Laporan DSInnovate: Dampak Program Inkubator dan Akselerator untuk Ekosistem Startup Indonesia

Menurut data terbaru yang dirangkum laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi internet di Indonesia saat ini sudah mengumpulkan GMV mencapai $70 miliar atau setara 996,2 triliun Rupiah. Selain pangsa pasar yang memang besar, capaian tersebut tidak terlepas dari perkembangan pesat ekosistem startup digital. Dalam satu dekade terakhir, berbagai upaya dilakukan oleh stakeholder untuk memupuk potensi startup digital, termasuk melalui program inkubator dan akselerator.

Di Indonesia, beberapa program inkubator/akselerator berhasil menemani founder untuk membawa startupnya mencapai titik yang mengesankan. Beberapa lulusan program tersebut kini masuk ke daftar perusahaan bervaluasi besar, di atas $100 juta — tidak sedikit yang segera meraih gelar unicorn melalui putaran seri pendanaan selanjutnya. Salah satu program inkubator/akselerator unggulan di Indonesia adalah Indigo, yang diinisiasi oleh Telkom Group.

Indigo membuka batch awalnya pada tahun 2013, merangkul berbagai vertikal bisnis potensial, seperti agritech, big data, e-commerce, edtech, SaaS, dan lain-lain. Beberapa startup lulusannya termasuk Payfazz, Privy, Bahaso, dan puluhan lainnya. Program yang disuguhkan sangat intensif untuk memberikan pemahaman menyeluruh bagi founder mengenai bisnis digital. Dukungan materi seperti pendanaan awal (pre-seed) juga diberikan untuk membantu startup memvalidasi traksi awal layanan mereka.

Untuk memberikan gambaran mendetail mengenai dampak program inkubator/akselerator di ekosistem startup Indonesia, Indigo bekerja sama dengan DSInnovate meluncurkan laporan bertajuk “Indigo Impact Report 2021”. Di dalamnya membahas 5 topik besar, meliputi:

  • Industri digital di Indonesia
  • Ekosistem startup
  • Program inkubasi dan akselerasi
  • Dampak program inkubasi dan akselerasi terhadap startup
  • Dampak startup Indigo terhadap ekonomi digital

Dari riset dan survei yang dilakukan terdapat beberapa temuan menarik, misalnya 90,5% dari responden (founder startup yang pernah mengikuti program) memberikan persepsi bagus terhadap materi-materi yang disuguhkan dalam program inkubator/akselerator di Indonesia.  Sementara mentor yang paling disukai adalah founder senior (86,8%), pakar atau profesional (80,2%), dan pemodal ventura (79,2%). Selain itu, banyak aspek lain yang juga dibahas di dalam laporan tersebut, termasuk daftar program yang masih aktif, dampak startup setelah mengikuti program, dan lain-lain.

Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Indigo Impact Report 2021.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Indigo untuk penyusunan laporan ini

RUN System IPO on IDX, Optimizing Momentum for Business Expansion and Sustainability

One of Telkom Group’s investment portfolios, PT Global Sukses Solusi Tbk (RUN System) plans to expand its business and seek funds through an initial public offering (IPO) on the Acceleration Board. This SaaS platform providing ERP solutions targets to collect IDR 49.9 billion Rupiah from its corporate actions.

The development of the company’s business in the past few years and the trust of various parties are believed to be one of the strong reasons for the IPO. With the current conditions, especially the impact of the pandemic that has changed many parts, including the urgency of digitizing business processes has urged companies to find ways to survive and thrive. On the other hand, the IPO is said to help improve the company’s performance.

RUN System’s Founder & CEO, Sony Rachmadi Purnomo said, “We’ve set an IPO as a target since the beginning in order to support business expansion and company’s sustainability. As a startup, agility really helps to grow and develop, however, it can also backfire if we don’t focus on stakeholders and corporate governance. We chose the IPO method in order to maintain the momentum for business expansion and sustainability (GCG) at the same time.”

DailySocial received an official statement that the company is to sell a maximum of 196,800,000 ordinary shares on behalf of which all are new shares and are issued from the company at a value of IDR 4 per share. The number of shares represents a maximum of 20.01% of the total issued and paid-up capital of Run System post-IPO. The share price offered to the public is between IDR 230-254 per share.

In addition, the company also held an ESA (Employment Stock Allotment) Program by allocating shares of a maximum of 1% of the total number of shares offered or a maximum of 1,968,000 shares.

Run System has scheduled the initial offering period between August 20-26, 2021,
with an estimated effective date of August 31st,2021. The IPO date for Run System is targeted between September 2-6, 2021, with an allotment date of September 6th. Meanwhile, the targeted date for distribution of electronic shares is September 7th and listing on September 8th, 2021.

Acting as the implementing guarantor of PT Global Sukses Solusi TBK’s share
issuance are PT BRI Danarekse and PT Mirae Sekuritas Indonesia.

The proceeds from the Initial Public Offering after deducting share issuance costs
are to be used for working capital (74%) including financing new projects, overhead and operational costs. Around 11% will be used for market acquisition and expansion and 10% for research and development. While 5% is to be allocated for the company’s capital expenditure which includes work equipment and infrastructure.

