Intudo Ventures Umumkan Dana Kelolaan Baru Senilai Rp1,9 Triliun

Intudo, perusahaan investasi yang beroperasi di Indonesia dan Silicon Valley, mengumumkan telah berhasil menutup dana kelolaan baru sebesar $125 juta atau setara Rp1,9 triliun melalui dua dana investasi: Intudo Ventures IV, LP dengan total $75 juta dan dana sebesar $50 juta yang difokuskan untuk pengembangan sumber daya alam dan energi terbarukan di Indonesia. Langkah ini menunjukkan komitmen Intudo untuk membawa “bisnis dunia” ke Indonesia dan memperkenalkan Indonesia ke panggung internasional.

Dengan penutupan dua dana ini, Intudo kini mengelola aset senilai lebih dari $350 juta, menjadikannya salah satu pemain kunci dalam investasi tahap awal di Indonesia. Intudo juga telah berinvestasi ke puluhan startup lokal, di antaranya Xendit, Pintu, Pinhome, dan Jago.

Founding Parner Intudo Patrick Yip mengungkapkan bahwa peluang investasi di Indonesia saat ini jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun yang lalu. “Dengan perubahan signifikan dalam arus perdagangan global dan meningkatnya permintaan untuk teknologi baru, Indonesia kini menawarkan potensi yang lebih besar untuk menciptakan nilai bagi investor,” jelasnya.

Dana Intudo Ventures IV dirancang untuk mendukung perusahaan-perusahaan lokal Indonesia yang ingin meraih peluang dari peningkatan posisi ekonomi Indonesia di dunia. Perusahaan ini menargetkan investasi pada bisnis yang memiliki keunggulan kompetitif dalam distribusi komersial, regulasi, dan teknologi canggih, serta fokus pada industri yang mengembangkan kekuatan Indonesia secara global.

Dana kelolaan baru ini berhasil menarik investasi dari lembaga-lembaga ternama serta family office besar di Amerika Serikat, Asia, Eropa, dan Timur Tengah, termasuk Orient Growth Ventures dan Black Kite Capital. Melalui strategi investasi terfokus, Intudo akan membentuk portofolio dengan 14-18 perusahaan Indonesia dengan alokasi dana awal senilai $1-10 juta (setara Rp15 miliar sampai Rp150 miliar) untuk setiap perusahaan.

Selain itu, dana investasi $50 juta lainnya difokuskan pada sektor pengelolaan sumber daya alam dan energi terbarukan di Indonesia. Dana ini berupaya menangkap peluang Indonesia sebagai bagian penting dalam rantai pasokan global, terutama di sektor energi baru terbarukan seperti kendaraan listrik, baterai, penangkapan karbon, dan energi surya.

Intudo menargetkan tiga area investasi utama:

  1. Membawa Dunia ke Indonesia: Melihat Indonesia sebagai peluang baru bagi sektor-sektor strategis global, Intudo mendukung investasi yang membawa teknologi dan pengembangan industri ke dalam negeri.
  2. Membawa Indonesia ke Dunia: Mempromosikan produk unggulan Indonesia seperti produk konsumen harian, akuakultur, dan hortikultura yang memiliki daya saing global.
  3. Investasi untuk Pasar Domestik: Mendorong model bisnis yang sesuai dengan karakteristik pasar Indonesia yang didorong oleh konsumsi domestik dan populasi muda.

Intudo juga menawarkan layanan pendampingan terintegrasi melalui “Intudo Platform” untuk menghubungkan investor global dengan mitra lokal di Indonesia. Dengan jaringan yang luas, Intudo memfasilitasi hubungan antara investor global, pendiri perusahaan, serta konglomerat di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia di rantai nilai global.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Genesis Alternative Ventures Kumpulkan $125 Juta untuk Venture Debt Fund Kedua

Genesis Alternative Ventures, perusahaan investasi untuk startup di Asia Tenggara, berhasil mengumpulkan komitmen sebesar $125 juta atau setara Rp1,9 triliun untuk dana utang ventura (venture debt fund) kedua mereka. Dana ini akan difokuskan pada investasi di startup teknologi di wilayah Asia Tenggara.

Sekitar 80% investor dari fund pertama kembali berpartisipasi di dana kelolaan baru ini, termasuk Aozora Bank, Korea Development Bank, Mizuho Leasing, Sassoon Investment Corporation, dan Silverhorn. Investor baru yang bergabung kali ini antara lain Mizuho Bank, bank besar asal Jepang, serta OurCrowd, platform investasi global lainnya.

Pada Agustus 2023, Genesis juga mengumumkan kemitraan dengan Superbank, bank digital Indonesia, untuk menyediakan pendanaan hingga $40 juta sekitar Rp600 miliar bagi startup teknologi yang menjanjikan di Indonesia. Superbank sendiri memiliki pemegang saham besar seperti Emtek, Grab, Singtel, dan KakaoBank.

Selain itu, Genesis mengumumkan penunjukan Philip Yeo, mantan Ketua Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura, ke dalam Dewan Penasihat mereka. Yeo merupakan tokoh senior dalam investasi teknologi di Asia Tenggara dan diharapkan memberikan panduan strategis untuk pertumbuhan Genesis ke depan.

