Toge Productions Akuisisi Pengembang Gim Indie Mojiken Studio

Startup pengembang dan penerbit gim lokal Toge Productions resmi mengakuisisi pemain sejenisnya berasal dari Surabaya bernama Mojiken Studio. Setelah aksi ini, Mojiken akan tetap menggunakan brand utamanya.

Dalam pernyataannya pihak Toge menyampaikan, setelah bertahun-tahun bekerja sama, Mojiken Studio telah diakuisisi dan resmi menjadi bagian dari Toge Productions. “Kini tim telah berkembang lebih besar dan kami siap menciptakan lebih banyak game untuk dihadirkan ke dunia,” tulisnya.

Pihak Mojiken juga menambahkan, “Perjalanan kami sebagai pengembang dan penerbit dibangun atas dasar rasa saling percaya, nilai-nilai bersama, dan kerja tim yang dinamis. Ayo buat game lebih banyak lagi,” tulisnya.

Kedua perusahaan sebelumnya berkolaborasi dalam penerbitan gim: She and the Light Bearer (2019), When the Past Was Around (2020), dan A Space for the Unbound (2023). Seluruh gim ini dijajakan melalui Steam.

A Space for The Unbound masuk dalam nominasi ajang penghargaan gim terbesar, yakni The Game Awards 2023. Gim ini masuk dalam kategori Game for Impact, yakni gim dengan nilai-nilai khusus kepada banyak orang.

Sebelum mengakuisisi seluruh saham Mojiken, pada 2017, Toge sebetulnya sudah menjadi investor minoritas di Mojiken dan Gamechanger Studio (asal Tangerang). Tidak disebutkan transaksi untuk kedua perusahaan tersebut.

Akuisisi pertama Toge adalah Tahoe Games berasal dari Kediri dengan nilai Rp4 miliar. Tahoe tetap menggunakan brand-nya walau sudah diakuisisi penuh. Game studio ini terkenal dengan game buatannya Rising Hell (2019).

Toge Productions Umumkan Enam Penerima Program Pendanaan Toge Game Fund Initiative

Juni lalu, Toge Productions mengumumkan sebuah program pendanaan bertajuk Toge Game Fund Initiative (TGFI). Program tersebut ditujukan untuk membantu studio-studio indie di kawasan Asia Tenggara dalam merealisasikan ide-idenya menjadi sebuah prototipe game yang dapat dimainkan, dengan sokongan modal hingga sebesar $10.000.

Setelah melangsungkan proses seleksi, Toge akhirnya mengumumkan enam proyek yang terpilih sebagai partisipan program TGFI. Masing-masing berasal dari studio yang berbeda, dan tidak semuanya berbasis di Indonesia.

Yang pertama adalah Project Darma karya Anoman Studio asal Indonesia. Project Darma merupakan sebuah game action bertempo cepat yang menceritakan tentang misi balas dendam seorang pembunuh bayaran melawan pimpinan-pimpinan bandit dalam setting Indonesia zaman modern. Game ini sebenarnya sudah diumumkan sejak sekitar dua tahun lalu, dan sekarang realisasinya tentu bakal semakin terjamin.

Selanjutnya, ada Ngopi Yuk! garapan Uniqx Studio asal Indonesia. Game ini diadaptasikan dari komik Webtoon berjudul sama, dengan cerita seputar kedai kopi tradisional di kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang sudah menjamu warga-warga lokal selama beberapa generasi. Game tentang kedai kopi dengan kreator Coffee Talk sebagai mentornya. Menarik.

Partisipan yang ketiga adalah Project Descent bikinan Kotakoren Games asal Malaysia. Project Descent merupakan sebuah game RTS dengan setting fantasi yang terinspirasi oleh budaya-budaya Asia Tenggara. Kalau Anda suka dengan game seperti Final Fantasy Tactics, game ini patut Anda pantau perkembangannya.

Berikutnya, ada Project Angkara besutan Trimatra Interactive asal Indonesia. Angkara merupakan sebuah shooter yang banyak terinspirasi FPS lawas Hexen, dengan setting fantasi yang kelam yang berdasar pada sejumlah mitologi Asia Tenggara. Ini bukan kali pertama Trimatra menggarap game yang terinspirasi Hexen. Sebelumnya, studio asal Surabaya ini sudah pernah mengerjakan game berjudul Ravensword: Undaunted.

Proyek yang kelima adalah The Secret Life of Dorian Pink buatan AmberLimShin asal Malaysia. Game ini merupakan sebuah narrative RPG yang agak nyeleneh, dengan lakon utama yang bertujuan untuk menyelamatkan pacarnya dari neraka, dengan cara mengambil keputusan-keputusan yang meragukan, mengumpulkan kawan, dan meledakkan donat. Nyeleneh, tapi penuh intrik.

Terakhir, ada Sunset Satellite karya Twilight Foundry Games asal Malaysia. Sebelumnya sempat diumumkan di event Level Up KL 2021, Sunset Satellite dideskripsikan sebagai sebuah 3D interactive fiction yang penuh atmosfer dan emosi, dengan narasi seputar pertumbuhan dan penerimaan. Grafik bergaya lo-fi membuat game ini terkesan sangat chill untuk dimainkan.

Selain menerima bantuan dana tanpa terikat kontrak eksklusif maupun sistem royalti, keenam developer indie tadi juga bakal menerima mentoring dari beberapa anggota veteran Toge Productions. Program TGFI ini benar-benar bertujuan untuk membantu, dan Toge sendiri hanya mendapatkan hak sebagai pihak pertama yang menawarkan diri untuk menjadi publisher.

Kabar baiknya, Toge masih membuka program TGFI buat developer-developer lain yang berminat mengikuti. Detail lebih lengkap sekaligus persyaratannya dapat dilihat langsung di situs Toge Productions.

Sumber: IGN dan Virtual SEA.

Tips untuk Melakukan Pitching ke Publisher dari Toge Productions

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IDGX) pada 18-22 November 2021. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di industri game lokal menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan IGDX. Dan salah satu topik yang dibahas di acara tersebut adalah cara developer game melakukan pitching pada publisher.

Ketika ditanya tentang tips untuk melakukan pitching pada publisher, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjawab, “Jangan malu-malu. Langsung saja kirim email ke publisher. Tapi, ketika kalian kirim email, jangan hanya bilang kalau kalian ingin melakukan pitching. Kirimkan pitch deck yang meyakinkan.” Dia mengungkap, salah satu kelemahan developer game di Indonesia memang ketidaktahuan akan cara untuk melakukan pitching.

“Yang paling penting, developer harus bisa menjelaskan kenapa game yang mereka buat harus ada di dunia,” jelas Kris. “Alasannya apa? Apa karena ada kebutuhan tertentu, atau memang ada demand tertentu atau ada kesempatan khusus? Developer juga harus bisa meyakinkan publisher bahwa mereka bisa mengeksekusi game yang akan mereka buat. Jadi, tidak hanya jualan mimpi.”

Lebih lanjut, Kris menjelaskan, saat melakukan pitching, developer juga sebaiknya mengirimkan mockup, screenshots, atau bahkan prototipe dari game yang hendak mereka buat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan game yang ingin developer kembangkan. Ketika email pitching tidak dibalas, Kris mengatakan, developer tidak boleh menyerah begitu saja. Dia menyarankan agar developer terus mengirimkan email pitching pada publisher. “Spam juga nggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa. “Perseverance memang penting sih.”

Adib, Kris, dan Riris dalam IGDX.

Adib Toriq, CEO Algorocks juga memberikan tips tentang cara melakukan pitching pada publisher. Dia memberikan saran dari sudut pandang Algorocks sebagai developer game. Saran pertamanya adalah untuk memeriksa portofolio publisher sebelum developer melakukan pitching. “Karena, terkadang, publisher menolak sebuah game bukan karena game-nya tidak bagus, tapi karena tidak sesuai dengan portofolio publisher,” kata Adib.

Selain itu, Adib juga menekankan pentingnya etika ketika menghubungi publisher. “Jangan jadi orang menyebalkan,” ujarnya. Salah satu contoh etika yang dia berikan adalah membalas email dari publisher dengan cepat. Contoh lainnya adalah mengajukan dana sesuai dengan kebutuhan. “Dan yang paling penting adalah game harus punya value. Seberapa bagus skill pitching developer, kalau game-nya memang tidak punya nilai unik, bakal sulit untuk membuat publisher mau merilis game itu,” katanya.

Usaha developer tidak berakhir dengan tawaran kontrak dari publisher. Riris Marpaung, CEO dan pendiri GameChanger Studio mengatakan, setelah mendapatkan kontrak dari publisher, developer sebaiknya memeriksa kontrak tersebut bersama dengan pengacara. Alasannya adalah karena kontrak antara developer dan publisher “penuh dengan pasal-pasal hukum jelimet“, menurut Riris. Untuk meninjau kontrak, developer tidak harus punya pengacara sendiri. Bisa saja, mereka menggunakan jasa pengacara per kontrak.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Apakah yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Industri Game Indonesia?

