Mercedes-Benz Pamerkan Beragam Inovasi Digital pada S-Class Generasi Terbaru

Keberadaan touchscreen pada dashboard mobil sudah tidak bisa dibilang barang baru lagi. Kendati demikian, saya kira belum ada pabrikan yang seberani Tesla, yang sejak Model 3 sudah sepenuhnya mengandalkan layar sentuh untuk mengendalikan beragam fungsi mobil.

Arahan yang diambil Tesla mungkin agak kelewat ekstrem. Kalau untuk keperluan seperti mengecek tekanan ban, touchscreen mungkin merupakan medium interaksi yang sangat pas. Namun kalau untuk mengatur arah semburan AC atau membuka jendela mobil, saya rasa reflek manusia akan lebih nyaman dengan kehadiran tuas fisik.

Sayang sepertinya trennya lebih condong ke visi Tesla. Mercedes-Benz baru-baru ini menjabarkan secara detail mengenai pembaruan yang mereka terapkan pada sistem infotainment MBUX-nya, yang siap menjalani debutnya bersama S-Class generasi terbaru. Kalau mau penjelasan sederhananya, versi baru MBUX ini melibatkan touchscreen berukuran besar sebagai panel kontrol utamanya.

Layar sentuh OLED sebesar 12,8 inci dengan orientasi vertikal ini langsung mengingatkan saya pada touchscreen milik Tesla Model S. Menurut Mercy, kehadiran layar sentuh ini membantu mereka mengeliminasi 27 tombol yang biasanya terdapat dalam kabin S-Class. Seketika itu juga saya berpikir: “Apakah ini berarti S-Class generasi terbaru tidak dilengkapi tombol power window?”

Untungnya tidak demikian. Mercy memastikan bahwa tombol power window, tuas wiper dan lampu, serta sejumlah tombol fisik lain yang sudah sangat familier masih ada di tempat aslinya. Namun untuk kenop-kenop pengaturan sistem climate control, Mercy sudah memindahnya ke layar sentuh, meski untungnya Mercy juga merancangnya agar menghuni porsi bawah layar secara permanen.

MBUX

Tepat di balik lingkar kemudinya, tentu saja panel instrumennya juga sudah sepenuhnya digital. Satu hal baru yang Mercy perkenalkan di sini adalah semacam teknologi 3D display yang glasses-free. Pastinya untuk apa fitur ini Mercy buat belum dijelaskan, dan yang menurut saya lebih menarik adalah teknologi AR-HUD alias augmented reality heads-up display.

Penerapan AR di bidang otomotif bukanlah hal baru, akan tetapi Mercy berhasil mengintegrasikan teknologinya dengan HUD, yang berarti konten AR bisa diproyeksikan langsung ke jendela depan mobil. Hasil proyeksinya pun cukup luas, setara layar 77 inci kalau kata Mercy.

Tentu saja implementasi AR di sini bukan sebatas untuk keren-kerenan saja. Salah satu fungsinya adalah sebagai format baru untuk menampilkan panduan navigasi. Dan karena tampilannya sekarang bisa diproyeksikan ke jendela depan, maka pengemudi bisa melihat arah panah petunjuk navigasi yang seakan-akan berada tepat di atas jalanan.

Berhubung S-Class identik dengan mobil para bos yang pasti punya sopir pribadi, tentu saja kabin belakangnya turut dibanjiri layar sentuh. Maksimal hingga tiga buah, satu di konsol pembatas dan dua sisanya di belakang jok depan.

MBUX

Teknologi keamanan biometrik juga menjadi salah satu fitur yang diunggulkan MBUX versi terbaru. Dari yang sederhana seperti memindai kode QR untuk mengaktifkan profil pengemudi (yang menyimpan informasi-informasi seperti posisi jok, pengaturan climate control, dan lain sebagainya), sampai yang lebih kompleks seperti fingerprint scanning dan facial recognition.

Pada S-Class terbaru nanti, facial recognition tak hanya dipakai untuk memantau apakah pengemudi mulai mengantuk, melainkan juga untuk mengaktifkan beragam fungsi-fungsi cerdas, seperti misalnya menyesuaikan posisi kaca spion secara otomatis (dengan memperhatikan posisi kepala dan mata pengemudi relatif terhadap sandaran jok dan parameter-parameter lainnya).

Mercy juga tak mau melupakan sistem voice recognition. Pada MBUX versi terbaru, perintah suara dapat diberikan tanpa harus menyebutkan “Hey Mercedes” setiap kali. Mercy mengklaim sistemnya telah mendukung 27 bahasa yang berbeda, serta mampu memahami instruksi-instruksi yang implisit seperti misalnya “Saya kepanasan” daripada yang terang-terangan seperti “Turunkan suhu AC ke 20 derajat”.

Sejauh ini penawaran Mercy terdengar lebih menarik daripada Tesla kalau buat saya. Digitalisasi itu penting, dan kita tentu ingin bisa mengakses beragam fitur mobil semudah menavigasikan smartphone. Kendati demikian, beberapa hal tetap lebih mudah dikendalikan via tombol atau tuas fisik. Anda tentunya bakal keberatan kalau tombol volume pada ponsel Anda dihilangkan, bukan?

Sumber: CNET dan Daimler.