Dr. Jeremy Loh, salah satu pendiri dan Managing Partner di Genesis, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan berkelanjutan dari para investor. “Kami juga senang menyambut Mizuho Bank sebagai investor strategis di dana kedua ini, serta kehadiran Philip Yeo di Dewan Penasihat yang memiliki pengalaman dan visi yang luas di sektor teknologi dan investasi,” ujarnya.

Sejauh ini, Dana II telah menyalurkan pinjaman ventura lebih dari $20 juta kepada sejumlah startup di Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Dr. Loh menambahkan bahwa profil startup saat ini lebih berfokus pada struktur yang efisien dan mindset yang mengutamakan profitabilitas. Perusahaan-perusahaan portofolio Genesis menunjukkan arah baru ini, memposisikan diri mereka untuk keberlanjutan jangka panjang.

Sementara itu, Yasuhiro Kubota, Managing Executive Officer dan Co-CEO Mizuho Bank untuk kawasan Asia Pasifik, menyatakan kegembiraannya atas kemitraan dengan Genesis. “Asia Tenggara adalah wilayah yang sangat menarik dengan ekosistem startup yang berkembang pesat. Kami yakin kemitraan ini akan mempercepat pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang menjanjikan dengan akses ke modal, jaringan industri, dan keahlian yang dipimpin oleh Genesis,” jelasnya.

Di Indonesia, Genesis miliki sejumlah portofolio investasi, di antaranya Saturdays, HappyFresh, dan RateS.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Rudiantara Bergabung ke DS/X Ventures sebagai Penasihat Strategis dan Board Member

DS/X Ventures, pemodal ventura yang berfokus di Indonesia, dengan bangga mengumumkan bergabungnya Rudiantara sebagai Penasihat Strategis dan Board Member.

Sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dari 2014-2019, peran Rudiantara menandai periode signifikan pertumbuhan bagi lanskap startup Indonesia karena ia membawa kekayaan pengetahuan dan keahlian untuk menciptakan ekosistem yang kondusif melalui regulasi, transformasi digital pemerintah serta berbagai program dukungan startup seperti Nexticorn yang diakui secara global.

Rudiantara, bersama dengan tim manajemen DS/X Ventures, sejalan dengan tujuannya untuk memperkaya dan memajukan ekosistem startup Indonesia di peta global.

Dalam komentarnya tentang peran penasihat barunya, Rudiantara mengungkapkan kegembiraannya tentang potensi DS/X Ventures untuk mendorong pertumbuhan sektor teknologi Indonesia.

“Saya sangat senang berkontribusi pada misi DS/X Ventures untuk membina dan berinvestasi pada para pelopor masa depan. Bersama-sama, kami akan membuka peluang baru dan mendorong kemajuan teknologi yang tidak hanya akan menggerakkan Indonesia maju tetapi juga memberikan dampak signifikan di panggung global,” kata Rudiantara.

Tim di DS/X Ventures juga sangat antusias tentang kolaborasi baru ini. “Kehadiran Rudiantara sebagai Penasihat adalah bukti komitmen kami untuk menghadirkan pemikiran terbaik di industri ini untuk mendukung misi kami. Wawasan dan pengalamannya yang tak tertandingi akan sangat berharga bagi perusahaan portofolio kami dan pertumbuhan strategis kami,” kata Founding Partners DS/X Ventures Amir Karimuddin.

Kepemimpinan dan arahan strategis Rudiantara sebagai Penasihat tentunya akan meningkatkan visi DS/X Ventures untuk menjadi katalis dalam revolusi teknologi, membuka jalan bagi masa depan Indonesia yang menjanjikan.

Didirikan oleh pengusaha Rama Mamuaya dan Amir Karimuddin, DS/X Ventures memiliki posisi unik untuk memanfaatkan jaringan pendiri, perusahaan, dan investor yang tak tertandingi, memberikan dukungan yang tak tertandingi kepada portofolionya sepanjang siklus investasi.

Perusahaan ini telah berinvestasi di delapan perusahaan melalui dana debutnya yang berfokus pada B2B: Baskit (SaaS Rantai Pasokan), Finfra (Fintech), GoCement (marketplaceB2B), D3 Labs (solusi enterprise berbasis Blockchain), Fazpass (Solusi Autentikasi), Cards (manajemen SaaS Keanggotaan), Yobo (SaaS CRM B2B), Ilmu.com (gelar akademik online).

Sebagai bagian dari DailySocial Group, sebuah enabler inovasi terkemuka dengan media, penelitian, dan lengan konsultasi yang kuat, DS/X Ventures berada di garis depan dalam mendorong inovasi melalui berbagai program termasuk hackathon, inkubator startup, dan akselerator.

Discovery/Shift Report: Indonesian Startup Ecosystem Shows Resilience in Q1 2024

The startup landscape in Indonesia experienced a remarkable shift in the first quarter of 2024. Despite the lingering effects of the 2023 “tech winter,” which saw significant challenges in global funding, the Indonesian startup ecosystem showed resilience and a notable increase in funding activities.

