VR Headset Pimax 5K Super Unggulkan Refresh Rate Setinggi 180 Hz

Di industri virtual reality (VR), nama Pimax memang tidak sepopuler Oculus maupun HTC Vive. Kendati demikian, perusahaan asal Tiongkok tersebut cukup dikenal sebagai yang paling berani mengaplikasikan inovasi terkini di bidang VR, seperti ketika mereka merilis VR headset 4K pertama di tahun 2016.

Sekarang, portofolio produk Pimax tentu sudah bertambah lengkap. Yang terbaru, mereka baru saja memperkenalkan Pimax 5K Super. Namanya itu berasal dari total resolusi display yang diusung, yakni sepasang display yang masing-masing memiliki resolusi 2560 x 1440 pixel.

Label “Super” sendiri menandakan satu fitur unggulannya, yakni refresh rate hingga setinggi 180 Hz dalam mode eksperimental, atau hingga 160 Hz dalam mode standar. Sebagai perbandingan, Valve Index yang bisa dibilang memimpin soal ini hanya mampu menyuguhkan refresh rate maksimum 144 Hz.

Ilustrasi perbandingan efek ghosting pada refresh rate 90 Hz dan 180 Hz / Pimax
Ilustrasi perbandingan efek ghosting pada refresh rate 90 Hz dan 180 Hz / Pimax

Di titik ini, sebagian besar dari kita semestinya sudah paham betul bahwa refresh rate yang tinggi selalu diasosiasikan dengan kinerja yang lebih mulus. Dalam kasus VR headset, semakin tinggi refresh rate, semakin minimal efek ghosting yang dihasilkan oleh display-nya. Dipadukan dengan resolusi yang tinggi, hasil akhirnya adalah pengalaman keseluruhan yang lebih immersive lagi.

Juga tidak kalah penting adalah perihal field of view. Display milik Pimax 5K Super tercatat memiliki sudut pandang diagonal seluas 170°, atau malah bisa dibuat lebih lebar lagi (200°) jika memilih opsi refresh rate di bawah 160 Hz. Tentu saja Pimax juga tidak lupa melengkapinya dengan tuas pengaturan IPD (interpupillary distance), alias jarak antara kedua mata pengguna.

Bundel Pimax 5K Super bersama controller dan base station Valve Index / Pimax
Bundel Pimax 5K Super bersama controller dan base station Valve Index / Pimax

Perbandingannya dengan Valve Index bukan semata soal refresh rate, tapi juga karena Pimax 5K Super kompatibel dengan platform SteamVR. Itu artinya pengguna wajib memiliki base station SteamVR versi 2.0 agar tracking posisi bisa berjalan, serta controller yang memang kompatibel dengan platform tersebut.

Seandainya Anda belum bisa menebak, Pimax 5K Super bukanlah barang yang murah. Unit headset-nya saja dibanderol $749, atau $1.299 jika dibundel bersama sepasang controller dan base station milik Valve Index, jauh lebih mahal daripada harga Valve Index itu sendiri. Itu semua juga belum termasuk PC berspesifikasi high-end yang mampu mengatasi refresh rate setinggi 160 atau 180 Hz.

Sumber: VR Focus.

VR Headset Terbaru HP Lebih Sempurna Berkat Campur Tangan Valve

Beberapa bulan lalu, beredar kabar bahwa Valve, HP dan Microsoft sedang mengembangkan VR headset baru, dan sekarang kita tahu bahwa headset tersebut adalah sekuel dari HP Reverb yang dirilis setahun sebelumnya.

Dinamai HP Reverb G2, perangkat masih mempertahankan keunggulan pendahulunya, yakni resolusi display yang sangat tinggi, persisnya 2160 x 2160 pixel per mata. Yang berbeda kali ini adalah lensa yang digunakan pada display-nya.

Lensa display baru ini merupakan hasil rancangan Valve, dan dipercaya mampu meningkatkan ketajaman gambar secara signifikan. Sayang refresh rate-nya tetap 90 Hz, bukan 120 Hz seperti yang Valve Index unggulkan, dan field of view-nya pun juga sama persis di angka 114 derajat.