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa nilai industri game di Indonesia mencapai Rp24,4 triliun. Melihat besarnya potensi pasar game di Indonesia, tidak heran jika pemerintah menunjukkan ketertarikan untuk mendorong pertumbuhan industri tersebut. Apalagi karena game development terbukti sebagai salah satu industri yang tetap bisa bertahan di tengah pandemi sekalipun.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda-beda terkait industri game. Belum lama ini, Tiongkok memperketat peraturan terkait waktu main game untuk anak dan remaja di bawah umur. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menghapus pembatasan waktu main untuk anak di bawah umur 16 tahun. Kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya akan memberikan dampak besar pada perusahaan game. Karena itu, kali ini, saya akan mencoba membahas tentang kebijakan yang pemerintah Korea Selatan dan Polandia ambil untuk mengembangkan industri game.

Program Pemerintah Korea Selatan untuk Memajukan Industri Game

Korea Selatan adalah pasar game terbesar ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan rata-rata dari industri game di Korea Selatan memang mencapai 9,8% per tahun. Tak hanya itu, game juga sukses menjadi komoditas ekspor. Buktinya, nilai ekspor dari game buatan perusahaan Korea Selatan mencapai US$6,4 miliar per tahun. Semua hal ini membuat pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk mendukung industri game.

Dengan sokongan pemerintah — khususnya Kementerian Kebudayaan — industri game diharapkan akan menciptakan 102 ribu lowongan pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah juga berharap, industri game akan bisa mendapatkan pemasukan sebesar KRW19,9 triliun (sekitar Rp240 triliun) pada 2024. Sebanyak KRW11,5 triliun atau sekitar Rp139 triliun diharapkan akan datang dari ekspor

“Menurut perhitungan kami, perusahaan kecil dan menengah akan menjadi kunci untuk mendorong industri game dalam mencapai tujuan yang telah kami tetapkan,” ujar Kim Hyun-hwan, Director General of Content Policy Bureau, yang ada di bawah Kementerian Kebudayaan, seperti dikutip dari The Korea Herald.

Menteri Kebudayaan Korea Selatan, Park Yang-woo. | Sumber; The Korea Herald

Untuk mendorong pertumbuhan industri game, salah satu program yang pemerintah Korea Selatan adakan adalah membuka jasa konsultasi. Selain itu, melalui Kementerian Kebudyaan, pemerintah juga akan membuat sistem informasi tentang pasar game global. Keberadaan sistem informasi itu diharapkan akan memudahkan perusahaan game kecil dan menengah untuk melebarkan sayap mereka ke pasar di luar Korea Selatan. Terakhir, pemerintah juga akan mengembangkan Global Game Hub Center.

Didirikan pada 2009, Global Game Hub Center berfungsi sebagai incubator dari perusahaan game. Mereka juga punya tanggung jawab untuk melatih calon pekerja di industri game. Selain itu, fungsi dari Global Game Hub Center adalah untuk mendukung perusahaan game agar mereka bisa menciptakan produk yang berkualitas. Alasan pemerintah Korea Selatan mendirikan Global Game Hub Center pada 2009 adalah karena mereka ingin mendorong perusahaan game lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar global. Pasalnya, ketika itu, pasar game di Korea Selatan dikhawatirkan telah mulai jenuh, menurut laporan Korea IT Times.

Tak hanya mendukung industri game, pemerintah Korea Selatan juga akan menyokong industri esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan adalah menetapkan sejumlah PC bang alias warung internet sebagai fasilitas pusat esports. PC bang yang telah ditetapkan tersebut kemudian akan menjadi tempat penyelenggaraan berbagai game events. Semua hal itu diharapkan akan membantu tim dan pemain esports amatir.

Sementara itu, untuk pemain profesional, pemerintah berencana untuk membuat standarisasi kontrak. Tujuannya adalah untuk melindungi para pemain profesional. Di tahun ini, pemerintah juga berencana untuk membuat sistem registrasi pemain. Pada November 2021, pemerintah Korea Selatan juga akan berkolaborasi dengan Jepang dan Tiongkok untuk mengadakan kompetisi esports.

Pendekatan Pemerintah Polandia untuk Industri Game

Polandia memang tidak masuk dalam daftar 10 negara dengan pasar game terbesar. Namun, nilai industri game di Polandia hampir mencapai EUR500 juta (sekitar Rp8,3 triliun). Selain itu, Polandia juga menjadi rumah dari CD Projekt Red, salah satu perusahaan game terbesar di Uni Eropa. Selain CD Projekt, Polandia juga punya beberapa perusahaan game sukses, seperti Ten Square Games, PlayWay, dan 11 bit Studios.

Industri game di Polandia cukup matang. Secara total, ada lebih dari 400 studio game di Polandia. Sementara jumlah pekerja di bidang game mencapai 9,7 ribu orang, menurut laporan The Game Industry of Poland. Berdasarkan data dari Game Industry Conference, sebanyak 39% perusahaan game Polandia mempekerjakan lima atau kurang orang. Sementara 40% perusahaan game memiliki 6-16 pekerja, 10% memiliki lebih dari 40 pegawai, dan 10 perusahaan mempekerjakan lebih dari 200 orang.

Menurut Michał Król, analis di PolskiGamedev.pl, setiap tahun, perusahaan-perusahaan game asal Polandia meluncurkan 200 game untuk PC dan konsol, serta 35 game VR. Dari segi pemasukan, dalam beberapa tahun belakangan, industri game Polandia juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada periode 2016-2019, tingkat pertumbuhan industri game di Polandia selalu hampir mencapai 30%, bahkan tanpa menghitung kontribusi dari CD Projekt.

Pemasukan industri game di Polandia pada 2016-2019. | Sumber: The Game Industry of Poland

Pendidikan jadi salah satu alasan mengapa industri game Polandia bisa tumbuh pesat. Saat ini, universitas-universitas di Polandia menawarkan 60 jurusan terkait pembuatan game. Dari 60 jurusan itu, sekitar 26 jurusan ditujukan untuk programmer, 17 jurusan untuk para artists, 9 jurusan ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi game designer, dan sisanya merupakan jurusan bagi musisi, sound engineers, narrative designers, atau studi akan game.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Polandia ingin mendukung industri game adalah karena faktor ekonomi. Alasan lainnya adalah karena game kini menjadi bagian penting dari diplomasi budaya. Memang, pada 2020, jumlah gamers mencapai 2,7 miliar, menurut laporan dari Newzoo. Sementara di Polandia, jumlah gamers mencapai 16 juta orang, hampir 50% dari total populasi negara tersebut.

Untuk mendukung industri game, pemerintah Polandia melalui Kementerian Budaya dan Warisan Nasional meluncurkan program Creative Industries Development. Sementara itu, National Research and Development Centre memulai inisiatif GameINN, yang menawarkan subsidi tahunan untuk biaya riset dan pengembangan. Terakhir, Polish Agency for Enterprise Development (PARP) menawarkan dukungan finansial untuk mempromosikan produk Polandia ke pasar luar negeri.

Pasar game dan esports di Polandia.

Pasar game global memang jadi incaran perusahaan-perusahaan game Polandia. Faktanya, 96% game Polandia diekspor ke luar negeri. Target ekspor utama dari perusahaan game Polandia adalah Amerika Serikat, yang merupakan pasar game terbesar ke-2 setelah Tiongkok dengan nilai US$42,1 miliar. Dan berbeda dengan Beijing, pemerintah AS tidak menetapkan peraturan yang terlalu ketat terkait game-game asing yang hendak diluncurkan di AS. Selain AS, developer Polandia juga menargetkan pasar Uni Eropa. Sementara Asia bukan prioritas utama developer Polandia. Pasalnya, hanya 10% game Polandia yang diekspor ke Asia.

Tingkat ekspor perusahaan game Polandia begitu tinggi sehingga sejumlah perusahaan mendapatkan pemasukan sepenuhnya dengan mengekspor game mereka, setidaknya dalam satu periode. Ada dua alasan mengapa beberapa perusahaan game Polandia sepenuhnya fokus untuk mengekspor game mereka. Pertama, mereka memang bekerja sama dengan rekan di luar Polandia. Kedua, mereka menganggap, pasar Polandia tidak cukup penting untuk game mereka.