Key Highlights from Q1 2024 Report:

  1. Overall Funding Increase: Startup funding in Indonesia saw a 14.6% rise compared to the same period last year. This growth is attributed to an improving global economy, renewed investor trust, and emerging technological innovations.
  2. Shift in Funding Types: An almost equal split between equity and debt funding was observed in Q1 2024. This marks a shift from the traditional dominance of equity funding, with debt funding becoming a critical resource for fintech startups to expand their lending capabilities.
  3. Top Sectors for Investment:
    • Fintech: Continued to dominate the funding landscape, driven by increasing mobile internet penetration and a strong demand for digital payments and lending solutions.
    • Agritech: Gained attention for improving agricultural productivity and sustainability.
    • Climate Tech: Attracted investments for renewable energy, waste management, and conservation efforts.
    • Edtech: Benefited from the pandemic-induced shift to online learning, maintaining strong investor interest.
    • Legaltech and SaaS: These sectors also saw significant investments, highlighting the growing need for tech solutions in legal processes and business efficiencies.
  4. Mergers and Acquisitions: With no IPOs in 2023, M&A activities became a crucial strategy for startups to expand their market reach and enhance competitiveness.

Download the full report here: Indonesia Startup Funding Report – Q1 2024

This article generated by AI with supervision from content writer

Pemodal Ventura Jepang W Inc Mulai Tambah Portofolio Startup dari Indonesia

Pemodal ventura berbasis di Jepang, W inc., memperdalam investasinya di Indonesia. Baru-baru ini mereka mengumumkan investasinya ke startup social commerce Dagangan. Satu bulan sebelumnya, mereka juga baru mengumumkan investasinya ke platform proptech Jendela360.

Debut awal W inc. di Indonesia pada Juni 2023 lalu, tepatnya berpartisipasi pada pendanaan awal platform manajemen kreator Slice Group — dalam investasi tersebut Arise (MDI Ventures) dan Intudo Ventures turut terlibat.

Dalam pernyataannya, seperti dikutip dari LinkedIn, mereka berinvestasi ke Dagangan lantaran startup yang dinakhodai Ryan Manafe tersebut telah mencapai EBITDA positif untuk hampir semua operasi pusatnya, menunjukkan model bisnis yang kuat. Setelah mengumpulkan dana sebesar $18,5 juta, Dagangan berencana untuk menjangkau 75.000 desa, menawarkan produk berkualitas tinggi, dan membangun ekosistem ekonomi pedesaan yang komprehensif.

Sementara itu, investasinya di Jendela360 didasari kemampuan startup tersebut dalam menawarkan pengalaman yang terstandardisasi untuk pembelian/penyewaan properti, termasuk memastikan kualitas dan keamanan. Mulai dari penelusuran hingga transaksi, semuanya berjalan lancar di platform Jendela. Jendela berencana memanfaatkan dana ini untuk memperluas layanannya ke kota-kota besar lainnya, seperti Bogor, Surabaya, dan Bali.

Turut disampaikan, bahwa W inc. akan terus mengeksplorasi kemungkinan berinvestasi lebih banyak di Indonesia. Terlebih saat ini modal ventura tersebut juga sudah memiliki tim analis dari Indonesia. W inc. secara umum berinvestasi di startup tahap awal, pra-seri A, dan seri A dalam bidang lifestyle, entertainment, dan sports.

Pada Mei 2023 lalu, W inc. mengumumkan “W Fund 2” yang telah ditingkatkan nilainya ari 5 miliar Yen menjadi 7 miliar Yen, atau setara $45 juta. Lewat dana kelolaan baru ini, W inc. berkomitmen untuk mulai mengeksplorasi peluang investasi di Asia Tenggara. Selain menemukan potensi portofolio baru, diharapkan ini bisa menjadi jalur ekspansi bagi portofolio yang mereka miliki sebelumnya.

LLV Launchpad: Wadah Baru bagi Startup Global untuk Berkembang di Indonesia

Dalam upaya mendukung pertumbuhan startup di Indonesia secara berkelanjutan, Living Lab Ventures (LLV), unit ventura dari Sinar Mas Land, resmi meluncurkan “LLV Launchpad”. Inisiatif ini dirancang sebagai pusat inkubasi yang memberikan kesempatan bagi para pengusaha global untuk masuk dan berkembang di pasar Indonesia.

LLV Launchpad berlokasi di BSD City, yang merupakan pusat dinamis dari berbagai kegiatan teknologi dan inovasi. Melalui program ini, startup tidak hanya mendapatkan akses langsung ke pasar lokal, tetapi juga dapat mengambil keuntungan dari dukungan dan sumber daya yang disesuaikan untuk mempercepat pertumbuhan mereka.

Chief Transformation Officer Sinar Mas Land Mulyawan Gani, menegaskan bahwa banyak startup lokal telah merasakan manfaat dari dukungan LLV, dan kini pihaknya ingin membuka kesempatan yang sama bagi startup global.

“Kami berharap dapat membawa lebih banyak inovasi dan mendorong perkembangan entrepreneurship di Indonesia melalui LLV Launchpad,” ujar Gani.

Partner Living Lab Ventures Bayu Seto turut menambahkan bahwa LLV percaya pada kekuatan transformasi startup dalam mendorong inovasi.

