E-Materai dan E-Stamp, Inovasi TekenAja Dukung Penerapan Tanda Tangan Elektronik

Di era digitalisasi ini, tanda tangan digital kian digandrungi karena dinilai dapat menghemat waktu dan biaya sebab proses penandatanganannya dapat dilakukan dari mana pun dan kapan pun. TekenAja menjadi salah satu pemain tanda tangan digital di Indonesia terus berinovasi mengembangkan solusi di luar tanda tangan digital.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO TekenAja Alwin J. Kiemas menjelaskan, setelah lebih dari satu tahun beroperasi, saat ini platformnya telah mengembangkan E-Materai yang terintegrasi dengan API dan E-Stamp untuk melengkapi kebutuhan dalam melakukan transaksi bisnis. Keduanya melengkapi solusi tanda tangan digital yang legal yang sudah hadir.

E-Materai dan E-Stamp

Sebenarnya, kebutuhan tersebut muncul dipicu karena adanya Covid-19 yang membuat pemerintah mengikuti fenomena transformasi digital dengan memproduksi e-materai. Materai kerap digunakan untuk dokumen-dokumen karena dapat memberi kekuatan hukum dan dianggap sebagai dokumen penting.

Sementara, stempel biasanya digunakan untuk melengkapi bubuhan tanda tangan pada bagian penutup dokumen atau berkas resmi. Penggunaan stempel untuk mengidentifikasi suatu badan usaha maupun lembaga non-profit berperan penting dalam memvalidasi suatu dokumen atau berkas tertentu. Stempel berkembang dari waktu ke waktu dalam hal bentuk maupun fitur-fitur yang dimiliki.

Keduanya, memiliki dasar hukum yang absah. Misalnya, untuk e-materai tertera dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Bea Materai yang menyebutkan, dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetak, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.

Didukung dengan UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) pada Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Sehingga, kedudukan dokumen elektronik disamakan dengan dokumen kertas. Hal tersebut membuat perlunya equal treatment antara dokumen kertas dengan elektronik.

Dokumen yang dimaksud di antaranya adalah surat perjanjian; surat pernyataan; akta notaris; surat berharga; dokumen transaksi surat berharga; dokumen lelang; dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp5 juta; dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

“Kami merupakan penyedia E-Materai pertama dan satu-satunya yang terintegrasi dengan API. Kami juga sudah resmi tercatat sebagai Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di OJK pada klaster Regtech E-Sign. TekenAja memberikan solusi yang menggantikan stempel konvensional sebagai pelengkap tanda tangan digital,” ucap Alwin.

Dia melanjutkan, baik E-Materai dan E-Stamp yang diterbitkan TekenAja merupakan produk yang diterbitkan oleh PSrE (Penyelenggara Sertifikasi Elektronik) pertama dengan “Berinduk” di Indonesia yang memiliki kekuatan hukum. “Layanan kami memungkinkan pengguna untuk melakukan tanda tangan pada dokumen setelah ditandatangani oleh PSrE lain.”

Secara keseluruhan, perusahaan memiliki 12 fitur lain yang membuat proses transaksi jadi lebih praktis. Beberapa di antaranya, Bulk Signing yang memungkinkan pengguna untuk menandatangani 10 dokumen sekaligus; Self Registration yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan dan membagikan tautan kepada penandatanganan lain dan melakukan registrasi sendiri.

Berikutnya, Role Management untuk menetapkan, serta mengatur akses dokumen digital sesuai dengan peranan penandatanganan, dan terakhir, Registrasi WNA yang memungkinkan solusi TekenAja tidak hanya bisa digunakan oleh WNI (Warga Negara Indonesia) saja, tapi juga WNA (Warga Negara Asing). Sehingga, perusahaan multi-nasional tetap dapat mengimplementasikan tanda tangan digital dari TekenAja.

“Sehingga mempermudah proses layanan kita tidak terbatas pada kewarganegaraan seseorang dan memiliki payung hukum yang sah. Tentunya, dilengkapi dengan modul keamanan yang jelas dengan layanan on-premise pada tanda tangan digitalnya.”