Besarnya volume ekspor dari game-game Polandia menjadi salah satu alasan mengapa industri game dari negara itu bisa hampir mencapai EUR500 juta. Padahal, populasi Polandia hanya mencapai 38 juta orang. Menyasar pasar global memungkinkan developer game Polandia untuk mendapatkan audiens yang lebih luas. Jika dibandingkan dengan Polandia, industri game Indonesia jauh berbeda. Indonesia punya populasi yang jauh lebih banyak, mencapai sekitar 273,5 juta orang. Sayangnya, Average Revenue per User (ARPU) dari gamers di Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun.

Total belanja gamers biasanya berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Artinya, semakin besar PDB per kapita sebuah negara, biasanya, semakin besar pula besar spending yang gamer habiskan. Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, ARPU gamer di Indonesia adalah US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sebagai perbandingan, ARPU dari gamers di Malaysia dan Singapura mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Masalah di Industri Game Lokal: Dana

Dana merupakan salah satu masalah utama bagi developer game di Indonesia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2020, sebanyak 67,8% developer lokal menggunakan dana pribadi untuk mengembangkan game yang mereka buat. Sementara developer yang mendapatkan dana dari angel investor hanya 10%, dari VC 4,8%, dan dari incubator atau accelerator 3,6%.

Kabar baiknya, pemerintah sudah menyadari masalah ini dan berusaha untuk mengatasinya. Salah satu program yang pemerintah adakan untuk mendanai developer game adalah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Dana tersebut bersifat hibah. Artinya, developer tidak perlu mengembalikan dana tersebut. Hanya saja, developer yang menerika BIP wajib untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan proposal mereka di awal.

Pemerintah meluncurkan BIP pada 2017. Ketika itu, jumlah maksimal dana yang bisa didapatkan adalah Rp100 juta. Sekarang, dana maksimal yang pemerintah bisa kucurkan mencapai 2 kali lipat, yaitu Rp200 juta. Satu hal yang harus diingat, BIP sebenarnya ditujukan untuk para pelaku industri kreatif. Artinya, developer game bukan satu-satunya pihak yang bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana BIP. Pelaku industri kreatif lain juga punya kesempatan yang sama. Industri kreatif yang dicakup oleh BIP antara lain pariwisata, fashion, kriya, kuliner, film dan animasi, serta aplikasi. Jika tertarik, Anda bisa tahu informasi lebih lanjut tentang BIP di sini.

Dalam sebuah sharing session, Mojiken Studio dan GameChanger Studio — yang menerima BIP pada 2019 — mengungkap bahwa sebagian besar dana yang mereka dapatkan dari BIP digunakan untuk membayar pekerja selama proses pengembangan game. Selain memberikan dana secara langsung pada developer untuk membuat game, pemerintah juga bisa membantu publisher mempromosikan game buatan developer lokal, baik melalui media ataupun influencer di dunia game. Pemerintah juga bisa mencoba untuk mengubah persepsi masyarakat, khususnya orang tua, akan game. Pasalnya, masih banyak orang tua yang menganggap game sebagai sesuatu yang buruk.

Soal masalah dana, developer game kini juga bisa mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber lain, selain pemerintah. Pada Juni 2021, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative, dengan maksimal pendanaan mencapai US$10 ribu atau sekitar Rp142 juta. Sementara pada September 2021, Agate meluncurkan Skylab Fund, yang menawarkan kucuran dana hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,2 miliar. Telkom juga bekerja sama dengan Melon Indonesia dan Agate untuk mengadakan Indigo Game Startup Indonesia. Batas maksimal dana yang ditawarkan dari program itu adalah Rp2 miliar. Selain dana, program itu juga menawarkan mentor serta lisensi untuk penggunaan software dan co-working space.

SDM, Internet, dan Penyensoran

Selain masalah dana, masalah lain di industri game Indonesia adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dalam wawancara eksklusif, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa di Indonesia, tidak banyak orang yang sudah bekerja lama di industri game. Alasannya, industri game Indonesia memang relatif lebih muda dari industri game di Jepang atau negara-negara lain yang industri game-nya sudah matang. Untungnya, saat ini, sudah ada universitas dan institusi pendidikan lain yang menawarkan program pendidikan untuk membuat game.

Masalahnya, matematika masih sering dianggap sebagai momok untuk para siswa di Indonesia. Padahal, matematika dan segala ilmu turunannya — seperti vektor, node, dan lain sebagainya — banyak digunakan dalam proses pembuatan game, seperti yang dibahas dalam artikel The Use of Mathematics in Computer Games dari University of Cambridge. Misalnya, untuk membuat agar karakter musuh bisa mengejar karakter pemain menggunakan jarak tersingkat, developer harus menggunakan node, edge, dan graphs. Sementara untuk memperkirakan lintasan lemparan granat, developer harus menggunakan ilmu fisika.

Mengingat tingginya tingkat kompleksitas proses pembuatan game, pemerintah bisa mendorong perusahaan game lokal untuk mulai menjajaki industri game dengan membuat dan menjual aset game. Karena, membuat aset untuk game membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan proses pembuatannya pun lebih sederhana. Contoh aset-aset game yang bisa dijual adalah desain karakter, objek, lingkungan, dan kendaraan — baik dalam 2D maupun 3D. Ikon untuk antarmuka pada game juga bisa menjadi aset yang dijual. Untuk para programmer, mereka bisa menawarkan kode untuk AI, special effect, atau  pengaplikasian hukum fisika pada game. Sementara untuk para musisi, mereka bisa menyediakan background music atau sound effect.

Hal lain yang bisa pemerintah lakukan untuk mendorong pertumbuhan industri game — dan industri digital lainnya — adalah membangun infrastruktur internet yang memadai. Untuk mencapai hal ini, salah satu program yang pemerintah sudah laksanakan adalah Palapa Ring, yaitu proyek untuk membangun jaringan fiber optic yang menjangkau 440 kota/kabupaten di 34 provinsi di Indonesia. Ide akan Palapa Ring dicetuskan pertama kali pada 2005. Proyek itu sempat muncul pada 2007 sebelum menghilang dan kembali dimulai pada 2015. Pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dapat mendorong penetrasi internet ke kawasan pelosok. Sayangnya, proyek tersebut tidak meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Sialnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga, kecepatan internet di Indonesia masih lebih rendah. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile Indonesia adalah 23,12 Mbps. Sementara itu, jaringan fixed broadband di Indonesia memiliki kecepatan 27,83 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia punya kecepatan internet broadband dan mobile paling rendah.

Kecepatan internet di negara-negara Asia Tenggara. | Sumber data: Speedtest

Internet cepat untuk apa? Pertama, komunikasi. Pandemi memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Alhasil, banyak meeting yang dialihkan ke ranah digital. Dan untuk bisa mengadakan meeting virtual yang nyaman, diperlukan internet yang memang mumpuni. Kedua, internet cepat juga bisa memudahkan para pekerja industri game untuk belajar. Ada banyak kelas online tentang membuat game, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Namun, sekali lagi, hal itu membutuhkan internet yang memang memadai.

Saat ini, 97% game di Indonesia merupakan game impor. Pemerintah ingin meningkatkan pangsa pasar game lokal di pasar Indonesia. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menetapkan “pembatasan”; membatasi bandwidth untuk mengakses game-game luar sehingga gamers lebih tertarik untuk mengakses game-game lokal. Sebenarnya, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba untuk membatasi ranah dunia maya yang bisa diakses oleh netizen. Kata kunci: mencoba.

Sejak lama, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menghapus konten pornografi. Mesin AIS atau crawling adalah salah satu usaha pemerintah — melalui Kominfo — untuk membatasi “konten negatif”, termasuk pornografi. Mesin itu telah diluncurkan sejak 2018. Untuk mendapatkan mesin itu, pemerintah rela mengeluarkan Rp194 miliar. Idealnya, keberadaan mesin AIS bisa menghentikan netizen Indonesia untuk mengakses konten pornografi.

Namun, kenyataannya, orang-orang Indonesia justru menjadi top fans dari Eimi Fukada, bintang film dewasa asal Jepang. Hal ini menjadi bukti bahwa konten pornografi masih bisa diakses oleh netizen Indonesia, terlepas dari usaha pemerintah untuk memblokir akses ke konten tersebut. Seperti kata pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan.

Jumlah fans dari Eimi Fukada. | Sumber: Facebook

Penutup

Di mana ada gula, di situ ada semut. Wajar jika pemerintah Indonesia tertarik untuk dengan industri game setelah menyadari besarnya potensi industri tersebut. Sebagian pihak terlihat sangsi akan keseriusan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri game. Namun, sejauh ini, sudah ada beberapa program nyata yang pemerintah realisasikan untuk mendukung developer lokal. Misalnya, tanpa BIP, When the Past Was Around dari Mojiken Studio tidak akan pernah terealisasi. Selain itu, pemerintah juga pernah mengirimkan sejumlah developer game lokal ke ajang internasional bergengsi, seperti Tokyo Game Show dan Gamescom 2021.