“LLV Launchpad akan memungkinkan startup global untuk mengakses pasar potensial, mendapatkan bimbingan dari para ahli lokal, dan memanfaatkan sumber daya untuk berkembang di lingkungan yang kompetitif,” tutur Seto.

Program ini menawarkan berbagai manfaat, seperti eksposur langsung ke pasar Indonesia, peluang pendanaan dan investasi, serta kemungkinan untuk berkolaborasi dalam ekosistem Sinar Mas Land. Startup yang tergabung dalam LLV Launchpad juga dapat menikmati lingkungan kolaboratif yang dibangun untuk mendorong pertumbuhan dan inovasi bersama.

Dengan peluncuran LLV Launchpad, Living Lab Ventures tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pemain kunci dalam ekosistem startup Indonesia tetapi juga membuka pintu bagi inovasi global untuk berkembang di Asia Tenggara.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Mandiri Capital Indonesia Siap Ekspansi Regional dan Global

Usai menetapkan langkahnya untuk mengelola LP luar, Mandiri Capital Indonesia (MCI), lengan investasi Mandiri Group, mantap untuk memperluas cakupan investasinya ke skala global. Besok (23/4), MCI memboyong sembilan (9) portofolio untuk tampil di konferensi fintech Money 20/20 Asia yang digelar di Bangkok, Thailand.

Bangkok akan menjadi pijakan awal MCI untuk memulai ekspansinya di kawasan regional melalui peluncuran program Xponent pertama di luar negeri. Seluruh portofolio MCI berkesempatan untuk melakukan showcase produk dan layanannya di sana. Ke-9 portofolio ini antara lain Mekari, KoinWorks, Ayoconnect, Delos, iSeller, Kecilin, Fishlog, Imajin, dan AI Rudder.

Adapun, MCI menjadi satu-satunya Corporate Venture Capital (CVC) dari Indonesia yang menjadi exhibitor Money 20/20 Asia yang digelar pada 23-25 April 2024.

“Kami menyiapkan fondasi, framework, sejak 2021 agar MCI bisa berjalan tanpa terus bergantung dari injeksi modal induk usaha. Kami ingin MCI bisa menjadi top of mind, kalau tidak dikenali, bagaimana mau fundraise?” tutur Chief Investment Officer MCI Dennis Pratistha saat diwawancarai DailySocial.id pekan lalu.

Dennis menambahkan bahwa kehadiran Xponent di Money 20/20 Asia akan menjadi langkah strategis untuk mengintegrasikan startup dan perusahaan luar negeri yang aktif dengan jaringan dan sumber daya yang dimiliki oleh Mandiri Group.

Sejak beberapa tahun terakhir, MCI diketahui mulai fokus untuk berinvestasi strategis di sektor beyond fintech, seperti agrikultur, aquakultur, dan manufaktur. Tujuannya tak lagi sebatas penyertaan modal ke startup, tetapi juga penciptaan value creation bagi portofolio dan bisnis unit Mandiri Group.

Sumber: Mandiri Capital Indonesia

Untuk memantapkan posisinya sebagai investor strategis, ujar Dennis, MCI pun menginisiasi program XYZ yang berisikan sejumlah program turunan, yakni Xponent, Xchange, Y-Axis, dan Zenith Accelerator. Seluruh program ini bertujuan untuk mengeksplorasi peluang pertumbuhan startup dan menghubungkan pelaku startup dengan ekosistem kunci.

We only invest in companies where we are confident we can add value to them in terms of business. Kami punya ekosistem besar, Mandiri Group, juga BUMN. Kami bisa leverage, bring value untuk tap ke ekosistem bagi portofolio dan non portofolio. Ini yang mendorong kelahiran XYZ,” tuturnya.

Dana kelolaan untuk ekspansi

Saat ini, dana kelolaan (fund) Global Climate Tech Fund tengah disiapkan sebagai kendaraan investasi global MCI berkolaborasi dengan Investible, VC asal Australia. Dana kelolaan ini ditargetkan bertahap dapat mencapai $150 juta pada penggalangan tahap awalnya tahun ini. Beberapa portofolio yang sudah disuntik modal adalah Greenhope, Cakap, Delos, dan FishLog.

Global Climate Tech Fund menjadi kelanjutaan dari komitmen Indonesia Impact Fund (IIF) untuk mendukung target nol emisi karbon. Ia menilai dana kelolaan sejenis belum banyak di-deploy Indonesia karena ekosistem climate tech masih tahap awal.

“Masalah lainnya, ekosistem sekarang masih menempel dengan ekosistem digital. Kita bicara waste management, circular economy, dan sebagainya, tetapi belum bisa dikatakan climate tech, masih menempel ke digital. Semua ujungnya masih ada aplikasi. Padahal, it’s slightly different. Maka itu, kita harus buat early stage fund untuk bangun ekosistem climate tech,” tambah Dennis.

Ia juga menyoroti bagaimana sulitnya pelaku di ekosistem ini berupaya mengakselerasi bisnisnya padahal telah mengembangkan teknologinya. Salah satu yang ia soroti adalah sektor circular economy. Misalnya, pengelolaan limbah/sampah tak hanya bicara soal aktivitas pengumpulannya saja, tetapi juga memikirkan bagaimana sampah dapat didaur ulang.