Papan Akselerasi IPO Startup

ERP Market in Indonesia

According to a report published by Allied Market Research, the global ERP market was pegged at $39.34 billion in 2019 and is expected to reach $86.30 billion by 2027, recording a CAGR of 9.8% from 2020 to 2027.

In a recent interview with DailySocial, Sony revealed that the ERP industry market in Indonesia is quite large, with around 10-20% of new companies taking advantage of the service for their business. This makes his team more optimistic about the development of this industry in the future.

The company, which has been focused on developing ERP solutions since 2013 from upstream to downstream, offer four types of products, an ERP software Run System, an enterprise internediary platform Run Market, Run iProbe (HR enterprise solution system), and a point of sales platform iKas.

In 8 years, RUN System has served around 50 companies in various business scales from MSMEs, medium to large, which are engaged in the manufacturing, distribution, trade, and service sectors. Sony said that his team is working on the integration of ERP and the banking sector.

Runway with Telkom Group

In 2014, RUN System participated in the first batch of Indigo Incubator program held by Telkom. Seeing the big potential in this startup, Telkom promotes RUN System as one of the Distribution Partners of ERP solutions for all its customers in Indonesia.

In addition, this Yogyakarta-based startup also received support from MDI Ventures and its managed fund MDI-KB Centauri with a strong partnership with Telkom Indonesia as their go-to-market prior to the IPO.

In 2020, a subsidiary of PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), PT Metra-Net signed a Shareholder Agreement with RUNSystem. At that time, this agreement had a vision, one of which was to monetize opportunities in the online industry.

As one of its first portfolios, MDI Ventures believes that Run System is a validation of their modernized IPO thesis in comparison to other conventional VC which are much more tailored to the local stock exchange. Run System managed to grow positively on both top-line and bottom-line with profitability since day one while treating IPO as an additional funding milestone. It’s the opposite with how the usual startup dogma, where they are letting go of profit to push growth and treat IPO as one of the exit strategies.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

RUN System IPO di BEI, Manfaatkan Momentum untuk Ekspansi dan Keberlangsungan Bisnis

Salah satu portfolio investasi Telkom Group, PT Global Sukses Solusi Tbk (RUN System) berencana untuk mengembangkan bisnisnya dan mencari dana melalui penawaran umum perdana (IPO) di Papan Akselerasi. Platform SaaS penyedia solusi ERP ini menargetkan mengumpulkan Rp49,9 miliar Rupiah dari aksi korporasinya.

Perkembangan bisnis perusahaan beberapa tahun ke belakang serta kepercayaan berbagai pihak diyakini sebagai salah satu alasan kuat untuk IPO. Dengan kondisi saat ini, khususnya dampak pandemi yang mengubah banyak tatanan termasuk tingkat urgensi dari digitalisasi proses bisnis mendesak perusahaan mencari cara untuk bertahan dan berkembang. Di sisi lain, IPO disebut akan membantu meningkatkan kinerja perusahaan.

Founder & CEO RUN System Sony Rachmadi Purnomo mengungkapkan, “Sejak awal kami sudah menargetkan IPO dalam rangka menunjang ekspansi bisnis dan keberlanjutan perusahaan. Sebagai Startup, agility sangat membantu untuk tumbuh dan berkembang namun bisa menjadi bumerang jika kita tidak fokus pada stakeholder dan tata kelola perusahaan. Kami memilih cara IPO agar dapat menjaga momentum untuk ekspansi dan keberlangsungan (GCG) bisnis secara bersamaan.”

Dalam rilis yang diterima DailySocial, perusahaan disebut akan menjual sebanyak-banyaknya 196,8 juta saham biasa atas nama yang seluruhnya adalah Saham Baru dan dikeluarkan dari portepel Perseroan, dengan nilai nominal Rp4,- per lembar. Jumlah saham tersebut mewakili sebanyak-banyaknya 20,01% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh Perseroan setelah Penawaran Umum Perdana Saham. Harga saham yang ditawarkan kepada masyarakat sebesar Rp230-254 per lembar.

Selain itu, perusahaan turut mengadakan Program ESA (Employment Stock Allotment) dengan mengalokasikan saham sebanyak-banyaknya 1% dari jumlah penerbitan saham yang ditawarkan atau sebanyak-banyaknya sebesar 1.9 juta saham.

RUN System telah menjadwalkan periode penawaran awal antara 20-26 Agustus 2021, dengan perkiraan tanggal efektif 31 Agustus 2021. Tanggal IPO untuk Run System ditargetkan antara 2-6 September 2021, dengan tanggal penjatahan 6 September. Sedangkan target pendistribusian saham elektronik adalah 7 September dan listing pada 8 September 2021.

PT BRI Danarese dan PT Mirae Sekuritas Indonesia menjadi pihak yang bertindak sebagai pelaksana penjaminan saham PT Global Sukses Solusi TBK yang diterbitkan.

Dana hasil Penawaran Umum Perdana setelah dikurangi biaya emisi saham
akan digunakan sebagai modal kerja (74%) termasuk pembiayaan baru proyek, biaya overhead dan biaya operasional. Sekitar 11% akan dialokasikan untuk akuisisi dan ekspansi pasar dan sebesar 10% untuk penelitian dan pengembangan. Sementara 5% akan digunakan untuk belanja modal perusahaan yang termasuk peralatan dan infrastruktur kerja.