Jadi, kali ini, saya rasa, tidak ada salahnya untuk berbaik sangka pada niat pemerintah. Hope for the best and prepare for the worst.

Toge Productions Sedang Garap Coffee Talk 2, Seri Final Fantasy Klasik Bakal Dirilis di PlayStation Now

Minggu lalu, Toge Productions memamerkan beberapa game yang akan mereka rilis. Salah satunya adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Selain itu, Kickstarter mengumumkan bahwa jumlah proyek pengembangan game di platform mereka pada semester pertama 2021 lebih banyak dari tahun lalu. Pada minggu lalu, juga muncul kabar bahwa game-game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now.

H1 2021, Total Dana untuk Proyek Pengembangan Game di Kickstarter Capai US$13 Juta

Kickstarter baru saja merilis laporan terkait proyek pengembangan game di platform mereka untuk semester pertama 2021. Dari Januari sampai 1 Juli 2021, ada 649 proyek pengembangan game yang didaftarkan di platform crowdfunding tersebut. Sementara pada tahun lalu, jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter hanya mencapai 588 proyek.

Kickstarter menjelaskan, salah satu alasan mengapa jumlah proyek pengembangan game di tahun ini lebih banyak adalah karena adanya proyek dari 2020 yang tertunda hingga 2021. Sementara dari segi total dana yang dikumpulkan, selama semester pertama 2021, jumlah dana yang dikumpulkan untuk proyek pengembangan game mencapai US$13 juta, lebih besar US$2 juta dari tahun lalu.

Jumlah proyek pengembangan game yang didanai di Kickstarter. | Sumber: Kickstarter

Namun, bertambahnya jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter berarti jumlah proyek yang tidak mencapai target pendanaan juga naik. Pada semester pertama 2021, ada 184 proyek pengembangan game yang berhasil mencapai target pendanaan mereka. Hal itu berarti, ada 465 proyek pengembangan game yang gagal mencapai target yang telah mereka tentukan. Sementara pada 2020, jumlah proyek yang mencapai target adalah 168 proyek dan jumlah proyek yang gagal mencapai target pendanaan adalah 420 proyek, menurut laporan GamesIndustry.

Pemasukan CD Projekt di Semester 2 2021 Naik 29%

Minggu lalu, CD Projekt merilis laporan keuangan mereka untuk semester pertama 2021. Dari laporan keuangan tersebut, diketahui bahwa pemasukan perusahaan naik 29% menjadi PLN471 juta (sekitar Rp1,76 triliun). Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan pemasukan CD Projekt adalah karena Cyberpunk 2077 dan The Witcher: Wild Hunt masih laku. Menariknya, para gamers mulai mengubah metode pembelian game. Buktinya, penjualan game secara fisik hanya naik 5% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, menurut laporan GamesIndustry, penjualan game secara digital naik 32%.

Selain perubahan dalam cara membeli game, CD Projekt menyadari adanya perubahan dalam kawasan yang memberikan kontribusi besar pada penjualan game mereka. Penjualan game CD Projekt di Eropa turun 52% dari tahun lalu. Namun, jumlah penjualan di Amerika Serikat justru naik sebesar 94%. CD Projekt juga mengungkap, walau pemasukan mereka naik, jumlah pendapatan mereka tetap berkurang karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk memperbaiki Cybrepunk 2077.

Toge Productions Punya Game Baru: Coffee Talk Episode 2 dan Vanaris Tactics

Tujuh publisher indie game international bergabung untuk membentuk Indie Houses. Toge Productions merupakan salah satu publisher yang ikut serta dalam proyek tersebut. Minggu lalu, Indie Houses mengadakan siaran pertama mereka, menampilkan game-game yang akan diluncurkan oleh tujuh studio yang menjadi anggota mereka. Dalam siaran itu,  Toge Productions mengumumkan beberapa game baru yang sedang mereka garap, lapor IGN.

Salah satu game yang Toge sedang kembangkan adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Di siaran Indie House, Toge menampilkan cuplikan pertama dari Coffee Talk 2. Selain itu, mereka mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan When the Past Was Around untuk platform mobile. Terakhir, mereka mengungumkan bahwa mereka akan merilis Vanaris Tactics. Game tersebut dibuat oleh Matheus Reis, developer solo dari Brasil. Di Vanaris Tactics, pemain akan bermain sebagai Morgana dan sekelompok pengungsi yang ingin bisa bebas dari kekangan Vanaris.

Brendan ‘PlayerUnknown’ Greene Tinggalkan Krafton untuk Buat Studio Baru

Brendan “PlayerUnknown” Greene akan meninggalkan Krafton Game Union untuk membentuk studio game baru, PlayerUnknown Productions. Studio barunya akan terletak di Amsterdam, Belanda. Meskipun begitu, Krafton masih akan memiliki saham di perusahaan tersebut. Greene dikenal sebagai kreator dari PlayerUnknown’s Battlegrounds milik Krafton. Keputusannya untuk keluar dari Krafton cukup membuat hebot, mengingat PUBG, game buatannya, berhasil mempopulerkan genre game baru, yaitu battle royale. Selain itu, PUBG juga sangat sukses dari segi keuangan. Total pemasukan dari PUBG Mobile saja telah mencapai lebih dari US$5,1 miliar, menurut Sensor Tower.

“Saya sangat berterima kasih pada semua orang di PUBG dan Krafton yang telah memberikan saya kesempatan selama empat tahun terakhir,” kata Greene, seperti dikutip dari GamesBeat. “Sekarang, saya tidak sabar untuk memulai perjalanan baru saya untuk membuat game yang telah saya idamkan selama bertahun-tahun. Sekali lagi, saya berterima kasih pada semua orang di Krafton karena mendukung rencana saya.”

Seri Final Fantasy Klasik Bakal Tersedia di PlayStation Now

Koleksi game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now. Dengan begitu, para gamers akan bisa memainkan game-game Final Fantasy lawas di PlayStation 4, PlayStation 5, atau bahkan PC. Game pertama yang akan bisa dimainkan adalah versi orisinal dari Final Fantasy 7. Game itu akan tersedia di PlayStation Now pada 7 September 2021. Setelah itu, setiap satu bulan, satu game Final Fantasy klasik akan diluncurkan di PlayStation Now.

Final Fantasy 9 akan tersedia di PlayStation Now pada 2 November 2021. 

Game kedua yang akan dirilis untuk PlayStation Now adalah Final Fantasy 8 Remastered. Game tersebut akan tersedia pada 5 Oktober 2021. Sementara Final Fantasy 9 akan diluncurkan di PlayStation Now pada 2 November 2021. Dan pada Desember 2021, Anda akan bisa memainkan Final Fantasy X serta Final Fantasy X-2 HD Remaster. Terakhir, pada 4 Januari 2022, Final Fantasy 12: The Zodiac Age akan tersedia di PlayStation Now, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Toge Production Buat Program Pendanaan untuk Developer ASEAN, Data Internal CD Projekt Red yang Dicuri Tersebar Online

Toge Productions mengumumkan program baru mereka untuk mendukung developer asal Asia Tenggara. Sementara itu, Retrogade Arena buatan developer Indonesia diluncurkan untuk Nintendo Switch. Dan dua mantan developer Call of Duty membuat studio game baru yang akan mengembangkan game eksklusif untuk PlayStation.

Toge Production Luncurkan Program Pendanaan untuk Developer Asia Tenggara

Minggu lalu, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative. Program tersebut ditujukan untuk membantu developer asal Asia Tenggara. Melalui program ini, developer bisa mengajukan proposal untuk membuat sebuah game pada Toge. Jika game itu dianggap menarik, maka Toge akan memberikan dana hingga US$10 ribu untuk pengembangan game tersebut. Tak hanya uang, Toge juga akan memberikan akses pada mentor, konsultasi, dan manajemen proyek pada sang developer.

Toge adakan program pendanaan untuk developer Asia Tenggara. | Sumber: Toge Productions

Menariknya, hak atas Intellectual Property (IP) dari game yang dibuat tetap dipegang oleh developer sepenuhnya. Sebagai ganti dari semua yang Toge berikan, mereka hanya meminta Right of First Refusal. Jadi, Toge mendapatkan hak untuk menjadi pihak pertama yang menawarkan diri untuk menjadi publisher dari game yang developer sudah buat, menurut laporan GamesIndustry.

Mantan Developer Call of Duty Buat Studio Game, Deviation Games

Dua mantan developer Call of Duty, Dave Anthony dan Jason Blundell, membuat studio baru, bernama Deviation Games. Studio tersebut diperkenalkan dalam Summer Game Fest Kickoff. Dalam proyek pertama mereka, Deviation Games akan bekerja sama dengan Sony. Walau Deviation tidak memberikan informasi detail tentang game yang akan mereka buat, kemungkinan besar, game pertama mereka akan diluncurkan secara eksklusif untuk PlayStation. Bermarkas di Los Angeles, Amerika Serikat, Deviation memiliki tim yang berisi lebih dari 100 orang, lapor GamesRadar.

