Tiket.com Confirms the Unicorn Status, Considering IPO through SPAC on the NYSE

Tiket.com is exploring the potential to go public on the New York stock exchange through SPAC. According to a Bloomberg report, the company is in discussions with COVA Acquisition Corp. (COVA), with an estimated of $2 billion combined value of the companies. The company is also said to consider raising an additional $200 million through the PIPE scheme.

The representative of Tiket.com has confirmed the unicorn status. He ensured that the company is exploring the potential to go public.

“Regarding that, we can now confirm that Tiket.com is now a unicorn, and Tiket.com plans for an IPO in the future,” a spokesperson for Tiket.com said.

Tiket.com was founded in 2011 and acquired by the Djarum Group through Blibli in 2017. Currently, both are operating as separate legal entities (PT), therefore, it is possible whether Tiket.com run for an IPO first.

Tiket.com founders are Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), and Natali Ardianto (CTO – already exited). George Hendrata currently serves as Tiket.com’s CEO.

In April 2021, Tiket.com’s Co-Founder & CMO Gaery Undarsa stated at the media gathering that airline ticket sales has increased by 331%, while hotel reservations increased by 321%.

The positive result was obtained amidst various restrictions due to the pandemic.

Previously, several unicorn startups had planned to go public through SPAC, including Traveloka, which is Tiket.com’s closest competitor. Other unicorns also  rumored to conduct an IPO, including GoTo (Gojek and Tokopedia) and Bukalapak. In addition, the MNC conglomerate’s OTT business unit has chosen a similar step.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiket.com Konfirmasi Sandang Status Unicorn, Jajaki Potensi Melantai di Bursa New York (UPDATED)

Menurut pemberitaan Bloomberg, Tiket.com dikabarkan menjajaki potensi go public di bursa saham New York melalui SPAC. Perusahaan tengah berdiskusi dengan COVA Acquisition Corp. (COVA), dengan estimasi nilai gabungan perusahaan mencapai $2 miliar. Perusahaan disebut juga berpotensi meraih dana tambahan $200 juta melalui skema PIPE.

Kepada DailySocial, pihak Tiket.com mengonfirmasi status unicorn ini. Mereka juga memastikan perusahaan sedang menjajaki potensi go public. Meskipun demikian, perusahan tidak menyebutkan apakah akan menggunakan kendaraan SPAC.

“Sehubungan dengan itu, saat ini kami dapat memastikan bahwa Tiket.com telah berstatus unicorn, dan Tiket.com memiliki rencana IPO ke depan,” ujar juru bicara Tiket.com.

Tiket.com didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

Para pendiri Tiket.com adalah Mikhael Gaery Undarsa (CMO), Wenas Agusetiawan, Dimas Surya Yaputra (CCO), dan Natali Ardianto (CTO – sudah exit). George Hendrata saat ini menjadi CEO perusahaan.

Di sebuah kesempatan temu media pada April 2021 lalu, Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menyampaikan penjualan tiket pesawat naik sebesar 331%, sementara reservasi hotel naik di angka 321%.

Capaian positif ini didapat di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi.

Sebelumnya beberapa startup unicorn telah merencanakan go public via SPAC, termasuk Traveloka yang merupakan kompetitor terdekat Tiket.com. Unicorn lain yang dikabarkan hendak menjajaki IPO adalah GoTo (Gojek dan Tokopedia) dan Bukalapak. Di samping itu unit bisnis OTT konglomerasi MNC juga memilih langkah serupa.

Application Information Will Show Up Here

Tiket.com Resmikan Fitur Aktivitas Liburan “TO DO”

Tiket.com meresmikan fitur aktivitas liburan “TO DO”, setelah pertama kali soft launch pada Maret 2020. Diklaim, fitur ini tumbuh paling signifikan hingga 515% untuk angka penjualan tiket pada kuartal III dan IV 2020, melampaui kinerja tiket pesawat dan akomodasi masing-masing sebesar 89% dan 118%.

Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menerangkan, awalnya TO DO baru melayani kategori tiket atraksi dan wahana. Namun sekarang TO DO menaungi 10 kategori dengan lebih dari 10.200 pilihan kegiatan online dan offline, 386 event di 62 negara. Khusus di Indonesia, tersedia 2 ribu pilihan kegiatan dan 380 event yang dapat dipilih konsumen.

TO DO dibentuk untuk melengkapi produk yang sudah kita punya, sekaligus menanggapi kebutuhan konsumen saat ini,” ucap Gaery saat konferensi pers virtual, Kamis (28/1).

Ada 10 kategori di dalam TO DO, di antaranya TO DO Online yang berisi jajaran kegiatan online seperti kelas online, seminar, gala premier film, podcast, dan lain-lain; atraksi; event (konser musik dan seminar); pelengkap perjalanan (travel essentials seperti tes Covid-19, pembelian SIM card); transportasi; tur; tempat bermain; kecantikan dan kebugaran; wisata kuliner; permainan dan hobi.

