Platform Riset Pasar Populix Peroleh Pendanaan Sebesar 114 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures dan Acrew Capital

Startup pengembang platform riset pasar Populix memperoleh putaran pendanaan Seri A dalam bentuk pembiayaan (financing) sebesar $7,7 juta atau sebesar 114 miliar Rupiah, dipimpin oleh Intudo Ventures dan Acrew Capital. Turut juga berpartisipasi Altos Ventures dan Quest Ventures.

Tahun lalu Populix menerima pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara Rp17,3 miliar dari Intudo Ventures, yang sebelumnya juga memimpin pendanaan awal di 2019, dan Quest Ventures.

Populix merupakan platform yang menawarkan kegiatan riset dan pengumpulan data bagi pebisnis, perusahaan, dan individual untuk mempermudah pengambilan keputusan dengan menggunakan studi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Populix Timothy Astandu mengatakan, pihaknya akan memperkuat digitalisasi seluruh proses pendataan, optimalisasi produk existing, dan meluncurkan sejumlah layanan baru yang memungkinkan siapapun mengambil keputusan tepat bagi bisnis mereka.

“Orang-orang tidak lagi mengandalkan insting untuk menjalankan bisnis mereka. Kami sedang membangun dunia di mana pengusaha dan CEO Fortune 500 dapat mengakses data yang cepat dan relevan untuk mendorong keputusan bisnisnya,” tutur Timothy.

Sementara itu, Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan bahwa  Indonesia merupakan pasar consumer yang berkembang pesat dan bergerak dengan kecepatan yang sulit dipahami oleh bisnis lokal. Maka itu, pemahaman yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan bisnis berskala besar maupun kecil. “Sebagai salah satu pendukung Populix paling awal, kami bangga dengan bagaimana tim Populix semakin matang dan mengiterasi produk mereka mengikuti pasar Indonesia yang selalu berubah,” tutur Yip.

Partner Quest Ventures Jeff Seah menambahkan, “Asia Tenggara telah menjadi pasar terkemuka bagi perusahaan global untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan masuk ke kelas konsumen baru. Bagi bisnis baru di regional, penting untuk memahami pola pikir lokal agar bisa sukses. Populix telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menggambarkan preferensi konsumen Indonesia dan mengubah data point menjadi business insight yang dapat ditindaklanjuti,” kata Seah.

Pengembangan produk hingga ekspansi

Timothy mengungkap, pihaknya akan merekrut ahli di bidang produk dan engineering untuk meningkatkan pengumpulan data dan mengakomodasi kebutuhan lebih banyak klien. Untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, pihaknya juga berencana ekspansi regional di tahun 2023 dengan fokus awal pada produk Poplite.

Berdiri pada Januari 2018, Populix menawarkan sejumlah layanan untuk kebutuhan riset. Pertama, Datasets berbasis subscription yang berisi ribuan data point terkait perilaku konsumsi online, gaya hidup, hingga emerging trend. Kedua, Poplite atau layanan penelitian dengan model bayar per penggunaan (pay-per-use). Layanan ini memungkinkan siapapun untuk membuat survei dan mengumpulkan business insight yang ditargetkan dan dapat ditindaklanjuti.

Menurut Timothy, misi awal Populix adalah membuat kegiatan penelitian lebih mudah, sederhana, akurat bagi bisnis, dan dapat diakses siapapun dengan dukungan teknologi. Dengan kemampuan Populix memindahkan kumpulan data secara online dan mobile, pihaknya berupaya membuat kegiatan riset menjadi lebih seru dan rewarding bagi responden.

Sejak 2020, Populix telah melakukan kegiatan riset dengan lebih dari 1,500 klien, mulai dari Fortune Global 500, pemerintahan, perusahaan konglomerasi, UMKM, akademik, dan individual di Indonesia. Menurut catatannya, sebanyak 45% klien Populix merupakan pengguna consumer insight pertama kali yang berupaya merefleksi utilitas sehari-hari sehingga pelaku bisnis dapat memahami konsumen dan mencapai product-market fit.

Populix menawarkan lebih dari 300.000 responden terverifikasi dan targeted untuk mengikuti kegiatan riset terkait preferensi, kebiasaan, dan pendapat terkait konsumen di Indonesia. Untuk memvalidasi keakurasian responden, Populix mengembangkan Popscore sebagai credit scoring system yang menilai kualitas responden dari tingkat kejujuran dan aktifnya seorang responden.

Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.

Saturdays Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin oleh Altara Ventures

Startup direct-to-consumer (DTC) Saturdays mengumumkan pendanaan seri A dengan nilai investasi yang dirahasiakan. Pendanaan ini dipimpin oleh Altara Ventures dengan sejumlah partisipasi dari DSG Consumer Partners dan afiliasi lainnya.