HP Reverb G2

Selain peningkatan kualitas visual, Reverb G2 turut menawarkan kualitas spatial audio yang lebih baik, lagi-lagi berkat bantuan Valve yang mendesain speaker-nya. Tracking pergerakan controller juga kian sempurna berkat penambahan sepasang kamera, masing-masing di sisi kiri dan kanan perangkat. Berbekal 4 kamera ini, Reverb G2 mampu menawarkan tracking 6DoF tanpa bantuan sensor eksternal.

Bicara soal controller, perangkat pendamping itu juga ikut direvisi di sini. Desainnya kini semakin menyerupai controller Oculus Touch, dengan layout tombol yang optimal sehingga lebih mudah digunakan. Hilang sudah trackpad di setiap unit controller, digantikan oleh sepasang tombol action (A + B dan X + Y).

HP Reverb G2

Secara estetika, Reverb G2 tidak jauh berbeda dari Reverb orisinal. Kendati demikian, HP mengklaim Reverb G2 lebih nyaman digunakan berkat bantalan wajah yang lebih tebal sekaligus distribusi berat yang lebih seimbang. Headset juga dapat dilipat 90° ke atas sehingga pengguna tak perlu melepas headset secara menyeluruh ketika hendak melihat sekitarnya.

Di Amerika Serikat, HP Reverb G2 kabarnya bakal dipasarkan mulai musim semi seharga $599. Perangkat ini kompatibel dengan platform Windows Mixed Reality maupun SteamVR, menjadikannya sebagai alternatif yang lebih terjangkau dari Valve Index untuk mencicipi Half-Life: Alyx.

Sumber: HP.

 

Valve Umumkan Half-Life: Alyx, Game VR Blockbuster Pertamanya

12 tahun lebih berlalu sejak Half-Life 2: Episode Two dirilis. Mayoritas fans sudah menerima fakta bahwa Valve kemungkinan tidak akan meneruskan kisah petualangan Gordon Freeman dan membiarkannya menggantung begitu saja. Bukan hanya Half-Life, Left 4 Dead dan Dota bahkan berhenti di angka ‘dua’, dan hal ini memicu lelucon di kalangan gamer: Valve tampaknya takut dengan angka tiga.

Namun minggu ini terdengar kabar yang mengejutkan terkait seri Half-Life. Bukan, Valve tidak mengumumkan Half-Life 2: Episode Three. Yang mereka singkap adalah Half-Life: Alyx, permainan virtual reality kelas blockbuster perdananya. Untuk sekarang, developer belum menginformasikan akan seperti apa permainan ini. Detail mengenai Half-Life: Alyx rencananya diungkap di hari Kamis besok.

Hal menarik dari pengumuman Half-Life: Alyx adalah, Valve melakukannya lewat akun Twitter resmi (dan juga telah terverifikasi) yang baru mereka buat di bulan Juni kemarin. Berita mengenai Half-Life: Alyx merupakan tweet pertamanya. Ada peluang besar, lewat akun inilah developer akan menyingkap informasi mengenai permainan VR anyar mereka ke depannya.

Sedikit penjelasan untuk Anda yang kurang familier dengan Half-Life 2, Alyx, dan petulangan episodik setelahnya:

Half-Life 2 dilepas pada tahun 2004 sebagai sekuel dari permainan shooter yang menjadi debut Valve di industri gaming. Setelah proyek Half-Life 2 rampung, Valve masih berambisi untuk meneruskan petualangan sang tokoh protagonis, Gordon Freeman, namun dengan durasi pengembangan yang lebih singkat (pengembangan Half-Life 2 memakan waktu enam tahun). Akhirnya diputuskanlah, game Half-Life selanjutnya dirilis dalam bentuk episode.