Sayangnya, Alwin enggan merinci lebih lanjut mitra perusahaan yang telah memanfaatkan solusi dari perusahaannya. Dia hanya bilang, pihaknya telah menjalin kemitraan dengan berbagai lini bisnis, seperti perusahaan jasa keuangan dan sektor lainnya. Beberapa waktu lalu, perusahaan meresmikan kerja sama dengan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) untuk membantu para anggota AFPI dalam menyediakan infrastruktur dan ekosistem pengguna industri fintech yang sehat dan aman.

Progress perkembangan bisnis kami sangat pesat. Situasi pandemi ini juga menjadi keuntungan bagi kami karena hal tersebut mendorong digitalisasi pada banyak aspek bisnis. Tanda tangan elektronik membuat proses berbisnis menjadi lebih efisien, menghemat biaya dan lebih aman. Hal tersebut sangat membantu proses berbisnis sehingga dapat dilakukan dari mana pun dan kapan pun.”

Ikuti standarisasi global

Alwin melanjutkan, bahwa semua solusi dari TekenAja akan memberikan manfaat keamanan bagi proses transaksi pelaku Fintech dengan para konsumennya terutama dalam perjanjian peminjaman.

Tingkat autentikasi yang digunakan oleh TekenAja diakui di global sebagai autentikasi  level 4 – tolok ukur tingkat kepercayaan tertinggi yang menggunakan 2 FA (Factor Authentications). Yakni, what you have, yaitu data demografis dari database ID nasional (database e-KTP); dan what you are, yaitu diverifikasi menggunakan teknologi face recognition biometric.

Saat ini, TekenAja telah mengembangkan teknologi yang memanfaatkan data kependudukan DUKCAPIL untuk autentikasi biometrik dan verifikasi data demografis yang akurat, berguna dan bernilai tambah di berbagai sektor bisnis, baik swasta maupun pemerintah.

Menstandardisasi platformnya agar setara dengan standar global tak luput dari perhatian TekenAja demi memenuhi berbagai persyaratan demi memenuhi standarisasi tingkat internasional. Langkah tersebut tentunya perlu sejalan dengan edukasi di pasar, agar semakin familiar dengan tanda tangan digital karena punya keamanan, keabsahan, dan kekuatan hukum.

“Kami juga memastikan bahwa seluruh layanan kami telah sesuai dan mengikuti aturan PP No 71 Tahun 2019 agar sah secara hukum. Memenuhi e-KYC yang baik juga menjadi faktor penting untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.”

Alwin mengaku sejauh ini perusahaan belum membutuhkan penggalangan dana segar demi mengejar posisi dominan di pasar. Pihaknya cukup percaya diri dapat tumbuh melalui pertumbuhan organik. “Untuk saat ini raise funding belum terlalu dibutuhkan. Kami mengelola cash flow sendiri untuk segala perkembangan yang kami butuhkan,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

The Adoption and Regulation of Digital Signature in Indonesia

Digital signatures have started to get more popular amid the rapid increase of digital services, especially in the financial sector, such as in banking applications or fintech. Using this opportunity, startups engaged in providing digital signature platforms are starting to maximize their presence.

According to the Electronic Certification Center (BSrE), part of the National Cyber ​​and Crypto Agency (BSSN), a digital signature is an electronic signature used to prove the authenticity of the sender’s identity of a message or document. In addition, a digital signature is an electronic signature that has been certified. The main purpose of the digital signature is to rapidly secure documents or documents from unauthorized/authorized parties, including protecting sensitive data and powering trust.

Meanwhile, according to Law no. 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, an electronic signature is a signature consisting of electronic information that is embedded, associated, or related to other electronic information that is used as a verification and authentication tool.

Current regulation

In Indonesia, digital signature startups are involved with three regulators, including the Ministry of Communication and Information, the Financial Services Authority (OJK), and Bank Indonesia (BI).

First, at Kominfo, Electronic Certification Providers (PSrE) is supervised by the Information Security Directorate. PSrE was formed and operated in accordance with government regulation No. 82 of 2012.