Dari keseluruhan kategori di atas, travel esensial, atraksi, dan event menjadi kategori yang paling banyak dibeli konsumen. Hal ini selaras dengan kondisi di mana konsumen yang mulai bepergian harus melengkapi sejumlah persyaratan dokumen kesehatan, sementara agar tidak bosan di rumah membeli tiket aktivitas online.

Ke depannya, perusahaan akan terus menambah kemitraan dengan berbagai pemain industri pariwisata on board ke dalam TO DO. Gaery menuturkan, selain industri penerbangan dan perhotelan, ada jutaan orang di sekitarnya yang terdampak akibat pandemi.

“Ada tempat rekreasi, tour guide, tempat souvenir, di sekitar industri pariwisata yang bisa dikunjungi. Ini yang sedang kami coba support mereka dengan bergabung ke TO DO,” pungkasnya.

Konsep yang sama juga sudah diluncurkan kompetitor terdekatnya, Traveloka dengan fitur Xperience. Agar lebih kompetitif, perusahaan baru merilis kategori OnlineXperience yang menawarkan lebih dari 100 sesi unik yang dirancang untuk mendorong konsumen menikmati waktu luang di rumah bersama keluarga.

Traveloka Xperience sendiri dirilis pada 2019. Sejak pandemi, perusahaan merilis layanan travel esensial berupa uji tes Covid-19. diklaim, fitur ini dimanfaatkan oleh 200 ribu pengguna.

Application Information Will Show Up Here

Manajemen Tim dan Penyesuaian Fokus Bisnis Jadi Agenda Penting Startup di Tengah Pandemi

Meskipun di awal bulan sempat mengalami beberapa tantangan, namun saat ini ketika pandemi sudah memasuki bulan kelima banyak startup yang bisa menyesuaikan keadaan dalam situasi bekerja di rumah. Istilah new normal bukan lagi bersifat sementara, namun diprediksi menjadi kondisi yang berlanjut.

Dalam sesi webinar yang digelar oleh program akselerator GK-Plug and Play, beberapa penggiat startup yang terdiri dari CEO AI Sensum Vivek Thomas, CEO Verihubs Williem, dan Head of Product Tiket Rosabella Sarudin berbagi pengalaman dan update menarik tentang tempat mereka bekerja saat pandemi berlangsung.

Manajemen tim dan penggunaan tools yang tepat

Sebagai startup yang menghadirkan teknologi Software as a Service (SaaS), Williem melihat tidak menemui kendala yang berarti saat pandemi terkait dengan manajemen dan mengelola time management team. Dalam hal ini Verihubs yang didominasi oleh tenaga engineer, memberikan kebebasan kepada anggota tim untuk bekerja di rumah, selama tugas yang dibebankan bisa diselesaikan.

“Kami menggunakan tools yang relevan, seperti Airtable. Dengan demikian semua tugas yang diberikan kepada engineer bisa di-monitor. Selama ini kami juga telah memberikan kesempatan remote working kepada pegawai, sehingga mudahkan transisi working from home,” kata Williem.

Hal serupa juga diterapkan oleh Vivek dalam hal mengelola tim selama bekerja di rumah. Meskipun tidak meninggalkan KPI yang telah ditetapkan kepada masing-masing pegawai, namun Vivek melihat adanya peluang transisi jabatan kepada beberapa pegawai selama pandemi berlangsung.

“Fokus kami tentunya kepada tim sales dan business development, namun di saat yang sama kami juga melihat ada beberapa tugas yang kemudian dialihkan dan diberikan kepada pegawai lainnya,” kata Vivek.

Pandemi juga diklaim menambah produktivitas pegawai, tantangan seperti transportasi hingga pengeluaran yang biasanya banyakan dihabiskan oleh pegawai di kantor, kini bisa dipangkas saat kegiatan bekerja di rumah diberlakukan.

“Kita sendiri belum bisa memutuskan kapan waktu yang tepat untuk kembali ke kantor. Karena setelah dilihat selama 5 bulan terakhir, produktivitas para pegawai tetap positif bahkan cenderung meningkat produktivitasnya,” Vivek.

Saat pandemi juga menjadi waktu yang tepat untuk mencoba atau meluncurkan layanan atau produk yang baru. Ketika semua layanan hingga tools mulai shifting ke digital, semua produk yang terkait dengan teknologi hingga touchless dan contactless produk, diprediksi bakal menjadi masa depan saat pandemi bahkan ketika pandemi berakhir.