Papan Akselerasi IPO Startup

Pasar ERP di Indonesia

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Allied Market Research, pasar ERP global dipatok pada $39,34 miliar pada tahun 2019 dan diperkirakan mencapai $86,30 miliar pada tahun 2027, mencatat CAGR sebesar 9,8% dari tahun 2020 hingga 2027.

Dalam wawancara terakhir bersama DailySocial, Sony mengungkapkan bahwa peluang industri ERP di Indonesia masih sangat besar, dengan sekitar 10-20% perusahaan yang baru memanfaatkan layanan tersebut untuk bisnis mereka. Hal ini membuat timnya semakin optimis akan perkembangan industri ini ke depannya.

Perusahaan yang sejak tahun 2013 fokus mengembangkan solusi ERP dari hulu ke hilir ini memiliki empat jenis produk yaitu Run System yang merupakan ERP software, Run Market yaitu enterprise internediary platform, Run iProbe (HR enterprise solution system), dan iKas yaitu point of sales platform.

Dalam kurun waktu 8 tahun, RUN System telah melayani sekitar 50 perusahaan di berbagai skala bisnis mulai dari UMKM, menengah, hingga besar yang bergerak di sektor manufaktur, distribusi, perdagangan, dan jasa. Sony menyampaikan timnya tengah menggarap integrasi ERP dan sektor perbankan

Perjalanan RUN System bersama Telkom Group

Pada 2014, RUN System ikut serta dalam program Indigo Incubator batch pertama yang diadakan oleh Telkom. Melihat potensi yang ada pada startup ini, Telkom kemudian menjadikan RUN System sebagai salah satu Distribution Partner solusi ERP bagi seluruh pelanggannya di Indonesia.

Di samping itu, perusahaan rintisan asal Yogyakarta ini turut mendapat dukungan dari MDI Ventures dan dana kelolaannya MDI-KB Centauri dengan kemitraan yang kuat dengan Telkom Indonesia sebagai go-to-market mereka sebelum IPO.

Pada tahun 2020 lalu, anak perusahaan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), PT Metra-Net melakukan penandatanganan Shareholder Agreement dengan RUNSystem. Pada saat itu, kesepakatan ini memiliki visi salah satunya untuk memonetisasi peluang pada industri online.

Sebagai salah satu portfolio pertama mereka, MDI Ventures percaya bahwa Run System adalah validasi dari tesis IPO modern mereka. Run System disebut telah mencapai profitabilitas sejak hari pertama dan menjadikan IPO sebagai jalur pendanaan mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan dogma startup biasa, di mana mereka melepaskan keuntungan untuk mendorong pertumbuhan dan menganggap IPO hanya sebagai strategi exit.

The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Cermati Scores Series C Funding Led by MDI Ventures; It’s Now a Holding Company

Financial product aggregator startup Cermati announced an undisclosed series C funding led by MDI Ventures, through the Centauri Fund. Also participated in this round the previous investors which led the series B round in 2018, Djarum Group through Central Capital Ventura (CCV).

The fresh funds is said to be used to develop products and technology, recruit new talents, and provide new services with the embedded fintech strategy. Along with MDI Ventures, CFG will synergize with the Telkom Group network to develop financial products.

In today’s official statement (5/5), MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja expressed his enthusiasm for the synergy between Cermati and Telkom in developing products that can provide financial access to 150 million telecommunication network users and hundreds of fintech uses throughout Telkom’s network. “This hold the potential to play an important role in accelerating Indonesia’s financial inclusion,” Donald said.

On this occasion, also introducing Cermati as a holding company named Cermati Fintech Group (CFG) which oversees a number of business verticals, Cermati.com (financial product aggregator), Cermati Protect (insurtech), and Indodana (fintech lending). CFG leverages big data and AI technology to serve the underserved in Indonesia by developing microfinance and insurance products.

Separately reached by DailySocial, Cermati’s Co-Founder & CEO, Andhy Koesnandar explained, CFG is the company’s vehicle to accelerate financial inclusion in Indonesia. He believes that by using technology and working with large ecosystem partners, he can reach more underbanked people and get acquainted with financial products which previously not engaged with banking and insurance institutions.

“Since 2018 we have started to develop the micro insurance and micro finance business to be able to reach a wider Indonesian community,” he said.

Cermati’s flagship product is a financial product aggregator that has been operating since 2015. Andhy said the product has successfully enriched Cermati’s experience in developing digital onboarding products for banking partners, insurance and other financial institutions, through the components of API, Fraud Detection, Credit Scoring, and e- KYC which has become the standard in banking. “This experience provides capital for us to continue to develop new business lines at CFG.”

Amid the pandemic, without any specific details, Cermati has captured the public’s enthusiasm for digital financial services, which also increased as many people migrated to digital services for all activities, including their financial needs.

In terms of insurtech, Cermati Protect has now collaborated with more than 30 insurance company partners. The insurance products also vary, ranging from health insurance, vehicles and also micro insurance products that are distributed through big e-commerce players such as Shopee, Bukalapak, Blibli, Tiket and so on.