Half Life 2: Episode One meluncur pada tanggal 1 Juni 2006, kemudian disusul oleh Episode Two di bulan Oktober 2007 sebagai bagian dari bundel The Orange Box (ditemani Portal, Team Fortress 2 dan Half-Life 2 orisinal). Sayangnya, Valve tidak bicara banyak mengenai Episode Three di tahun berikutnya dan permainan malah tak kunjung tiba. Di tahun 2011, game akhirnya diberi label vaporware – yaitu software/hardware yang keberadaannya sempat diumumkan ke publik tapi tak pernah diproduksi.

Lalu apa atau siapa itu Alyx? Alyx Vance adalah tokoh non-playable penting di Half-Life 2 serta Episode One dan Two. Alyx setia menemani Freeman dalam perjalanannya dan memperoleh banyak pujian dari media-media game internasional karena karakteristik yang non-mainstream. Selain tangguh, Alyx juga cerdas dan pintar berbicara. Banyak orang menganggap bahwa respons dan ucapan Alyx mewakilkan apa yang dirasakan gamer terhadap tiap kejadian di dunia permainan.

Saya menduga, Half-Life: Alyx akan mempersilakan Anda untuk pertama kalinya bermain sebagai sang NPC favorit. Pertanyaannya adalah, apakah game ini di-setting sebelum Alyx Vance bertemu Gordon Freeman atau malah akan melanjutkan petualangan yang terhenti di Episode Two? Pastinya, Half-Life: Alyx akan jadi game Half-Life pertama yang Valve luncurkan dalam kurun waktu satu dekade.

Via The Verge.

Valve Resmi Berkecimpung di Ranah Hardware VR Lewat Valve Index

Virtual reality sempat mencuri perhatian seisi industri teknologi kira-kira tiga sampai lima tahun silam. Ketika itu beberapa nama dianggap sebagai pionir produk VR kelas konsumen: Oculus VR yang kini dipunyai Facebook, HTC sang produsen Vive, serta Valve yang turut mengembangkan SteamVR. Kondisi ini direspons oleh para produsen lewat penyediaan hardware-hardware hingga deretan aksesori pendukungnya.

Sejauh ini, SteamVR merupakan kontribusi besar Valve Corporation terhadap ranah virtual reality. Sederhananya, SteamVR adalah platform virtual reality yang memungkinkan HMD serta pernak-perniknya bekerja optimal, dan saat ini telah mendapatkan dukungan penuh dari engine Unity serta terintegrasi dalam Unreal Engine 4. Selain dari sisi software, Valve memang sudah lama punya ketertarikan pada aspek penggarapan piranti keras. Dan di penghujung minggu lalu, perusahaan resmi mengungkap Valve Index.

Eksistensi Valve Index dikonfirmasi melalui kemunculan laman resminya di situs Steam Store. Hampir tidak ada informasi apa-apa mengenainya di sana kecuali penampilan head-mounted display, serta kalimat ‘upgrade your experience‘ dan ‘Mei 2019’ yang boleh kita asumsikan sebagai waktu rilis atau momen sang produsen mengungkap detailnya lebih jauh. Untuk sekarang, kita bisa membuat hipotesis dari apa yang tidak muncul di page tersebut.

Lihat lebih teliti dan Anda akan sadar absennya branding HTC yang telah lama menjadi mitra Valve dalam mengembangkan Vive. Ada kemungkinan, Index dibangun sendiri oleh perusahaan tanpa bantuan pihak ketiga. Kemudian Valve juga tidak turut mengiklankan tiga permainan berbasis virtual reality yang dikonfirmasi oleh co-founder Gabe Newell sendiri di bulan Oktober 2017. Game-game tersebut dibangun menggunakan engine Unity dan Source 2 – salah satunya di-setting di jagat Half-Life.

Rumor mengenai headset VR buatan Valve sendiri sebetulnya sudah beredar sejak bulan November tahun lalu lewat beredarnya foto-foto unit purwarupa yang menampilkan lensa, sirkuit, hingga wujud perangkat secara garis besar. Perlu digarisbawahi bahwa gambar di teaser punya penampakan hampir serupa prototype, dilihat dari penempatan kamera/sensor eksternal. Berdasarkan laporan narasumber UploadVR, HMD Valve itu punya field of view seluas 135 derajat dan resolusi setara Vive Pro.

