Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Storial Paparkan Monetisasi Karya Fiksi Digital dan Upaya Eksplorasi Konten ke “Intellectual Property”

Rendahnya tingkat literasi baca di kalangan masyarakat menjadi salah satu alasan industri buku kurang diminati di Indonesia. Menurut data VOA Indonesia, hanya 3% dari total penerbit di Tanah Air yang produktif mencetak lebih dari 200 judul buku per tahun. Itupun produksinya hanya 3000 eksemplar per judul.

Berbekal pengalaman kerjanya di industri terkait, Brilliant Yotenega berupaya mendisrupsi industri buku yang selama berjalan dengan model konvensional dengan teknologi. Dengan begitu, siapapun memiliki akses terhadap sebuah bacaan dengan harga lebih terjangkau. 

Pria yang karib disapa Ega ini membangun Storial, sebuah platform yang dirancang sebagai marketplace untuk karya fiksi digital.

Bagaimana perjalanan Ega dalam menjadikan Storial sebagai platform bacaan terkurasi dan berkualitas? Simak selengkapnya rangkuman wawancara DailySocial dengan Ega.

Karya fiksi digital

Salah satu isu yang kerap dialami penulis adalah jalan panjang yang harus dilalui untuk menerbitkan satu buku. Ini belum termasuk dengan waktu untuk mencari penerbit yang mau menerima naskah dan menerbitkannya. 

Menurut Ega, butuh waktu sekitar satu tahun, mulai dari pengiriman naskah, penyuntingan, produksi, hingga distribusi. Faktor-faktor ini membuat penulis merasa kurang mendapat apresiasi dan sulit untuk berkarya karena ketidakstabilan pendapatan.

Sebelum Storial, ungkapnya, ia lebih dulu mendirikan Nulisbuku.com, platform yang memungkinkan penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri (self-publishing). Ia mengembangkan Nulisbuku.com secara bootstrapping hingga sekarang. Namun, saat ini Ega tak lagi terlibat dalam proses produksi buku. Adapun, Nulisbuku sudah punya basis komunitas hingga 100 ribu penulis.

Setelah produknya market-fit, Ega mengeksplorasi cara lain mendisrupsi industri buku dengan memanfaatkan basis komunitas yang dimilikinya di Nulisbuku.com. Di sini ia mendirikan Storial, platform marketplace cerita fiksi digital di mana penulis dapat lebih mudah memonetisasi karyanya.

Menariknya, Ega tidak ingin menjadikan Storial sebagai ekstensi Nulisbuku.com pada satu platform yang sama mengingat keduanya punya model bisnis dan target pasar yang berbeda. Demikian juga dengan entitasnya. Jika Nulisbuku.com identik dengan buku cetak on-demand yang prosesnya dilakukan secara hibrida (O2O), Storial merupakan marketplace untuk karya fiksi digital yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku fiisk.

“Kami sudah berbicara dengan banyak investor dan VC terkait [model bisnis buku]. Mereka kurang tertarik karena pasar buku dan literasi baca di Indonesia sangat rendah. Jarang ada jual buku di stasiun atau terminal kan? Dengan posisi Storial, kami pikir cost akan lebih murah karena tidak cetak buku. Harga buku di Indonesia cukup mahal dibandingkan negara lain di Asia. Mungkin karena biaya distribusi besar karena kita negara kepulauan,” jelasnya.

Dengan model bisnis ini, Ega dapat mengakselerasi Storial lebih cepat dibandingkan memproduksi buku fisik. Saat ini, Storial terdapat lebih dari 150 ribu judul buku. Jumlah penggunanya berkisar 500 ribu.

Monetisasi karya

Storial menggunakan skema penjualan sebuah karya secara satuan (ecer) agar harganya bisa lebih terjangkau bagi pembaca. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000.

Ambil contoh satu cerita Storial berisi total 50.000 kata dibagi ke dalam 50 bab. Per bab berisi 1000 kata dan dijual seharga Rp2.000. Harga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis.

Menurut Ega, harga tersebut sudah terbilang pas dengan kantong pembaca jika dibandingkan dengan membeli buku fisik. Pasalnya membeli buku fisik berarti membeli keseluruhan, sementara,ada potensi pembaca tidak membacanya sampai selesai. Berbeda dengan model Storial, ketika pengguna hanya membeli bab cerita yang ingin dibaca saja.