“Particularly for this micro product, we are working with our partners to build products that are suitable for the context of transactions with low prices starting from Rp1,000 to help people benefit from insurance at very affordable prices.”

Meanwhile, Indodana has distributed BNPL (Buy Now Pay Later) products to various e-commerce players. One of them is through the Djarum Group, Tiket.com and Blibli. Indodana is more focused on targeting consumers without access to credit card. Both Cermati Protect and Indodana are registered and licensed by the OJK.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Cermati Bukukan Pendanaan Seri C Dipimpin MDI Ventures; Kini Jadi Perusahaan Holding

Startup agregator produk finansial Cermati mengumumkan perolehan pendanaan seri C dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin oleh MDI Ventures, melalui Centauri Fund. Putaran ini juga diikuti oleh investor sebelumnya, yakni Djarum Group melalui Central Capital Ventura (CCV) yang memimpin putaran seri B pada 2018.

Disebutkan dana segar akan dimanfaatkan untuk mengembangkan produk dan teknologi, merekrut talenta baru, serta penambahan layanan baru dengan strategi embedded fintech. Bersama dengan MDI Ventures, CFG akan bersinergi dengan jaringan Telkom Group untuk mengembangkan produk-produk finansial.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (5/5), CEO MDI Ventures Donald Wihardja menyampaikan antusiasmenya terhadap sinergi antara Cermati dengan Telkom dalam mengembangkan produk yang dapat memberikan akses finansial kepada 150 juta pengguna jaringan telekomunikasi dan ratusan penggunaan fintech di seluruh jaringan Telkom. “Hal ini berpotensi memainkan peran penting dalam mempercepat inklusi keuangan Indonesia,” kata Donald.

Dalam kesempatan ini sekaligus memperkenalkan Cermati sebagai perusahaan holding bernama Cermati Fintech Group (CFG) yang membawahi sejumlah vertikal bisnis, yakni Cermati.com (agregator produk finansial), Cermati Protect (insurtech), dan Indodana (fintech lending). CFG memanfaatkan big data dan teknologi AI untuk melayani masyarakat Indonesia yang kurang terlayani dengan mengembangkan produk pembiayaan mikro dan asuransi.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Co-Founder & CEO Cermati Andhy Koesnandar menjelaskan, CFG menjadi kendaraan perusahaan untuk mempercepat inklusi keuangan di Indonesia. Ia percaya dengan menggunakan teknologi dan bekerja sama dengan partner ekosistem besar, bisa menjangkau lebih banyak masyarakat underbanked berkenalan dengan produk keuangan yang sebelumnya belum tersentuh oleh lembaga perbankan dan asuransi.

“Sejak tahun 2018 kami sudah mulai untuk mengembangkan bisnis micro insurance dan micro finance untuk bisa menjangkau masyarakat Indonesia dengan lebih luas lagi,” ucapnya.

Produk flagship Cermati adalah agregator produk finansial yang sudah berjalan sejak 2015. Andhy menuturkan produk tersebut berhasil memperkaya pengalaman Cermati dalam mengembangkan produk digital onboarding untuk mitra perbankan, asuransi dan juga lembaga keuangan lainnya, melalui komponen API, Fraud Detection, Credit Scoring, dan e-KYC yang menjadi standar di perbankan. “Pengalaman tersebut memberikan modal buat kami untuk terus mengembangkan lini bisnis baru di CFG.”

Adapun sepanjang pandemi, meski tidak dirinci secara spesifik, Cermati menangkap antusiasme masyarakat terhadap layanan keuangan digital sepanjang pandemi turut meningkat karena banyak yang migrasi ke layanan digital untuk seluruh kegiatannya, termasuk untuk kebutuhan finansial mereka.

Adapun untuk insurtech Cermati Protect kini telah bekerja sama dengan lebih dari 30 mitra perusahaan asuransi. Produk asuransinya juga beragam, mulai dari asuransi kesehatan, kendaraan dan juga produk asuransi mikro yang didistribusikan lewat pemain e-commerce besar seperti Shopee, Bukalapak, Blibli, Tiket dan sebagainya.

“Khusus untuk produk mikro ini, kami bekerja sama dengan mitra kami untuk membangun produk yang sesuai dengan konteks transaksi dengan harga murah mulai dari Rp1.000 yang bisa membantu masyarakat untuk mendapat benefit dari asuransi dengan harga yang sangat terjangkau.”

Sementara, Indodana sudah mendistribusikan produk BNPL (Buy Now Pay Later) ke berbagai pemain e-commerce. Salah satunya melalui Djarum Group, yakni Tiket.com dan Blibli. Indodana lebih fokus pada menyasar konsumen yang belum memiliki akses kartu kredit. Baik Cermati Protect dan Indodana telah terdaftar dan mendapat izin lisensi dari OJK.

Application Information Will Show Up Here

Flou Jadi Diversifikasi Produk Komputasi Awan TelkomSigma, Rambah Segmen UKM

Awal Desember 2020, TelkomSigma memperkenalkan produk cloud baru bernama “Flou”. Solusi ini disebut sebagai pendekatan baru perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era digital yang cepat berubah. Adapun, solusi ini sudah dapat digunakan pelanggan sejak pertengahan 2020.