Di teaser, Anda bisa melihat kehadiran slider di area bawah. Menurut Arstechnica, slider ini boleh jadi berfungsi untuk mengubah interpupillary distance. Fungsinya adalah agar display dapat disesuaikan dengan jarak antar mata kita sehingga pemakaiannya lebih nyaman.

Kita perlu menunggu hingga bulan Mei 2019 untuk mengetahui informasi mengenai Valve Index lebih lengkap lagi.

Via The Verge.

SteamVR Kedatangan Fitur Motion Smoothing Agar Konten Tetap Berjalan Mulus pada PC Berspesifikasi Menengah

90 fps adalah frame rate minimum yang dibutuhkan agar VR headset seperti Oculus Rift dan HTC Vive dapat menyajikan konten secara mulus dan tidak membuat penggunanya merasa mual. Itulah mengapa VR headset di kelas ini membutuhkan komputer berspesifikasi tinggi.

Kendati demikian, frame rate yang tiba-tiba anjlok terkadang masih menjadi kendala bahkan untuk PC gaming kelas wahid sekalipun. Solusinya, menurut Valve, adalah fitur Motion Smoothing yang baru saja mereka luncurkan untuk versi beta SteamVR.

Prinsip dasar Motion Smoothing sebenarnya mirip seperti Asynchronous Space Warp (ASW) yang ditawarkan Oculus. Bedanya, kalau ASW menggunakan tiruan frame sebelumnya buat mengisi celah yang disebabkan oleh turunnya frame rate, Motion Smoothing menciptakan frame baru dengan metode ekstrapolasi (mengamati dua frame terakhir untuk mengestimasikan animasi dan pergerakan).

Hasil akhirnya kurang lebih sama; frame rate bisa tetap dijaga, dan efek bergetar akibat penurunan frame rate pun dapat dieliminasi. Valve bilang bahwa Motion Smoothing bisa aktif dengan sendirinya ketika frame rate mulai turun, lalu mati dengan sendirinya ketika tidak lagi dibutuhkan.

Motion Smoothing kompatibel dengan HTC Vive maupun Vive Pro / HTC
Motion Smoothing kompatibel dengan HTC Vive maupun Vive Pro / HTC

Valve tak lupa mengemukakan bahwa cara kerja Motion Smoothing di SteamVR sebenarnya mirip dengan fitur serupa yang umum didapati pada TV modern. Kendati demikian, mereka mengklaim Motion Smoothing di SteamVR tidak berakibat pada meningkatnya latency.

Buat para konsumen, kehadiran fitur ini pada dasarnya memungkinkan PC berspesifikasi menengah untuk menjalankan aplikasi VR secara lebih mulus. Di saat yang sama, Motion Smoothing juga memungkinkan PC berspesifikasi tinggi untuk me-render grafis VR dalam resolusi yang lebih tinggi.

Perihal kompatibilitas, Motion Smoothing tersedia untuk HTC Vive, Vive Pro maupun sejumlah headset dari platform OpenVR. Untuk sekarang, fitur ini baru bisa digunakan pada kartu grafis Nvidia saja. Dukungan untuk GPU buatan AMD bakal menyusul ke depannya.

Sumber: Valve via Road to VR.

HTC Demonstrasikan Multi-Room VR dengan Vive Pro dan SteamVR 2.0

Salah satu alasan untuk membeli HTC Vive Pro ketimbang Vive orisinil, di samping peningkatan kualitas visual, adalah antisipasi fitur baru yang akan datang. Salah satunya adalah dukungan atas platform SteamVR 2.0 yang tengah Valve matangkan, yang diklaim mampu mewujudkan tracking dalam area yang lebih luas daripada sebelumnya.

