Potensi “Blue Economy” Besar, Inovator di ASEAN Ditantang untuk Berkontribusi

Dalam upaya menangani isu-isu lingkungan dan memperkuat ekonomi biru, ASEAN bersama dengan Jepang dan UNDP, resmi meluncurkan “ASEAN Blue Economy Innovation”.

Blue economy adalah pendekatan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif, termasuk industri seperti perikanan, pariwisata, energi terbarukan, dan transportasi maritim. Tujuannya adalah memastikan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya laut dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Acara peluncuran yang diadakan di Sekretariat ASEAN di Jakarta ini menandai langkah maju dalam memanfaatkan potensi maritim regional yang luar biasa, yang diperkirakan mencapai nilai pasar hingga $2,5 triliun per tahun atau lima persen dari ekonomi global.

Proyek ini bertujuan untuk memfasilitasi inovasi dalam pengelolaan ekosistem laut dan air tawar, melalui tiga kegiatan utama: ASEAN Blue Innovation Challenge, Program Inkubasi, dan Temu Usaha (Business Matchmaking).

Sebanyak 60 inovator terpilih dari sepuluh negara ASEAN dan Timor Leste akan mendapatkan kesempatan untuk menerima dukungan finansial sebesar hingga $40,000.

Selain dukungan finansial, para inovator juga akan mendapat pendampingan selama enam bulan untuk mengembangkan dan mengkomersialkan solusi mereka. Proyek ini juga memberikan kesempatan bagi tim pemenang untuk mempresentasikan inovasi mereka kepada komunitas bisnis, investor, dan pemodal, yang membuka akses ke investasi di sektor ekonomi biru.

Dalam pidato pembukaannya, Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn menekankan bahwa inisiatif ini sangat strategis dalam mendukung pelaksanaan Kerangka Kerja Ekonomi Biru ASEAN.

“Ini adalah langkah maju bagi ASEAN untuk memanfaatkan ekonomi biru demi pembangunan regional yang berkelanjutan dan inklusif,” ujar Kim.

Pendaftaran untuk ASEAN Blue Innovation Challenge masih akan dibuka hingga akhir Mei 2024. Inisiatif ini tidak hanya diharapkan untuk memperkuat kerja sama regional dan integrasi ekonomi, tetapi juga untuk menjadi katalis dalam upaya konservasi laut di kawasan Asia Tenggara.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Fore Coffee Segera Masuki Pasar Regional, Dimulai dari Singapura di Q4 2023

Setelah mencapai EBITDA positif pada Q3 2021 dan profitabel, startup coffee chain Fore Coffee tahun ini mulai memfokuskan bisnis mereka kepada lingkungan dan keberlanjutan.

Co-Founder & CEO Fore Coffee Vico Lomar mengungkapkan, berbeda dengan gerai mereka yang didirikan tahun 2018 lalu, tahun ini perusahaan mulai membangun konsep ramah lingkungan. Perusahaan juga menyampaikan rencana mereka tahun ini untuk melakukan ekspansi ke Singapura.

Berupaya menjalankan bisnis secara mandiri

Per Agustus 2023, Fore memiliki 144 gerai di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Perusahaan juga mulai menghadirkan minuman kopi dan nonkopi dengan harga terjangkau. Untuk memperluas jangkauan layanan, mereka berencana untuk menambah satu gerai di Singapura di Q4 tahun ini.

Dipilihnya Singapura sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mereka sambangi karena posisi negara tersebut sebagai hub bisnis regional. Tidak disebutkan lebih lanjut detail lokasi gerai mereka nantinya akan didirikan.

Pemain lainnya yang saat ini juga membidik negara di Asia Tenggara untuk ekspansi dan sudah hadir di Malaysia dan Singapura adalah Kopi Kenangan.

Disinggung seperti apa strategi perusahaan untuk menyeimbangkan growth dan profitability, Vico menyebutkan berkat dukungan tim dan tentunya pelanggan hingga pihak terkait, perusahaan telah mencapai profitabilitas sampai sekarang. Ke depannya meskipun penggalangan dana masih menjadi opsi, namun agar perusahaan bisa berlari lebih cepat, diupayakan untuk bisa lebih mandiri.

“Kami berusaha membawa sesuatu yang bagus yang bertanggung jawab. Dan sesuatu yang terjangkau dan tidak perlu mahal itu adalah tanggung jawab kami selaku pelaku bisnis,” kata Vico.

Fore Coffee telah menutup pendanaan seri A bulan April 2019 lalu, dengan tambahan $1 juta melengkapi perolehan di putaran sebelumnya $8,5 juta. Pendanaan tersebut dipimpin oleh East Ventures. Turut bergabung SMDV, Pavilion Capital, Agaeti Ventures, dan beberapa angel investor.

Saat awal pandemi perusahaan sempat mengalami kendala dengan penutupan beberapa gerai. Langkah tersebut diambil perusahaan agar bisa beradaptasi dengan perubahan situasi bisnis selama pandemi, salah satu inisiatifnya adalah optimalisasi layanan toko offline.

“Kemampuan Fore Coffee untuk terus bertahan dan berkembang merupakan sebuah prestasi yang bernilai. Terutama di tahun ke-5 ini, Fore Coffee tengah merealisasikan sebuah rencana usaha historis dan penting, sehingga ini makin memantapkan posisi Fore Coffee sebagai brand penyedia rangkaian minuman dan cemilan berkualitas di peta industri F&B Indonesia” kata Vico.

Fokus pada bisnis berkelanjutan

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, menghadapi tantangan terkait pengelolaan sampah. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan coffee chain sedang menerapkan strategi pengurangan sampah di dalam gerai mereka. Mereka mulai beralih dari plastik sekali pakai ke kemasan ramah lingkungan dan berinvestasi dalam bahan yang dapat terurai secara alami.