“Salah satu yang telah kami luncurkan dan mendapat respons positif adalah ketika bulan Mei lalu kami meluncurkan Passwordku. Produk yang memudahkan pengguna untuk mengelola password mereka untuk semua. Saat pandemi peluncuran tersebut memvalidasi model bisnis kami saat ini dan ke depannya,” kata Williem.

Mengubah fokus dan target

Sebagai layanan OTA yang selama ini sudah meraih kesuksesan, Tiket mengakui selama pandemi berlangsung mengalami penurunan dari sisi penjualan. Ditutupnya penerbangan, penginapan hingga tempat hiburan, telah membatasi bisnis mereka untuk tumbuh selama 5 bulan terakhir.

Untuk mengakali tantangan tersebut, Tiket kemudian mulai memfokuskan kepada experience. Mulai dari menggelar acara musik live hingga sesi tanya jawab dengan artis idola, diklaim bisa membantu perusahaan untuk terus tumbuh selama pandemi.

Saat ini ketika aturan PSBB sudah mulai dilonggarkan di beberapa tempat wisata hingga destinasi favorit seperti Bali, Tiket juga berupaya untuk menggenjot jumlah penjualan tiket penerbangan, penginapan dan atraksi. Salah satunya adalah dengan cara melancarkan kampanye Tiket Clean. Yaitu kampanye yang berisikan himbauan dan aksi positif oleh Tiket kepada perhotelan yang tetap menjaga kebersihan dan mematuhi protokol kesehatan selama pandemi.

“Pada akhirnya hotel membutuhkan uang tunai, dengan memberikan promo berupa diskon hingga penawaran menarik yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan yang tertarik untuk melakukan pemesanan hotel saat ini atau tahun depan,” kata Rosabella.

Meskipun sarat dengan tantangan, namun dengan strategi ini diharapkan bisa memancing kembali minat masyarakat untuk kembali melakukan pemesanan dan menginap di hotel yang sudah terjamin kebersihannya.

Tiket.com Gandeng Indodana Rilis Fitur Paylater

Tiket.com akhirnya luncurkan produk paylater, memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan fasilitas cicilan tanpa kartu kredit limit hingga 10 juta rupiah dengan tenor sampai 12 bulan. Dalam pembaruan terkini aplikasi, disampaikan bahwa fitur ini baru digulirkan secara terbatas.

Dalam pembiayaannya, Tiket.com menggandeng platform p2p lending Indodana. Sebelumnya diketahui, bahwa Indodana merupakan bagian dari Cermati. Sementara Cermati dan Tiket.com berada di bawah naungan investor yang sama.

Gambaran fitur paylater di Tiket.com
Gambaran fitur paylater di Tiket.com

Rencana peluncuran Tiket Paylater sebenarnya sudah beredar sejak awal tahun 2019 lalu. Seperti dikutip Katadata, kala itu Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa mengatakan fitur tersebut tengah dalam finalisasi dan direncanakan diluncurkan kuartal kedua tahun 2019. Ia pun mengatakan, Kredivo dipilih sebagai mitra fintech yang memberikan pendanaan. Namun pada akhirnya rencana realisasi fitur tersebut molor dan kerja sama kedua perusahaan pun tidak dilanjutkan.

Dikutip dari laman resmi Tiket.com, layanan paylater ini hanya bisa digunakan oleh pengguna yang berdomisili di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Adapun proses verifikasi pengajuan akan dilakukan kilat, antara 15 menit atau paling lama 1 hari kerja. Tiket Paylater bisa digunakan untuk membayar semua varian produk yang ada di aplikasi Tiket.com, kecuali layanan Pay at Hotel.

Indodana fokus garap produk paylater

Saat ini Indodana sudah mengantongi status terdaftar dan berizin dari OJK. Beberapa waktu lalu DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Ronny Wijaya selaku Direktur Utama Indodana.

Ia menyampaikan, “Kami sekarang sedang fokus untuk mengembangkan produk paylater untuk memberikan kenyamanan untuk masyarakat untuk berbelanja sekarang dan bayar nanti. Untuk melakukan ini Indodana sudah bekerja sama dengan merchant online dan juga pemain e-money.”

Bulan lalu, Bukalapak bersama Indodana juga baru rilis fitur “Bayar Tempo”, solusi paylater untuk para mitra guna mengembangkan usaha mereka.

Menurut statistik internal perusahaan, aplikasi Indodana sudah diunduh lebih dari 3 juta pengguna di seluruh Indonesia. Sejauh ini mereka sudah menyalurkan sekitar 1 triliun Rupiah untuk 30 ribu nasabah, baik untuk peminjam personal maupun UKM.

Paylater lainnya

Sebelumnya beberapa platform sudah gulirkan layanan paylater. Sebagian besar bermitra dengan fintech, kendati ada yang mulai gandeng bank untuk beri pembiayaan. Menariknya, beberapa platform mulai dirikan fintech-nya sendiri untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut – dengan berbagai skema bisnis, melalui anak perusahaan atau proses akuisisi.