Untuk itu, ekspansinya ke regional dan global diharapkan dapat mengeksplorasi teknologi, pengetahuan, dan pengalaman lebih dalam dari negara-negara yang ekosistem climate tech sudah maju. Dengan begitu, upaya tersebut dapat mempercepat pertumbuhan ekosistem climate tech dalam negeri.

Dennis juga menyebut tengah menyiapkan perwakilan MCI di Australia, yang mana diharapkan dapat mempermudah perusahaan untuk mereplikasi program XYZ. “Negara-negara yang ekosistem climate tech-nya sudah maju, mereka sudah mulai puluhan tahun lalu. Kita bisa tap into their knowledge, technology, dan experience. Once the framework is set, we can scale, that’s what we have been doing, we’re replicating the framework. Pasti ada lokalisasinya, itu bisa disesuaikan.”

Sebagaimana ditetapkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), ada enam fokus area untuk mengatasi climate crisis antara lain Energy, Industry, Agriculture and Food, Forests and Land Use, Transport, Buildings and Cities.

Dana kelolaan MCI saat ini:

  1. Balance Sheet Fund dari Mandiri Group (aktif)
  2. BTN Fund (deployment 2024)
  3. Global Climate Tech Fund (initial fundraising)
  4. Merah Putih Fund (deployment 2024)

MCI memiliki dana kelolaan aktif Balance Sheet Fund dari Mandiri Group. Baru-baru ini, MCI juga mengumumkan kolaborasi dengan BTN sebagai fund manager BTN Fund yang fokus pada investasi di ekosistem digital housing, termasuk mortgage, proptech, construction tech, manufacturing tech, dan open banking.

“Kami sedang urus perizinan [BTN Fund] dengan OJK. Semoga bisa diluncurkan segera [tahun ini]. Kami ingin memastikan bisa membantu [BTN] untuk mengakselerasi proses transformasi digital mereka, karena [fund] ini sudah dipersiapkan sejak 2021. Deployment-nya bertahap, kami sudah mulai melakukan pre due dilligence,” ungkapnya.

Saat ini, MCI telah lebih dari 20 startup portofolio yang berasal dari 14 vertikal, mencakup lending, B2B value chain, hingga payment enabler.

Central Capital Ventura Terapkan Bobot Tinggi untuk Eksplorasi Kolaborasi Startup dengan BCA [UPDATED]

Central Capital Ventura (CCV), lengan investasi dari BCA, mengungkapkan eksplorasi potensi kerja sama antara induk usahanya dengan calon startup yang akan didanai kini punya bobot yang lebih tinggi saat uji tuntas. Mengandalkan presentasi berisi prediksi nilai pasar dan valuasi saja kini dianggap kurang kredibel.

Dalam Diskusi Mini Studio BCA, di ICE BSD City, Jumat (01/3), Direktur CCV Adi Prasetyo menjelaskan langkah tersebut sebenarnya tidak berubah dari mandat awal didirikannya CCV, yakni sebagai pendukung bisnis utama BCA di industri keuangan.

“Mungkin selama ini bisa VC melihat kesempatan berinvestasi, maka lebih banyak kurang digali potensi kolaborasinya. Mungkin selama ini seperti itu, kita tidak bisa seperti itu lagi. Artinya potensi kolaborasi itu harus jadi salah satu faktor yang menentukan investment. Startup bisa saja datang ke CCV dulu dan kita pada saat melihat potensi kolaborasi dan seberapa bagus teknologinya, kita pasti refer ke BCA untuk dilihat, due dilligence, bagaimana teknologinya bisa relevan dengan kebutuhan BCA, bisa scalable, bisa diterapkan, dan seterusnya,” ucapnya.

Menurutnya, saat uji tuntas sebuah startup sebenarnya sama seperti bank yang menilai potensi calon debiturnya, namun prosesnya lebih sederhana. Ada tiga hal yang dilakukan.

Pertama, melihat tim dan manajemen. Sebab, membangun budaya perusahaan adalah hal Bagaimana sumber daya manusia di dalam perusahaan tersebut bertumbuh secara stabil dari puluhan ke ratusan.

“Saat tim masih sedikit, bangun interaksi antarorang itu mudah, tapi ketika besar mampu enggak? Ada yang akhirnya founder pecah, itu yang mau kita hindarkan karena arah perusahaannya bisa berubah,” ucapnya.

Kedua, produk dan solusi. Bagaimana saat perusahaan bertumbuh, produknya tetap relevan. Terakhir, kondisi finansial. Sebelum pandemi, startup berlomba-lomba menyajikan valuasi yang menakjubkan. Padahal cara hitungnya itu sederhana. “Bisa BEP berapa lama, bagaimana strateginya, itu yang kita lihat sekarang.”

VP Digital Innovation Solution, Strategic Information Technology Group BCA Samuel Tjung menambahkan program akselerator SYNRGY yang sudah berjalan sejak 2019 adalah bentuk nyata dukungan BCA Grup terhadap ekosistem startup. Bahkan, pihaknya menjadikan BCA sebagai sandbox untuk langsung tes pasar, bukan lagi menilai-nilai angka di lab.