Beberapa coffee chain juga memberikan insentif kepada pelanggan untuk membawa cangkir yang dapat digunakan ulang, berkontribusi pada pengurangan limbah yang dapat dibuang.

Di Fore sendiri ternyata fokus tersebut sudah dilancarkan perusahaan sejak awal, terkait dengan ESG (Environmental, Social, dan Corporate Governance). Memasuki usia lima tahun, Fore Coffee mulai mengusung konsep tersebut dengan melancarkan dua kampanye yaitu #FOREsponsible dan #FOREssentiallyYou.

Di gerai terbaru mereka yang bertempat di Kuningan City Mall, perusahaan telah memanfaatkan penggunaan 450kg material daur ulang termasuk plastic cup Fore Coffee, menjadi produk furnitur upcycle seperti meja, bangku, dan kabinet yang dapat ditemukan di gerai tersebut. Perusahaan juga menunjuk Cinta Laura Kiehl sebagai Social & Sustainability Ambassador serta menggandeng Robries sebagai mitra untuk merealisasikan komitmen inisiatif pelestarian lingkungan.

“Di Fore kami percaya segala sesuatu adalah bukan hanya pencapaian tetapi juga proses. Dan dalam proses tersebut banyak elemen di dalamnya. Menurut saya membangun bisnis tidak hanya mencari keuntungan tetapi juga harus mulai memikirkan untuk bisa menjadi brand yang bisa berguna untuk orang sekitar dan bangsa,” kata Vico.

Application Information Will Show Up Here

Gambaran Umum Ekosistem Startup Cleantech di Indonesia

New Energy Nexus Indonesia mengulas perkembangan ekosistem teknologi bersih (cleantech) di tanah air melalui laporan terbarunya berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”.

Laporan ini menggali sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pelaku startup terkait pengembangan teknologi bersih, operasional, hingga sumber pendanaan berdasarkan hasil survei terhadap 50 startup cleantech di Indonesia. Perlu dicatat, dari 50 responden yang disurvei, hanya 42 startup yang masih hidup, sisanya tidak lagi beroperasi hingga laporan ini dirilis. Selain itu, kebanyakan responden menduduki posisi C-level (84%) dan beroperasi di wilayah Jawa.

Saat ini, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tengah mendorong upaya transisi energi untuk mencapai target tersebut. Namun, transisinya kurang berjalan cepat di mana bauran energi terbarukan (EBT) secara nasional baru mencapai 12,3% dari target 23% di 2025.

Maka itu, pengembang teknologi bersih dikatakan dapat membantu mengakselerasi tercapainya target net-zero emission (NZE) yang ditetapkan pemerintah Indonesia pada 2060. Selain itu, kemunculan startup cleantech juga dapat membuka potensi ekonomi. Sebagai ilustrasi, sektor teknologi hijau di AS tercatat telah menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di 2021.

Ekosistem cleantech

Di Indonesia, kebangkitan startup hijau ini mulai terlihat dengan pertumbuhan investasi sebagai salah satu indikatornya. Berdasarkan data yang dihimpun, laporan ini menyebutkan terdapat 300 startup cleantech di tanah air, termasuk Xurya dan Swap Energi yang telah mencapai tahap pendanaan seri A.

New Energy Nexus Indonesia sebagai program akselerator untuk startup di segmen ini, telah mendukung 85 startup (termasuk non-cleantech) sejak 2019.

Menurut hasil survei, 52% dari total responden berbasis di kota tier 1. Namun, survei menunjukkan bahwa startup cleantech berada di luar kota tier 1 dengan tingkat pertumbuhan 48% pada periode 2017-2022, mengindikasikan pelaku usaha di bidang ini mulai tumbuh.

Sementara, 42 startup cleantech yang masih beroperasi relatif memiliki runway yang pendek. Sebanyak 22 di antaranya hanya mampu bertahan operasi selama 1-6 bulan sebelum kehabisan modal, sedangkan 11 startup mengklaim punya runway lebih dari 1 tahun. Temuan ini menjadi isu penting mengingat startup idealnya harus punya runway minimum 18 bulan.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Kemudian, 64% responden yang masih beroperasi mengaku berada di fase ideation/prototyping atau pilot (testing kepada mitra/pengguna). Sementara, responden yang berhenti beroperasi kebanyakan gagal di tahap awal.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

“Sebagian besar responden menyebut bahwa sumber pendanaan mereka kebanyakan berasal dari kantong pribadi founder-nya. Temuan ini konsisten dengan hasil interview pelaku startup cleantech yang mengaku mengalami kendala dalam mencari pendanaan eksternal dan akhirnya beralih ke bootstrapping. Mereka juga bergantung pada dana hibah dan inkubator untuk mendukung operasionalnya,” demikian tulis laporan ini.

Investasi dan dukungan regulasi

Pemodal ventura (VC) cenderung berinvestasi di fintech, tetapi sektor lain— SaaS, F&B, dan transportasi—juga memperoleh investasi yang signifikan. Dari hasil interview dengan Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), regulasi menjadi faktor utama penghambat investasi di cleantech.

AMVESINDO mengatakan bahwa kebijakan atau kerangka regulasi yang ada saat ini kurang mendukung adopsi EBT, teknologi untuk efisiensi energi, hingga kendaraan listrik. Alhasil, investor pun kurang tertarik berinvestasi karena minat pasar terhadap produk/solusi cleantech di Indonesia masih relatif rendah.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Beberapa contoh investasi VC dalam negeri di sektor ini adalah East Ventures dan Saratoga ke pengembang panel surya Xurya. Di samping itu, Kejora Capital juga menyuntik pendanaan ke Swap Energi, pengembang baterai tukar (swap battery) untuk kendaraan listrik.