Di samping itu, ia menilai skema ini juga menguntungkan kreator atau penulis. Penulis akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik.

Kantor pusat Storial

“Penulis senang [dengan skema ini]. Selama ini, mereka terbitkan buku di penerbit besar, hanya mendapat 10% [royalti]. Itupun diterima enam bulan sekali dan penulis tidak bisa cek jumlah penjualannya. Di Storial, penulis bisa memonitor penjualan karya secara transparan. Pembayaran bisa ditarik setiap bulan. Ini yang tidak bisa didapat di penerbit konvensional,” ujarnya.

Maka itu, ia menilai peluang buku digital lebih besar karena penulis mudah memonetisasi dan pembaca dapat membeli dengan harga terjangkau. Selain itu, ada dukungan ekosistem lain, seperti pembayaran yang memudahkan transaksi.

Kurasi konten

Salah satu value proposition yang diunggulkan adalah kurasi dan kualitas konten. Menurut Ega, Storial berdiri berkat masukan basis komunitas penulisnya yang ingin dipertemukan dengan pembaca melalui aplikasi.

Dengan merilis karya secara satuan, penulis dapat mengetahui masukan dan kritik dari para pembaca langsung. Selain itu, ia ingin Storial dapat diposisikan sebagai platform yang memiliki konten dari penulis yang kualitasnya bisa sejajar dengan buku yang diterbitkan di toko buku.

“Menurut saya, setelah ledakan creator economy ini, akan ada masa ketika konten terseleksi dengan sendirinya. Mengapa? Orang akan semakin overwhelmed dengan sekian banyak konten. Makanya kami pikir kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, istilahnya law of attraction,” tuturnya.

Ega menilai penting untuk melakukan kurasi karena “seleksi alam” pada konten akan membutuhkan waktu lama. Secara keseluruhan, masyarakat perlu belajar untuk membuat cerita yang bisa engage dengan pembaca ketimbang mengikut tren yang mudah dilupakan.

Saat ini Storial memiliki 150 ribu judul karya dengan 50-100 judul yang masuk per hari. Pihaknya membidik satu juta pengguna di tahun ini.

Strategi mendongkrak pasar

Diakui Ega, salah satu tantangan besar membangun Storial adalah memperkuat basis komunitas penulis dan pengguna. Terlepas dari perkembangan ekosistem digital di Indonesia yang semakin mapan, pasar pembaca buku digital masih sangat niche.

Secara umum, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah yang punya tingkat literasi baca rendah menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) di 2019.

Maka itu, Ega mengaku tertarik untuk mengeksplorasi model bisnis Intellectual Property (IP) untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya. Untuk sekarang, Storial memang masih sepenuhnya fokus pada konten fiksi dan audiobook. Namun, ia melihat rata-rata orang Indonesia lebih menggemari konten berbasis audio visual. 

“Saat ini kekuatan Storial terletak pada konten IP. Nah, ini dapat dieksplorasi ke berbagai macam hal, seperti film pendek, serial, atau film layar lebar. Secara gambaran besar, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru, jadi tidak hanya dari konten baca saja,” ujarnya.

Untuk merealisasikan ide ini, ia menyebutkan butuh lebih dari sekadar dukungan modal investasi. Lagipula, Venture Capital (VC) dinilai kurang tertarik dengan model bisnis di industri buku karena akselerasinya tidak secepat sektor seperti e-commerce atau fintech. Storial pernah mendapatkan pre-seed dari Salim Group (2018) dan program akselerator SKALA (2019).

Kuncinya adalah menggandeng mitra strategis yang dapat leverage aset konten yang dimiliki Storial menjadi konten audio visual. Ega menyebut telah menjual beberapa cerita di Storial untuk film dan serial, tapi Storial tidak ikut dalam proses produksinya. Apabila bisa terlibat, ada peluang untuk mengakselerasi bisnis.

“Di putaran [pendanaan] berikutnya, kami ingin bermitra dengan strategic partner yang bisa memberikan, tak cuma modal, tetapi juga dukungan lain ke OTT, media, dan rumah produksi. Saat ini kami sedang bicara dengan perusahaan [yang punya ekosistem itu], tetapi belum bisa kami disclose,” ungkapnya.

Untuk saat ini, tambahnya, Storial masih akan fokus mengembangkan platform dan fitur-fitur sesuai dengan kebutuhan dari pengguna. Salah satu fitur yang tengah dipertimbangkan adalah interaksi langsung antara penulis dan pembaca. Penambahan fitur dan perbaikan platform diharapkan dapat memperkuat basis komunitas di Storial.