Dia mencontohkan salah satu kisah sukses dengan startup biometrik Verihubs. Startup tersebut menjadi salah satu peserta SYNRGY di 2020. Solusi yang mereka tawarkan itu sejalan dengan kebutuhan BCA karena KYC itu aspek penting dalam bank.

“BCA lihat secara produk jadi fit dengan kebutuhan kita. Lalu kita kenalkan ke CCV dan akhirnya dapat pendanaan,” kata Samuel.

Agar cita-cita menjadi sandbox berjalan mulus, kini program akseleratornya dibuat secara kostum sesuai kebutuhan startup. Tidak lagi ada batch yang berjalan selama tiga bulan, kelas-kelas yang perlu diikuti, diskusi dengan mentor, dan demo day. Perubahan ini sudah berjalan sejak dua tahun.

Dijelaskan lebih lanjut, program ini terus berevolusi karena pihaknya berusaha menjawab kebutuhan startup, jadi secara metode dan kontennya terus menyesuaikan. Tidak melulu startup itu butuh pendanaan, ada juga yang cari mitra buat kerja sama.

“Di buat secara kostum per startup kebutuhannya apa. Misal p2p lending, akan dicarikan mentor yang sesuai. Kita seleksi juga apakah ada potensi kerja sama, ini yang kita kuatkan.”

Sekarang pendaftaran SYNRGY dibuka sepanjang tahun dan demo day akan diselenggarakan jelang akhir tahun. Dari enam gelombang penyelenggaraan, SYNRGY Accelerator sudah meluluskan 79 startup dari 725 lebih startup yang mendaftar dan berhasil menciptakan lebih dari 15 kolaborasi.

Bidik startup embedded fintech

Adi menyebut, menurunnya penanaman modal ke startup dari investor secara global mencapai titik terendah dalam enam tahun terakhir. Spesifik untuk sektor fintech saja, investasi ke sektor fintech selama tiga tahun terakhir turun hingga 30%.

Kini, perusahaan modal ventura lebih selektif dalam memberikan modal. Kendati demikian, ia berharap ada perubahan situasi menyusul munculnya sejumlah inovasi dari teknologi teranyar seiring ekspektasi investor yang terus meningkat.

“Sepertinya enam bulan pertama di 2024, secara umum investor lebih berhati-hati dalam melihat peluang dan melakukan investasi. Di sisi lain, uang yang akan diinvestasikan sebenarnya sangat banyak. Investor sedang menunggu peluang yang tepat untuk berinvestasi, hanya masih berhati-hati,” imbuh Adi.

Walau tidak bersedia merinci lebih jauh, Adi menuturkan saat ini CCV tertarik dengan solusi-solusi pendukung teknologi fintech (embedded fintech). Namun bukan berarti sektor fintech tidak lagi menarik, melainkan karena sudah mature.

“Kami sebagai investor juga mengharap valuasi itu naik sehingga bisa dapat return dengan lebih cepat. Tapi fintech masih promising. Ketika bicara ekspektasi valuasi naik, untuk fintech masih di area consumer, seperti payment, online banking, dan wealth management masih ada ceruknya.”

Adi juga menyampaikan, selain berinvestasi ke startup baru, pihaknya juga akan menyeimbangkannya dengan divestasi. Tidak didetailkan lebih lanjut terkait ini. Dipastikan juga, CCV belum berminat untuk menambah portofolio startup p2p lending ke depannya.

Menurut laporan keuangan CCV, sepanjang 2022 total penyertaan saham secara langsung oleh CCV sebanyak 23 startup dengan nilai Rp333 miliar. Pendapatan operasional sebesar Rp41,1 miliar, naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp2,88 miliar. Kenaikan ini terjadi karena ada divestasi dari salah satu portofolionya, serta keuntungan yang tidak terealisasi atas nilai wajar seluruh portofolio.

Ada 25 portofolio di bawah CCV, tiga di antaranya sudah exit, yakni Railsr (sebelumnya Railsbank), Wallex, dan Impact Credit Solutions (ICS). Portofolio lainnya adalah OY!, Qoala, AirWallex, Agate, Sinbad, Moduit, dan Verihubs. Terdapat tiga startup p2p lending juga, seperti Akseleran, KlikA2C, dan Julo.

Update 13/03/2024: Kami mengubah kutipan Adi Prasetyo di paragraf ketiga

Cento Ventures: Iklim Investasi Akhir-akhir Ini Bisa Pengaruhi Valuasi Startup Balik ke Era Sebelum Unicorn

Pada paruh pertama 2023, Asia Tenggara mengalami penurunan volume investasi sebesar 54% menjadi $3,1 miliar. Penurunan ini merupakan investasi paruh pertama terendah sejak 2017, menurut laporan yang diumumkan Cento Ventures.

Laporan itu menyatakan, walaupun investasi di regional turun, tren tersebut akan berakhir karena minat investor terhadap pendanaan baru perlahan meningkat.

“Lanskap kesepakatan investasi tampaknya berbalik ke tingkat sebelum Covid-19 – dan sangat mungkin ke standar sebelum era unicorn. Kembalinya gelembung valuasi dan ukuran transaksi mengikuti penurunan volume investasi, namun dengan jeda yang signifikan. Menariknya, koreksi pasar ini hanya terjadi setahun penuh setelah penurunan pasar pertama kali dirasakan di AS — kawasan ini tidak mengalami penurunan tajam dalam asupan modal hingga akhir tahun 2022,” tulis Cento Ventures.