Contohnya Findaya yang dikhususkan untuk topang layanan pinjaman/permodalan di Gojek. Kemudian Caturnusa yang mulai fasilitasi secara khusus layanan paylater di Traveloka.  Kemudian ada juga Lentera Dana Nusantara yang terafiliasi secara khusus dengan layanan finansial Shopee.

Berbagai layanan paylater di platform populer lokal
Berbagai layanan paylater di platform populer lokal

Tersedianya produk paylater di berbagai platform ditengarai kebutuhan pengguna terhadap layanan kredit di tengah penetrasi kartu kredit yang stagnan. Statistik BI per November 2019 memaparkan, jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 17,38 juta unit, naik tipis 0,65% secara year on year.

Disclosure: Baik Cermati maupun Tiket.com masih terafiliasi dengan DailySocial di bawah payung GDP Venture dan Djarum Group

Online Travel Platforms Remain Optimistic, Offering Staycation as Priority

Tourism is one of the many industries affected by the pandemic. In the first period, they struggled to serve the refund of its users. Currently, they are preparing to face a new wave of shifting habits starting with domestic tourists.

In the States, based on “Travel Sentiment Study Wave 11” data compiled by Longwoods International and Miles Partnership, 45% of respondents decided to derail their entire travel plans. The rest (55%) decide to make adjustments, including reducing travel plans, changing destinations that can be reached by car, or changing international travel plans to domestic areas.

Changes in travel plan patterns also occur in various countries. One that can be adopted is to re-empower local tourism.

Two local OTA players share their preparations for the new life order. They are ready to welcome users who have been at home for a long time with all the strategies and services that have been adjusted.

Pegipegi’s Corporate Communications Manager. Busyra Oryza explained, in order to recover, it’ll take the travel industry a long time. Nevertheless, it is optimistic that tourism will rise.

“To date, we find that the staycation trend is getting popular. In order to accommodate it easier for customers who want to release fatigue after undergoing quarantine for months, we present a flash sale program with hotel discounts up to 50% during not this July,” Busyra explained.

While Ticket also began to introduce several services to keep loyal users.

The first is the Tiket Clean containing Ticket’s commitment with partners to work together in the standardization of health and hygiene protocols issued by officials, such as WHO.

Tickets also extend the validity period of Tix Points. Those points that should expire between April-June will be extended to December 2020.

“Prioritizing assistance, rescheduling, and refund from customers. We consider this to be an asset investment in the future by prioritizing services to customers,” Ticket team said.

What has changed during the pandemic

Pandemic does not only affect Indonesia. All over the world is chaotic due to the prohibition of many economic activities. In China, there have been changes in the pattern of the travel agent industry.

Chinese local media reported that around 10,000 travel agencies decided to close their businesses at the end of March. The estimated decline in revenue from the tourism industry is estimated at $ 420 billion.

In Indonesia, the pandemic is making a run for the Airy business. Finally, one of the players in the budget hotel sector decided to close the service.

The McKinsey report titled “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” with 1600 respondents highlighting various things about travel after the pandemic.

One of the highlights in the report is domestic travel which is 55% of respondents interested. The pattern of travelers in the United States and China tends to be the same. Most choose to stay on vacation with caution.

Tiket and Pegipegi agree that the staycation trend is predicted to increase. The need for holidays and a pandemic situation that is yet to cease soon make people look for solutions. One answer is a vacation closer to home.

Nevertheless, the travel industry has certainly no longer the same. Some things have changed. One thing for sure is the health protocol. Ticket joins Antis to provide sanitizing kit equipment for those who use the Tiket Clean  service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform “Online Travel” Mencoba Tetap Optimis, Bidik “Staycation” Sebagai Prioritas

Pariwisata adalah satu dari banyak industri yang terdampak pandemi cukup hebat. Di periode pertama mereka susah payah melayani refund para penggunanya. Kini mereka tengah bersiap untuk menghadapi gelombang kebiasaan baru yang tampaknya akan dimulai dengan turis domestik.

Di Amerika Serikat, berdasarkan data “Travel Stentiment Study Wave 11” yang disusun Longwoods International dan Miles Partnership, sebanyak 45% responden memutuskan menggagalkan seluruh rencana perjalanan mereka. Sisanya (55%) memutuskan melakukan penyesuaian, termasuk mengurangi rencana perjalanan, mengubah destinasi yang bisa ditempuh dengan mobil, atau mengubah rencana perjalanan internasional ke wilayah domestik.

Perubahan pola rencana perjalanan juga terjadi di berbagai negara. Salah satu yang bisa diadopsi adalah memberdayakan kembali pariwisata lokal.