Based on these regulations PSrE is divided into two:

  • Public PSrE; the operator of an electronic certificate/certification authority (CA) run by the Indonesian government under the Directorate of Information Security, Kominfo, which issues electronic certificates for Public PSrE,
  • Private PSrE; electronic certificate operators that have been recognized by the Parent PSrE to run digital certificate services by individuals, organizations, or electronic certificate administering business entities.

Moreover, under the auspices of the Ministry of Communication and Information, startups playing in this area are included as Private PSrE. In terms of players, the government also divides it into three recognition stages, as follows:

  • Registered; given after PSrE meets the requirements of the registration process set out in a Ministerial Regulation.
  • Certified; given after the certificate authority has met the requirements for the certification process set out in a Ministerial Regulation.
  • Parent; given after the PSrE has obtained a certified status and obtained a certificate as Parent PSrE; including the audit process.The following are the players who have registered as PSrE in Kominfo, data accessed as of 18 February 2021:

Gambar 1

Second, at OJK, the players are currently hosting Digital Financial Innovation (IKD). Based on POJK No. 13/POJK.02/2018, the IKD organizer is currently in the process of researching and deepening its business model through the regulatory sandbox mechanism until finally proceeding to the registration and licensing process which will be regulated later.

The specific cluster to facilitate digital signature startups is e-KYC. In this regulation, e-KYC is defined as a platform that helps provide identification and verification services for prospective customers using data population from Dukcapil. The service is integrated with various applications that require transaction processing – several platforms are also starting to place biometric verification as their main foundation.

Gambar 2

In this cluster, as data updated per August 2020 there are four registered players, as follows:

Gambar 3

Third, at BI, the players are under the regulatory sandbox in the Information Technology category. Specifically, BI regulations focus on the use of electronic signatures for submitting banking services such as credit cards. From the current digital signature players, there are three names that have obtained a license from BI, including: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), and PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

The development of digital signature startup

In Indonesia, PrivyID is a pioneering startup providing digital signature services. The Co-Founder and CEO Marshall Pribadi said to DailySocial that his services have been used by around 700 companies of various business scales — 6 of which are 4 national book banks, 3 telecommunications operators, 5 global insurance companies in Indonesia. In addition, PrivyID has also expanded the use of its services in other sectors such as education, energy, manufacturing, and recruitment agencies.

Furthermore, Marshall exemplifies several case studies on how the implementation of digital signatures can provide business efficiency. For instance, in Generali, the finalizing process of illustration form and a Life Insurance Request Letter, which previously took 3 to 5 days, can now be shortened to just 1 hour.

Another implementation is at Bank Mandiri, PrivyID supports the online account opening process and makes the process completely paper-free. At President University, digital signature services are used for the purposes of signing cooperation agreements, NDAs, etc .; including conducting API integration for the signing of diplomas and transcripts by the chancellor and dean.

PrivyID secured Series A2 funding at the end of 2019. The list of investors include Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
PrivyID’s Co-Founder & CEO, Marshall Pribadi / PrivyID

In addition, there are some similar players which already run its services. The latest one is TekenAja, a joint venture under GDP Venture. It is based in the same company as the developer of the ASLI RI biometric verification platform (which has been registered in the IKD OJK cluster).

TekenAja’s Co-Founder & COO, Rionald Soerjanto explained to DailySocial, one of the unique selling points that his company wanted to present was the biometric verification capability. He said this is relevant to avoid gaps in system security and operational standards that is possibly be tricked – for example by using fake identities or photos.

The TekenAja service is currently used by financial service institutions to keep transactions online and safe. Users can later use the mobile application to carry out the signature process. In terms of business, there are two implementation models, either through a special portal provided or through API integration into the application system. TekenAja consumers are corporations in the banking sector, multi-finance, fintech, and retail companies.

PrivyID and TekenAja have jointly established strategic cooperation with Dukcapil for the needs of data population verification.

Digital signature penetration in Indonesia

Marshall also said that before the pandemic, about 80% of its service users came from financial institutions. It is due to the OJK’s policy which requires fintech lending services to apply a digital signature in their system. When the pandemic started, many companies in other sectors started to use PrivyID, including those in the telecommunications, logistics, energy, FMCG, and health industries.