Terakhir kali Saturdays menutup pendanaan tahap awal (seed) dari Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners pada 2020, tetapi baru diumumkan pada Februari 2021.

Co-Founder Saturdays Andrew Kandolha mengatakan, pendanaan tersebut akan mempercepat ekspansinya ke seluruh Indonesia dan memperkuat pengalaman omnichannel berbasis teknologi.

“Dengan posisinya sebagai merek DTC, penting untuk memberikan kepuasan pelanggan pada pertemuan pertama. Maka itu, pendekatan omnichannel berbasis teknologi yang kami miliki punya peran penting untuk memudahkan pelanggan berbelanja dengan pengalaman lebih menyenangkan, baik lewat website, aplikasi, SMS, layanan uji coba di rumah, hingga di toko fisik,” ujar Andrew.

Partner dan CMO Altara Ventures Huiting Koh menambahkan, solusi hibrida dengan menggabungkan jaringan toko fisik dan layanan uji coba di rumah menjadi daya tarik Saturdays dalam memperluas jangkauan dengan konsep lifestyle.

Sebagai informasi, Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016. Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Layanan omnichannel Saturdays

Saturdays berupaya menjawab salah satu isu penting terkait penanganan gangguan penglihatan di Indonesia. Perusahaan mencatat, hanya sepertiga dari penduduk di Indonesia yang mampu mengakses atau membeli kacamata dengan resep maupun layanan perawatan penglihatan.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang memilih membeli produk kacamata bermerek yang dirancang untuk western face, atau sekadar membeli kacamata tiruan dengan kualitas kurang baik.

World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa kacamata dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30% dan pendapatan keseluruhan sebesar 20% di berbagai negara berkembang.

Untuk menghadirkan pengalaman omnichannel, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. Total toko Saturdays saat ini telah mencapai 15 gerai.

Saturdays juga merilis aplikasi “Saturdays Lifestyle” pada awal 2021 sebagai strategi untuk membentuk perilaku baru dalam berbelanja kacamata melalui platform digital. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk melakukan uji coba produk langsung dari rumah (Home Try-On).

Saturdays mengklaim sebagai pelopor layanan ini karena ditangani oleh ahli optik berlisensi dengan menghadirkan lebih dari 100 frame bersama dengan peralatan pengujian mata yang nyaman untuk dilakukan di rumah.

“Kami ingin menghadirkan visi baru lewat pendekatan omnichannel sehingga dapat memberikan solusi bagi siapa pun dengan menyediakan kacamata bagi jutaan masyarakat,” tambah Co-founder Saturdays Rama Suparta.

D2C di Asia Tenggara

Dalam tulisannya, eks Venture Analyst Intern di Plug and Play APAC Kartik Jain mengungkap sejumlah faktor penting untuk melihat kesiapan pasar Asia Tenggara menyambut D2C. Memang pasar D2C berkembang signifikan, utamanya dipicu oleh pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku D2C  harus dapat mengendalikan rantai pasokan secara penuh baik dari aspek desain, manufaktur, pemasaran hingga distribusi.

Namun, sebelum itu, pelaku D2C juga perlu memerhatikan faktor-faktor makro lain yang dapat memberikan peran signifikan terhadap kesuksesan D2C, seperti penetrasi internet dan pembayaran berbasis elektronik dan digital.

Jain juga menyoroti tentang metrik Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Acquisition Cost (CAC) yang sama-sama punya posisi penting pada model D2C. Menurutnya, model D2C harus memiliki retensi yang tinggi untuk membuat nilai ekonomi lebih layak. Hanya saja, untuk mencapainya, pelaku D2C perlu mengeluarkan biaya lebih banyak pada pemasaran yang pada akhirnya harus menaikkan CAC.

Dalam konteks pasar Indonesia, e-Conomy SEA Report mencatat ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan. Adapun, GMV e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh 52% mencapai $53 miliar di 2021 dan diproyeksi sebesar $104 miliar di 2025.

Application Information Will Show Up Here

Qlue Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B1 dari ICMG

Startup pengembang platform smart city “Qlue” mengumumkan tambahan pendanaan seri B1 dari Intellectual Capital Management Group (ICMG) Pte Ltd (Singapura) dengan nominal yang dirahasiakan.

Sebagai informasi, ICMG merupakan perusahaan yang berfokus pada co-create bisnis di vertikal smart city & smart villages, MaaS & logistic, healthcare & life science, energy & water, digital, dan sustainability (SDG).

“ICMG merupakan investor strategis bagi Qlue untuk scale up solusi kami di berbagai kota di Jepang,” ujar Founder & CEO Qlue RaMa Raditya dalam laman LinkedIn pribadinya.

Sebelumnya pada Juni 2021, Qlue menerima pendanaan seri B1 dari perusahaan telekomunikasi Jepang KDDI, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dan startup pengembang layanan biometrik ASLI RI. Diketahui pendanaan ini akan dipakai untuk menggenjot ekspansi agresif Qlue ke pasar Asia melalui pengembangan solusi smart city terintegrasi. Target pasar utamanya adalah Jepang, Malaysia, dan Filipina.

Kerja sama strategis juga dilakukan dengan para investor. Salah satunya adalah sinergi dengan KDDI, keduanya akan mengintegrasikan berbagai platform yang dikembangkan Qlue ke lini bisnis KDDI di Asia Tenggara.

Ekspansi Qlue

Dalam keterangan terpisah, perwakilan ICMG mengungkap investasi ini penting dalam menghadirkan smart city yang aman dan terjamin, baik di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Pengembangan solusi ini dapat mendukung akuisisi pelanggan dan ekspansi Qlue lebih lanjut.

Di samping itu, ekspansi ini juga sejalan dengan peningkatan urbanisasi di seluruh dunia, di mana 70 persen penduduk dunia diproyeksi tinggal di wilayah perkotaan di 2050. Situasi ini tentu akan memunculkan persoalan baru, terkait masalah keamanan hingga peningkatan kualitas hidup dan ekonomi.

“Maka itu, kami berencana untuk memperluas solusi pemantauan AI perusahaan ke berbagai kota tier 1 dan tier 2 di Indonesia. Kami juga berencana memperluas ekspansi ke wilayah lain di Asia, dengan Vietnam, Filipina, Thailand, Jepang, sebagai tujuan utama,” tambahnya.

ICMG juga menyebut akan mendukung rencana ekspansi Qlue ke Jepang dengan memanfaatkan jaringannya ke perusahaan skala besar di Jepang. Selain itu, ICMG juga akan mendukung sinergi anak usaha dan afiliasi dari perusahaan Jepang yang akan ekspansi ke Indonesia.

Ke depan, Qlue akan memperkuat posisinya sebagai pengembang solusi pemantauan berbasis teknologi AI di Indonesia melalui kemitraan dengan segmen pemerintahan maupun korporasi.

Qlue mengembangkan solusi terintegrasi yang dapat mengotomatisasi aktivitas pemantauan dan meningkatkan produktivitas pekerja lewat solusi berbasis AI. Solusi-solusi ini dapat diimplementasikan di sektor pemerintah maupun bisnis untuk mendorong sejumlah efisiensi, seperti pengurangan biaya, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan peningkatan keamanan.

Solusi Qlue saat ini terdiri dari QlueApp (aplikasi pelaporan warga), QlueVision (analisis video CCTV berbasis kecerdasan buatan), QlueWork (mobile workforce management), QlueDashboard (platform visualisasi data), QlueSense (solusi produk berbasis IoT), dan QlueThermal (solusi pemindai suhu tubuh dan penggunaan masker otomatis).

Per Juni 2021, sekitar 120 kota/kabupaten telah memanfaatkan solusi Qlue. Beberapa solusi Qlue juga telah diimplementasi di sejumlah negara, termasuk Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika.

Application Information Will Show Up Here

Lumina Receives Funding from Y Combinator and Alpha JWC Ventures

The working community platform Lumina received funding from Y Combinator (YC) and Alpha JWC Ventures with an undisclosed amount. Through this funding, Lumina is to facilitate around 80-120 million blue-collar workers in Indonesia with limited access and decent opportunities to find work and develop careers.

Lumina claims to be the first platform that provides professional community features for blue collar workers in Indonesia. This platform provides a community based recruitment and benefits system.

In the official statement, Lumina’s Co-founder & CEO, Aswin Andrison said, his team seeks not only to provide access to employers, but also to self-development, and opportunities to improve the economy .

“By leveraging the power of our exclusive community and artificial intelligence-based job recommendations, we want to democratize hiring and automate quality matching between blue-collar workers and employers,” said Aswin.

Lumina was founded in September 2021 by Aswin Andrison, a serial entrepreneur focusing on blue-collar workers, FMCG, wholesalers, and MSMEs for the past 16 years. Aside from Aswin, former Twitter developer Tri Ahmad Irfan also co-founded Lumina.

Aswin himself previously founded Stoqo in 2017, the business was eventually shut down in April 2020.

In the last two months, Lumina has facilitated 100 thousand job seekers, of which 20 thousand job vacancies have been occupied. Lumina also recorded 1,000 new registrants and additional 3,000 new workers every day.