Retrograde Arena Buatan Studio Indonesia Diluncurkan untuk Nintendo Switch

Retrogade Arena kini bisa dimainkan di Nintendo Switch secara gratis. Game top-down twin-stick shooter tersebut dibuat oleh developer Indonesia, Freemergency dan dirilis oleh Neon Doctrine. Pada awalnya, game itu diluncurkan di Steam pada tahun lalu, menurut laporan IGN. Dalam game ini, Anda bisa menggunakan berbagai senjata — mulai dari sniper sampai machine gun — untuk mendorong musuh ke tembok dan membunuhnya. Retrogade Arena bisa dimainkan oleh hingga enam orang. Di Twitter, CEO Neon Doctrine, Iain Garner mengatakan bahwa game ini telah diunduh sebanyak 32 ribu kali pada hari peluncuran.

 

CD Projekt Red Akui Data Internal Mereka Telah Disebar Online

CD Projekt Red menjadi korban dari serangan ransomware pada Februari 2021. Minggu lalu, mereka mengaku bahwa data internal mereka yang tercuri telah diunggah ke internet. Mereka percaya, informasi internal yang bocor mencakup data akan pekerja dan mantan karyawan mereka. Selain itu, para hackers juga berhasil mendapatkan source code dari beberapa game CD Projekt Red, termasuk Cyberpunk 2077 dan versi The Witcher 3 yang tidak pernah dirilis. Para hackers juga mengancam, mereka akan membocorkan data CD Projekt Red terkait HR, investor, keuangan, dan lain sebagainya, lapor Engadget.

Selain mengakui bahwa data internal mereka telah bocor, CD Projekt Red juga menjelaskan langkah yang mereka ambil untuk meningkatkan keamanan perusahaan. Mereka menyebutkan, mereka telah mendesain ulang infrastruktur IT mereka dan menggunakan firewall baru yang dilengkapi dengan fitur anti-malware. Mereka juga menggunakan solusi remote-access baru dan membatasi jumlah akun yang bisa mengakses data perusahaan. Mereka menambahkan, mereka kini bekerja sama dengan perusahaan keamanan siber dan badan penegak hukum, termasuk kepolisian Polandia dan badan regulasi data nasional.

Developer Singapura, Cyomo, Kembangkan Game 2D Action RPG

Studio game asal Singapura, Cyomo, tengah mengembangkan game 2D Action RPG berjudul StoryArcana. Dalam game ini, pemain akan menjadi Clay Quilt, remaja yang masuk ke sekolah sihir berkat program pertukaran pelajar. Pada Senin sampai Jumat, Quilt akan fokus untuk belajar magic spell baru dari para pengajar di Azufelt, Academy of the Arcane. Dan pada akhir pekan, dia akan bisa mengunjungi Noxrose City untuk bertemu dengan orang-orang yang tinggal di sana. Di kota tersebut, para pemain bisa menyelesaikan berbagai quest yang ada untuk mendapatkan komponen sihir dan tongkat serta uang untuk membeli magic item baru, seperti sapu terbang.

Proses pembuatan StoryArcana dimulai pada awal 2019. Ketika itu, Rory Mitchell merupakan satu-satunya developer. Dalam waktu satu tahun, dia berhasil mengumpulkan tim kecil untuk mengembangkan game tersebut. Mereka berhasil membuat demo gratis yang akan diluncurkan pada Steam Next Fest yang digelar pada 16 Juni 2021, seperti yang disebutkan oleh IGN.

Menakar Peluang Bagi Developer Game Lokal di Nintendo Switch

Nintendo meluncurkan Switch pada 2017. Salah satu keunikan Switch adalah, selain bisa dimainkan seperti konsol kebanyakan, ia juga bisa menjadi handheld console. Keunikannya membuat Switch laku keras. Dalam laporan finansial pada Januari 2020, Nintendo mengungkap bahwa mereka telah menjual sekitar 52 juta unit Switch di dunia. Dengan begitu, total penjualan Switch telah melampaui Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan bahkan hampir mencapai empat kali lipat dari total penjualan Wii U. Sebagai perbandingan, Sony meluncurkan PlayStation 4 pada 2013. Per Maret 2020, telah terjual 108 juta unit PlayStation 4 di dunia.

Keunikan Switch dan Perilaku Para Penggunanya

Jika dibandingkan dengan konsol PlayStation dan Xbox atau PC, Switch itu unik. Untuk bermain Switch, Anda tak melulu harus duduk di depan televisi. Sama seperti smartphone, Anda bisa memainkannya hampir kapan saja dan di mana saja. Karena itu, jangan heran jika perilaku gamer Switch juga agak berbeda dari para pemain PlayStation atau PC. Menurut Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate Studio, pemain Switch biasanya adalah orang-orang yang tidak punya banyak waktu luang untuk bermain.

“Banyak pemain Switch yang bermain untuk mengisi waktu luang. Bukannya menyempatkan diri, menyediakan waktu kosong untuk bermain game,” ujar Cipto ketika dihubungi melalui telepon. Dia lalu membagi para pemain Switch ke dalam 3 kategori. Pertama, pemain yang memainkan Switch sebagai handheld console dan juga menggunakan docking. Tipe kedua adalah pemain yang hanya memainkan Switch sebagai handheld. Kategori terakhir adalah pemain yang justru tidak pernah memainkan Switch sebagai handheld dan selalu meletakannya di docking. Cipto memperkirakan, ada 50 persen pengguna Switch yang masuk kategori pertama, sementara 2 kelompok sisanya masing-masing memiliki 25 persen.

Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge
Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge

Jadi, idealnya, game untuk Switch cukup kasual untuk bisa dimainkan kapan saja, tapi juga memiliki bobot sehingga bisa dimainkan dengan serius. Cipto mengaku, membuat game yang ideal memang tidak mudah. Meskipun begitu, dia berkata bahwa hal ini bukannya mustahil untuk dicapai. Sementara itu, Kris Antoni, pendiri Toge Productions mengatakan, pemain Switch biasanya lebih senang dengan game kasual.

“Nintendo selalu mengedepankan inovasi dalam interaksi bermain dan produk-produk mereka cenderung lebih family friendly. Jadi perilaku pemain Nintendo sedikit lebih kasual dan mencari pengalaman bermain yang fun dan inovatif, mereka tidak mengejar kualitas grafis semata,” kata Kris saat dihubungi melalui pesan singkat. Sementara terkait genre yang populer di kalangan pemain Switch, dia menjawab, “User Switch menggemari genre platformer dan action adventure.”

Apa Pertimbangan Developer Sebelum Merilis Game untuk Switch?

Saat ini, tidak banyak developer Indonesia yang membuat game untuk Switch. Agate Studio adalah salah satu dari segelintir developer lokal yang melakukan itu. Game yang mereka rilis ke Switch adalah Valthirian Arc: Hero School Story. Saat mengobrol dengan Cipto melalui telepon, dia bercerita, pada awalnya, Agate tidak berencana untuk meluncurkan Valthirian Arc di Switch.

“Saat kita pertama kali mengembangkan Valthirian Arc, Switch masih sangat baru. Jadi, kami nggak berencana membuat game untuk Switch,” aku Cipto. Namun, Agate melihat betapa tingginya hype akan Switch ketika Nintendo meluncurkan konsol tersebut. Mereka menganggap hal ini sebagai kesempatan. Dan keputusan mereka memang tepat. Cipto mengatakan, dari total penjualan Valthirian Arc, sebesar 40-50 persen berasal dari pengguna Switch.

Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam
Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam

Menurut Cipto, ada beberapa alasan mengapa Valthirian Arc populer di kalangan pengguna Switch. Pertama, popularitas Switch itu sendiri. Kedua, mobilitas Switch yang tinggi. Anda bisa memainkan Switch di mana saja dan kapan saja. “Pemain Switch cenderung tidak se-hardcore gamer PC atau PlayStation, yang harus duduk di depan layar untuk bermain,” katanya. “Kalau bermain di Switch, Anda bisa cuma bermain 15 menit, saat menunggu di mobil misalnya. Jadi, tidak perlu mendedikasikan waktu terlalu banyak.” Menurutnya, ini sesuai dengan gameplay Valthirian Arc yang memang tidak terlalu serius.