“Sekarang kami fokus improve aplikasi supaya lebih reliable di tahun ini. Lagipula, ini yang menjadi bisnis inti Storial. Kami memang bukan yang pertama mengembangkan platform semacam ini, tapi kami punya komunitas penulis yang besar dan tim editor yang melakukan kurasi. Sampai waktunya tiba untuk bicara strategi besar, kami fokus menghadirkan konten berkualitas,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengoptimalkan Keikutsertaan Founder dan Startup di Program Inkubator

Program inkubator atau akselerator masih akan relevan saat ini, khususnya bagi startup tahap awal yang tengah memvalidasi bisnisnya. Faktanya banyak pertumbuhan startup dimulai dari sana. Di Indonesia, beberapa nama seperti Payfazz, Halofina, Privy, dan Storial merupakan jebolan dari program tersebut dengan penyelenggara berbeda-beda.

Banyak hal yang bisa jadi “takeaways” bagi founders – tentu ini bukan sekadar berbicara modal awal yang umumnya disalurkan melalui program ini. Untuk memberikan gambaran apa saja yang bisa didapat founder ketika bergabung di program inkubator, DailySocial mencoba mengumpulkan beberapa testimoni dari berbagai sumber.

Mematangkan ide bisnis, peluang kolaborasi awal

Cerita ini datang dari Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi. Program inkubator yang diikutinya adalah Indigo besutan grup Telkom. Ia mengatakan, keterlibatannya di inkubator menciptakan lingkungan yang tepat bagi pengembangan ide dan konsep bisnis startupnya.

“Ide PrivyID ini konsep awalnya berupa digital identity. Dengan platform PrivyID, pengguna tidak lagi harus isi formulir pendaftaran lagi untuk apply apapun, contohnya asuransi, kartu kredit, buka rekening bank, dan lain-lain. Biasanya, setiap kali mendaftar sesuatu, pengguna harus berulang kali mengisi data diri seperti nama, alamat, tanggal lahir, dan sebagainya. Untuk tanda tangannya dapat dilakukan secara digital. Ide seperti ini, di tahun 2015, masih asing,” ujarnya.

Marshall melanjutkan, dengan masuk program inkubator Indigo, PrivyID tidak hanya mendapatkan investasi awal, tetapi juga berhasil memperoleh klien pertama dan ide yang berharga. Saat mentoring, ia mendapatkan saran mengenai username PrivyID yang disusun dari kombinasi 2 huruf inisial nama dan 4 digit nomor telepon genggam.

“Adanya Telkom Indonesia sebagai klien pertama juga membuat PrivyID lebih dipercaya oleh perusahaan-perusahaan lain yang ingin memanfaatkan layanannya,” ungkapnya.

Kesuksesan tetap ditentukan oleh founder

Selain pembelajaran dari mentor berpengalaman, keuntungan lain yang bisa didapat dari keikutsertaan startup di program inkubator/akselerator adalah memperluas jaringan ke ekosistem. Penyelenggara program umumnya memiliki platform yang menghubungkan antara startup, investor, atau stakeholder lain yang berpeluang untuk kolaborasi, termasuk dengan sesama startup lain. Hal ini turut dirasakan Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Adjie dan startupnya tergabung di program GK-Plug and Play Indonesia. Menurutnya, manfaat sebuah program pengembangan bisnis seperti ini akan sangat tergantung pada tingkat partisipasi founder. Untuk itu, sebelum memulai program (bahkan mendaftar), pastikan founder punya target capaian yang jelas – apa yang ingin mereka optimalkan melalui program ini. Apakah mencari investor, mendapatkan mentor, mematangkan produk, atau lainnya.

Set our own target expectation. Pada akhirnya, program akselerator adalah sebuah fasilitas. Kita sendiri yang perlu melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan kesempatan tersebut. Melakukan goal setting di awal akan membantu kita meraih hasil optimal dari program tersebut,” ujar Adjie.

Mengoptimalkan keikutsertaan

Startup pengembang platform publikasi konten kreatif Storial juga sempat mengikuti program akselerator Skala. Co-Founder & CEO Steve Wirawan mengatakan, keikutsertaannya di program tersebut memberikan banyak pembelajaran, termasuk mengenai pengembangan produk, membangun tim yang efisien, menentukan prioritas, dan perluasan jaringan bisnis. Hadirnya mentor berpengalaman begitu dirasakan manfaatnya.