“Tak cuma soal minat pasar, investor juga melihat ekosistem startup cleantech tak banyak memiliki founder dan tim yang cakap sehingga ini menahan mereka untuk berinvestasi di sektor ini.”

Ditanya tentang insentif pemerintah terhadap startup cleantech, responden lebih menyoroti kebutuhan pendanaan. Sementara, bagi inkubator, akselerator, dan venture builder, insentif seperti kerangka regulasi yang mendukung cleantech, akses pendanaan untuk R&D, kemudahan memperoleh izin usaha dan sertifikasi, akan memberikan dorongan motivasi lebih.

Demikian juga insentif pengurangan pajak bagi perusahaan yang mendukung adopsi energi bersih, akses ke pasar, hingga peluang pengadaan publik untuk produk dan layanan buatan startup cleantech.

Kendati begitu, laporan ini menemukan sebagian besar startup cleantech yang disurvei justru belum memanfaatkan insentif yang diberikan pemerintah. Hal ini dikarenakan kurangnya awareness dan gaung informasi terkait insentif kepada pelaku startup, serta kompleksnya proses pengajuan dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi.

Temuan dari survei ini mengindikasikan kurangnya engagement antara pelaku startup cleantech dan pemerintah. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terbatasanya pengetahuan dan pemahaman pemerintah tentang ekosistem startup cleantech.

Rekomendasi

Dalam rangkuman akhir, laporan ini memaparkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi berbagai tantangan di sektor cleantech. DailySocial.id merangkum sebagian di antaranya:

Kendala pendanaan

  • Pendanaan dalam bentuk dana hibah sering kali harus melalui acara seremonial dan tidak mendukung upaya startup meningkatkan skala bisnisnya.
  • VC milik negara belum memiliki opsi investasi ekuitas untuk startup cleantech.
  • Energy fund yang baru dibentuk tidak memiliki komitmen dan implementasi pendanaan yang jelas.
  • Startup cleantech sulit berinovasi karena terbatasnya akses ke dana R&D pemerintah.
  • Rendahnya kolaborasi antara startup cleantech dan universitas untuk R&D.

Rekomendasi

  • Program hibah disesuaikan dengan tahapan pengembangan startup, dan memastikan dana hibah ini berkontribusi pada pertumbuhan startup dengan menekankan pada publikasi intensif.
  • Mengkatalisasi investasi dari pihak swasta ke startup cleantech lewat dana pemerintah dan VC milik negara.
  • Menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage)
  • Pemerintah daerah perlu memberikan dukungan finansial kepada startup cleantech.

Kendala kebijakan

  • Kualitas regulasi rendah dan penegakan hukum di sektor energi masih lemah
  • Persyaratan modal minimum terbilangtinggi untuk mendirikan VC dengan struktur dana ventura yang tidak fleksibel.

Rekomendasi

  • Memperkuat kebijakan energi dan penegakannya untuk mendukung permintaan terhadap solusi cleantech.
  • Mengurangi persyaratan modal minimum, misalnya mengadopsi model corporate venture capital (CVC) yang memungkinkan struktur investasi lebih fleksibel.

AC Ventures dan BCG Rilis Laporan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Indonesia

Salah satu peluang yang paling menjanjikan untuk green growth di Indonesia adalah renewable energy. Indonesia memiliki sumber daya renewable energy yang melimpah, termasuk energi surya, angin, hidro, dan panas bumi. Dengan berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi renewable energy, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan beralih ke sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Hal ini tidak hanya membantu mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan peluang kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan yang dirilis AC Ventures dan Boston Consulting Group mengenai Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Derkabonisasi di Indonesia terungkap, peluang yang besar bagi Indonesia dalam strategi, pengurangan gas rumah kaca, dan penyeimbangan emisi, dengan meminta partisipasi luas dari perusahaan, pemangku kepentingan pemerintah, dan investor dalam transisi ekonomi yang kritis.

Tiga kategori penentu keberhasilan solusi Green Growth

Green growth adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan. Untuk mencapai ambisi Indonesia dalam memenuhi net zero emission maksimal pada 2060, diperkirakan pengeluaran publik dan swasta di negara ini akan mencapai $350 miliar per tahun pada 2030.

Dalam laporan tersebut terungkap, terdapat tiga kunci sukses agar dekarbonisasi bisa berjalan sukses di Indonesia. Di antaranya adalah solusi energi, solusi pengelolaan limbah dan yang terakhir adalah solusi agrikultur.

Khusus untuk solusi energi selain electric vehicle (EV), platform seperti Xurya dinilai mampu membantu Indonesia melancarkan gerakan dekarbonisasi.

Meskipun masih ada banyak tantangan dalam pengelolaan limbah di Indonesia, upaya yang dilakukan saat ini menunjukkan komitmen pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Beberapa startup yang telah menghadirkan solusi pengelolaan limbah di antaranya adalah Waste4Change dan Surplus.

Sementara itu solusi agrikultur di Indonesia dinilai masih sulit untuk ditangani secara menyeluruh. Namun demikian, fungsinya menjadi penting karena mendukung ekonomi untuk mengadopsi dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Kompleksitas sisi teknik agrikultur itu sendiri hingga perubahan tanaman dan sistem makanan merupakan fundamental dari pertanian yang harus diselesaikan lebih lanjut. Perusahaan yang mencoba menghadirkan solusi untuk agrikultur di Indonesia di antaranya adalah, iGrow (diakuisisi LinkAja tahun 2021), Aruna dan Neurafarm.

Platform dan organisasi pendukung ekosistem startup berdampak

Selain startup yang menyasar kepada lingkungan dan renewable energy, platform seperti Ecoxyztem yang merupakan venture builder khusus untuk climate tech dan startup berdampak di Indonesia, dinilai juga dapat membantu pemerintah melancarkan kampanye peduli lingkungan. Meskipun belum banyak investor yang tertarik untuk memberikan dana segar kepada startup berdampak, namun saat ini mulai banyak platform seperti Ecoxyztem dan lembaga lainnya yang tertarik untuk berinvestasi di startup berdampak Indonesia.

“Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk beralih ke ekonomi hijau. Perubahan ini merupakan peluang bagi startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan investor untuk memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim,” kata Principal – Head of ESG AC Ventures Lauren Blasco.

Kekurangan talenta digital

Meskipun saat ini sudah mulai banyak perusahaan yang menghadirkan solusi dengan target dan layanan yang berbeda untuk mendukung green growth, kebanyakan dari mereka masih kesulitan untuk mencari talenta yang relevan. Dalam laporan tersebut terungkap, Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan terkait akses terhadap talenta yang tersedia dan sesuai.

Laporan RGF pada tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 50% dari para pengusaha Indonesia di 10 sektor menghadapi kekurangan talenta yang signifikan. Kekurangan talenta ini terutama dirasakan di ruang startup, dengan pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia bakal membutuhkan sembilan juta talenta di bidang teknologi pada tahun 2030 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat. Ini mewakili peningkatan 10x lipat dari sekitar 900 ribu pekerja talenta digital yang berada di Indonesia pada tahun 2020.

Menurut laporan tersebut Indonesia dapat melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini dengan lebih baik menarik pekerja asing berbakat, namun masih ada hambatan-hambatan yang signifikan termasuk hambatan bahasa, proses aplikasi yang kompleks dan restriktif, serta upaya untuk meningkatkan kemampuan talenta yang ada saat ini, atau menarik kembali talenta Indonesia yang tersebar di luar negeri. Untuk jangka pendek, para pemangku kepentingan di sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk memahami cara menarik, melatih, dan mempertahankan talenta terbaik saat ini.

Pengembangan EV di Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan diproyeksi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi menjadi pertumbuhan ekonomi hijau. Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan. Laporan tersebut memperkirakan nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar $400 miliar yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.

Menurut Managing Director dan Partner BCG Singapura Marc Schmidt, khusus untuk Indonesia solusi energi, pengelolaan limbah hingga agrikultur memainkan peranan penting, namun demikian jika pemerintah Indonesia bisa memprioritaskan solusi yang ingin dihadirkan lebih dulu, solusi energi menjadi opsi yang ideal.

“Dengan fokus kepada solusi energi memberikan kesempatan kepada EV yang memiliki low emission zero emission untuk berkembang menjadi sistemik untuk diselesaikan. Yang nantinya bukan hanya fokus kepada energy generation namun juga transmission yang membutuhkan infrstruktur untuk semua.”

Saat ini tercatat sudah banyak perusahaan lokal hingga asing yang menghadirkan motor listrik serta produk pendukungnya di Indonesia. Di antaranya ION Mobility yang berbasis di Singapura, Tingkok dan Indonesia. Sementara untuk produk lokal di antaranya adalah Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

Salah satu perusahaan lokal yang sedang merintis solusi di sektor EV adalah MAKA Motors. Dalam pendekatan alternatif dibandingkan dengan kebanyakan pemain otomotif Indonesia yang fokus pada perakitan dan penjualan/layanan purna jual, Maka Motors mengadopsi rantai nilai terintegrasi secara vertikal melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan/layanan purna jual.

Model terintegrasi secara vertikal ini diklaim memungkinkan mereka untuk merancang dan memproduksi produk kendaraan listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia dan memungkinkan perusahaan memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan produk whitelabel dengan spesifikasi serupa (ukuran baterai, daya motor) karena struktur biaya yang lebih efisien.

“Kami percaya bahwa kendaraan listrik merupakan kunci perjalanan dekarbonisasi Indonesia, membuka jalan menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Untuk mengajak konsumen Indonesia beralih dari kendaraan bensin mereka, para pemain kendaraan listrik harus menyediakan total biaya kepemilikan yang lebih rendah tanpa mengorbankan apa yang sudah diperoleh konsumen dari kendaraan bensin saat ini yaitu, jarak tempuh, daya, kegunaan, daya tahan, dan keterjangkauan,” kata Founder & CEO Maka Motors Raditya Wibowo.

Astranauts Conference 2023 dari Astra, Kupas ChatGPT hingga Topik Hangat Terkini

Astranauts Conference 2023 akan digelar pada Kamis, 8 Juni 2023 dengan mengangkat tema  “Building A Sustainable Future Through Technology”. Acara konferensi ini merupakan acara pertama di tahun ini yang juga merupakan bagian dari kompetisi digital yang digelar Astra.

Melansir dari artikel DailySocial.id, Chief of Group Digital Strategy Astra, Paul Soegianto mengungkapkan, sustainability menjadi fokus utama Astranauts 2023 karena inovasi digital dibutuhkan untuk bisa menjawab tantangan bisnis dan teknologi yang dapat berkontribusi pada isu tersebut, yakni tentang bagaimana bisa menghasilkan inovasi berkelanjutan yang bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Selain itu, tema ini juga sejalan dengan cita-cita Astra dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.