“During the pandemic, PrivyID recorded an increase in corporate subscribers of up to 405% year-on-year. [..] It is ensured that the use of digital signatures in Indonesia will continue to increase in the future,” he said.

Although it’s getting mature, users of signature services in Indonesia are not very significant in quantity. Marshall said this is due to the lack of public knowledge about the legality of digital signatures. In addition, there are still many who do not know the benefits of digital signatures that companies can get. Therefore, he thought, user education is still being the company’s priority.

TekenAja also agreed. The Covid-19 pandemic has accelerated various things to be contactless.  Soerjanto said digital signature services can be an effort to keep transactions fully online, thereby reducing the potential for the spread of viruses – for example, the direct visit for signatures on paper. In addition, to support WFH activities, offices can provide efficient HRD processes for signing permits, applying for leave, and others.

Regarding future challenges, Soerjanto also considers education of digital signatures to be the most important. “In my opinion, the challenge is only in terms of digital signatures. Actually, it is not new in Indonesia, the OJK has started suggesting from 2016. However, it still lacks comprehensive. Thanks to the pandemic, people know better as they are forced in order to make secure online transactions,” he added.

He is optimistic about the development of the digital signature ecosystem in Indonesia as the regulators are quite supportive. “The Indonesian government, both Dukcapil, and Kominfo is quite supportive in terms of implementing biometrics for digital signatures,” Soerjanto concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Regulasi dan Pemanfaatan Tanda Tangan Digital di Indonesia

Tanda tangan digital (digital signature) mulai banyak dibicarakan di tengah peningkatan pesat penggunaan layanan digital, terlebih di sektor keuangan seperti di aplikasi perbankan atau fintech. Dengan peluang itu, startup yang bergerak menyediakan platform tanda tangan digital mulai memaksimalkan kehadirannya.

Menurut definisi Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), bagian dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), tanda tangan digital adalah tanda tangan elektronik yang digunakan untuk membuktikan keaslian identitas si pengirim dari suatu pesan atau dokumen. Selain itu, tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang telah tersertifikasi. Tujuan utama tanda tangan digital adalah mengamankan pesat atau dokumen dari pihak yang tidak berhak/berwenang, termasuk di dalamnya melindungi data sensitif dan menguatkan kepercayaan.

Sementara menurut UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Regulasi yang menaungi

Di Indonesia, startup tanda tangan digital bisa bernaung di tiga regulator, meliputi Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI).

Pertama di Kominfo, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) diawasi oleh Direktorat Keamanan Informasi. PSrE dibentuk dan dijalankan sesuai dengan peraturan pemerintahan No. 82 Tahun 2012.

Berdasarkan peraturan tersebut PSrE dibagi menjadi dua:

  • PSrE Induk; penyelenggara sertifikat elektronik/certification authority (CA) yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di bawah Direktorat Keamanan Informasi, Kominfo yang menerbitkan sertifikat elektronik bagi PSrE Berinduk,
  • PSrE Berinduk; penyelenggara sertifikat elektronik yang telah diakui oleh PSrE Induk untuk menjalankan jasa sertifikat digital yang dilakukan baik oleh perseorangan, organisasi, maupun badan usaha penyelenggara sertifikat elektronik.

Sehingga dapat disimpulkan, dalam naungan Kominfo, para startup yang bermain di ranah tersebut masuk sebagai PSrE Berinduk. Untuk para pemain sendiri, pemerintah juga membaginya ke dalam tiga status pengakuan, sebagai berikut:

  • Terdaftar; diberikan setelah PSrE memenuhi persyaratan proses pendaftaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
  • Tersertifikasi; diberikan setelah otoritas sertifikat memenuhi persyaratan proses bersertifikat yang diatur dalam Peraturan Menteri.
  • Berinduk; diberikan setelah PSrE memperoleh status tersertifikasi dan mendapatkan sertifikat sebagai PSrE Berinduk; termasuk di dalamnya proses audit.