Dua pemain OTA lokal berbagi persiapan mereka menghadapi tatanan kehidupan baru. Mereka bersiap menyambut pengguna yang sudah lama berada di rumah dengan segenap strategi dan layanan yang sudah disesuaikan.

Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza menjelaskan, untuk pulih seperti sedia kala industri travel membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kendati demikian pihaknya optimis pariwisata akan bangkit.

“Saat ini kami melihat tren staycation kembali meningkat.  Untuk semakin memudahkan pelanggan yang ingin melepas penat setelah menjalani karantina berbulan-bulan, kami menghadirkan program flash sale dengan diskon hotel s/d 50% selama bukan Juli ini,” terang Busyra.

Sementara Tiket juga mulai memperkenalkan beberapa layanan untuk menjaga pengguna setia.

Yang pertama adalah Tiket Clean yang berisi komitmen Tiket dan partner untuk bekerja sama dalam pemenuhan standarisasi protokol kesehatan dan kebersihan yang dikeluarkan badan resmi seperti WHO.

Tiket juga memperpanjang masa berlaku Tix Point. Mereka yang masa berlaku seharusnya hangus di antara bulan April-Juni akan diperpanjang hingga Desember 2020.

“Memprioritaskan layanan permintaan bantuan, lonjakan reschedule dan refund dari customer. Hal tersebut kami anggap sebagai investasi aset di kemudian hari dengan mengedepankan layanan kepada pelanggan,” terang pihak Tiket.

Yang berubah di masa pandemi

Pandemi tak hanya berdampak di Indonesia. Hampir seluruh dunia dibuat kalang-kabut karena banyak kegiatan ekonomi berhenti. Di Tiongkok, perubahan pola industri travel agent sudah terlihat.

Media lokal Tiongkok melaporkan kurang lebih ada 10.000 agensi travel yang memutuskan untuk menutup bisnisnya akhir Maret kemarin. Estimasi penurunan pemasukan dari industri pariwisata diperkirakan mencapai $420 miliar.

Di Indonesia sendiri pandemi membuat pontang-panting bisnis Airy. Akhirnya salah satu pemain di sektor hotel budget itu memutuskan untuk menutup layanan.

Laporan McKinsey bertajuk “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” dengan 1600 responden menyoroti berbagai hal mengenai perjalanan setelah pandemi.

Salah satu sorotan yang ada di laporan tersebut adalah perjalanan domestik yang diminati 55% responden. Pola para traveler di Amerika Serikat dan Tiongkok ini cenderung sama. Kebanyakan memiih tetap berlibur dengan waspada.

Tiket dan Pegipegi sepakat tren staycation diprediksi akan meningkat. Kebutuhan akan liburan dan situasi pandemi yang tak kunjung reda membuat masyarakat mencari solusi. Salah satu jawabannya adalah liburan yang tak jauh dari rumah.

Kendati demikian, industri travel sudah dipastikan tak lagi sama. Ada beberapa hal yang berubah. Satu yang pasti adalah protokol kesehatan. Tiket menggandeng Antis untuk memberikan perlengkapan sanitizing kit untuk mereka yang menggunakan layanan Tiket Clean.

Perjalanan Natali Ardianto Menjadi Seorang Pakar Industri: Memiliki Tujuan yang Konkret

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.

Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .

Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.

Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.

Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.

tim ITMI
tim ITMI

Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?

Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.

Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?

Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.

Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.

Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.

Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?

Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.

Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony
Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony

Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?

Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.

Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.

Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.

Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?

Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.

Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO
Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO

Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.

Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.

Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.

Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.

Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.

natali nuniek 2003 - Natali and Nuniek

Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.

Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.

Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Grand launching Tiket.com

Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?

Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.

Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.

Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?

Startup Montage

Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Natali Ardianto’s Journey on Becoming an Industry Expert: Set Up a Vivid Goal

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Entrepreneurship is not for everyone. It takes years of hard work, loads of responsibilities, high risk, and other important sacrifices. However, all those will not be an issue when you have a clear set of goals to achieve. At least, it’s what Natali Ardianto, the former tech leader in one of the leading OTA services, Tiket.com, has been doing through these years of paving ways into the tech industry.

Ardianto is now the Co-Founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, the company he built after sailing through several industry sectors. From city directory, OTA, fintech, and now healthtech, each venture has taught him different lessons and shaped him as the industry expert he is now.

As a tech enthusiast and computer geek, he was struggling with chronic introvert but eventually managed to overcome the issue and master the communication skill. One of the key points he suggested is to have a clear vision, a vivid goal, one that you can cling on to, and be precise about it.

As stated on his profile “Life is a journey, not a destination”, DailySocial has an opportunity to dig deeper into his journey and here’s what we discover.

Let’s start from your current position, Co-founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Tell me a bit about the latest venture.

ITMI Team member
ITMI Team member

This is my 5th startup, a healthtech company under the name PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. We provide a digital solution focused on supplement products. It’s a machine learning that fully personalized your data to give recommendations of the best supplement for your health. People may have question, why healthtech?