Dalam acara peluncurannya, Direktur Business & Cloud TelkomSigma Tanto Suratno mengatakan bahwa pasar cloud semakin meningkat setiap tahunnya. Di 2020 saja, diestimasi berada di kisaran Rp11 triliun dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Ia mengestimasi pasar cloud Indonesia meroket hingga Rp24 triliun di 2021.

Menurutnya, solusi cloud hadir untuk mendisrupsi dan mengakselerasi transformasi digital. Namun, dengan situasi pandemi saat ini, pelaku usaha dituntut untuk beradaptasi cepat terhadap perubahan. “Ke depan, kita bakal melihat ada gelombang disrupsi yang lebih besar dan dahsyat, yakni cloud native computing,” papar Tanto.

Sementara, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo yang hadir dalam kesempatan sama menilai bahwa kehadiran Flou menjadi momentum tepat di situasi pandemi ini. “Covid-19 menjadi semacam chief transformation officer yang memaksa kita semua untuk bertransformasi. Esensi digital itu adalah bagaimana bisa create value. Makanya, kita harus beradaptasi dengan cara baru karena pasar dan perilaku konsumen cepat berubah,” ujarnya.

Mendorong konsep “cloud native mindset

Ada beberapa elemen yang difokuskan pada Flou, antara lain customer experience, reliability, dan kecepatan. Flou mengutamakan pengalaman yang seamless dengan sistem pembayaran yang fleksibel (pay-as-you go dan subscription). Kemudian, Flou juga menghadirkan kecepatan lewat agile deployment (API ready) dengan performa tinggi untuk segala sektor industri.

Semua elemen tersebut diprioritaskan untuk mendorong konsep cloud native mindset sebagaimana disebutkan Tanto di atas. Menurutnya, struktur traditional monolithic apps yang banyak digunakan pelaku usaha dinilai tidak mampu lagi mengejar dinamika pasar yang cepat berubah. Artinya, konsep ini dapat menghambat upaya untuk bertransformasi digital.

“Lewat Flou, kami ingin bawa konsep cloud native apps untuk memunculkan paradigma baru dan memberikan agility dalam mendukung pembuatan aplikasi, inovasi, dan ide secara cepat. Saat ini semakin banyak generasi terkini yang lahir di era yang akrab atau di mana resource-nya ada di cloud. Mereka ini yang disebut cloud native mindset,” papar Tanto.

Ia menilai mindset tersebut dapat dibangkitkan melalui fitur dan tools yang disediakan Flou. Salah satunya adalah merealisasikan ide menjadi MVP lebih cepat. “Kalaupun ide ini masuk produksi, elasticity bisa lebih besar. Pada tahap ini, pengguna tidak perlu memikirkan bagaimana scale dan resiliency-nya,” tambahnya.

Kendati demikian, Tanto menegaskan bahwa Flou tidak hanya mengakomodasi kebutuhan segmen pasar yang sudah terbiasa menggunakan cloud, tetapi juga pengguna baru secara seamless, baik UKM dan perusahaan berskala besar.

Sementara dari sisi harga, ia mengklaim bahwa solusi Flou mampu meminimalkan biaya operasional. Ia menyadari bahwa umumnya meningkatnya basis pengguna UKM dapat berdampak terhadap kenaikan biaya sewa cloud dan connevtivity.

“Kami memahami bahwa dinamika pasar yang cepat berubah menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Karena mereka dituntut untuk agile, kami mengatur pricing sedemikian rupa supaya pelaku usaha dapat menjaga biaya operasional dan tetap tumbuh menikmati profit. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan bisnis dan inovasi ke depan,” tambahnya.

Di segmen ini sebenarnya sudah ada banyak pemain lokal yang jajakan produk infrastruktur cloud. Sebut saja Biznet Gio, Cloud Kilat, Indonesian Cloud, dan masih banyak lagi. Beberapa juga menyajikan varian produk cloud seperti VPS bersamaan dengan solusi hosting konvensional yang masih banyak dipakai usaha kecil karena biaya yang relatif lebih rendah.

Membidik pangsa 3 besar di Asia Tenggara

Saat ini, TelkomSigma mengklaim telah menguasai sebesar 40 persen pangsa pasar data center dengan total akumulasi seluas 11 ribu meter persegi, kapasitas penyimpanan hingga 41 ribu Terabyte (TB), dan lokasi tersebar di sebanyak 16 titik di seluruh Indonesia. Telkom menjamin cakupan Flou yang lebih luas dengan dukungan fasilitas data center dan konektivitas yang dimilikinya.

Dalam kesempatan tersebut, Director of Enterprise & Business Service TelkomSigma Edi Witjara mengatakan bahwa pencapaian tersebut sebetulnya menjadi tantangan bagi perusahaan untuk mempertahankan posisinya sebagai penyedia solusi ICT di segmen enterprise.

Selain itu, pengembangan Flou dinilai harus dapat menjadi pemacu untuk melahirkan peluang dan model bisnis baru. Menurut catatannya, ungkap Edi, segmen korporasi menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pendapatan perusahaan, diikuti segmen pemerintahan (23%), dan SME (21%).