Berikut para pemain yang telah terdaftar sebagai PSrE di Kominfo, data diakses per 18 Februari 2021:

Gambar 1

Kedua di OJK, para pemain saat ini masih bernaung sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Didasarkan pada POJK No. 13/POJK.02/2018, penyelenggara IKD tersebut dimaksud sedang dalam proses penelitian dan pendalaman terhadap model bisnisnya melalui mekanisme regulatory sandbox sampai akhirnya nanti lanjut ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Klaster yang spesifik memfasilitasi startup tanda tangan digital adalah e-KYC. Dalam beleid tersebut e-KYC didefinisikan sebagai platform yang membantu menyediakan jasa identifikasi dan verifikasi yang dilakukan terhadap calon nasabah/nasabah dengan menggunakan data kependudukan yang bersumber dari Dukcapil. Layanan tersebut terintegrasi dengan berbagai aplikasi yang membutuhkan proses transaksi – beberapa platform juga mulai menempatkan verifikasi biometrik sebagai landasan utamanya.

Gambar 2

Di klaster ini, dari data yang diperbarui per Agustus 2020 terdapat empat permain yang telah tercatat, sebagai berikut:

Gambar 3

Ketiga di BI, para pemain bernaung di regulatory sandbox dalam kategori Teknologi Informasi. Secara spesifik aturan di BI memfokuskan pada pemanfaatan tanda tangan elektronik untuk pengajuan layanan perbankan seperti kartu kredit. Dari pemain tanda tangan digital yang beroperasi, ada tiga nama yang sudah mendapatkan status berizin dari BI, meliputi: PT Privy Identitas Digital (PrivyID), PT Solusi Net Internusa (Digisign), dan PT Indonesia Digital Identity (VIDA).

Perkembangan startup tanda tangan digital

Di Indonesia, PrivyID menjadi startup pelopor penyedia layanan tanda tangan digital. Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Marshall Pribadi menyampaikan, saat ini layanannya telah digunakan oleh sekitar 700 perusahaan dengan berbagai skala bisnis — 6 di antaranya bank buku 4 nasional, 3 operator telekomunikasi, 5 perusahaan asuransi global di Indonesia. Selain itu PrivyID juga sudah memperluas penggunaan layanan mereka di sektor lain seperti pendidikan, energi, manufaktur, hingga agensi perekrutan.

Lebih lanjut Marshall mencontohkan beberapa studi kasus bagaimana implementasi tanda tangan digital mampu memberikan efisiensi bisnis. Misalnya di Generali, proses finalisasi ilustrasi formulir dan Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang sebelumnya membutuhkan waktu 3 s/d 5 hari, kini bisa disingkat jadi 1 jam saja.

Penerapan lain di Bank Mandiri, PrivyID mendukung proses pembukaan rekening secara online dan membuat prosesnya sama sekali tidak membutuhkan kertas. Di President University, layanan tanda tangan digital digunakan untuk keperluan penandatanganan perjanjian kerja sama, NDA, dll; termasuk melakukan integrasi API untuk penandatanganan ijazah dan transkrip nilai oleh rektor dan dekan.

PrivyID membukukan pendanaan seri A2 pada akhir 2019. Jajaran investor yang selama ini mendukung mereka termasuk Telkomsel Mitra Inovasi, Mahanusa Capital, Gunung Sewu Group, MDI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia.

Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID
Co-Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi / PrivyID

Selain itu ada beberapa pemain sejenis yang sudah mengoperasikan layanannya. Terbaru ada TekenAja, sebuah joint venture dinaungi GDP Venture. Mereka juga berinduk di perusahaan yang sama dengan pengembang platform verifikasi biometrik ASLI RI (yang telah terdaftar dalam klaster IKD OJK).

Kepada DailySocial,Co-Founder & COO TekenAja Rionald Soerjanto menjelaskan, salah satu unique selling point yang hendak disuguhkan perusahaannya adalah kapabilitas verifikasi biometrik. Menurutnya hal ini relevan untuk menghindari celah keamanan sistem maupun standar operasional yang kadang masih bisa diakali – misalnya dengan penggunaan identitas atau foto palsu.

Layanan TekenAja saat ini dipakai lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Di sisi bisnis ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Konsumen TekenAja adalah korporasi di sektor perbankan, multifinance, fintech, dan perusahaan ritel.