Google Ciptakan AI yang Dapat Menciptakan AI Lain dengan Sendirinya

Artificial intelligence alias AI mendapat porsi pembicaraan yang cukup besar dalam event Google I/O tahun ini, dan Google pada dasarnya ingin mengimplementasikan AI di mana saja – bahkan di luar platform-nya sendiri. Namun mengembangkan AI dengan kemampuan deep learning tentunya tidak mudah dan memakan waktu. Untuk itu, perlu dilakukan otomasi.

Atas alasan itulah Google menggarap proyek bernama AutoML. Dari kacamata sederhana, AutoML adalah AI yang dapat menciptakan AI lain dengan sendirinya. “AI inception“, demikian gurauan tim internal Google, merujuk pada film Inception karya Christopher Nolan.

Google sejatinya merancang AutoML untuk mengotomasi proses pembuatan neural network. Komponen ini merupakan bagian penting dalam penerapan teknologi deep learning, dimana prosesnya melibatkan data yang diteruskan melalui lapisan demi lapisan neural network.

Semakin banyak neural network, semakin bagus pula kinerja AI, kira-kira demikian pemahaman kasarnya. Kehadiran AutoML pun akan sangat meringankan beban para engineer Google dalam mengembangkan neural network yang bisa dianggap sebagai tulang punggung AI.

Sejauh ini Google sudah memanfaatkan AutoML untuk meracik neural network yang dibutuhkan dalam penerapan teknologi pengenal gambar maupun suara. Menurut pengakuan Google sendiri, AutoML bisa mengimbangi kinerja tim internal Google untuk bidang pengenalan gambar, sedangkan untuk bidang pengenalan suara kinerja AutoML bahkan melampaui para engineer tersebut.

Lalu apa manfaat yang bisa kita ambil dari AutoML sebagai konsumen? Banyak. Yang paling utama tentu saja adalah penyempurnaan teknologi pengenal gambar dan suara. Software macam Google Photos misalnya, dapat mengenali wajah maupun objek dalam foto secara lebih akurat, sedangkan perangkat seperti Google Home juga bisa mendeteksi perintah suara pengguna dengan lebih baik lagi.

Sumber: Futurism.

Berkat EmoWatch, Apple Watch Dapat Mengenali Suasana Hati Pengguna dari Suaranya

Saat Tim Cook mengumumkan Apple Watch, beliau dengan bangga menyebutnya sebagai perangkat paling personal yang pernah dirilis oleh Apple. Sepersonal apa? Paling gampang, bisakah ia memahami suasana hati kita? Tahukah ia ketika kita sedang riang atau murung?

Well, Apple mungkin tidak merancangnya untuk kebutuhan itu secara spesifik. Namun sebuah perusahaan yang berbasis di Tokyo, Smartmedical, punya ide menarik untuk merealisasikan konsep tersebut lewat sebuah aplikasi bernama EmoWatch.

EmoWatch dirancang untuk Apple Watch. Fungsinya tidak lebih dari memahami suasana hati sang pengguna. Caranya dengan mengidentifikasi suara pengguna, menganalisa intonasi, tinggi-rendah nada, kecepatan hingga volumenya.

Dari situ EmoWatch akan mencoba menebak suasana hati pengguna yang dibagi menjadi empat kategori sederhana: senang, sedih, marah atau tenang. Mood Anda gampang berubah-ubah? EmoWatch akan memonitornya, menampilkan pola perubahan suasana hati sehingga Anda bisa lebih awas dan tidak marah atau bersedih terus-menerus.

EmoWatch

Menariknya, EmoWatch diklaim bisa berfungsi tanpa batasan bahasa. Smartmedical menjelaskan bahwa apa yang dianalisa oleh aplikasi besutannya adalah karakteristik suara, bukan arti harfiah per kata yang keluar dari mulut pengguna.

Namun saya pribadi agak ragu dengan klaim ini. Seperti yang kita tahu, tidak sedikit bahasa daerah di Indonesia yang intonasinya cepat dan nadanya tinggi – Makassar contohnya – sehingga di telinga orang lain terkesan seperti sedang marah-marah, padahal aslinya cuma bercerita biasa.

Mungkin hal ini juga yang menjadi alasan mengapa EmoWatch sejauh ini belum tersedia untuk pasar Indonesia. Terlepas dari itu, Smartmedical telah merilis API teknologi pendeteksi yang dipakai ke para developer agar bisa dimaksimalkan lebih lagi.

Mungkin ada developer lokal yang tertarik mengaplikasikan teknologi serupa pada konsumen tanah air dengan bahasa daerah yang beragam? Silakan mendaftar dan telusuri API-nya.

Sumber: TechCrunch.

Nuance, Perusahaan Pencipta Siri Siapkan “Nina” Untuk Layanan Customer Service

Nuance, perusahaan yang berada di balik teknologi Siri kini sedang mempersiapkan proyek terbarunya yang masih berkaitan dengan teknologi pengenalan suara.

“Nina”, proyek terbaru perusahaan asal Boston tersebut yang dinilai mirip dengan Siri namun pengaplikasiannya ditujukan untuk membantu perusahaan dalam melayani pelanggannya. Nuance mengincar perusahaan asuransi, bank dan perusahaan apapun yang memiliki layanan pelanggan untuk menggunakan “Nina” dibalik teknologi yang nantinya akan membantu pelanggan dalam berkomunikasi dengan perusahaan.

Ke depannya, jangan kaget ketika anda menelepon ke layanan pelanggan sebuah bank lalu disambut dengan layanan interaktif yang bisa berbincang dengan anda sekaligus memecahkan masalah anda.

sumber: theverge