Always be hungry to learn. Unlearn what you’ve already known, drop all the assumptions that was already built in your mind and re-learn. Selalu memiliki rasa ingin tahu dan minta akses ke banyak network untuk diperkenalkan,” ujar Steve memberikan kiatnya.

Soal effort founder di program inkubator ini juga diamini Marshall. “Jika ingin optimal dalam mengikuti program inkubator, jangan berpikir bahwa dengan masuk inkubator semuanya akan diberikan dari mentor hingga investasi. Inkubator ada untuk menyediakan environment yang sesuai untuk ide bisnis yang dimiliki.”

Founder atau startup sendirilah yang harus bisa tumbuh dan berkembang melalui lingkungan yang disediakan. Selain itu, menurut Marshall, jangan pula meremehkan kebaikan-kebaikan dari orang yang ditemui.

Memilih program yang pas

Makin berkembangnya ekosistem startup di Indonesia – khususnya terkait minat anak muda untuk menjadi founder startup – ditanggapi baik para penyelenggara program inkubator. Para penyelenggara tersebut hadir dari berbagai kalangan, mulai dari korporasi, media, pemodal ventura, hingga institusi lainnya. Latar belakang tersebut kadang memberikan diferensiasi antar program.

Program IDX Incubator yang diprakarsai Bursa Efek Indonesia misalnya, mendesain programnya untuk startup yang berminat go public atau IPO. Beda lagi dengan Mandiri Digital Incubator yang digawangi perusahaan perbankan dan mendampingi startup di bidang keuangan. DSLaunchpad, yang dihadirkan DailySocial, secara khusus memfasilitasi para founder (terutama di luar Jawa) untuk bisa mengikuti program mentorship secara online. Ada juga Simona Ventures yang disajikan khusus untuk founder perempuan.

Meskipun demikian, biasanya memiliki aktivitas-aktivitas umum yang sama, seperti bimbingan dengan pakar dari industri, networking, hingga membagikan sumber daya. Spesialisasi tadi bisa menjadi tambahan pertimbangan founder untuk memilih sebuah program inkubator/akselerator. Apalagi saat ini terbuka akses bagi pelaku startup Indonesia untuk bergabung dengan program global, misalnya Y Combinator, Google Launchpad Accelerator, Surge, dan lain-lain.

Sudah ada sejumlah penyelenggara program inkubator/akselerator startup di Indonesia. Beberapa yang masih aktif di antaranya adalah:

Nama Program Penyelenggara Situs Web
Digitaraya Digitaraya https://digitaraya.com/
DSLaunchpad DailySocial https://dailysocial.id/dslaunchpad
GK-Plug and Play Gan Kapital, Plug and Play Indonesia https:/plugandplaytechcenter.com/indonesia/
GnB Accelerator Pegasus Tech, Infocom Corporation https://gnb.ac/
IDX Incubator Bursa Efek Indonesia http://idxincubator.com/
Indigo Creative Nation Telkom Group http://indigo.id/
Kolaborasi Kolaborasi https://kolaborasi.co/
Mandiri Digital Incubator Mandiri Capital Indonesia https://mandiri-capital.co.id/en/mandiri-digital-incubator/
Skala Innovation Factory, Strive https://joinskala.com/
Simona Ventures Digitaraya http://simona.ventures/
Skystar Ventures Universitas Multimedia Nusantara, Kompas http:/skystarventures.com/
Synergy Bank Central Asia https://synrgy.id/
Xcelerate Gojek https://www.gojek.com/gojekxcelerate/

Konsumsi Digital, Antara Pembajakan dan Konten Berbayar

Pembajakan karya masih terus menghantui kreator di Indonesia. Meski teknologi digital mulai berkembang, pertempuran dengan pembajak masih terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa platform mulai muncul dengan beragam solusi mengatasi hal ini. Tidak menghabiskan tenaga melawan pembajakan, tetapi memudahkan mekanisme agar kreator bisa dihargai lebih layak.