Area yang lebih luas itu pun tidak harus berupa satu ruangan besar, tapi bisa juga yang terdiri dari beberapa ruangan sekaligus. Dan ini telah didemonstrasikan sendiri oleh HTC lewat sebuah video yang diunggah ke Twitter oleh Alvin Wang Graylin selaku petinggi Vive Tiongkok.

Dalam video tersebut, tampak seorang pengguna Vive Pro berpindah dari satu ruangan menuju ke dua ruangan lainnya. Di setiap ruangan telah terpasang masing-masing dua base station SteamVR 2.0, sehingga ketika dilihat dari headset, ketiga ruangan itu membentuk satu area virtual yang luas.

Bisa dilihat juga bahwa sang pengguna Vive Pro mengambil controller baru setiap kali ia berpindah ruangan, membuktikan bahwa ia dapat mengetahui keberadaan controller tersebut secara fisik meski matanya sedang tertutupi headset, sekaligus membenarkan klaim Valve soal kehebatan kinerja tracking SteamVR 2.0.

Itu baru enam base station, sekarang bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan 16 base station, yang menurut Alvin juga sempat mereka uji coba meskipun tidak ada videonya. Kendati demikian, sepertinya kita masih harus menunggu cukup lama sebelum multi-room VR ini dapat terealisasi.

Alan Yates yang mewakili Valve menjelaskan bahwa untuk sekarang SteamVR baru bisa memonitor keberadaan empat base station dalam satu kesempatan. Singkat cerita, masih banyak yang harus dikerjakan Valve sebelum multi-room VR bisa terwujudkan.

Sumber: UploadVR.

Mencicipi Game VR Kompetitif Pertama Buatan Anak Bangsa, Codename: Mindvoke

Eksekusi sebuah produk teknologi perlu dilakukan secara tepat. Terlalu cepat, biasanya pasar belum siap; tapi jika terlambat, maka peluang untuk jadi pionir lewat begitu saja. Kasus ‘terlalu cepat’ itu sempat terjadi pada platform VR mindVoke kreasi Shinta VR. Platform ini memungkinkan user menciptakan sendiri dunia virtual berbekal PC/smartphone, kemudian mempersilakan kita men-share-nya.

Terlepas dari upaya Shinta VR mendesainnya sebagai platform user-friendly, konsumen ternyata belum siap mengadopsinya. mindVoke dirilis hanya beberapa bulan setelah Oculus Rift dan HTC Vive dilepas, dan mungkin, saat itu belum banyak pengguna menyadari kecanggihan serta potensi VR. Namun semangat Shinta VR meramu produk berbasis virtual reality belum padam. Anda mungkin sudah tahu, mindVoke kini menjelma jadi game kompetitif berjudul Codename: Mindvoke.

Hampir sama seperti strategi yang dilakukan OmniVR, Shinta VR mencoba memperkenalkan karya barunya itu melalui kompetisi offline. Tapi berbeda dari VR League, Codename: Mindvoke menjadi primadona di turnamennya. Dan sebelum babak penyisihan minggu lalu dimulai, saya diberikan kesempatan untuk mencobanya lebih dulu.

 

Hands-on, eyes-on

Layaknya mayoritas game action virtual reality, Codename: Mindvoke mengusung perspektif orang pertama. Penyajiannya sedikit mengingatkan saya pada arena virtual reality EXA Outpost di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun ketika EXA fokus pada pengalaman kooperatif, Mindvoke dirancang sebagai permainan kompetitif. Di versi ini, game menyajikan pertandingan antar-tim dua lawan dua.

mindvoke3

Tim Shinta VR menjelaskan bagaimana permainan ini dibangun menggunakan engine Unity. Mereka sempat mempertimbangkan buat memanfaatkan Unreal, tapi memutuskan memilih Unity karena developer lebih memahami tool-nya dan waktu untuk mempelajari Unity jauh lebih singkat dari Unreal. Shinta VR juga mengaku mereka sangat memerhatikan faktor optimalisasi software sehingga game dapat mencapai kriteria resolusi 2160×1200p di 90Hz.