Popularitas Switch bukan satu-satunya hal yang Agate pertimbangkan sebelum memutuskan untuk membawa game buatan mereka ke konsol Nintendo itu. Ada beberapa faktor lain yang masuk dalam pertimbangan. “Pertama, seberapa mudah mendapatkan Development Kit-nya. Kedua, kita melakukan visibility study tentang apa saja yang harus kita optimasi,” jelas Cipto. Agate merasa perlu melakukan visibility study karena jika dibandingkan dengan PlayStation 4 atau PC gaming, hardware Nintendo Switch memang memiliki daya komputasi yang lebih rendah (baca: lebih cupu). Alhasil, jika Agate ingin merilis Valthirian Arc — yang pada awalnya tidak dibuat untuk PC dan PlayStation 4 — ke Switch, maka mereka harus melakukan banyak optimasi untuk memastikan game bisa berjalan dengan lancar.

Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam
Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam

Selain Agate, Toge Productions merupakan studio game lain yang juga merilis game ke Switch. Mereka menjadi publisher dari Ultra Space Battle Brawl buatan Mojiken Studio. Ketika ditanya mengapa Toge memutuskan untuk merilis game tersebut ke Switch, Kris menjawab, “Kami merasa Switch adalah konsol yang cocok untuk game local multiplayer atau party game seperti Ultra Space Battle Brawl. Dan Switch termasuk konsol baru dengan penyebaran yang cukup tinggi.”

Kesulitan Dalam Membuat Game untuk Switch?

Tentu saja, membuat game untuk Switch tidak semudah membalik tangan. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para developer. Cipto dan Kris setuju bahwa salah satu tantangan teresar dalam membuat game untuk Switch adalah sulitnya mendapatkan Development Kit. “Untuk mendapatkan DevKit Switch tidak mudah, terutama bagi game developer Indonesia,” aku Kris. “Salah satu alasannya adalah karena tingginya pembajakan di Indonesia dan birokrasi yang berbelit.” Memang, pembajakan konten digital masih menjadi masalah di Indonesia. Masih ada orang-orang yang dapat membeli PC gaming, tapi tak mau membeli game resmi.

Cipto menceritakan hal yang sama. Dia menjelaskan, demi mendapatkan Development Kit untuk Switch, Agate bahkan harus rela pergi keluar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, DevKit tersebut juga tidak boleh dibawa ke Indonesia, menyulitkan proses pengujian game. Untungnya, setelah beberapa lama, mereka akhirnya bisa membawa DevKit tersebut ke Indonesia. Selain DevKit yang sulit untuk didapat, masalah lain yang developer hadapi saat hendak membuat game untuk Switch adalah keterbatasan dari konsol itu sendiri. Jika dibandingkan dengan PlayStation atau Xbox, Switch memiliki bodi yang jauh lebih kecil karena harus bisa dibawa kemana-mana. Tapi, bodi mungil ini menawarkan masalah tersendiri.

“Switch kecil, jadi punya limitasi di thermal. Jangan sampai mesin menjadi terlalu panas. Memori nggak boleh terlalu besar. Kemampuan CPU juga tidak terlalu mumpuni,” ujar Cipto. Karena keterbatasan inilah, developer harus dapat melakukan optimasi game saat membuat game untuk Switch. Dia bercerita, saat membuat game untuk PlayStation atau PC, salah satu fokus utama developer adalah memberikan tampilan yang menawan. “Asetnya high-definition, animasinya banyak, gerakannya bervariasi,” kata Cipto. Sayangnya, developer tidak bisa terlalu fokus pada grafik dan animasi saat membuat game untuk Switch. “Begitu membuat game untuk Switch, kita nggak mungkin load banyak aset sekaligus.”

Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR
Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR

Optimasi juga harus diperhitungkan ketika developer melakukan porting dari platform lain — misalnya PC atau PlayStation — ke Switch. Ingat, kemampuan komputasi Switch lebih rendah dari konsol lain dan PC. Selain optimasi game, developer juga harus mempertimbangkan antarmuka game. Switch bisa dimainkan tanpa televisi karena ia memiliki layar sendiri. Hanya saja, layar tersebut jauh lebih kecil daripada televisi atau monitor yang digunakan untuk bermain PlayStation atau PC. Jadi, Cipto menyarankan, sebaiknya hindari memberikan informasi terlalu banyak di satu layar untuk pemain.

Tentang proses porting dari platform lain ke Switch, Kris memiliki pandangan yang sama dengan Cipto. Developer harus mempertimbangkan keterbatasan hardware Switch ketika melakukan porting game untuk konsol itu. Dia menjelaskan, “Limitasi hardware seperti kapasitas memory dan processor perlu diperhatikan agar game berjalan lancar dan tidak nge-lag. Ukuran layar, UI layout dan skema controller juga perlu diperhatikan. Apalagi jika game aslinya menggunakan keyboard dan mouse.”

Potensi Pasar Game untuk Switch

Bagi Agate Studio, pasar Switch sangat potensial. Salah satu alasannya, karena tidak banyak developer lokal yang membuat game untuk Switch. Memang, membuat atau melakukan porting game ke Switch bukan hal yang mudah. Namun, Cipto merasa, kerja keras tim Agate untuk membuat atau melakukan porting ke Switch tidak sia-sia.

Faktanya, saat membuat kelanjutan Valthirian Arc, Agate berencana untuk langsung membuatnya ke Switch. Kemudian, mereka baru akan melakukan porting ke platform lain, seperti konsol next-gen misalnya. Alasan Agate sederhana. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol lain, Switch memiliki hardware yang paling lemah. Jadi, jika sebuah game bisa berjalan dengan lancar di Switch, maka ia seharusnya bisa dimainkan tanpa masalah di platform lain.

Konsol next-gen — PlayStation 5 dan Xbox Series X — diperkirakan akan diluncurkan tahun ini atau tahun depan. Namun, Cipto juga percaya, itu tidak akan membuat Nintendo Switch kehilangan keunikannya. “Karena Switch memiliki unique value proposition yang jelas. Switch bisa memenuhi kebutuhan orang-orang yang ingin bisa bermain sambil jalan atau di rumah. Selain itu, karena controller-nya ada dua, jadi kemana-kemana Anda tetap bisa bermain berdua,” ujarnya. Sambil bercanda dia membandingkannya dengan PlayStation, “Kalau mau bawa PlayStation, berarti harus bawa televisinya juga dong.”

Sementara itu, menurut Kris, potensi pasar game untuk Nintendo Switch sama seperti PC atau konsol lainnya. Tentu saja, potensi pasar juga tergantung pada jenis game yang hendak dibuat atau tipe gamer yang ditargetkan sang developer. “Tapi, dengan melakukan porting (ke Switch), kita bisa memperluas market game kita,” ujarnya. Dia juga mengungkap, di pasar internasional, game buatan Indonesia mendapat sambutan yang hangat.

“Ada sejumlah game yang diterima dengan sangat baik di global, baik yang sudah rilis seperti Coffee Talk, Infectonator, DreadOut, dan yang belum rilis seperti A Space for the Unbound, When the Past Was Aroound dan lain sebagainya,” ungkap kris. Untuk memasarkan game-game Indonesia, Toge bekerja sama dengan publisher asing, seperti publisher asal Jepang dan Eropa.

A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam
A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam

Meskipun pasar game Swich disebut berpotensi, tidak banyak developer yang membuat game untuk konsol buatan Nintendo tersebut. Sebagai Ketua AGI (Asosiasi Game Indonesia), Cipto mengatakan bahwa ada dua masalah yang menyebabkan hal ini. “Pertama, walau market-nya oke, tapi developer kesulitan untuk mendapatkan DevKit. Kedua, kesulitan dalam melakukan optimasi,” ujarnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, saat mengembangkan game, developer biasanya lebih fokus pada grafik yang cantik atau gameplay yang unik. “Mereka belum memikirkan sampai optimasi,” kata Cipto.

Menyadari masalah ini, Agate menawarkan untuk membantu developer yang kesulitan untuk mendapatkan akses ke DevKit Switch atau dalam mengoptimasi game-nya. Alasan Agate mau membantu developer lain — yang seharusnya merupakan saingan mereka — adalah karena pasar game begitu besar sehingga para developer lokal tidak perlu khawatir untuk saling menganibal satu sama lain. Dengan saling membantu, Agate justru berharap akan ada semakin banyak developer Indonesia yang dikenal di mancanegara. Ini akan memudahkan developer lokal untuk mencari perusahaan asing sebagai rekan dan bisa memenangkan kepercayaan penyedia platform seperti Nintendo. Sementara itu, AGI bersama pemerintah juga berusaha untuk mejadikan Indonesia sebagai negara yang dapat menerima DevKit dengan mudah.

Kesimpulan

Keunikan Nintendo Switch menjadi daya tarik tersendiri bagi para gamer, membuatnya menjadi populer. Di mana ada gula, di situ ada semut. Konsol yang populer tentu menarik bagi developer untuk membuat game di konsol tersebut. Bagi developer lokal, Switch memang menawarkan pasar yang cukup menarik.