PrivyID dan TekenAja sama-sama menjalin kerja sama strategis dengan Dukcapil untuk kebutuhan verifikasi data kependudukan.

Penetrasi tanda tangan digital di Indonesia

Marshall juga mengatakan, sebelum pandemi sekitar 80% pengguna layanannya berasal dari lembaga keuangan. Hal itu karena kebijakan OJK yang mewajibkan layanan fintech lending mengaplikasikan tanda tangan digital di sistemnya. Saat pandemi mulai banyak perusahaan di sektor lain mulai memanfaatkan PrivyID, termasuk yang bergerak di industri telekomunikasi, logistik, energi, FMCG, dan kesehatan.

“Selama masa pandemi, PrivyID mencatat kenaikan pelanggan perusahaan hingga 405% year-on-year. [..] Diyakini penggunaan tanda tangan digital di Indonesia ke depannya akan terus meningkat,” ujarnya.

Kendati terus bertumbuh, pengguna layanan tanda tangan di Indonesia belum signifikan secara kuantitas. Menurut Marshall, hal tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai legalitas tanda tangan digital. Di samping itu masih banyak yang belum mengetahui manfaat tanda tangan digital yang bisa didapatkan oleh perusahaan. Untuk itu, menurutnya, upaya edukasi pengguna masih tetap diprioritaskan dalam agenda perusahaan.

TekenAja pun memiliki keyakinan yang sama. Pandemi Covid-19 mendorong berbagai hal menjadi contactless. Menurut Rionald, layanan tanda tangan digital dapat menjadi upaya menjaga agar transaksi-transaksi tetap bisa sepenuhnya dilakukan secara online sehingga mengurangi potensi penyebaran virus — misalnya proses kunjungan untuk tanda tangan langsung di kertas. Selain itu, untuk mendukung kegiatan WFH, perkantoran bisa memberikan efisiensi proses HRD untuk penandatanganan surat izin, pengajuan cuti, dan lain-lain.

Terkait tantangan ke depannya, Rionald juga menganggap edukasi pengertian tanda tangan digital menjadi yang paling utama. “Menurut saya, challenge-nya cuma di pengertian soal digital signature. Sebenarnya di Indonesia tidak baru, OJK sudah mulai suruh pakai dari 2016. Tapi pengertiannya dulu belum terlalu dalam. Berkat pandemi, orang jadi lebih tahu karena dipaksa harus bisa melakukan transaksi online secara lebih aman,” imbuhnya.

Ia optimis dengan perkembangan ekosistem tanda tangan digital di Indonesia, karena sejauh ini pihak regulator cukup suportif. “Pemerintah Indonesia, baik itu Dukcapil maupun Kominfo, cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital,” tutup Rionald.

TekenAja Meluncur sebagai Platform Tanda Tangan Digital, Tawarkan Kapabilitas Verifikasi Biometrik

PT Djelas Tandatangan Bersama (DTB), pengusung produk tanda tangan digital TekenAja, hari ini (03/2) resmi melakukan grand launching. Kepada DailySocial, Rionald Soerjanto selaku Co-Founder & COO menjelaskan, DTB merupakan anak perusahaan GDP Venture yang berbentuk joint venture. Saat ini juga menjadi perusahaan penyelenggara sertifikasi elektronik pertama yang mendapatkan status berinduk dari Kementerian Kominfo.

“Untuk digital signature, di Indonesia itu ada beberapa peringkat. Yakni terdaftar, lalu tersertifikasi, dan berinduk. Kalau berinduk, platform harus memenuhi banyak persyaratan teknis, sistem, dan keamanan yang harus dilakukan,” ujar Rionald.

Selain harus lolos audit yang cukup ketat dari Kementerian Kominfo, status tersebut turut didapat perusahaan berkat infrastruktur yang tersertifikasi. Misalnya, mereka sudah mendapatkan ISO 27001 untuk keamanan sistem. Perusahaan juga telah memiliki fasilitas pusat data tier-3 dan pusat pemulihan data tier-4 untuk melakukan proses bisnis.

Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator
Daftar penyelenggara tanda tangan digital yang telah memiliki status legal dari regulator

TekenAja juga diklaim menjadi penyedia platform tanda tangan digital pertama yang benar-benar memanfaatkan verifikasi biometrik. Untuk validasi data, mereka telah menjalin perjanjian kerja sama dengan Dukcapil untuk mengakses data kependudukan.

“Biasanya ketika melakukan verifikasi identitas, pengguna akan diminta selife bersama KTP-nya. Kemudian sistem akan mencocokkan foto yang ada di KTP dengan wajah aslinya. Mekanisme tersebut masih memiliki celah, pengguna yang tidak bertanggung jawab bisa saja menggunakan identitas (NIK, Nama, Alamat dll) orang lain, kemudian membuat KTP palsu dengan fotonya sendiri untuk verifikasi. Maka dari itu biometrik menjadi penting,” lanjut Rionald.

Ia juga menjelaskan, konsep tanda tangan digital ini pada dasarnya memungkinkan individu untuk bisa melakukan transaksi online secara aman dengan melampirkan sertifikat digital (berisi data pribadi) yang telah terverifikasi. Keluarannya bisa bermacam-macam, beberapa yang populer berupa tanda tangan elektronik atau kode QR unik. Peran pemain seperti TekenAja tugasnya melakukan penerbitan sertifikat digital tersebut.

Digital signature cakupannya sampai harus memverifikasi identifikasinya. Ada beberapa tahapan, waktu pendaftaran orangnya harus benar. Kemudian ketika melakukan proses transaksi, juga harus diverifikasi. Jadi katakanlah istri saya punya data login saya untuk menandatangani sesuatu, dia tetap tidak bisa menggunakan karena harus diverifikasi dulu biometriknya untuk memastikan yang tanda tangan benar-benar saya.”

Skenario penggunaan

Untuk pengguna akhir, layanan TekenAja saat ini bisa dipakai di lembaga jasa keuangan untuk menjaga transaksi bisa berjalan secara online dan aman. Pengguna nantinya bisa menggunakan aplikasi mobile untuk melakukan proses tanda tangan. Tapi tidak hanya menutup di sektor itu saja, nantinya juga akan diperluas kegunaannya untuk fungsi-fungsi lain. Contohnya membantu sistem HRD di perusahaan agar berbagai pengajuan (cuti, reimbursement, dll) yang dilakukan karyawan pengesahannya dilakukan secara digital.

Di sisi bisnis nantinya akan ada dua model penerapan, bisa melalui portal khusus yang disediakan atau melalui integrasi API ke dalam sistem aplikasi. Sementara yang sudah pakai TekenAja ada perbankan, multi-finansial, fintech, hingga perusahaan ritel.

Rionald mengatakan, penerapan TekenAja bakal bisa digunakan untuk menjamin legalitas transaksi antarindividu. Ia mencontohkan, ketika ada akad jual-beli mobil atau rumah, pengesahannya (biasanya dilakukan dengan tanda tangan basah di atas materai) bisa dilakukan secara digital lewat aplikasi.

Terintegrasi dengan Asli RI

Rionald sendiri buka orang baru di industri digital. Ia juga menggawangi platform autentikasi biometrik Asli RI dan Login ID. Dengan induk perusahaan yang sama, TekenAja pun terintegrasi dengan kapabilitas yang dimiliki Asli RI. “TekenAja adalah perusahaan digital signature yang kental dengan biometrik. Karena menurut saya autentikasi biometrik itu saat ini jadi sistem keamanan terbaik, paling sulit dijebol,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, pemerintah Indonesia baik itu Dukcapil maupun Kominfo cukup suportif dalam hal penerapan biometrik untuk tanda tangan digital. Sementara banyak pemain yang merasa cukup dengan hanya melakukan verifikasi dengan mekanisme selfie tadi, padahal menurutnya konsep tersebut baru bisa efektif di negara seperti Singapura atau Tiongkok (cth. di Tiongkok memalsukan e-KTP hukumannya mati).

“Target tahun ini, kami ingin lebih agresif melakukan penetrasi pasar, selain itu juga akan memperluas kerja sama di berbagai lini,” tutup Rionald.

Gambar Header: Depositphotos.com