Astranauts Conference 2023 sendiri akan berlangsung satu hari penuh, mulai dari pukul 09.00 hingga 19.00 WIB di Catur Dharma Hall Menara Astra, Jakarta. Lebih dari 20 tech leader, pemimpin industri, dan pembuat kebijakan akan berbagi insight menarik di bidangnya masing-masing. Berikut daftar sesi dengan topik yang disajikan beserta para pembicaranya:

Sustainability – Technology to Advance Sustainability Goals

Google APAC Sustainability Committee, Clement Parazon

CEO & Co-Founder Rekosistem

EduTech – Building a Sustainable Edutech Ecosystem in Indonesia

Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi, Kemendikbudristek RI, Dr. Muhamad Hasan Chabibie, S.T., M.Si

Jourdan Kamal, Co-Founder Eduqat

Emerging Tech – How ChatGPT Harnesses ABCD-X Technologies

CEO & CTO GDP Labs – CTO GDP Venture On Lee

Healthtech – Transforming Healthcare: Technology to Democratize Access to Healthcare

Setiaji, Chief of Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI

Ponangsera, Head of Digital Product Management & Business PT Bio Farma (Persero)

Jonathan Sudharta, CEO & Co-Founder Halodoc

Agritech – Improving Sustainable Agribusiness through Technology

Rifan Kurnia, VP of Technology & Data at eFishery

Tubagus Syailendra Wangsadisastra, Co-Founder & CEO Chickin

Liris Maduningtya, Co-Founder & CEO JALA Indonesia

Mobility – Transit-Oriented Development: Building a Sustainable Mobility Infrastructure for the Future

Ir. Mohamad Risal Wasal, ATD., MM., IPM, Direktur Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan RI

Adrianto Andre Djokosoetono, Vice President Director PT Blue Bird Tbk 

Farchad H. Mahfud, Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta (Perseroda)

Fintech – Open Banking and Financial Inclusion in Indonesia: Bridging the Gap

Chiragh Kirpalani, Co-Founder & COO Ayoconnect

Yattha Saputra, Chief Finance Officer DANA

Logistics – Future of Logistics: Reducing Waste and Enhancing Sustainability

Zaldy Ilham Masita, COO Paxel 

Wilson Yanaprasetya, President & Co-Founder Dagangan 

Lexy Ardhyan, VP Ecommerce Sales at Shipper

Media & Entertainment – Virtual Worlds and Beyond The Future of Immersive Entertainment

Manoj Punjabi, Founder & CEO MD Entertainment

Lesley Simpson, Country Head WeTV and iflix Indonesia

Eliawati Flavia, Client Partner at Meta Indonesia

Niken Sasmaya, Chief Business Officer NOICE 

Untuk mendaftarkan diri Anda ke Astranaut Conference 2023, klik link berikut ini

Seperti disebutkan sebelumnya, Astranauts Conference 2023 sendiri merupakan bagian dari Astranauts, sebuah kompetisi untuk pengembangan inovasi di bidang digital dan teknologi bagi kalangan startup dan mahasiswa di Indonesia. Adapun target pesertanya adalah pelaku startup dan mahasiswa aktif dengan jenjang diploma, sarjana, atau magister.

Ada perbedaan persyaratan di antara kedua kategori tersebut. Peserta dari kategori startup harus sudah memiliki Minimum Viable Product (MVP), product traction, serta diperbolehkan pernah menerima pendanaan eksternal dari investor, tetapi tidak melebihi $10 juta (setara nyaris dengan Rp150 miliar).

Sementara, peserta dari mahasiswa dari D3, S1, dan S2, diperbolehkan bekerja secara individu ataupun grup, dan bisa mengajukan ide yang belum diimplementasikan dan belum dikomersialkan.

Para finalis akan mempresentasikan startup atau ide bisnis mereka dalam sesi Demo Day, dan diakhiri dengan Awarding Astranauts 2023 pada 7 Juni 2023 dan dilanjutkan dengan Astranauts Conference pada 8 Juni 2023.

Para pemenang Astranauts 2023 baik dari kategori startup dan mahasiswa bakal memperoleh hadiah uang tunai senilai total ratusan juta rupiah. Selain itu, para pemenang pun akan berkesempatan untuk berkolaborasi dan bergabung menjadi bagian dari komunitas startup Astra (Astra Startup Community).

 

Pentingnya Manajemen Talenta di Tengah Gejolak Industri Teknologi

Industri teknologi Indonesia sedang mengalami gejolak, terlihat dari pemberitaan layoff oleh sejumlah startup. Hal ini sering dikaitkan dengan proyeksi resesi global yang akan terjadi di tahun 2023. Perusahaan gencar melakukan efisiensi dan restrukturisasi demi menghindari dampak yang lebih besar serta memperpanjang runway.

Dalam tindak efisiensi ini, karyawan kerap menjadi salah satu yang paling terdampak. Sementara itu, people atau karyawan  sendiri merupakan aset,  bagian esensial dari operasional bisnis dari sebuah perusahaan. Manajemen karyawan yang baik dapat menentukan bagaimana karier perusahaan ke depannya.

Pada awal bulan ini, Alpha JWC Ventures, bekerja sama dengan Kearney dan GRIT, meluncurkan sebuah laporan bertajuk “ASEAN Growth & Scale Talent Playbook”. Survei dilakukan selama Agustus hingga September 2022, melibatkan lebih dari 600 karyawan di 34 perusahaan dari Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina.

Laporan ini bertujuan untuk mengedukasi dan membantu para founder atau manajemen startup digital dalam menarik, mengelola, dan mengembangkan sumber daya manusia secara efektif dan berkelanjutan. Dengan persaingan yang ketat, pergeseran mindset, serta tantangan ekonomi yang berlangsung, penting bagi para pemangku kepentingan untuk memahami lanskap SDM ini.

Salah satu temuan yang menarik dari riset ini adalah, 9 dari 10 perusahaan teknologi mengalami kesulitan dalam merekrut karyawan berkualitas terutama yang memiliki kemampuan teknis dan non-teknis. Sebaliknya, 91% karyawan mengaku  terbuka untuk meninggalkan perusahaan mereka bila ada kesempatan baru.

Tantangan yang dihadapi

Laporan ini juga memaparkan beberapa alasan karyawan ingin meninggalkan perusahaan untuk mencari kesempatan baru. Sebanyak 32% responden mengungkapkan bahwa kompensasi, termasuk gaji dan benefit sangat mempengaruhi keputusan mereka. Disebutkan bahwa rata-rata karyawan mempertimbangkan pergi demi 15%-30% kenaikan gaji.

Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi perusahaan rintisan, utamanya startup berskala kecil, jika harus bersaing dengan giant tech companies yang sudah melakukan ekspansi global dan menawarkan kompensasi yang sangat bersaing. Maka dari itu, perusahaan harus bisa menarik minat para talenta dengan hal lain, seperti kultur perusahaan.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Sebanyak 25% responden mempertimbangkan keluar dari perusahaan karena ketidaksamaan visi dan ketidakcocokan budaya. Maka dari itu, kultur atau budaya kerja dalam sebuah perusahaan menjadi esensial ketika dikaitkan dengan loyalitas karyawannya. Di sisi lain, fleksibilitas juga menjadi salah satu aspek yang juga memengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau pergi.

Selain itu, 24% responden merasa adanya kebutuhan akan kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam sebuah perusahaan. Tanpa hal itu, mereka akan merasa stagnan atau tidak berkembang, yang mendorong mereka untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar untuk mendukung pengembangan kemampuan mereka sendiri.

Manajemen talenta yang ideal

ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook ini diluncurkan sebagai buku panduan untuk membantu para startup dalam menghadapi isu di bidang manajemen tenaga kerja. Dalam laporan ini juga disebutkan enam pilar penting yang dapat digunakan perusahaan untuk menarik, membangun, dan mempertahankan tenaga kerja digital.

Sumber: ASEAN’s Growth & Scale Talent Playbook

Partner & President Director Kearney Shirley Santoso mengungkapkan, “Mengembangkan sumber daya manusia yang solid adalah salah satu prioritas terpenting dan kunci utama bagi perusahaan agar visi digital mereka dapat berhasil. Tentunya hal ini baru dapat dicapai dengan adanya usaha bersama antara pimpinan perusahaan dan jajaran lainnya dalam upaya yang berkelanjutan, juga mencakup seluruh tingkat organisasi.”

Turut hadir dalam diskusi panel peluncuran laporan ini, Co-founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan. Ia mengungkapkan bahwa value perusahaan adalah sesuatu yang esensial untuk menjamin keberlangsungan bisnis. Di Bobobox sendiri, ada tiga value yang selalu dipegang erat, yaitu attitude, obsessive curiousity, serta overcommunicate. Menurutnya, tiga nilai ini  dapat menciptakan resistensi perusahaan terhadap berbagai pengaruh negatif yang mengancam.

Co-founder dan CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut ikut membagikan opininya. Ia mengaku masih berjibaku untuk bisa mendapatkan talenta berkualitas, bahkan ia harus merekrut teman atau relasi yang sudah dipercaya untuk membantu di masa awal perusahaan.

Tidak mudah menemukan orang yang memiliki visi yang sama dengan perusahaan yang menjual produk bercita rasa ‘sehat’ dengan harga yang relatif lebih mahal. Hingga kini, perusahaan telah memutuskan untuk mempertahankan jumlah yang relatif kecil sampai beberapa putaran pendanaan ke depan.

Dengan total karyawan sekitar 250 orang, strategi ini terbukti menguntungkan baik bagi perusahaan maupun karyawan. “Kami ingin menjaga agar jumlah kami tetap kecil sehingga setiap keuntungan atau apapun yang dihasilkan perusahaan, semuanya kembali ke sejumlah kecil orang dan kami dapat memberi [karyawan] lebih baik,” ujarnya.

Tips Membangun Model Bisnis Berkelanjutan dari Tanihub

Ketika seorang founder membangun startup, pastinya ia ingin membentuk bisnis yang bertahan lama. Untuk mencapai hal itu, diperlukan model bisnis yang berkelanjutan. Namun, pada prosesnya ada banyak sekali faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian mempengaruhi. Khususnya dalam industri teknologi tanah air yang memiliki dinamika tinggi.

Dalam sesi DSLaunchpad ULTRA, Co-Founder dan CEO Tanihub Pamitra Wineka berbagi pengalamannya ketika proses awal mula pembentukan TaniHub hingga sampai pada model bisnis yang dijalankan saat ini.

Berawal dari sebuah misi sosial untuk membantu petani melariskan dagangan, TaniHub kini telah menjadi agregator untuk petani; dan kini telah terhubung dengan ribuan pengguna.

Berangkat dari pain points

Lima tahun yang lalu, sosok Pamitra yang lebih akrab dipanggil Eka ini memulai proyek sosial bersama para petani. Menurutnya, sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Ia mulai dengan membantu petani untuk bisa melariskan hasil panen. Dari situ ia menemukan beberapa pain points, yaitu kurangnya edukasi petani terkait produksi serta akses pada permodalan.

“Banyak petani Indonesia yang masih menanam tanpa memiliki perhitungan ke depan untuk hasil produksinya nanti akan di jual ke mana. Akibatnya, mereka kurang dipercaya untuk akses pinjaman modal. Saya lihat teknologi bisa membantu menyelesaikan masalah ini.” ujarnya.

Selain itu, Eka juga menyinggung soal industri agrikultur di Indonesia yang masih fragmented, ada banyak pemain kecil yang menjual hasil produksi yang serupa. Lalu muncul ide sebuah marketplace yang mempertemukan petani dengan pembeli. Dalam hal ini, tantangan datang dari beberapa sektor yang saat itu belum matang dan waktunya yang kurang tepat.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, perusahaan memutuskan untuk beralih konsep menjadi agregator, membuat pembagian, menyediakan gudang dan inventorinya. Model bisnis ini terbilang membutuhkan modal yang besar atau asset-heavy, namun Eka yakin selama bisa mencetak trafik dan revenue, maka bisnis akan terus berjalan. “Terkadang, beberapa model bisnis memang harus asset-heavy menjelang pasar semakin matang dan pengguna lebih teredukasi,” tambahnya.