Cento Ventures

Walau hilangnya separuh modal, kawasan ini masih berada di bawah angka dasar penerimaan modal pada 2017-2020 – satu-satunya pasar global selain Tiongkok yang mampu melakukan penyesuaian dengan cepat, karena pencapaian pada 2021-2022 belum meningkatkan tingkat investasi di Asia Tenggara sebanyak itu, seperti di India atau Amerika Latin.

“Hal ini, ditambah dengan volume mega-deal yang minimal dalam sejarah, membuat kami yakin bahwa Asia Tenggara mungkin akan mengalami penurunan aktivitas investasi yang sedikit lebih kecil dari tahun ke tahun dibandingkan dengan wilayah sejenisnya,” tulis laporan tersebut.

Hipotesis tersebut diperkuat dengan laporan “Southeast Asia Deal Review 2023” yang dikutip secara terpisah, disusun oleh DealStreetAsia dan Rigel Capital. Disampaikan bahwa sepanjang tahun lalu total pendanaan di regional turun hingga 51% menjadi $7,96 miliar. Kesepakatan investasi turun 30% menjadi 718 kesepakatan.

Dijelaskan lebih jauh oleh Cento Ventures, ketika kawasan ini memasuki era koreksi, investor terus mengalihkan perhatiannya ke pendanaan tahap awal. Meskipun sentimen negatif semakin meningkat menjelang paruh kedua tahun 2023, bisnis inti di Asia Tenggara ternyata mampu bertahan dengan baik.

“Kami melihat modal di tahap pra-A hingga seri C (semua rentang $0,5-50 juta per transaksi) masih dikerahkan dengan kecepatan yang sama seperti tiga tahun sebelumnya. Namun, kategori mega-deals (di atas $100 juta) hampir mencapai batas minimum dalam sejarah dengan hanya beberapa perusahaan di wilayah ini (eFishery, bolttech, Kredivo, dan Moladin) yang mengumpulkan atau mengumumkan putaran $100 juta+ pada semester I 2023.”

Terkait perubahan lanskap valuasi, Cento menyampaikan bahwa ini baru saja dimulai. Hal-hal seperti runway yang semakin pendek pada 2021-2022 dan banyaknya penutupan perusahaan yang diketahui publik berdampak signifikan terhadap pola pikir investor.

Gambaran sebenarnya mengenai valuasi masih dikaburkan oleh adanya dua “penopang” – yaitu putaran internal terstruktur dan utang swasta, yang diterapkan secara bebas untuk menunda penetapan harga perusahaan digital di seluruh ekosistem.

Filipina dinilai gagal jadi the next Indonesia

Cento Ventures

Startup di Filipina sebelumnya digadang-gadang bakal menjadi the next Indonesia. Namun kenyataannya, menurut Cento Ventures, dinilai gagal mencapainya.

Disampaikan lebih lanjut, sejak awal 2022, ketika valuasi di Indonesia mencapai puncaknya dan dimulainya pencarian kisah pertumbuhan regional berikutnya, narasi mengenai “Next China” di Vietnam dan “Next Indonesia” di Filipina telah diuji satu sama lain. Hampir dua tahun berlalu, tidak ada pasar yang menunjukkan perkembangan yang jelas.

Vietnam telah meluncurkan banyak dana investasi tahap awal dan mempertahankan sebagian besar aliran investasi regional, meskipun aktivitas investasi telah melemah karena kelesuan ekonomi. Sedangkan Filipina mengalami lonjakan aktivitas dari berbagai konglomerat lokal dan munculnya berbagai model bisnis padat modal, yang mencerminkan perkembangan Indonesia pada tahun 2017-2019.

“Namun, perkembangan ini dihadapkan pada ketiadaan modal pada tahap selanjutnya untuk mendukung perkembangan tersebut.”

Negara lainnya, yakni Malaysia, pemerintahnya berupaya untuk meningkatkan aktivitas investasi di negaranya melalui berbagai program yang dipimpin oleh lembaga pemerintah. Hasilnya, memberikan negara tersebut bagian investasi regional yang setara dengan Vietnam dan peningkatan signifikan dalam valuasi investasi di putaran seri A dan B.

Sektor fintech dominasi vertikal pendanaan

Cento Ventures

Sektor fintech berkontribusi sebesar 40% dari seluruh investasi. Semua vertikal turunan fintech rata mendapatkan investasi, sehingga narasi “kematian fintech karena suku bunga tinggi” sudah ketinggalan zaman.

Vitalitas sektor ini tetap didukung oleh pembaruan pesat pada infrastruktur dan peraturan pembayaran regional, beragam inisiatif bank bekerja sama dengan perusahaan teknologi. Tak hanya itu, pergeseran fokus platform digital yang meninggalkan “superapp” dan beralih ke khitahnya sebagai sektor keuangan dan distribusi jasa keuangan.