“Cita-cita TelkomSigma dalam 3-5 tahun mendatang adalah menjadi top 3 di Asia Tenggara. Kami yakin peluang ini dapat diupayakan, salah satunya lewat kehadiran Flou. Kami harap, Flou dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era sekarang yang menginginkan customer experience, realiability, dan agility yang cepat.”

Telkom Perkuat Bisnis Digital Internasional Lewat Aplikasi Transportasi Online “MyTimor”

Telkom Group mulai gencar mendorong bisnis digital di luar negeri. Dimulai dari Telkomcel, operator telekomunikasi berbasis di Timor Leste ini merambah layanan transportasi online bernama MyTimor. Aplikasi tersebut sudah dapat digunakan masyarakat setempat sejak November dan resmi meluncur pada awal Desember 2020.

MyTimor saat ini baru menyediakan layanan pemesanan transportasi (motor dan taksi) maupun pengiriman barang secara online. Telkomcel mengklaim sebagai operator telekomunikasi pertama di Timor Leste yang meluncurkan aplikasi ride hailing.

Dalam keterangan resminya saat itu, Telkomcel menyebutkan bahwa aplikasi MyTimor hadir untuk mengakselerasi adopsi teknologi digital. Terlebih Timor Leste sebagai negara berkembang kini juga memiliki porsi generasi milenial yang semakin aktif.

DailySocial menghubungi CEO Telkomcel Yogi Rizkian Bahar secara terpisah terkait pengembangan MyTimor dan rencana selanjutnya. Menurut Yogi, awalnya perusahaan ingin berkolaborasi untuk mengembangkan MyTimor. Namun, perusahaan memutuskan membangun aplikasi sendiri dari awal.

“Cukup seru journey-nya. Kami sempat melakukan pitching di India, tetapi akhirnya kami menggunakan developer internal untuk membangun aplikasinya.
Sejauh ini, traction-nya sangat bagus. Sudah mulai banyak driver dan pengguna yang mendaftar dan mencoba layanannya,” ungkapnya.

Mengenai sistem tarif, VP Finance & Human Capital Telkomcel Dedy Edward menambahkan bahwa hal tersebut sudah sesuai kesepakatan dengan mitra lokal. Pihaknya tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai harga, tetapi saat ini MyTimor telah bermitra dengan Corrotrans selaku pemegang lisensi penyelenggaraan transportasi di Timor Leste.

“Saat ini, kami bermitra dengan Corrotrans dan koperasi taksi di Timor Leste (taksi kuning). Kami akan mengembangkan [kemitraan] sesuai dengan pengembangan pasar dan produk dari aplikasi kami,” ujarnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Telkomcel beroperasi di bawah naungan Telkom Indonesia International (Telin). Telin merupakan anak usaha Telkom Group yang berdiri sejak 2007. Saat ini Telin beroperasi di sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat (AS), Australia, Hong Kong, Malaysia, Macau, Myanmar, Singapura, dan Taiwan. Tidak hanya telekomunikasi, perusahaan juga menawarkan solusi IT untuk segmen enterprise dan retail.

Ekspansi MyFood di kuartal pertama 2021

Lebih lanjut, Yogi mengaku pihaknya telah menyiapkan sejumlah digital solution baru yang akan diluncurkan di 2021. Hal ini mengindikasikan bahwa Telkomcel akan fokus mengembangkan ekosistem layanan MyTimor sebagaimana model serupa telah dilakukan oleh pemain di Indonesia, yakni Gojek dan Grab.

“Rencananya, kami ingin meluncurkan layanan MyFood yang setara dengan GoFood milik Gojek di Februari 2021. Ini akan menjadi upaya untuk bangun ekosistem secara keseluruhan,” jelas Yogi.

Selain itu, Telkomcel juga akan memperkuat ekosistem dengan Tpay sebagai payment point untuk mendorong pembayaran non-tunai. Tpay disebut telah meluncur sejak 2020 dan mendapat lisensi pembayaran digital di Timor Leste. Menurut Yogi, positioning Tpay serupa dengan LinkAja yang dapat digunakan masyarakat dari berbagai operator.

Selain MyTimor, ungkapnya, Telkomcel juga telah memiliki bisnis digital di kategori aplikasi streaming musik Musica yang disebut telah beroperasi di Myanmar dan memiliki kantor cabang di sana.

Menurutnya, model bisnis MyTimor atau Musica bisa saja diduplikasi sebagai business case di negara lain di mana Telin beroperasi. “Khusus untuk MyTimor, ada regulator yang terlibat sehingga business case akan dilihat dari masing-masing negara untuk assessment lebih lanjut. Ini akan menjadi new business model ke depan,” paparnya.

Sinergi kapabilitas dalam dan luar negeri

Operator telekomunikasi selama satu dekade terakhir memang sulit untuk bertransformasi, terutama setelah ramainya penggunaan platform digital asing alias OTT di Indonesia. Pelaku industri memang telah mencoba beradaptasi dengan menjajaki berbagai model bisnis digital, tetapi tidak sukses.