Business model canvas

Dalam merencanakan model bisnis diperlukan strategi, manajemen, maupun sistem yang mempermudah orang-orang di dalamnya untuk bekerja secara efektif dan sesuai tujuan yang dimiliki perusahaan. Satu hal yang penting untuk diterapkan adalah business model canvas, sebuah konsep yang mengandalkan gambar-gambar ide sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama dan riil terhadap tipe-tipe konsumen mereka, pengeluaran biaya, cara kerja perusahaan dan sebagainya.

Sumber: Global Leadership World

Seperti yang sebelumnya disebutkan, setiap solusi yang dibuat harus bisa menyelesaikan pain points yang ada di masyarakat. Sementara demand dari pasar semakin bertumbuh, dari situ akan lebih mudah untuk menentukan strategi untuk melancarkan revenue. Maka dari itu, penting sekali untuk mulai observasi kebutuhan pasar sebelum mulai memetakan model bisnis. “Kita harus bisa menjadi painkiller instead of vitamins,” sebut Eka.

Terkait sumber revenue, ia juga menyampaikan bahwa dalam menentukan strategi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah penentuan harga, strategi mengambil komisi dari marked up harga sudah umum terjadi. Namun, jangan sampai strategi ini malah membuat produk tidak kompetitif lalu gagal. Perusahaan harus bisa membentuk satu kesatuan, sehingga disparitas harga pun bisa lebih pendek.

Tinjauan yang berkelanjutan

Belajar dari perjalanan bisnis TaniHub, model bisnis bisa berubah sewaktu-waktu atau sering disebut pivot. Selalu ada faktor eksternal bahkan internal yang mempengaruhi operasional bisnis secara keseluruhan. Eka sendiri mengakui bahwa perusahaannya punya tim khusus untuk testing model bisnis yang sudah ada secara regular.

Ada beberapa cara untuk mengetahui bahwa sebuah bisnis model masih efektif atau tidak di dalam pasar. Ketika produk diluncurkan namun tidak ada antusiasme dari pasar menjadi salah satu yang paling sering terjadi pada startup tahap awal. Maka dari itu, harus dilakukan penyesuaian. Dengan dinamika yang tinggi di dunia startup, hal ini harus bisa dilakukan dengan cepat untuk menghindari konsumsi waktu dan biaya yang tidak efisien.

Sebuah perusahaan seharusnya bukan hanya mengenai produk, melainkan bagaimana cara mengeksekusi dan melakukan kegiatan pemasaran yang berarti. Seorang founder juga harus bisa berpikir secara realistis mengenai distribusi, promosi produk, dan komunikasi.

Vanessa Hendriadi dari GoWork Mengikuti Passion untuk Menjembatani Masyarakat

Vanessa Hendriadi memiliki kerinduan untuk melakukan hal yang lebih berdampak dalam bisnis real estate keluarganya, maka ia mulai menginisiasi salah satu coworking space ternama di Indonesia, GoWork.

Indonesia adalah tempat bernaung lebih dari 88 juta populasi millennial. Negara ini diprediksi untuk menjadi ekonomi terbesar ke-delapan di dunia pada tahun 2020, berdasarkan penelitian perusahaan konsultan Deloitte. Kota-kota besar di sini adalah pasar yang sangat ideal untuk bisnis co-working space.

Setelah lulus dari University of Southern California pada tahun 2002, Vanessa mengawali portfolio profesionalnya di tahun 2004 dengan bekerja sebagai Direktur Marketing di PT Atlantic Biruaya, sebuah perusahaan air mineral dibawah Mikatasa Group milik keluarganya, yang juga melayani bisnis jual-beli, minuman, bahan-bahan kimia, dan lainnya. Pada akhirnya, ia dipromosikan menjadi Direktur Operasional di holding grup pada tahun 2009. serta menerapkan perubahan dalam rangka perampingan bisnis.

Pada Juni 2013, ia memberanikan diri lalu membangun sistem perangkat lunak untuk manajemen properti yang disebut Gaea. Vanessa, bagaimanapun, belum merasa puas dengan karir profesionalnya, karena ia memiliki keinginan untuk membangun bisnis yang berkaitan dengan hobi dan passion. “Saya menyukai makanan dan aktivitas yoga, dan saya pun menyadari bahwa semua industri tersebut akan berujung pada satu tujuan — yaitu membangun komunitas. Jadi, saya akhirnya memilih untuk membangun ruang kerja bersama, yang menggabungkan pengalaman profesional saya dalam manajemen properti dan hasrat saya untuk menghubungkan orang-orang,” jelasnya kepada KrASIA dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Pada tahun 2016, dengan modal dari keluarga, teman, dan grup Ismaya, perusahaan yang membawahi rantai F&B dan perhotelan populer di Indonesia, Vanessa mendirikan perusahaan co-working space pertamanya, Rework, yang mengintegrasikan beberapa coworking space dengan toko kopi yang dijalankan oleh Ismaya grup di beberapa lokasi strategis di Jakarta.

Sebagai pendiri solo, ia membangun Rework dari awal, dengan beban kerja yang berat. Padahal, pada waktu itu putra keduanya baru berusia sembilan bulan, jadi ia juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. “Rasanya kepala seperti mau pecah, tidak peduli sebanyak apa yang sudah saya lakukan, masih akan ada banyak hal yang menanti di depan. Hal ini sangat gila. Saya tidak ingin terlalu khawatir, tetapi saya harus. Kerap kali saya bertanya-tanya, pantaskah saya menjalankan startup, tetapi juga sebagai wanita dan seorang ibu, saya harus membangun akar keluarga yang kuat. Untungnya, pasangan dan keluarga saya sangat mendukung dan tidak pernah menghakimi saya,” ungkap Vanessa.