Penyelesaian kasus pembajakan di Indonesia layaknya benang kusut yang tak ada ujungnya. Kasus terbaru yang ramai jadi perbincangan adalah kasus penutupan situs ilegal streaming film. Kejadian ini membagi masyarakat internet menjadi dua kubu, mereka yang menyayangkan dan mereka yang menyambut positif. Saya pribadi cukup yakin situs streaming film ilegal menjadi salah satu penyebab berdarah-darahnya kelangsungan platform video on demand (legal) di Indonesia.

Internet berkembang di Indonesia bersama dengan pemikiran bahwa semua yang ada di dalamnya adalah gratis, termasuk foto, video, gambar, teks, dan lainnya. Masih banyak orang beranggapan bahwa semua yang diletakkan di internet adalah menjadi milik umum. Dengan kata lain bisa dimanfaatkan siapa saja dan untuk apa saja.

Pandangan keliru ini sayangnya masih dipercaya banyak orang, bahkan para pengguna internet baru. Hal ini mengakibatkan tugas mengedukasi perihal lisensi dan hak cipta semakin berat.

Pokok permasalahannya adalah keengganan membayar konten digital. Tembok penghalang bernama sistem pembayaran sudah mulai runtuh berkat adanya platform uang elektronik dan integrasi dengan banyak sistem. Permasalahan “malas ke ATM untuk transfer” atau “tidak punya kartu kredit” perlahan-lahan menghilang.

Akhirnya kita kembali ke pertanyaan klasik “kalau ada yang gratis ngapain bayar”. Padahal di dalam sebuah konten digital terdapat usaha keras sang pembuat karya yang harus tetap hidup dan menghidupi keluarganya.

Founder Karyakarsa Ario Tamat mengungkapkan, kecenderungan masyarakat membajak atau enggan membayar untuk sebuah karya disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap dampak.

“Menurut saya, kesadaran soal hak cipta itu belum ada seiring dengan persepsi dampak. Misalnya, mungkin kebanyakan dari kita ringan saja men-torrent sebuah film seri yang memang tidak tersedia di Indonesia, karena tidak terlihat dampaknya untuk pembuat konten. Malah ‘Ah, kan Disney udah kaya, salah sendiri nggak rilis di Indonesia’ misalnya atau ‘nggak papalah Taylor Swift duitnya udah banyak’. Konsekuensi untuk pembajak pun tidak jelas,” terang Ario.

Membayar untuk konten digital sebenarnya sudah berjalan jika konteks yang dibahas adalah game. Mobile Legends, PUBG Mobile, dan game mobile populer lainnya telah menjadi pengalaman pertama bagi banyak pemain game untuk membayar item pertama mereka. Bentuk pembayaran Google Play yang semakin luwes membuat para pemain game tak ragu menukarkan uang miliknya dengan diamonds atau coins dalam permainan.

Pendekatan yang berbeda

Saat ini, untuk menjangkau pengguna, kebanyakan platform mengusung pendekatan freemium dengan konsep berlangganan. Pengguna ditawari banyak konten gratis, namun beberapa konten dikunci dan hanya bisa diakses bila pengguna membayar.

Strategi ini cukup banyak digunakan berbagai jenis konten digital. Tak hanya platform streaming musik atau film, Berlangganan seperti ini juga bisa dijumpai untuk konten komik, foto, dan lainnya.

Pada dasarnya cara ini menarik minat pengguna terlebih dahulu dengan koleksi konten yang ada. Selanjutnya, ketika keterikatan dengan pengguna sudah terjalin, akan ada konten-konten khusus atau konten lanjutan yang dijajakan secara berbayar. Jika pengguna menikmati pengalamannya dalam menggunakan konten secara gratis, biasanya tidak susah mengubahnya menjadi pengguna berbayar. Sebaliknya, jika pengalaman yang dihadirkan buruk, mereka akan lari.

Platform Storial.co yang menyediakan konten fiksi dalam bentuk buku digital sudah menerapkan strategi ini. Dengan total 50.000 judul buku dan 15.000 penulis, Storial mengkaim menggaet jutaan pembaca. Konten fiksi di dalamnya banyak yang naik cetak bahkan diadaptasi dalam bentuk lain, seperti film dan web series.

CEO StorialSteve Wirawan kepada DailySocial menceritakan bahwa sebelum pandemi ini ada pengguna mereka bisa membaca sekitar 30 bab per minggu. Angka ini naik dua kali lipat di masa pandemi seperti sekarang. Waktu luang disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

“Menurut saya, kaum milenial di Indonesia ini kebanyakan bucin [budak/butuh cinta -Red], pasti banyak kan yang nonton drama korea di masa pandemi ini. Begitu juga dengan konten fiksi yang sukses bikin pembaca baper itu sangat digemari oleh pengguna kami yang kebanyakan perempuan berusia di bawah 20 tahun,” terang Steve.