Y Combinator’s Group Partner, Gustaf Alstromer said this funding will help  Lumina to unlock its potential in order to change the Indonesian workforce. “We have seen startups in other countries take this labor market online and Lumina  is the right team to face this challenge,” he said.

Meanwhile, Co-Founder & General Partner of Alpha JWC Ventures, Jefrey Joe, said that Lumina will play an important role in maximizing workforce, individual and business potential.

An effort to accomodate blue-collar workers

Blue collar is defined as people who do menial work for an organization and are paid hourly wages. Workers in this category are often identified as workers who do not require higher education and only need physical strength. Generally, blue-collar workers cover the fields of manufacturing, mining, to constructions.

According to a research, the turnover rate of blue-collar workers has reached 20%. This can be burdensome for the company because according to the same survey, the cost to overcome turnover can reach $4,569. According to BPS data in 2019, low-skill workers dominate the informal sector with a 57.27% rate.

Startup players in Indonesia have started to look for opportunities to overcome various problems among blue-collar workers since the last few years. Some startups that provide blue-collar jobs include MyRobin, Sampingan, and Workmate. There are applications based platforms or job marketplaces.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lumina Dapat Pendanaan dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures

Startup platform komunitas kerja Lumina mendapat pendanaan dari Y Combinator (YC) dan Alpha JWC Ventures dengan nominal yang dirahasiakan. Melalui pendanaan ini, Lumina memiliki misi untuk membantu sebanyak 80-120 juta pekerja kerah biru di Indonesia yang punya keterbatasan akses dan kesempatan layak mencari pekerjaan dan mengembangkan karier.

Lumina mengklaim sebagai platform pertama yang menyediakan fitur komunitas profesional untuk pekerja kerah biru (blue collar) di Indonesia. Platform ini menyediakan sistem rekrutmen dan benefits berbasis komunitas.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Lumina Aswin Andrison mengatakan, pihaknya berupaya tak hanya memberikan akses terhadap pemberi kerja, tetapi juga terhadap pengembangan diri, dan peluang untuk meningkatkan ekonomi lebih baik.

“Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas eksklusif kami dan rekomendasi pekerjaan berbasis kecerdasan buatan, kami ingin mendemokratisasikan perekrutan dan mengautomasi pencocokan kualitas antara pekerja kerah biru dan pemberi kerja,” ujar Aswin.

Lumina didirikan pada September 2021 oleh Aswin Andrison, seorang serial entrepreneur yang memiliki fokus pada pekerja kerah biru, FMCG, grosir, dan UMKM selama 16 tahun terakhir. Selain Aswin, mantan developer Twitter Tri Ahmad Irfan ikut mendirikan Lumina.

Aswin sendiri sebelumnya sempat mendirikan Stoqo pada tahun 2017, lalu bisnis tersebut ditutup pada April 2020.

Dalam dua bulan terakhir, Lumina memiliki lebih dari 100 ribu pencari kerja, di mana sebanyak 20 ribu lowongan pekerjaan telah terisi. Lumina juga mencatat 1.000 pendaftar baru dan penambahan 3.000 pekerja baru setiap harinya.

Group Partner Y Combinator Gustaf Alstromer mengungkap, pendanaan ini akan membantu membuka potensi Lumina untuk membawa perubahan kepada tenaga kerja Indonesia. “Kami telah melihat startup di negara lain menghadirkan pasar tenaga kerja ini secara online dan tim Lumina adalah tim yang tepat untuk menghadapi tantangan ini,” tuturnya.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe menambahkan bahwa Lumina akan memegang peran penting dalam memaksimalkan tenaga kerja, potensi individu, dan bisnis.

Upaya mengakomodasi pekerjaan kerah biru

Pekerja blue collar didefinisikan sebagai orang-orang yang melakukan kerja kasar untuk suatu organisasi dan upahnya dibayarkan setiap jam. Pekerja di kategori ini sering diidentikkan sebagai pekerja yang tidak memerlukan pendidikan tinggi dan hanya membutuhkan kekuatan fisik. Umumnya, pekerja kerah biru mencakup bidang manufaktur, penambangan, hingga konstruksi.

Berdasarkan sebuah riset, tingkat turnover alias pergantian/perputaran pekerja kerah biru di mencapai 20%. Kondisi ini dapat memberatkan perusahaan karena mengacu survei yang sama, biaya untuk mengatasi turnover bisa mencapai $4.569. Menurut data BPS di 2019, kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Pelaku startup di Indonesia mulai melirik peluang untuk mengatasi berbagai masalah di kalangan pekerja kerah biru sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa startup yang menyediakan pekerjaan kerah biru antara lain MyRobin, Sampingan, dan Workmate. Platform ini ada yang berbasis aplikasi keagenan atau job marketplace.