mindvoke2

mindvoke4

Hal lain yang saya tangkap ialah, Codename: Mindvoke berjalan di platform SteamVR, disuguhkan menggunakan head-mounted display HTC Vive beserta controller-nya. Di arena kompetisi yang berlokasi di What’s Up Cafe Kemanggisan ini, Shinta VR memanfaatkan laptop MSI dengan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1060. Dan dari pengalaman saya menikmatinya, game berjalan dengan mulus – saya sama sekali tidak merasakan motion sickness ketika bermain ataupun waktu melepas headset.

mindvoke6

mindvoke1

Sebelum memulai, Mindvoke meminta pemain memasukkan nickname dan nama tim. Setelah itu, game membawa kita ke ruang tunggu virtual di mana Anda bisa beradaptasi dengan sistem kendalinya. Mindvoke menggunakan sistem navigasi berbasis teleportasi, yang segera mengingatkan saya pada Doom VFR. Teleportasi merupakan metode bergerak utama, dan Anda juga dapat mengombinasikannya bersama kemampuan ‘terbang’ yang mengonsumsi energi.

mindvoke13

Karakter-karakter pemain direpresentasikan oleh avatar berupa manusia setengah badan – hanya bagian atas tubuh saja yang ditampilkan. Lalu pemain disajikan tiga pilihan senjata: pistol, pedang dan panah. Pistol merupakan opsi yang paling mudah digunakan, pedang adalah spesialis jarak dekat, sedangkan panah ialah senjata tersulit tapi paling mematikan. Untuk bergerak ke suatu lokasi, Anda perlu menekan touchpad dan menentukan arahnya.

mindvoke12

mindvoke8

Percobaan pertama saya tidak bisa dikatakan sukses. Butuh beberapa kali sesi bermain agar gamer dapat lebih lancar mengombinasikan teknik teleportasi, menembak dan menoleh. Sejumlah hal krusial saya sadari setelah dibuat bertekuk lutut oleh tim Shinta VR: komunikasi dengan rekan satu tim Anda sangat penting, kemudian semakin tinggi posisi karakter, semakin luas juga ruang pengawasan Anda. Itu alasannya pemain berpanah sangat berbahaya ketika menempati posisi tinggi.

mindvoke5

Mindvoke menyajikan art direction khas sci-fi dengan warna-warni yang cerah. Shinta VR mengakui ada banyak aspek di sisi visual yang dapat mereka sempurnakan, namun Anda tidak akan terlalu memperhatikan kekurangan grafisnya ketika sedang sibuk membidik lawan sembari berteriak meminta perlindungan. Selama turnamen berlangsung, peserta akan bertanding di arena surealis bertema makanan.

mindvoke7

mindvoke9

 

Rencana ke depan

Awalnya Mindvoke didesain sebagai permainan multiplayer kooperatif, namun Shinta VR menyadari ada satu faktor yang belum ada di versi awal kreasi mereka itu: tujuan bermain. Menurut developer, ada banyak elemen unik diekspos oleh formula multiplayer. Beberapa yang saya lihat meliputi kerja sama, komunikasi, elemen persaingan, serta lebih seru buat disaksikan. Dan untuk sekarang, game VR kompetitif memang terbilang masih jarang.

mindvoke11

Selanjutnya, Shinta VR punya agenda untuk melepas Codename: Mindvoke di Steam tahun ini (walaupun belum diketahui kapan tepatnya akan meluncur). Di versi baru itu nanti, game kabarnya siap mendukung mode 5 versus 5.

Turnamen Codename: Mindvoke sendiri akan terus dilangsungkan di sepanjang tahun, digelar di gerai-gerai What’s Up Cafe. Shinta VR sengaja memilih lokasi-lokasi yang berdekatan dengan kampus, dan ‘season pertama’ ini dilaksanakan di area Kemanggisan dari mulai tanggal 6 sampai 28 April 2018.

Logitech Sedang Mengembangkan Keyboard Khusus Virtual Reality

Hampir semua orang setuju, motion tracking ialah metode kendali paling ideal untuk perangkat virtual reality. Periferal jenis ini memastikan proses interaksi berlangsung alami, dan para produsen serta inventor saat ini terus menyempurnakan performanya. Namun tampaknya Logitech melihat bahwa satu sistem input tradisional tetap dibutuhkan buat menunjang konten VR di masa depan.

Menurut Logitech, virtual reality nantinya tak hanya menjadi platform hiburan saja. Ia juga akan dimanfaatkan untuk fungsi produktif. Dan buat kebutuhan tersebut, perusahaan periferal PC asal Swiss itu mengadopsi solusi ‘klasik’ yang paling diandalkan. Lewat blog resmi HTC Vive, Vincent Tucker selaku director of innovations & strategy Logitech memperkenalkan proyek baru bernama Bridge.

Bridge adalah developer kit yang ditujukan untuk mengembangkan papan ketik khusus konten virtual reality. Jadi sewaktu sedang berselancar di internet di mode VR, Anda tak perlu meraba-raba meja atau melepas head-mounted display buat mencari keyboard. Fungsi Bridge ialah membawa masuk keyboard ke alam virtual, sehingga Anda bisa memakainya seperti menggunakan papan ketik biasa.

Logitech Bridge 3

Developer kit Bridge terdiri dari tiga elemen utama: keyboard gaming Logitech G, unit Vive Tracker agar headset dapat membaca posisi periferal tersebut, serta software pendukung. Bridge kabarnya kompatibel ke semua aplikasi yang ada di ekosistem SteamVR. Pengoperasiannya sangat simpel, bahkan developer tidak perlu memodifikasi app mereka. Ketika Vive Tracker diaktifkan, saat itu juga overlay akan muncul di alam VR.

Logitech Bridge 2

Gagasan pengembangan Bridge muncul dari keluhan user terhadap penyajian keyboard digital yang kurang natural. Logitech mengerti papan ketik sangat dibutuhkan dalam berbagai skenario, dari mulai aktivitas produktif, browsing konten, pemakaian aplikasi sosial, hingga gaming.

Logitech Bridge 1

Menurut Logitech, keyboard fisik ialah periferal wajib karena telah menjadi sistem input perangkat komputasi paling universal, berguna buat beragam hal. Selain mengetikkan huruf dan angka, keyboard juga memungkinkan kita memasukkan perintah-perintah kompleks serta memanfaatkan fungsi shortcut.

Dengan Bridge, Anda dapat melihat letak tangan dan animasi saat tombol keyboard ditekan. Selanjutnya, developer bisa mengustomisasi penampilan versi digital papan ketik tersebut, baik untuk membuatnya tampil lebih menarik atau buat menonjolkan tombol-tombol penting dalam sebuah aplikasi.

Pendaftaran pembelian Bridge sudah dibuka, dan akan berlangsung hingga tanggal 16 November 2017 nanti. Harga satu bundelnya cukup terjangkau, hanya US$ 150, tapi Logitech cuma menyediakan 50 unit untuk developer-developer pilihan saja.

Intel Demonstrasikan Prototipe Google Daydream yang Dapat Menjalankan Game untuk HTC Vive

Bulan Juni lalu, Intel memodifikasi VR headset HTC Vive menjadi wireless. Namun Intel rupanya tidak puas dengan satu ide saja guna mewujudkan tren wireless VR. Baru-baru ini, giliran Google Daydream View yang mereka utak-atik hingga bisa menjalankan game dari platform SteamVR.

Daydream yang berbasis smartphone memang sudah masuk kategori wireless, akan tetapi ketergantungannya dengan smartphone membuatnya tidak mampu menjalankan konten yang lebih berat, macam yang dikembangkan untuk HTC Vive. Intel membuktikan kalau anggapan itu salah.

Mereka pun menunjukkan sebuah Google Daydream yang berpenampilan agak nyeleneh. Di dalamnya memang terpasang ponsel Google Pixel, tapi di bagian depannya ada sebuah Vive Tracker yang menancap. Melengkapi semua itu adalah sepasang controller milik HTC Vive.

Tim Wareable yang mencobanya langsung lalu menjalankan game VR eksperimental karya Valve sendiri yang berjudul The Lab. Game ini bukannya dijalankan oleh ponsel yang terpasang, melainkan di-stream dari sebuah PC di dekat area demonstrasinya via Wi-Fi.

Intel turns Daydream into Wireless VR

Kualitas grafiknya memang tidak sebagus yang kita bisa dapati pada Vive yang tersambung langsung ke PC, dan perwakilan Wareable juga menjumpai problem latency meski tidak sampai membuatnya merasa mual. Terlepas dari itu, tracking headset dan kedua controller-nya masih bisa berjalan dengan lancar.

Rahasianya terletak pada pembagian kerja antara smartphone dan PC. Hampir semua pemrosesan ditangani oleh PC, sedangkan smartphone yang terpasang bertugas untuk menerapkan teknik timewarp, memproyeksikan ulang grafik yang di-render berdasarkan pergerakan kepala guna mengurangi latency.

Intel memang tidak punya rencana pasti akan kelanjutan dari ide ini. Pun begitu, ke depannya bukan tidak mungkin konsep ini dapat diterapkan, sehingga pada akhirnya VR bisa lebih menyebar luas karena konsumen tidak harus membayar terlalu mahal untuk HTC Vive; mereka bisa sekadar membeli headset Daydream, base station dan controller untuk menikmati konten SteamVR.

Sumber: Wareable.

Kompatibel dengan SteamVR, Pimax Ibarat HTC Vive Versi 8K

Premis utama virtual reality adalah memberikan sensasi sedang berada di sebuah realita baru kepada penggunanya. Namun bagaimana sensasinya bisa maksimal apabila apa yang tampak di mata masih kelihatan pixelated dan sudut pandangnya sempit? Dua permasalahan umum VR inilah yang menjadi acuan utama pabrikan asal Tiongkok bernama Pimax dalam merancang VR headset-nya.

Tidak tanggung-tanggung, Pimax menanamkan sepasang layar 4K ke dalam headset-nya, memberikan total resolusi 8K yang pastinya akan terlihat sangat tajam. Tidak hanya itu, penggunaan dua layar sekaligus juga mampu menyajikan sudut pandang yang lebih luas dari mayoritas VR headset lain, tepatnya seluas 200 derajat, atau sangat mendekati sudut pandang mata manusia sebenarnya di angka 220 derajat.

Yang membuat Pimax lebih menarik adalah integrasi sistem tracking Lighthouse besutan Valve. Dengan begitu, Pimax sejatinya bisa disebut sebagai HTC Vive versi 8K, dan pengembangnya memang menjanjikan kompatibilitas dengan platform SteamVR.

Pimax 8K VR Headset

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, seheboh apa spesifikasi minimum PC yang dibutuhkan untuk bisa menenagai display 8K ini? Pimax bilang kalau GeForce GTX 1070 saja sebenarnya sudah cukup, sebab mereka turut menerapkan teknik khusus bernama Brainwarp.

Dengan Brainwarp, Pimax sebenarnya hanya akan me-render gambar 4K untuk salah satu display-nya saja setiap kali, tapi sebanyak 150/180 kali setiap detiknya. Berkat refresh rate 150/180 Hz dan frame rate yang tinggi, apa yang tersaji kepada pengguna bakal terlihat seperti dalam resolusi 8K.

Menurut pengembangnya, Pimax juga mengadopsi desain modular, sehingga pengguna dapat memasangkan berbagai aksesori untuk menambah fungsionalitasnya. Sejumlah fungsionalitas ekstra yang sudah direncanakan meliputi inside-out tracking, eye tracking maupun konektivitas wireless.

Pimax rencananya bakal dipasarkan melalui Kickstarter dalam waktu dekat, namun harganya masih belum dirincikan. Selain versi 8K, akan hadir pula versi lain yang mengemas sepasang panel OLED beresolusi 2560 x 1440 alias 5K.

Sumber: Road to VR.