Menurut Steve, kunci untuk bisa membuat orang membayar untuk konten digital ada pada konten itu sendiri. Selama konten dekat dan diterima pengguna, tingkat konversi dari pembaca gratis ke pembaca berbayar cukup tinggi.

“Konten yang menarik adalah kuncinya. Saya kira selama kontennya engage dengan pembaca, karakter dalam ceritanya kuat dan nyata yang membuat orang bisa relate dengan diri mereka, jalan cerita yang membuat mereka baper dan penasaran untuk tahu kelanjutannya, pasti membuat mereka mau bayar,” lanjut Steve.

Ario menambahkan, setidaknya ada dua hal yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menekan angka pembajakan karya. Dengan memanfaatkan teknologi atau memanfaatkan pendekatan yang baru, dukungan langsung penikmat karya ke pembuat karya.

“Pertama dengan menciptakan teknologi hiburan yang perlindungan HKI-nya sudah jadi satu, seperti Spotify atau Netflix yang kontennya tidak bisa dinikmati di luar aplikasi masing-masing. Yang kedua menawarkan konten dengan model bisnis yang tidak terlalu tergantung ke proteksi, tapi ke partisipasi penikmat karya, seperti KaryaKarsa,” jelas Ario.

Semua bisa berkarya, semua berhak didukung

Platform yang menjembatani konten kreator dengan para penikmat karyanya akan menjadi masa depan bagi pembuat  dan penikmat konten digital. Kehadiran platform ini selain memangkas jarak idola dengan para penggemarnya juga menghapus bias, mana penikmat karya dan mana yang orang penikmat konten gratis.

Kecanggihan teknologi dan perangkat lunak telah melahirkan banyak bentuk turunan konten digital yang baru. Tak hanya buku, film, dan musik tetapi juga streaming game, pelatihan olahraga online, webinar, stand up comedy, podcast, dan ragam bentuk lainnya. Kendati bukan barang yang berbentuk, karya digital sudah selayaknya dihargai.

Metode pembayaran kini semakin murah. Akses ke konten digital pun semakin mudah. Platform yang menjembatani sudah banyak bentuknya, tergantung konten seperti apa yang diminati, dan permasalahan kini tinggal pada kesadaran masing-masing. Yang paling ditunggu adalah regulasi dan sanksi pasti bagi setiap pelanggaran yang ada.

Storial Berkomitmen Dorong Literasi Membaca, Rilis Layanan Percetakan Buku

Angka literasi membaca di Indonesia masih rendah. Menurut penelitian UNESCO tahun 2016, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam menunjukkan kebiasaan membaca. Salah satu kendalanya adalah akses bacaan yang terbatas.

Menanggapi isu tersebut, platform lokal untuk menulis dan membaca secara digital Storial.co menginisiasikan kehadiran Storial Publishing. Ini adalah layanan percetakan buku yang memenuhi syarat terbit setelah dipublikasi dan mendapat engagement tinggi di platform digital Storial.

Chief Content Officer (CCO) Storial.co Brilliant Yotenega, yang akrab dipanggil Ega, menerangkan, kendati berawal dari platform digital, Storial melihat di luar sana masih banyak pembaca di Indonesia yang ingin memiliki buku cetak karya penulis favorit mereka. Alhasil, timbul inisiatif untuk merilis Storial Publishing.

“Sebagai platform lokal, kami melihat pembaca di Indonesia masih banyak yang ingin punya buku cetak karya favorit mereka. Meskipun mereka telah membaca versi digital, mereka ingin mengoleksi buku cetaknya pula,” terang Ega kepada DailySocial.

Dia melanjutkan tidak sembarang karya penulis dapat diterbitkan oleh Storial. Ada sejumlah kurasi, misalnya jumlah komentar pada tiap bab, jumlah pembeli premium chapter, potensi cerita sebagai konten yang layak untuk dinikmati secara bagaimana cara penulis mampu membangun engagement secara stabil.

Setelah itu, diserahkan ke tim editor yang bertugas untuk menyeleksi karya lebih lanjut dengan melihat dari kualitas tulisannya. Untuk monetisasinya, di luar biaya administrasi, pembagian komisi dari setiap proyek adalah 50:50 untuk Storial dan penulis.

“Kami bergerak dari digital ke offline untuk menghadirkan karya-karya yang dipublikasi secara digital agar dapat dinikmati secara fisik. Sebagai penggiat literasi dalam platform digital, kami menemukan banyak karya berkualitas dalam berbagai bentuk tulisan yang sangat layak dibaca.”

Proyek perdana dari Storial Publishing adalah Just You and Me karya Titi Sanaria yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Novel ini terpilih karena memiliki engagement tertinggi di Storial sepanjang tahun 2019. Ega menargetkan setidaknya dalam sebulan, Storial dapat menerbitkan satu buku.

“Kami akan tetap menerbitkan buku-buku yang high quality dan tinggi engagement-nya di platform digital Storial. Target kami untuk mencetak paling tidak satu buku per bulannya.”

Seluruh karya yang diterbitkan Storial Publishing akan tersedia tersedia di berbagai toko buku seluruh Indonesia dan ditawarkan dengan harga terjangkau.

Sejak diperkenalkan di 2016, Storial telah memiliki lebih dari 100 ribu penulis dan pembaca dengan jumlah cerita sebanyak 31 ribu judul yang terdiri atas 128 ribu bab. 100 ribu di antaranya buku Premium.

“Storial Publishing diharapkan bisa memberikan alternatif bacaan yang kepopulerannya sudah tervalidasi, untuk masyarakat Indonesia,” pungkas Ega.

Application Information Will Show Up Here

Storial Luncurkan Aplikasi Mobile Di Perhelatan Social Media Week Jakarta 2016

Storial, platform berbagi tulisan dari Nulisbuku, meluncurkan aplikasi untuk gawai ber-platform Android. Peluncuran aplikasi tersebut dilakukan di sela-sela acara Social Media Week Jakarta 2016 yang dihelat pada tanggal 25 Februari silam. Melalui aplikasi tersebut diharapkan para pengguna bisa lebih produktif dan mudah dalam mengakses dan berkarya melalui platform Storial.

Storial yang turut andil dalam hajatan Social Media Week Jakarta 2016 dengan mengadakan mini workshop bertema “How to be A Productive Content Maker in Mobile Era”.  Acara tersebut menghadirkan Moammar Emka dan Aulia Halimatussadiah (Ollie) sebagai pembicara. Keduanya sama-sama dikenal sebagai penulis yang produktif menerbitkan buku.

Di sela-sela workshop pihak Storial secara resmi merilis aplikasi mobile Storial untuk Android. CEO Storial Steve Wirawan bersama seluruh peserta workshop melakukan countdown dalam seremoni peluncuran aplikasi Storial.

[Baca juga: NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial]

“Dengan adanya aplikasi ini, pengguna Storial kini dapat mengunggah ceritanya di mana saja dan kapan saja dengan mudah, serta aplikasi ini bisa menjadi surga bagi para pembaca,” ujar Steve.

Steve lebih lanjut menambahkan meski sementara ini baru tersedia untuk gawai ber-platform Andorid namun tim Storial akan mengupayakan untuk segera meluncurkan aplikasi untuk gawai ber-platform iOS.

Secara konsep, Storial merupakan platform yang sedikit mirip dengan blog pribadi, seperti Medium, Blogspot atau WordPress, yang juga berfungsi menghubungkan penulis satu dengan penulis lainnya serta para pembaca.

Terobosan yang dilakukan Storial ini bisa dikatakan strategi untuk menggaet lebih banyak pengguna. Storial pada dasarnya hadir untuk membantu proses kreatif penggunanya dalam menulis buku dengan memberikan fitur komunikasi dan interaksi dengan pengguna lain. Hadirnya aplikasi ini bisa menjadi cara lain yang lebih sederhana dan lebih mobile untuk mengakses fitur-fitur platform Storial.

Application Information Will Show Up Here

NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial

Dalam waktu dekat Nulisbuku akan meluncurkan situs terbaru bernama Storial. Di situs tersebut nantinya penulis bisa menuliskan secara langsung cerita yang kemudian bisa disusun sesuai dengan jumlah bab yang ditentukan. Cerita yang sedang dalam proses penulisan juga bisa dibagikan langsung kepada teman serta komunitas lainnya untuk mendapatkan feedback sebelum menjadi buku yang sempurna.

Continue reading NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial