UrbanAce is Introduced as the “Integrated O2O Real Estate Marketing Platform”

The property marketplace already has many players. Some of which are already consolidated, the latest is UrbanIndo acquisition by 99.co. Yet it doesn’t discourage Ronny Wuisan, Founder and CEO, to build a service in the similar segment called UrbanAce. It is claimed to be an integrated O2O real estate marketing platform.

UrbanAce didn’t want to be just another property marketplace. It aims for an all-in-one platform for customers who want to purchase, fill-in, rent-off, and sell properties. Was founded in the late 2016 and officially introduced today (5/9), Waisan said UrbanAce has been supported by an angel investor (undisclosed) in two funding rounds.

In addition, UrbanAce also managed its own agent community known as UrbanAce Ambassador and training for sales property in the form of UrbanAce Academy.

The ambassador will help to sell properties in UrbanAce based on commission. Consumers with select properties to be listing in UrbanAce will be assisted and helped through every visit of the buyers and settlement.

By the end of last year, the service has recorded sales worth of $22 million for 300 unit properties with 300 ambassadors.

“UrbanAce provides an innovative feature to facilitate consumers to have customer journey with the Ambassadors in managing properties such as purchasing, interior, rents, and sells. UrbanAce technology is integrated online and offline, the partnership with Fabelio and Dizen [interior providers] is our step to provide better services for the customers,” he said.

Can’t go completely online

Waisan, with autodidact background as property broker, admits that property transaction can’t be going completely online. Especially if it’s a secondary property. Consumers have to see the physical form with the legal condition and its documents before deciding to buy a property. It validates the company’s step to build ambassador network.

“UrbanAce Ambassador is not only about trading. It involves trust and commitment to giving the best for consumer’s pleasure. Therefore, we create UrbanAce Academy and awarding those who put their best effort and having a good character and integrity.”

This year’s target

The CEO said that its team is planning for expansion to other cities outside Jabodetabek, targeting Surabaya this year. Furthermore, UrbanAce intent to expand for at least in 20 cities in the near future.

In terms of technology, the company will develop a more mobile-friendly site. They’re currently focused on desktop version for customers and mobile app for ambassadors.

He also said UrbanAce aims to sell property products worth 700 billion Rupiah in total this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

UrbanAce Perkenalkan Diri Sebagai “Integrated O2O Real Estate Marketing Platform”

Sudah cukup banyak pemain di pasar property marketplace. Beberapa bahkan sudah berkonsolidasi, yang terbaru ketika di awal tahun Urbanindo diakuisisi 99.co. Hal tersebut tidak menyurutkan langkah Ronny Wuisan, Founder dan CEO, mendirikan sebuah layanan di segmen serupa bertajuk UrbanAce. UrbanAce mengklaim menjadi sebuah integrated O2O real estate marketing platform.

UrbanAce tidak ingin menjadi sekedar sebuah property marketplace. Ia ingin menjadi sebuah platform all-in-one, ketika seorang konsumen ingin membeli, mengisi, menyewakan, dan menjual sebuah properti. Didirikan di akhir tahun 2016 dan baru resmi diperkenalkan hari ini (9/5), Ronny menyebutkan UrbanAce telah didukung angel investor (yang tidak disebutkan namanya) dalam dua putaran pendanaan.

Selain menjadi direktori, UrbanAce mengelola komunitas agennya sendiri yang disebut UrbanAce Ambassador dan pelatihan penjualan properti dalam bentuk UrbanAce Academy.

Ambassador inilah yang membantu menjual properti-properti di dalam UrbanAce berbasis komisi. Konsumen yang propertinya sudah disetujui untuk listing di UrbanAce akan didampingi dan dibantu untuk setiap kunjungan dari calon pembeli dan penyelesaian transaksi.

Disebutkan hingga akhir tahun lalu layanan telah mencatatkan penjualan dengan nilai total $22 juta untuk 300 unit properti dan telah memiliki 300 Ambassador.

”UrbanAce menyajikan fitur inovatif yang memungkinkan konsumen dan UrbanAce Ambasador dengan mudah menjalani customer journey dalam mengelola properti yaitu beli, interior, sewa, dan jual. Teknologi yang diterapkan oleh UrbanAce terintegrasi secara online dan offline dan kemitraan dengan Fabelio dan Dizen [mitra penyedia produk interior] merupakan langkah kami untuk memberikan yang lebih baik bagi konsumen,” ujar Ronny.

Tidak bisa murni online

Ronny, yang memiliki latar belakang otodidak sebagai broker properti, mengakui bahwa transaksi properti tidak bisa secara murni dilakukan secara online. Apalagi jika itu berupa secondary property. Konsumen harus melihat langsung bentuk fisiknya dan melihat kondisi legal dan surat-suratnya sebelum benar-benar meyakinkan diri untuk membeli sebuah properti. Hal itu yang memvalidasi langkah perusahaan membangun jaringan Ambassador.

“Profesi sebagai UrbanAce Ambasador bukan semata jual-beli. Ada unsur saling percaya dan komitmen untuk memberi yang terbaik untuk kenyamanan konsumen. Dengan demikian, kami membuat UrbanAce Academy dan memberi penghargaan untuk mereka yang berupaya keras dan memiliki integritas dan sikap yang baik.”

Target tahun ini

Ronny menyebutkan pihaknya berencana memperluas layanan ke kota-kota lain di luar Jabodetabek tahun ini, dengan area Surabaya menjadi sasaran tahun ini. Selanjutnya pihak UrbanAce berharap bisa terus berekspansi hingga memiliki kehadiran di 20 kota dalam beberapa waktu ke depan.

Selain itu, di sisi teknologi, pihaknya bakal mengembangkan situs yang lebih mobile friendly. Sementara ini mereka hanya fokus untuk versi desktop bagi konsumen dan aplikasi mobile untuk Ambassador.

Secara nominal, Ronny menyebutkan UrbanAce berharap bisa menjual produk properti dengan nominal total 700 miliar Rupiah tahun ini.

Bagaimana Pendiri Pemula Menemukan Ide dan Beradaptasi dengan Kondisi

Clapham Startupfest 2018 kembali digelar untuk yang ketiga kalinya. Episode kali ini menghadirkan lebih banyak narasumber dengan harapan bisa memberikan banyak manfaat bagi para peserta yang datang, baik sebagai startup, individu atau mahasiswa yang ingin tahu dan terjun di bidang startup. Salah satu yang dibahas cukup banyak dibahas adalah mengenai bagaimana memulai startup.

Di hari pertama Jourdan Kamal, founder MauBelajarApa, membuka sesi dengan sebuah presentasi tentang bagaimana pentingnya sebagai individu untuk terus belajar, disambung dengan diskusi dengan tiga founder startup, Wilton Halim dari MobilKamu, Ronny Wuisan untuk UrbanAce, dan Jourdan yang membagikan kisah tentang bagaimana menemukan ide dan kapan memulainya.

Kemampuan beradaptasi

Acara Clapham Startupfest 2018 dibuka dengan presentasi cukup inspirasional dari Jourdan. Ia menceritakan bagaimana perjalanan karirnya hingga sampai sekarang membawahi MauBelajarApa dan terus berusaha untuk membawanya ke tahap yang lebih baik. Ada tiga poin penting yang ditekankan dari pemaparan Jourdan. Pertama tentang bagaimana belajar, atau learning, bagaimana mendeteksi pengetahuan yang sudah mulai usang, atau disebut unlearning, dan kembali lagi mempelajari hal baru atau re-learning.

Ketiga hal itu bisa membantu untuk terus belajar dan untuk terus beradaptasi. Di tengah persaingan yang semakin ketat, akses informasi yang tak lagi terbatas menjadi pembelajar yang terus belajar adalah sebuah hal wajib untuk tidak terlindas dalam arus persaingan yang semakin deras.

“Jadi dalam hidup kamu harus belajar bagaimana caranya untuk unlearn dan bagaimana caranya untuk re-learn. Jadi ketika pengetahuan berubah dengan cepat kemampuanmu untuk untuk melupakan pengetahuan yang lama dan mempelajari pengetahuan yang baru merupakan hal penting,” ujar Jourdan.