Telkom telah menutup layanan marketplace Blanja.com, XL Axiata telah menjual Elevenia, dan Indosat menghentikan Cipika. Ini menjadi satu contoh bahwa model bisnis e-commerce tidak sustainable bagi operator.

Salah satu tantangan mengapa model ini tidak sukses adalah operator telekomunikasi tidak memiliki kapabilitas atau ekspertis di bidang digital sehingga layanan tersebut tidak mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja. Upaya ‘bakar uang’ untuk mengejar traksi tidak dapat dilakukan terus-menerus mengingat industri telekomunikasi sangat padat investasi.

Belajar dari pengalamannya menjalankan Blanja.com dan T-cash (sekarang LinkAja), Telkom mulai bermanuver menggenjot bisnis digital dengan strategi non-organik. Upaya ini kian agresif dalam beberapa tahun terakhir jika melihat langkah solid Telkom membentuk MDI Ventures dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perpanjangan investasinya.

MDI Ventures tercatat telah berinvestasi di 44 startup yang tersebar di 12 negara. Bahkan salah satu fokusnya ke depan adalah melakukan sinergi portofolio dengan anak usaha BUMN lainnya. Leverage teknologi dan inovasi berarti tak hanya akan terbatas antara Telkom dan portofolionya saja.

DailySocial sempat mengontak Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li dan CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristanto untuk memastikan apakah sinergi tersebut juga berlaku terhadap bisnis Telin di berbagai negara.

Kenneth hanya menyebut ada beberapa portofolio MDI Ventures di AS dan Singapura yang disinergikan ke anak usaha Telin, tetapi tidak ada informasi lebih lanjut yang dapat dibagikan. Sementara, hal ini berbeda dengan TMI. “Untuk TMI, fokusnya untuk di Telkomsel saja,” tegas Andi dalam pesan singkat.

Langkah besar lainnya adalah Telkom menunjuk mantan presiden Bukalapak Fajrin Rasyid sebagai Direktur Digital Business per Juni 2020. Fajrid kembali ditunjuk sebagai Komisaris Utama MDI Ventures dan penasihat Centauri Fund pada Agustus 2020. Kemudian, pada November 2020, Telkom melalui anak usahanya Telkomsel resmi menyuntik investasi ke Gojek dengan nilai $150 juta (setara Rp2,1 triliun).

Dengan jaringan portofolio yang dimilikinya lewat MDI Ventures, Telkom memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk meningkatkan posisinya sebagai operator telekomunikasi digital (digico) tak hanya dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Ini dapat mempermudah transfer knowledge ke bisnis Telkom di sejumlah negara.

 

Telkom dan VC Asal Belanda Finch Capital Luncurkan Dana Kelolaan Baru “Arise Fund”

Telkom Group melalui unit CVC MDI Ventures meluncurkan dana kelolaan barunya “Arise Fund” dengan menggandeng mitra VC asal Belanda Finch Capital. Dihubungi oleh DailySocial, VP of Investments MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menerangkan, targetnya sebesar $40 juta atau sekitar Rp568 miliar untuk dana kelolaan baru ini.

Ada sejumlah alasan di balik pembentukan Arise Fund. Menurut Aldi, sebagian besar investor generasi awal yang bermain di tahapan seed, kini sudah mulai menggalang dana yang lebih besar dan mulai fokus ke pendanaan seri A dan di atasnya.

Alhasil, startup di tahapan pra seri A menjadi kesulitan untuk memperoleh pendanaan apapun. Dari sejumlah laporan, ungkapnya, total pendanaan pra seri A telah mengalami penurunan hingga 20 persen di sepanjang 2020 setelah sempat stagnan selama beberapa tahun terakhir.

Situasi ini juga menyulitkan startup unicorn di kawasan Asia Tenggara karena mereka hanya mampu menggalang sepertiga atau seperempat dari pendanaan di putaran sebelumnya.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 tak dimungkiri telah membuat ketidakpastian di berbagai macam aspek menjadi semakin besar, termasuk dalam membangun perusahaan/bisnis baru. “Ini menjadi alasan lainnya mengapa kami menghindari investasi di startup tahap awal. Maka itu, kami berupaya mengisi gap di tahapan post-seed hingga seri A,” tutur Aldi.

Ia meyakini akan ada kemunculan peluang bisnis lain seiring dengan masalah baru yang bakal timbul pasca-pandemi nanti. Fenomena ini juga sekaligus akan memunculkan founder generasi baru yang lebih berkualitas. “Vertikal yang kami incar relatif agnostik. Kami lebih fokus pada karakteristik founder dan startupnya,” tambahnya.

Sebelumnya pada akhir 2019, Telkom telah meluncurkan Centauri Fund yang merupakan unit kelolaan baru, hasil kemitraan dengan KB Financial Group asal Korea Selatan. Tahapan pendanaan yang dibidik adalah pra seri A dan seri B.

Kemudian pada awal Maret 2020, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin sempat mengungkap bahwa Telkom tengah menyiapkan dana kelolaan baru dengan kapasitas pendanaan berkisar US$300-500 juta atau Rp4,2 triliun-7 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li juga menambahkan akan ada dua dana kelolaan baru tahun ini yang fokus pada pendanaan untuk segmen growth stage dan later stage.

