will Show Up Here