Simply put, do you think health as primary or secondary? Actually, most people will put health above anything, health will always be positioned first. In fact, it [health] becomes a basic need that people willing to spend money. While other leisure industries require thorough calculation as it is not the primary need. In terms of profit, it surely be a good thing. As the average revenue per user (ARPU) can get few times higher than other leisure industries. In other words, a goal can be achieved with less effort.

Twelve years ago, when you first jumped into the startup life, what were you thinking? How did you start the whole tech-business journey?

In 2008, when startup hype is yet to penetrates the region, we only thought to build a digital company. Also, own a company has been my dream since I was a child. I had my first encounter and fall in love with the computer in the 5th grade, I also started coding around that age. I keep my eyes and mind focused on tech until I make it into Computer Science in Universitas Indonesia.

In 2003, I already started some freelance projects, and it crosses the region. While startups are getting popular in 2010, I had my struggle with Urbanesia, the first company where I learned a lot after 13 months of development. I have mindset that life is about solving problems. When we solve the problem over and over again, we master the skill. It is what happened to my second company that took 8 months of development, and then we make it only 3 months for Tiket.com.

What I want to do is very clear from the very beginning. I labeled myself as a hardcore engineer. However, I’m aware that engineers without basic knowledge of communication will not get any further. Especially if you want to be a leader. Leadership is all about directing and delegating, it makes communication very important.

As a tech geek, do you have any issues regarding communication? You have something to say to other engineers out there?

It’s actually simple, just talk to people. This is not only about literature yet a learning-by-doing process. After two years of teaching, I get better at marketing myself. The problem with engineer is they can’t do marketing. I’m lucky to have a partner to help me learn on how to manage people and share essential insights.

The very first book that’s important to read is “How to win friends and influence people” written by Dale Carnegie. It’s the foundation of communicating with people. And then “7 Habits of Highly effective people” by Stephen Covey, on how we make the right decisions for ourselves and the other. The rest is usually biography and books about different kinds  of leaders, such as Elon Musk, Steve Jobs, or even “Bad Blood” Elizabeth Holmes.

Natali Ardianto with Semut Api Colony team
Natali Ardianto with Semut Api Colony team

You have an educational background in technology information, experienced in several industry sectors, from city directory, OTA, fintech, and now healthtech. How would you describe each venture?

I am an industry-agnostic, I had my first startup focused on city directory without any related background. My second company is named Golfnesia, with a fact that I’ve never been playing golf in my life. Next, in my third company, Tiket, none of the board of directors have background in the OTA service. The previous one is a fintech company named Pluang [used to be EmasDigi], and now my ship anchored in healthtech.

Among all these, there’s a silver lining that one must have, a value named industry expert. It’s not only about the educational background, personality traits, or family pictures. In order to reach that stage, one must get through almost everything.

I am, myself, believe in the secret. There’s something called RAS (Reticular Activating System) in our brain that can filter the mind of significant things. When you have something you really want and plant it in your head as clear and vivid as possible. Eventually, you’ll get it.

In the last four companies, you’ve been serving as a tech leader for the last four companies, now you’re a CEO. How do you see the gap in the transition? Is there any specific skill for that?

In a big picturem when we started Tiket, I created the pitch deck and financial plan. I was always been working a business part for the CEO sometimes. Also, I have background as a project manager in the consulting company. If I must say, I’m always be the business-oriented CTO. I’m very aware of budgets and numbers.

Natali as the iCIO awards
Natali as the iCIO awards

Most of the CTOs are very high maintenance in terms of technology. They only want to use the latest and coolest technology, but high costing, In fact, you can still create something impactful with the simple technology you already have. I create Tiket’s system in a very corporate way and financial detaill. Every transaction is recorded, avoiding fraud and corruption. I’m the type of person who likes to learn things, therefore I can’t just focus on tech, but also business.

However, some people get misled just because they’re learning piece by piece, not end-to-end. The agile thing is quite interesting but without vision it’s no longer effective.

Strategic thinking. As a CEO the keyword is you know what you’re going to achieve in 5 to 10 years. Some CTOs still on to 6 to 2 years plam due to the dynamic industry. In fact, foundations such as legal, finance, businessm is what really matter. I’m lucky to have a good mentor and eleven years of experience. Honestly, today I kinda feel relieved, because decision is a repeating process. When you already know the strategy it’s only time to repeat the previous overcomes.

In terms of Business and Life, do you have someone or something that you really look up to? Either a mentor, companion, things that shaped you into the current position?

In terms of companion, I’d say my wife. I met her in 2002 in time of my chronic introvert issue. Actually, she helped me changed too, on how to communicate, dress well and many others. She’s now a master in psychology counseling. she’s my learning partner, especially in understanding people.