Dana kelolaan baru pertama telah terealisasi pada Agustus 2020 senilai $500 juta atau sekitar Rp7 triliun, yakni Fund MDI 500. Adapun, Fund MDI 500 adalah kelanjutan dari Fund MDI 100 yang dimulai di 2015. Pengumuman dana kelolaan baru tersebut sekaligus berbarengan dengan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai komisaris utama.

Memperluas value creation

Lebih lanjut, Aldi mengungkap bahwa kolaborasinya dengan Finch Capital diharapkan dapat menjembatani solusi gap pendanaan di post-seed hingga seri A di Indonesia. Ada beberapa hal yang dicari melalui kolaborasi ini. Pertama, VC yang memiliki pengalaman kuat dalam berinvestasi di ekosistem startup tahapan mature, baik di Eropa dan/atau Tiongkok.

Kemudian, MDI Ventures mencari kemitraan dengan pihak yang memiliki pemahaman dan posisi yang kuat terhadap ekosistem startup di Asia Tenggara, terutama startup tahapan awal di Indonesia. Selain itu, pihaknya juga mencari VC yang memiliki jaringan kuat pada limited partner (LP) dan korporasi di Indonesia untuk memperluas value creation-nya di luar Telkom dan lingkup perusahaan BUMN.

“Kami juga mencari orang/team yang dapat menguasai operasional dan atau latar belakang wirausaha. Setelah menjajaki sejumlah mitra, Finch Capital adalah satu-satunya yang dapat mengisi semua itu sehingga mendorong kami untuk bermitra dengan mereka,” kata Aldi.

Sekadar informasi, Finch Capital telah memiliki pengalaman berinvestasi selama 25 tahun di dua pasar utama, yakni kawasan Eropa dan Asia Tenggara. Dalam keterangan informasi di situs resminya, Finch Capital membidik vertikal bisnis AI, fintech, dan IoT di Eropa, sedangkan di Asia Tenggara membidik vertikal agrikultur, fintech, edukasi, dan transportasi.

Managing Partner Finch Capital Hans De Back mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memicu kebutuhan untuk mengadopsi lebih banyak solusi digital. “Saat ini, Indonesia sudah menjadi pusat perekonomian terbesar di kawasan ini. Dengan sejumlah faktor pendukung ini, Indonesia siap menjadi pusat teknologi terbesar di Asia Tenggara pada 2025.” Ujar De Back dalam keterangan resminya.

Telkom Group Resmi Suntik 2,1 Triliun Rupiah untuk Gojek

Desas desus investasi Telkom untuk Gojek akhirnya resmi diumumkan lewat keterbukaan di Bursa Efek Indonesia, Selasa (17/11). Telkom, melalui anak usahanya, Telkomsel, masuk ke jajaran investor dengan total investasi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, $150 juta (setara Rp2,1 triliun).

Dalam keterbukaan, VP Investor Relations Telkom Andi Setiawan menjelaskan investasi di AKAB (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa) adalah bentuk komitmen Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi digital untuk memberikan layanan beyond connectivity.

Telkom percaya kolaborasi ini dapat memberikan layanan dan solusi yang lebih baik kepada masyarakat dalam membangun ekosistem digital yang inklusif dan berkesinambungan.

“Dengan transaksi ini, terhitung sejak terpenuhinya segala syarat berdasarkan Perjanjian dan ditandatanganinya dokumen terkait, maka Telkomsel akan memiliki investasi di AKAB sebesar $150 juta,” tulisnya.

Disebutkan secara bersama kedua perusahaan akan memperkuat layanan digital, mendorong inovasi dan produk baru, serta meningkatkan kenyamanan bagi para pengguna dan pelaku UMKM.

Rumor masuknya Telkom Group ke Gojek sudah beredar sejak 2018. Nilai proposal investasi waktu itu bahkan jauh lebih besar, mencapai $400 juta. Namun rencana tersebut terhalang restu Menteri BUMN saat itu. Dengan bergantinya pemimpin, Menteri BUMN Erick Thohir memberikan lampu hijau untuk aksi ini.

Masuknya Telkom menambah konglomerasi lokal yang masuk ke Gojek, setelah Astra dan Djarum (lewat Blibli). Termasuk bentuk realisasi kemitraan strategis ini adalah pengembangan produk masing-masing platform, misalnya perusahaan patungan GoFleet, antara Gojek dan Astra, yang menyasar pengemudi Go-Car sebagai penggunanya.

Kinerja Gojek sendiri, dipaparkan pekan lalu, disebut berhasil bertahan selama pandemi. Perusahaan mencatatkan kenaikan total nilai transaksi di dalam platform grup, diukur dengan matriks Gross Transaction Value (GTV) yang membukukan peningkatan sebesar 10% dan mencapai $12 miliar (hampir Rp170 triliun) pada tahun ini.

Pengguna aktif bulanan Gojek saat ini mencapai 38 juta orang di seluruh Asia Tenggara dan memiliki 900 ribu merchant. Sepanjang tahun ini, perusahaan banyak berinvestasi untuk layanan grocery (GoMart dan GoShop) untuk menyesuaikan dengan kebiasaan baru selama pandemi.