Sayangnya, mendapatkan Development Kit untuk Switch bukan perkara gampang. Dan Anda tidak bisa membuat game tanpa DevKit. Selain itu, developer juga harus bisa mengakali limitasi hardware pada Switch. Namun, jika berhasil mengatasi masalah-masalah itu, mungkin Anda akan bisa mendapatkan untung sebagai developer. After all, nothing worth doing is easy.

Sumber header: CNN

Strategi Publisher dan Developer Lokal untuk Pasarkan Game di Pasar Global

Di era serba digital ini, batas antar negara semakin mengabur. Dengan internet, Anda dapat terhubung dengan hampir semua orang di seluruh dunia. Dalam industri game, keberadaan platform distribusi game digital seperti Steam dan Google Play memberikan keuntungan tersendiri. Ini memungkinkan para developer untuk bisa menyasar audiens global. Semakin besar pasar yang ditargetkan, semakin besar pula potensi pemasukan yang didapatkan. Tentu saja, ada berbagai masalah yang harus bisa diselesaikan oleh pihak developer jika mereka ingin game-nya sukses di pasar global.

Apa yang Harus Diperhatikan Ketika Menargetkan Audiens Global?

Melalui platform seperti Steam atau Play Store dan App Store, developer bisa langsung menerbitkan game buatan mereka ke pasar global selama mereka menggunakan bahasa Inggris dalam game, ungkap CEO Toge Productions, Kris Antoni saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. Dia menambahkan, “Tapi, untuk beberapa negara yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Inggris, misal Tiongkok, Jepang, Korea, Brazil, dan lain sebagainya, kita perlu melakukan pelokalan. Tentu, biayanya tidak murah, tapi dapat dilakukan bertahap.” Ketika ditanya tentang apa yang harus diperhatikan ketika developer hendak menyasar audiens global, dia menjawab, “Perhatikan target market-nya. Negara/region apa saja yang mau kita tuju, dibandingkan dengan biaya pelokalan dan peraturan atau kultur.”

Senada dengan Kris, CEO dan Pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron berkata bahwa sekarang, developer lokal dapat menyasar pasar global dengan lebih mudah. “Dalam konteks komoditi digital global, untuk distribusi, tinggal centrang saja di negara mana saja yang mau kita rilis. Yang membedakan adalah apresiasi dari jumlah revenue yang bisa didapatkan dari market global,” ujarnya.

“Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelokalan konten, yang bisa meliputi script text, penamaan karakter, atau bahkan sampai di perancangan desainnya. Dicari benang merahnya yang bersifat global, sehingga game bisa dimengerti secara universal,” kata Rachmad. Dia memberikan contoh dalam penamaan Linda, tokoh utama DreadOut, game horror buatan Digital Happiness. “Nama Linda yang kita gunakan adalah nama yang universal dan pengucapannya pun hampir semuanya sama,” jelasnya.

Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam
Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam

Salah satu keuntungan menyasar pasar global adalah potensi pemasukan yang lebih besar, terutama jika developer membuat game PC atau konsol premium. Memang, Indonesia merupakan pasar yang cukup besar dengan populasi mencapai lebih dari 270 juta orang. Meskipun begitu, konsumen Indonesia cenderung sensitif terhadap harga. Selain itu, masyarakat di negara berkembang juga memiliki daya beli yang lebih kuat. Jadi, developer bisa mematok harga yang lebih tinggi untuk game-nya, selama mereka dapat memberikan kualitas yang memang memuaskan.

“Dikarenakan global market khususnya Tiongkok, AS, Rusia, Eropa, ekosistem industrinya telah matang puluhan tahun jauh di depan kita, daya beli masyarakat mereka pun tinggi sehingga mendongkrak revenue kita secara umum,” ujar Rachmad. Pada saat yang sama, dia menjelaskan, menyasar pasar global juga akan meningkatkan biaya operasi developer. Alasannya, karena mereka harus menyediakan dana untuk proses pelokalan game.

Menargetkan pasar global memang menggiurkan. Sayangnya, potensi pemasukan yang besar itu hanya bisa direalisasikan jika sebuah developer bisa mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.

Tantangan Menyasar Pasar Global?

Menurut Rachmad, salah satu tantangan yang dihadapi developer lokal ketika hendak masuk ke pasar global adalah persaingan ketat dengan para developer yang sudah lebih besar dan berpengalaman. “Kita harus bersaing dengan developer besar, yang punya ratusan pekerja dan dana ratusan juta dolar. Dibandingkan dengan kita, ya kayak bumi dan langit,” ujar Rachmad sambil tertawa.

“Semua orang bisa membuat game, tapi belum tentu kita bisa bersaing dengan developer-developer besar,” kata Rachmad. Menurutnya, bagi developer Indonesia yang enggan untuk mencoba menargetkan pasar global, mereka bisa memilih untuk fokus untuk menguasai pasar domestik. “Menarik apabila kita bisa menguasai pasar lokal. Tampaknya, kita juga nggak perlu go global, seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang,” dia bercerita.

Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam
Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam

Meskipun begitu, menurut Kris, terlepas apakah developer menyasar pasar global atau hanya menargetkan pasar domestik, mereka tetap harus bersaing dengan developer/publisher raksasa. Memang, berbeda dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia tidak membatasi developer asing yang hendak meluncurkan game buatannya di Indonesia. Di Tiongkok, jika developer asing ingin meluncurkan game di negara Tirai Bambu tersebut, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Namun, Kris setuju, persaingan dengan game-game internasional merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi developer lokal yang ingin menerbitkan game-nya di tingkat global. “Kita sekarang melakukan seleksi yang cukup ketat untuk memilih game yang akan kita kembangkan dan publish. Hanya game yang memiliki keunikan yang kuat, hook dan value proposition yang kuat yang akan kita pasarkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Kris bercerita, tantangan lain yang harus dihadapi oleh developer lokal adalah visibility dan market reach.

“Gimana caranya agar game Indonesia bisa dikenal di luar negeri? Kita berjuang keras untuk mengirimkan game-game kita ke kompetisi dan event eksibisi internasional. Dari situ, kita pelan-pelan membangun kredibilitas dan jaringan,” ujar Kris.

Strategi Dalam Menargetkan Pasar Global

Menurut laporan dari PCGamesN, pada 2019, ada 8.290 game yang dirilis di Steam. Tidak mudah bagi developer untuk membuat game-nya tampil menonjol di antara ribuan game tersebut. Karena itu, marketing menjadi sangat penting. Kris bercerita, di Toge, ketika mereka hendak memasarkan game di pasar global, mereka akan melakukan marketing secara digital. Dengan digital marketing, Toge dapat memperluas jangkauan mereka dan menekan pengeluaran, mengingat biaya marketing digital relatif lebih murah jika dibandingkan dengan marketing tradisional.

Selain itu, Toge juga melakukan pelokalan konten. Namun, terkait hal ini, Kris berkata bahwa Toge biasanya tidak mengubah isi konten game. “Pelokalan yang kita lakukan kebanyakan hanya sebatas bahasa,” ujarnya saat ditanya strategi Toge untuk masuk ke negara-negara yang memiliki budaya dan kebiasaan masing-masing.

Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam
Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam

Saat menyasar audiens global, developer bisa meluncurkan game-nya di seluruh dunia secara serentak. Namun, ada juga developer yang memilih untuk merilis game-nya di kawasan atau negara tertentu terlebih dulu, seperti yang Niantic lakukan dengan Pokemon Go. Menurut Rachmad, jika developer mengincar pasar global dan memiliki dana yang memadai, mereka sebaiknya meluncurkan game mereka secara serentak di seluruh dunia pada berbagai platform sekaligus. Idealnya, developer juga sudah menyiapkan opsi bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Mandarin, Rusia, Prancis, Italia, Jerman, dan Spanyol.

“Dalam kasus DreadOut 1 dulu, kita memang menyasar langsung global. Indonesia sangat membantu dalam memviralkannya. Tapi, angka sales (di Indonesia) sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat,” cerita Rachmad. “Untuk DreadOut 2, kami setengah-setengah. Kabar baiknya, pengguna asal Indonesia saat ini menempati urutan ke-2 pengguna berbayar, mengalahkan pemain AS yang di DreadOut 1 menempati peringkat pertama.”

Taktik Ekspansi Global oleh Developer Asing

Masing-masing developer memiliki strategi yang berbeda ketika mereka menyasar audiens global. Bagi Activision, ketika mereka menyasar pasar global dengan Call of Duty: Mobile, mereka tidak hanya berusaha untuk melokalkan konten, tapi juga berusaha untuk memastikan konten dalam game tetap relevan dengan para pemain, tak peduli di negara mana mereka tinggal. Jenny Taran, Head of Growth, Call of Duty Mobile at Activision menjelaskan, untuk membuat game terasa familier bagi pemain, Activision biasanya membuat tim lokal, yang mencakup customer support, media sosial, marketing, dan lain sebagainya, seperti dikutip dari VentureBeat.