 

The keyword to the leadership position is to manage people. You have to find a way to make them stay, even though what you offer is not as big as the giant company out there. I try to understand and fulfill the emotional part not only financially.  Because we try to create a foundation not only based on money. The problem when people have money, they try to solve everything using it. A way to solve a problem is to become an effective person. When you become an effective person, you also become an efficient person.

Personally, in terms of running a company, Jonggi Manalu of Tiket is my inspiration. In general, Larry Page & Sergey Brin are always the best example, but the first 11 years, Eric Schmidt becomes the seasoned executive and makes google very corporate. I called it corporate agility, corporate is the foundation of a company while agility is how we run the company. Why the foundation must be corporate? Because I often find a company struggling with cash leak, corruption, financial weakness, legal issue, and under management.

Running a startup means running a company, not just a product. You can make a product but if you don’t know anything about marketing, business development, things related to a corporation it won’t work.  I found out two things that can make a company going down, it’s when the founder gives up and the cash runs out.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Natali Ardianto at Tiket’s grand launching

Among the several industries you’ve been managed, which one is the most challenging? What is your biggest lesson for these past experiences?

In terms of entrepreneurship, the key point is timing. Running a company that is not commerce-based is really tough. In order to gain one transaction, either big or small margin need practically the same effort.

In running a company, I’d rather called it a hardship. When running something to be profitable, everything is restricted by budget. As an example, when I’m in the OTA industry, with the current small team competing against the horsepower of our competitor is one hell of a struggle. If I were to say it, not the lowest point, but hardship. The toughness of trying to run a profitable company.

What do you aim next? Is there any unfulfilled dream or something you really want to do after all these?

Startup Montage

After exiting from Tiket.com, I wanted to take a year of “retirement”. My wife and I travel around 5 continents, over 30 cities. But I didn’t enjoy that kind of retirement at all. Eventually, in the 7th month, I help co-found another startup. Building something from scratch and turn it into a big thing has always been my passion. I guess I wouldn’t trade it for anything. Even if I will do this until I am 70 years old, I would still do the same thing. Creating a great product that everyone uses and loves. Also, one day I would like to pursue a Ph.D. in entrepreneurship or e-commerce.

Imbas COVID-19 Terhadap Layanan OTA dan Industri Pariwisata

Penyebaran virus Corona (COVID-19) yang bermula di Tiongkok adalah kabar buruk untuk industri pariwisata dan industri penunjangnya. Dampak buruk ini menyebabkan pelaku industri mengencangkan ikat pinggang sambil menunggu kabar baik penanganan wabah ini.

Merebaknya COVID-19 di Wuhan, Tiongkok, pada akhir Januari lalu sudah dipastikan mengganggu industri pariwisata global, termasuk di Indonesia. Layanan penerbangan dan pemesanan hotel adalah dua pos yang paling terpukul akibat penyakit tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Desember 2019, wisatawan mancanegara secara berurutan paling banyak berasal dari Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Tiongkok sendiri menyumbang sekitar 2 juta turis sepanjang tahun lalu atau peringkat kedua dengan 12,8 persen total wisman. Sementara Malaysia, Singapura, dan wisman dari negara Asia Tenggara lainnya berjumlah 6,1 juta.

Laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperjelas lebih detail pelemahan pariwisata di sejumlah daerah. PHRI menyebut Bali mengalami penurunan yang cukup drastis. Di beberapa titik wisata favorit warga Tiongkok seperti Nusa Dua, Tuban, dan Legian okupansinya anjlok 60-80 persen. Kedatangan penumpang internasional di Bandara Ngurah Rai tercatat stagnan di bawah 15.000 hingga di bawah 14.000 sejak akhir Januari hingga pertengahan Februari. Jumlah pesawat internasional ke Bali pun sempat terpuruk hingga 80-an saja. Padahal sepanjang Januari jumlahnya masih konstan di atas 100-an penerbangan.

Secara keseluruhan tingkat okupansi hotel di Bali hanya sekitar 30-40 persen. Hal yang sama terjadi di Manado yang didominasi wisman Tiongkok. PHRI menyebut okupansi hotel di sana turun 30-40 persen menjadi 30 persen saja.

Imbas terhadap OTA

Online travel agency (OTA) otomatis kena imbas dari situasi ini. Pegipegi melalui keterangan tertulisnya menitikberatkan penurunan pemesanan perjalanan domestik. Hal itu terjadi terutama ketika pemerintah mengumumkan kasus COVID-19 pertama pada Senin (2/3) lalu.

“Saat ini dapat kami lihat bahwa permintaan pemesanan perjalanan untuk destinasi domestik mengalami penurunan mengingat informasi kasus Corona di Indonesia baru saja diumumkan awal minggu ini,” ujar Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza kepada Dailysocial.