“Runtuhnya volume perdagangan mata uang kripto dan narasi investasi terkaitnya telah berdampak signifikan terhadap jumlah aliran investasi DFS ke sub-sektor wealth management dan infrastruktur pasar modal selama semester II 2022. Akibatnya, sub-sektor ini kembali sejalan dengan volume pemasukan modal historisnya.”

Ekosistem VC Menantikan Langkah Lanjutan Pemerintah untuk Dorong Modal Ventura

Menyusul diterbitkannya POJK No 25 Tahun 2023, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) merilis peta jalan pengembangan perusahaan modal ventura (PMV) di Indonesia. Regulasi soal permodalan dan perizinan yang selama ini diketahui menjadi benturan venture capital (VC) di Indonesia menjadi strategi kunci yang akan didorong oleh asosiasi.

Peta jalan ini berupaya memberikan gambaran perkembangan PMV saat ini beserta tantangannya, sebagaimana dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan. Misalnya, tantangan mengenai sumber pendanaan pemodal ventura, terutama yang melakukan kegiatan usaha penyertaan modal.

Saat ini, mayoritas sumber pendanaan PMV berasal dari pinjaman. Sekitar 32% aset modal ventura didanai dari pinjaman. Adapun, dana ventura dapat menjadi salah satu opsi dalam perluasan sumber pendanaan PMV.

Selain itu, AMVESINDO mendapati tak banyak pemodal ventura yang fokus pada penyertaan modal. Dari total 54 PMV, sekitar 74% PMV memiliki penyertaan modal kurang dari 51% dari total pendanaan yang disalurkan. Hal ini karena sebagian besar kegiatan usahanya adalah pembiayaan kepada pasangan usaha. Hanya 12 PMV yang porsi penyertaan modalnya lebih dari 85%.

Begitu roadmap ini rampung pada 2028, AMVESINDO menargetkan 67% penyaluran VCC dapat difokuskan pada penyertaan modal dan 67% dari aset VDC untuk pembiayaan pasangan usaha. Sebagai tambahan, per November 2023, total aset PMV tercatat mencapai Rp26,56 triliun atau tumbuh 80% (YoY), yang terdiri dari PMV konvensional (Rp25,59 triliun) dan aset PMVS (Rp0,96 triliun).

Ekosistem modal ventura di Indonesia

Sementara, POJK 25/2023 baru mengangkat ketentuan pokok terkait pengkategorian perusahaan modal ventura  (PMV) dan perusahaan modal ventura syariah (PMVS) saja. Sejumlah VC yang kami tanyai enggan berkomentar banyak terkait aturan baru ini. Namun, mereka mengaku menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku industri VC di Indonesia.

“Menurut saya, POJK ini sudah mendekati best practice di negara-negara yang telah memiliki ekosistem modal ventura yang baku (terstandardisasi). Masalahnya, apakah POJK ini sudah menarik bagi VC? Di Singapura, misalnya, aturan dan ekosistemnya sudah jelas,” tutur Managing Partner Ideosource Edward Chamdani saat dihubungi DailySocial.id.

Ia juga menilai bahwa ketentuan model disetor cukup memberatkan pemodal ventura. Pasalnya, dalam ketentuan POJK 25/2023, persyaratan modal minimum yang diwajibkan tergantung pada jenis PMV. Untuk kategori venture capital corporation (VCC), minimum ekuitasnya sebesar Rp50 miliar. Kemudian, venture debt corporation (VDC) diwajibkan memiliki ekuitas minimum Rp25 miliar, sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) minimum Rp10 miliar.

Menurut laporan AMVESINDO, 12 PMV dari total 54 PMV baru memiliki ekuitas di bawah Rp25 miliar, sedangkan hanya 28 PMV yang ekuitasnya di bawah Rp50 miliar. Rendahnya ekuitas ini dinilai dapat memengaruhi kemampuan PMV untuk memperluas skala usaha termasuk menyerap risiko yang berpotensi mengakibatkan kegagalan usaha.

Kendati begitu, Pihak AMVESINDO diketahui telah banyak berdiskusi dengan OJK untuk mengakomodasi isu terkait modal hingga perpajakan sebagaimana telah banyak disuarakan oleh PMV yang aktif berinvestasi di Indonesia, tetapi legalitas usahanya terdaftar di luar negeri. Saat ini, jumlah PMV di Indonesia berjumlah 54 dengan mayoritas berkantor pusat di DKI Jakarta, di mana lima di antaranya adalah PMV Syariah.

Ketua AMVESINDO Eddi Danusaputro sempat mengutarakan rencana diskusi lanjutan dengan OJK dan instansi terkait untuk membahas perihal perpajakan pada akhir bulan ini. “Soal pajak kan ada di ranah Kementerian Keuangan, jadi ini tinggal berkoordinasi dengan lintas kementerian saja,” tutur Eddi beberapa waktu lalu.

Model ekosistem ideal yang ditargetkan oleh AMVESINDO

Edward yang juga menjabat di AMVESINDO menambahkan bahwa diskusi mengenai modal, pajak, dan turunannya dengan OJK bukan lagi pembahasan awal, tetapi sudah bicara observasi dengan model di negara-negara lain. Menurutnya, dengan memiliki ekosistem yang lengkap, ini dapat memengaruhi pertumbuhan bisnis pemodal ventura ke depan.