Taran bercerita, saat hendak menargetkan pasar global, Activision memang akan melakukan pelokalan sejak awal. “Semua channel untuk akuisisi pemain dan konten kreatif dibuat secara khusus menargetkan kawasan tertentu,” ujarnya. “Terkait pelokalan, salah satu hal penting yang pelajari adalah untuk fokus pada video gameplay dari game kami.” Dia menambahkan, hal penting lainnya adalah untuk menjelaskan gameplay dengan cara yang memang dipahami dengan masyarakat di sebuah negara atau kawasan.”

Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision
Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision

Jika dibandingkan dengan developer lokal, Activision memiliki dana yang lebih besar. Namun, itu bukan berarti mereka bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja. Ekspansi global tidak murah. Tidak hanya uang, developer juga harus siap untuk menyediakan waktu dan sumber daya ketika mereka hendak menyasar audiens global. Karena itu, Activision biasanya tidak sembarangan mencoba untuk masuk ke sebuah negara. Sebagai gantinya, mereka akan fokus pada pasar yang memang memiliki potensi besar.

Lalu, bagaimana Activision menentukan pasar mana yang harus mereka masuki? Taran menjelaskan, Activision memiliki tim analitik dan konten kreatif di seluruh dunia. Dari sini, mereka akan mencoba untuk mengetahui besar potensi pasar sebuah negara. Setelah itu, mereka akan memfokuskan sumber daya mereka — uang, pekerja, dan waktu — berdasarkan besarnya potensi pasar dari satu negara. Sementara strategi yang mereka gunakan akan ditentukan berdasarkan apa yang mereka butuhkan. “Jika ada penyalahgunaan sumber daya karena kurangnya proses otomasi, maka data dan analitik data akan menjadi prioritas kami. Jika ada banyak ide kreatif yang belum direalisasikan, maka prioritas kami adalah mengembangkan konten kreatif,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, game biasanya dikemas dalam bentuk fisik, baik berupa cartridge atau kepingan CD. Namun, sekarang, seiring dengan semakin cepatnya koneksi internet dan semakin tingginya penetrasi internet, semakin banyak juga orang yang memilih untuk membeli game melalui platform distribusi digital, seperti Steam dan Epic Store. Bagi developer game, ini berarti mereka dapat menyasar audiens global dengan lebih mudah.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pasar di Indonesia memang sudah cukup besar. Meskipun begitu, menyasar pasar global tetap menawarkan potensi pemasukan yang lebih besar. Pasalnya, sejumlah negara memiliki industri game yang lebih matang dan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.

Hanya saja, untuk bisa menembus pasar global, developer juga harus bisa menawarkan game yang memang menarik bagi gamer internasional. Di sinilah pentingnya pelokalan. Biasanya, pelokalan tidak lebih dari mengganti bahasa, khususnya untuk negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga developer yang membuat tim lokal untuk memastikan bahwa game mereka dapat diterima dengan baik. Pada akhirnya, tingkat pelokalan yang dilakukan oleh developer tergantung pada dana yang mereka miliki.

Sumber header: DailySocial

Pendanaan yang Masih Seret Jadi Ironi Pengembang Game Lokal

Lebih dari dua tahun lalu kami membuat laporan mengenai kesulitan industri game lokal memperoleh modal. Kali ini kami berbicara dengan sejumlah pengembang game dan investor untuk mencari menengok kembali perkembangan ekosistem game Indonesia.

Belum lama ini judul game Coffee Talk dan DreadOut 2 menghiasi majalah Tempo. Keduanya disorot karena dianggap berhasil memikat banyak pelanggan dari luar negeri. Coffee Talk yang dipasarkan via Steam disebut 99% pembelinya berasal dari luar negeri, sementara DreadOut 2 disebut paling banyak laku dikonsumsi pembeli Tiongkok.

Tangkapan gambar DreadOut 2.
Tangkapan gambar DreadOut 2.

Namun di balik pencapaian itu, masih ada tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan–tak hanya oleh Digital Happiness dan Toge Productions, tapi juga seluruh ekosistem pengembangan game itu, yakni pendanaan. Digital Happiness yang membesut DreadOut 2 mengandalkan hasil penjualan game sebelumnya untuk memproduksi karya terbarunya. Toge Productions yang melahirkan Coffee Talk mengaku meski game teranyar mereka laku di pasaran, kenyataannya pengembang game masih sulit menggaet investor.

CEO & Founder Toge Productions Kris Antoni Hadiputra Nurwowo mengatakan, pengembangan game memang memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan Kris juga mengatakan bisnis ini berisiko tinggi. Dengan kompetisi ketat di pasar lokal dan internasional, mereka dituntut untuk terus menghasilkan game berkualitas agar bisa menarik minat investor ataupun sumber pendanaan lain.

“Jujur saja pencapaian pengembang game lokal masih belum seberapa jika dibandingkan dengan game developer indie internasional lainnya. Kebanyakan game developer Indonesia juga tidak memiliki pengalaman ataupun network ke publisher atau investor game internasional,” ujar Kris.

Tangkapan gambar dari Coffee Talk
Tangkapan gambar dari Coffee Talk

Investor masih belum melirik

Kris melanjutkan bahwa cara kerja investor dalam negeri, khususnya perusahaan modal ventura tidak selaras dengan cara kerja ekosistem pengembang game lokal. Ia berpendapat sistem penanaman modal yang dilakukan oleh VC tidak cocok dengan kebutuhan studio game.

“Apalagi di mata kebanyakan VC di Indonesia tidak mengerti industri game dan memiliki lebih banyak lahan lain yang lebih hijau,” imbuh Kris.

CEO & Founder Digital Happiness Rachmad Imron membenarkan bahwa industri game memiliki risiko yang tinggi dan itu yang menurutnya membuat investor lokal enggan menanamkan uangnya ke pengembang game. Persoalan ini baginya wajar karena ekosistem lokal masih dalam tahap mengejar ketertinggalan dari aspek bisnis maupun teknis.

“Tidak banyak pemodal lokal yang mau berisiko untuk berinvestasi dalam skala panjang lebih dari 5 tahun untuk pengembangan satu produk, misalnya mereka lebih prefer ke skala kecil kurang dari 1-2 tahun maksimal misalnya,” ungkap Imron.

Hingga saat ini jumlah institusi keuangan yang berani menyuntikkan modal ke pengembang game masih sedikit. Pemodal ventura yang masuk ke sektor ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, semisal Ideosource, Maloekoe Ventures, dan Digital Nusantara Capital (DNC). Pemerintah sebetulnya juga punya peran meski tak begitu besar. Hal ini tercermin dari kebijakan Bekraf yang memasukkan pengembangan game sebagai subsektor yang berhak memperoleh hibah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Namun bantuan dari Bekraf ini bersifat terbatas dan sementara.

Managing Director Ideosource Andi S. Budiman menyebut metode pengumpulan dana oleh pengembang game masih sebatas dengan model ekuitas saja. Padahal menurut Andi masih ada metode lain seperti yang ia lakukan di industri film yakni dengan model financing per judul film.

Dalam kondisi demikian, Andi mengatakan hingga sekarang investor belum ada yang berminat terjun ke industri game. “Ada dua hal, pengembang belum biasa melakukan fundraise seperti film dan industri game belum banyak dipahami oleh investor,” tukasnya.

Butuh waktu

Komparasi pendanaan untuk industri film juga dipakai Imron. Menurutnya baik industri game maupun film sama-sama punya risiko tinggi dan potensi untung yang besar. Hanya saja waktu produksi film yang relatif lebih singkat menjadikannya lebih menarik bagi investor karena itu artinya perputaran uang mereka lebih cepat.

Namun ia optimis jika ekosistem pengembangan game di Indonesia kian matang, faktor-faktor tak menentu yang menyulitkan pengembang meraih pendanaan akan terkikis seperti halnya yang terjadi di industri film. Sumber optimisme Imron beranjak dari peningkatan jumlah pembeli DreadOut 2 dari Indonesia serta penerimaan yang menjanjikan di pasar internasional.

“Lima tahun lalu user Indonesia untuk DreadOut di peringkat belasan,” pungkas Imron.

Melihat kiprah pengembang lokal, seperti Digital Happiness dan Toge Productions, tak berlebihan menilai kualitas game buatan lokal terus meningkat seiring waktu berjalan. Meski begitu, bisa dikatakan belum ada kemajuan berarti bagi aspek pendanaan di industri pengembangan game lokal. Baik pengembang maupun investor masih mencari titik pertemuan yang cocok soal pendanaan.