Kontribusi OTA dalam ekonomi pariwisata Tanah Air tak bisa dianggap remeh. Databoks Katadata menunjukkan transaksi tiket online berada di angka US$8,6 miliar atau Rp125 triliun pada 2018. Angka itu diprediksi tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp355 triliun pada 2025. Nominal ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Sektor pariwisata menyumbang 5,25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2018 yang sebesar Rp14.837 triliun. Ini artinya dari sekitar Rp779 triliun yang disumbangkan sektor pariwisata, sekitar 16 persen di antaranya berasal dari transaksi online.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat COVID-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

Yusuf berpendapat layanan OTA dapat menambal situasi yang ada dengan layanan sampingan mereka dan mengencangkan promosi untuk pasar domestik. Layanan OTA ternama, seperti Traveloka dan Tiket.com, sudah memiliki sejumlah layanan yang tak terkait dengan pemesanan penginapan maupun tiket pesawat seperti pemesanan makanan atau pemesanan tiket pusat rekreasi.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal. seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Bhima Yudhistira, ekonom Indef, mengatakan pukulan wabah terhadap OTA, terutama yang sudah beroperasi hingga ke mancanegara seperti Traveloka cukup besar. Hampir senada dengan pernyataan Yusuf, menurut Bhima harapan terletak pada kantong wisata domestik yang tinggal beberapa bulan lagi menyambut musim Lebaran.

“Setidaknya ini bisa menjaga situasi agar tak terlalu turun. Apalagi beberapa bulan lagi Lebaran jadi pasti akan ada kenaikan. Walau ada virus Corona, wisatawan domestik akan menyemaptkan pulang, jadi menurut saya masih akan cukup kuat [di domestik],” sambung Bhima.

Perwakilan Traveloka, yang dihubungi secara terpisah, mengaku prihatin atas situasi yang terjadi. Namun mereka menolak menjelaskan sejauh apa dampak yang mereka terima akibat kasus COVID-19. “Saat ini fokus kami adalah mengutamakan keamanan dan kenyamanan pengguna dalam merencanakan perjalanannya,” ujar Head of Marketing, Transport, Traveloka Andhini Putri.

Respons Pegipegi tak jauh berbeda. Mereka masih sibuk mengakomodasi kebutuhan para pelancong yang menggunakan jasa mereka, termasuk dalam pembatalan reservasi. “Saat ini, bagi pelanggan yang ingin membatalkan pemesanan mereka, dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi Pegipegi dengan menggunakan fitur Online Refund,” imbuh Busyra.

Insentif pemerintah

Kontribusi pariwisata memang masih belum sebesar sektor manufaktur atau perdagangan, namun subsektor yang dinaunginya dan pertumbuhannya yang selalu positif cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk menelurkan sejumlah insentif.

Beberapa insentif itu misalnya dana Rp72 miliar untuk influencer (kemudian ditangguhkan); Rp860 miliar berupa diskon tiket peerbangan sebesar 50% untuk 10 destinasi wisata unggulan seperti Danau Toba, Yogyakarta, Bali, hingga Labuan Bajo; dan beberapa insentif lainnya. Nominal-nominal itu adalah insentif tambahan khusus untuk sektor yang berkenaan dengan pariwisata dengan total nominal Rp298,5 miliar. Sebelumnya pemerintah sudah memastikan mengguyur Rp10,3 triliun untuk berbagai sektor sebagai antisipasi pelambatan ekonomi.

Yusuf menilai sejumlah insentif itu patut diapresiasi meski ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Ia menganggap pemerintah belum terlalu rinci terkait penerapan insentif itu. Contohnya adalah diskon tiket penerbangan yang belum jelas berlaku untuk destinasi wisata unggulan saja atau untuk seluruh Indonesia.

Poin ini juga yang menjadi kritik PHRI. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menilai tidak terlalu fokus pada lima destinasi super prioritas, tapi juga ke daerah-daerah yang memiliki bisnis pariwisata mapan.

“Relaksasi pajak insentif jangan hanya ditujukan ke 5 Destinasi Prioritas dan destinasi yang memiliki wisman dari China saja, namun juga ditujukan ke
destinasi yang memiliki international direct flight dari negara negara lain yang kunjungan wisman juga menurun seperti Singapura, Vietnam, Korea Selatan dan
Malaysia,” tukas Hariyadi dalam paparannya.

Hingga tulisan ini dibuat sudah tercatat enam orang yang dinyatakan positif mengidap virus COVID-19 tanpa korban jiwa. Total di seluruh dunia, virus ini menyebabkan nyaris 99 ribu kasus, dengan korban jiwa sebanyak 3.390, dan korban yang pulih sekitar 56 ribu. Tiongkok, Korea Selatan, Italia, dan Iran merupakan empat negara yang saat ini paling menderita akibat wabah ini.