Salah satu hal yang dicontohkan Jourdan adalah proses bagaimana ia belajar memasarkan sesuatu. Ia menceritakan bahwa pada mulanya Google dan SEO dianggap sebagai kanal pemasaran digital paling efektif, namun seiring berjalannya waktu anggapan ini berubah. Proses menyadari sesuatu sudah tidak bekerja dengan baik itulah yang dikatakan sebagai unlearning. Kemudian ia mulai mempelajari teknik pemasaran digital baru yang akhirnya menuntunnya pada Instagram, hal ini yang disebut dengan re-learning. Siklus ini yang harusnya diterapkan para founder dari startup. Proses belajar dan beradaptasi.

Presentasi Jourdan Kamal dari MauBelajarApa
Presentasi Jourdan Kamal dari MauBelajarApa

Mentransformasi ide jadi eksekusi

Setelah belajar tentang bagaimana caranya untuk bertahan yang dimulai dari pribadi atau diri seorang founder rangkaian acara Clapham Startupfest 2018 kembali menghadirkan para founder startup untuk membagikan pengalamannya mengenai ide dan bagaimana mulai mengeksekusinya.

Dalam sebuah sesi tanya jawab dengan founder ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Founder MobilKamu Wilton Halim, Founder UrbanAce Ronny Wuisan, dan Founder MauBelajarApa Jourdan Kamal. Ketiganya membahas mengenai bagaimana menemukan ide dan eksekusi yang dilakukan.

Latar belakang yang beragam dari narasumber memberikan perspektif yang menarik. Wilton misalnya, mengawali karier di Australia dan memboyong Mobilkamu ke Indonesia di bulan April 2016. Selama beberapa bulan ia berusaha menemukan permasalahan sebenarnya yang coba ia selesaikan, sampai akhirnya kini membantu masyarakat dalam membeli mobil dengan klaim lebih mudah dan murah.

Sementara Ronny Wuisan berpengalaman dalam bidang penjualan properti. Pengalaman itulah yang dibawanya untuk mengembangkan UrbanAce. Sedangkan Jourdan Kamal, terinspirasi adiknya yang ingin menjadi guru dan dipromosikan secara online. Berdasarkan pemahaman bahwa workshop yang dikelola secara online akan membuahkan hasil, ia akhirnya mendirikan MauBelajarApa.

Ketiganya melalui proses yang berbeda-beda, terutama dalam menemukan ide. Salah satu poin dari pemaparan para narasumber adalah pentingnya menemukan dan mengelola ide, terutama sebelum melanjutkan ke eksekusi. Bagi Ronny, ide biasanya lahir dari pengalaman pribadi. Dengan merasakan sendiri permasalahan, biasanya ide bisa lebih valid.

Sementara itu bagi Wilton, menemukan ide (atau mengetahui masalah) itu mudah, hal terberat justru memastikan bahwa itu adalah problem yang sesungguhnya atau hanya noise.

“Sebenernya hal terberat itu adalah mengetahui, apakah itu problem [sesungguhnya]?,” ujar Wilton.

Menurutnya, noise dalam identifikasi ide itu bisa menimbulkan bias dan bisa mempengaruhi eksekusi jika terburu-buru.

Sementara Jourdan memiliki cara tersendiri untuk membedakan ide dengan bias yang sering ditemukan. Bagi Jourdan, menuliskan ide dan membiarkannya dalam beberapa waktu bisa memisahkan ide dengan bias.

“Biasanya saya tidak langsung mengeksekusi ide yang ada. Saya menunggu tiga bulan. […] kalau ide itu masih stuck di saya dan passion itu [masih ada] setelah tiga bulan baru saya eksekusi,” terang Jourdan.

Salah satu cara paling aman untuk menghindari kesia-siaan dalam mencoba dan mengeksekusi inovasi adalah meyakinkan diri sendiri dan terus berusaha memilah mana yang sebenarnya jadi permasalahan, mana yang berpeluang, dan mana ide yang paling mungkin dieksekusi.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Clapham Startupfest 2018