Pada tahun 2017, ia menghadiri grand opening co-working startup GoWork, di mana ia bertemu dengan co-founder perusahaan, Richard Lim dan Donny Tandianus. Hendriadi kembali terhubung dengan Lim, yang merupakan teman lama. Mereka bertiga, tanpa basa basi menyadari bahwa mereka memiliki tujuan yang sama: untuk membangun coworking space terbesar di Indonesia. Hal ini terjadi tidak lama sebelum keduanya mengeksplorasi peluang kemitraan.

“Ketika saya memulai Rework, saya tidak melihat seberapa besar hal itu sampai saya terjun ke bisnis. Saya akhirnya memutuskan bahwa saya harus menemukan pasangan, karena saya tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Setelah kami berbagi beberapa diskusi dan visi kami untuk memberdayakan banyak perusahaan dan menjadi pemain yang dominan, kami bergabung pada awal 2018,” ujar Vanessa.

Hendriadi’s Rework bersama dengan Lim dan Tandianus ‘GoWork bergabung menjadi sebuah perusahaan baru bernama Go-Rework, yang awalnya memiliki lima lokasi dengan total 3.500 meter persegi di Jakarta. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi GoWork pada pertengahan 2018 karena alasan pemasaran.

Pada Oktober 2018, Go-Rework menutup putaran Seri A dan mengumpulkan USD 9,9 juta dari Mitra Gobi dan The Paradise Group, dengan partisipasi dari Mahanusa Capital dan dana “Durian” kedua dari 500 Startups. GoWork melipatgandakan jejaknya pada tahun 2019, menurut Richard Lim selaku CFO.

Hari ini, GoWork berhasil mengoperasikan 18 cabang yang mencakup lebih dari 35.000 meter persegi, dengan sebagian besar berlokasi di ibukota dengan satu cabang di Bali. Perusahaan juga mengumumkan rencana untuk meluncurkan lokasi baru di Surabaya dan beberapa kota di Indonesia pada pertengahan 2020, memperluas jejaknya menjadi 65.000 meter persegi. GoWork hanya beroperasi di Indonesia dan tidak memiliki rencana untuk ekspansi internasional.

Menurut Hendriadi, lokasi GoWork tetap mempertimbangan tingkat hunian yang tinggi, biasanya di kisaran 90-100%.

GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork
GoWork di Senayan City. Dokumentasi oleh GoWork

Untuk menjadi pemain dominan di Indonesia, Hendriadi, Lim, dan Tandianus menetapkan strategi yang berfokus pada pelanggan premium yang bersedia membayar tarif berlangganan GoWork yang lebih tinggi. Karenanya, mereka mengoperasikan GoWork di tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan atau gedung perkantoran, yang mudah dijangkau dengan menggunakan transportasi umum. “Hampir 70% anggota mengunjungi lebih dari satu lokasi,” kata Hendriadi. Ia juga mengklaim bahwa pelanggan “dapat memperoleh lebih banyak kredibilitas dengan bekerja di coworking space premium milik GoWork.”

“Ada banyak lokasi coworking space di Indonesia, seperti CoHive atau Outpost, tetapi ada beberapa pemain yang menargetkan kelas premium, yang kami pikir merupakan pasar yang berpotensi besar. Melalui segmen ini, kami dapat memperoleh lebih banyak klien, tidak hanya dari startup, tetapi juga dari perusahaan konvensional serta multinasional,” tambahnya.

Persaingan semakin ketat. Pada 2017, WeWork mengakuisisi Spacemob, sebuah coworking space yang berbasis di Singapura, lalu memulai bisnis di Indonesia dengan mendirikan cabang di Jakarta pada kuartal ketiga 2018. Tidak berapa lama, WeWork membuka enam lokasi di ibukota Indonesia.

Pelajaran yang di ambil dari kasus WeWork: Monetisasi jadi kunci sukses jangka panjang

Meskipun GoWork dan WeWork memposisikan diri sebagai ruang kerja bersama premium, Vanessa mengklaim bahwa GoWork telah mencapai profit pada pertengahan 2019. Namun, dia menolak untuk mengungkapkan lebih detail. Terdapat sekitar 5.000 pelanggan, termasuk karyawan perusahaan dan pekerja lepas. Biaya bulanan berkisar USD 150-200, tergantung pada layanan yang diperlukan.

Semua pendiri GoWork memiliki hubungan yang kuat dan dekat dengan pengembang properti, kata Hendriadi. Ini membantu perusahaan mencari ruang yang melayani tujuan mereka.

“Kami membahas bagaimana GoWork dapat meningkatkan trafik pengunjung ke pusat perbelanjaan atau properti lain yang dijalankan oleh pengembang ini. Ketika pengembang melihat konsep lalu trafik yang datang melalui masing-masing lokasi kami, mereka sebagian besar ingin mengamankan kemitraan, bahkan berinvestasi di GoWork, ”katanya. Sejauh ini, perusahaan memiliki investornya di antaranya Sinar Mas Land, Indonesia Paradise Property, Agung Podomoro Land, Lippo Group, dan MNC Land.

Saat ini, GoWork memiliki tiga fokus utama: menyediakan ruang kerja bersama yang fleksibel dengan interior yang menarik untuk memfasilitasi interaksi klien; mengorganisir acara atau lokakarya, di mana anggota dapat terlibat satu sama lain; dan membangun keterlibatan pengguna melalui aplikasi seluler.

Saat ini, klien GoWork terdiri dari perusahaan besar dan startup yang sudah matang, seperti perusahaan milik pemerintah PT Pegadaian, Gojek, dan Oyo.

“Kami menjadikan ‘sustainabilitas’ sebagai prioritas. Jika kita melihat lanskap startup saat ini, sebagian besar perusahaan kebanyajan fokus pada pertumbuhan dilanjutkan dengan membakar uang. Kami tidak percaya bahwa itu perlu, “kata Hendriadi.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial