Wahyoo Ventures Hadir untuk Dukung Pertumbuhan UMKM Kuliner

Wahyoo Group mengumumkan peluncuran Wahyoo Ventures, inisiatif terbaru untuk mendukung pertumbuhan UMKM kuliner di Indonesia.

Wahyoo Ventures akan menggelar program Sayembarasa Roadshow untuk mencari UMKM kuliner potensial memenangkan hadiah yang mereka sebut dengan “4M” (money, mentoring, management tools, dan market access). Pada tahun 2024, roadshow ini akan mengunjungi 6 kota meliputi Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang, dengan tema “Unleashing F&B Potential.”

Grand launching Wahyoo Ventures ditandai dengan acara Sayembarasa Roadshow di Jakarta. Founder & CEO Wahyoo Group Peter Shearer menyatakan, “Wahyoo terus berinovasi dan berkomitmen membantu memajukan UMKM kuliner Indonesia agar mendunia. Wahyoo Ventures menjadi jembatan untuk mengembangkan UMKM lokal potensial.”

Wahyoo Ventures berkolaborasi dengan FoodStartup Indonesia dan mendapat dukungan dari Kemenparekraf dan Olsera Indonesia. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno turut hadir dan mengungkapkan harapannya agar kegiatan ini dapat mempercepat pembiayaan dan permodalan serta mendorong pelaku usaha kuliner untuk berinovasi, khususnya yang berbasis pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Rangkaian acara Sayembarasa Roadshow akan mencakup seminar bisnis dan pitching forums, di mana UMKM kuliner dapat mempresentasikan produk mereka di depan para investor dan sesama pengusaha kuliner.

Pembicara utama dalam seminar ini antara lain Rian Ekky Pradipta, Chef Arnold Poernomo, Dewa Eka Prayoga, Donny Pramono, Tubagus Syailendra, Eko Goentoro O. W, Cikhita Sebayang, Bonnie Susilo, Vincent Kusuma, dan Hendra Kwik.

Pendaftaran Sayembarasa Roadshow telah dibuka sejak 19 April 2024 dan akan berlangsung dari 2 hingga 22 Mei 2024. Total 500 UMKM per kota akan dikurasi menjadi 100 UMKM terpilih untuk berkesempatan memenangkan hadiah 4M di setiap kota yang dikunjungi.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Tingkatkan Kualitas Bahan Baku, Coba Aplikasi Wahyoo untuk Bisnis Kuliner Anda

Anda pemilik usaha/bisnis kuliner? Mungkin Anda dapat mencoba aplikasi Wahyoo untuk mengoptimalkan usaha Anda.

Apa itu Wahyoo?

Dilansir dari laman websitenya, Wahyoo merupakan aplikasi yang menawarkan solusi bagi para pelaku UMKM kuliner. Berawal dari melayani warung makanan atau usaha kuliner berskala mikro, kini Wahyoo sudah melayani lebih dari 27.000 usaha kuliner di wilayah Jabodetabek dan Karawang dengan berbagai skala bisnis, mulai dari mikro, kecil, dan menengah.

Pada aplikasi Wahyoo tersedia jaringan distribusi dan penjualan untuk mengoptimalkan operasional bisnis kuliner Anda. Terdapat 2.000 bahan baku mulai dari, mulai dari bahan pokok, produk segar, produk siap jual, hingga produk masak. Proses pemesanan dapat dilakukan di aplikasi dan dikirim ke lokasi Anda.

Wahyoo mendorong UMKM kuliner untuk mendapat layanan pendukung yang berkualitas baik bagi usaha kulinernya.  Bagi Anda yang memiliki usaha catering, warung, pedagang kaki lima, cafe, rumah makan, maupun usaha kuliner lainnya, Anda dapat mencoba aplikasi Wahyoo untuk mendapat bahan baku berkualitas sesuai keinginan anda.

Tertarik mencobanya? Berikut cara daftar di aplikasi Wahyoo bagi Anda pemilik usaha kuliner.

Cara Daftar Aplikasi Wahyoo

  • Unduh aplikasi Wahyoo di Google Play Store atau App Store.

  • Buka aplikasi Wahyoo, klik Lanjut.

  • Pilih Daftar.

  • Klik Lanjut untuk memulai isi data diri dan data usaha kuliner dengan lengkap.

  • Perlu diperhatikan syarat mendaftar aplikasi Wahyoo perlu menyiapkan kelengkapan data, seperti pada gambar berikut.

  • Masukkan nomor handphone Anda. Klik Lanjut.

  • Pilih Metode Verifikasi untuk nantinya dikirim kode verifikasi.

  • Masukkan kode verifikasi. Klik Verifikasi.

  • Masukkan data diri dengan lengkap, sepeti nama, foto KTP, dan lainnya. Klik Lanjut.

  • Isi data usaha dengan lengkap, seperti nama usaha, tipe usaha, alamat usaha, dan lainnya. Klik Lanjut.

  • Anda dapat menon-aktifkan/matikan tanda centang jika kontak penerima dan alamat penerima pesanan berbeda. Anda dapat mengubah data tersebut, lalu Klik Selesaikan.

  • Anda telah selesai mendaftarkan usaha Anda dan tunggu proses verifikasi berjalan selama 1-2 hari untuk dapat melakukan proses pemesanan.

Itulah penjelasan mengenai aplikasi Wahyoo dan cara daftar aplikasi tersebut. Bagi Anda pelaku bisnis kuliner dan ingin mendapat produk berkualitas dengan jasa kirim, Anda dapat mencoba aplikasi Wahyoo. Selamat mencoba!

Wahyoo Dikabarkan Akuisisi Startup Cloud Kitchen Foodstory

Startup digitalisasi UMKM kuliner Wahyoo dikabarkan telah mengakuisisi startup cloud kitchen Foodstory. Tidak disebutkan nominal transaksi dalam kesepakatan tersebut. Langkah strategis ini dipilih dalam rangka mendukung ambisi Wahyoo yang ingin menyeriusi jaringan cloud kitchen “Wahyoo Kitchen Partner”.

“Semua tim Foodstory sekarang sudah bantu Wahyoo dan brand Foodstory sudah jadi brand-nya Wahyoo,” jelas sumber terpercaya DailySocial.id saat dimintai konfirmasi lebih lanjut, Selasa (28/2).

Konsep Foodstory beririsan dengan Wahyoo. Startup yang didirikan oleh Dennish Tjandra dan Charles Kwok ini mengusung konsep multi-brand F&B group yang membuat, membangun, dan mengoperasikan beberapa brand in-house dalam satu dapur. Mirip dengan yang dilakukan oleh Hangry.

Sejak beroperasi di 2021, terhitung ada tujuh brand di bawah Foodstory, yakni Gaaram, Lahab Chicken, Chicken Pao, Bowlgogi, Aidon, Soto Legenda, dan Gaembull. Lokasinya diklaim tersebar di lebih dari 50 titik di sekitar Jakarta, Tangerang, Bogor, dan lainnya.

Dalam mengembangkan brand baru dan mendukung industri kuliner yang potensial, pada tahun lalu perusahaan mengumumkan pemberian dana investasi, dukungan ekosistem dan tim berpengalaman untuk membantu mereka tetap bertumbuh. Brand Gaaram adalah salah satu realisasinya.

Wahyoo Kitchen Partner

Adapun Wahyoo sendiri sejak November 2022 sudah menyampaikan ambisinya dalam membangun jaringan cloud kitchen sebagai mesin pertumbuhan baru bagi perusahaan. Perusahaan memanfaatkan jaringan kuliner (mitra UMKM kuliner) yang sudah ada ditambah dengan infrastruktur teknologi perusahaan yang sudah mumpuni.

Konsep cloud kitchen yang diadopsi Wahyoo sedikit berbeda dengan kebanyakan dan menjadi nilai lebih. Perusahaan sudah membangun kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan. Mitra UMKM kuliner di Wahyoo bisa memaksimalkan potensi dari dapurnya dan karyawan yang sudah ada, selama tetap memenuhi standar dalam hal kebersihan dan kualitas memasak. Tercatat ada 250 restoran kecil dari 27 ribu mitra Wahyoo yang telah bergabung dengan Wahyoo Kitchen Partners ini.

“Khusus kami, ingin bantu UMKM kuliner yang sudah ada di jaringan kami sehingga enggak ada lagi modal tambahan yang harus mereka keluarkan karena dapur dan karyawan sudah ada. Sebab kami ini sharing economy, jadi prinsipnya kami sangat ingin memajukan UMKM,” terang Co-founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer.

Sejauh ini Wahyoo, lewat unit Tajir Group, telah mengoperasikan empat merek makanan label privat, yakni Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, Bakso Bikin Tajir, dan Senang Hatea. Seluruh suplai produk ini sudah berupa pre-cook agar tidak lama diolah oleh mitra. Alhasil, proses masak jadi lebih ringkas, maksimal lima menit agar lebih cepat sampai ke rumah konsumen.

Dalam ekspansinya ke bisnis baru ini, Wahyoo telah mendapat tambahan dana segar dalam putaran Seri B sebesar $6,5 juta yang dipimpin oleh Eugene Asia Food Tech Fund-1, kendaraan investasi milik Eugene Investement & Securities dan NH Absolute Return Partners dari Korea Selatan. Investor lainnya yang berpartisipasi, di antaranya Global Brains dan Trinity Optima Plus (TOP+).

Application Information Will Show Up Here

Usung Strategi Multi-Merek, Rute Efisien Operator “Cloud Kitchen”

Tahun lalu DailySocial.id mengulas bisnis cloud kitchen yang makin digandrungi semenjak pandemi. Ekspansi lokasi jor-joran dilakukan supaya lebih dekat dengan  konsumen yang menggantungkan urusan perutnya pada aplikasi pesan-antar. Dalam pantauan saat itu, setidaknya ada 15 operator yang beroperasi di Indonesia.

Potensi bisnis ini jumbo. Mengutip dari laporan e-Conomy 2022, layanan transportasi dan pengantaran makanan online diprediksi tumbuh dengan CAGR 22% dan nilai GMV $15 miliar pada 2025 mendatang. Adapun pada tahun ini, CAGR diprediksi tumbuh 19% dengan GMV $8 miliar year-on-year. Meski tidak dirinci seperti seberapa besar kontribusi dari pengantaran makan, setidaknya angka di atas menggambarkan betapa sedapnya bisnis ini, juga keduanya punya ketergantungan yang tinggi satu sama lain.

Dalam laporan yang baru-baru ini dirilis Grab menyatakan bahwa secara regional pengeluaran bulanan untuk layanan pesan-antar makanan dan belanja harian meningkat sebesar 30% lebih tinggi pada Mei 2022 dibandingkan dengan November 2021. Di Indonesia, rata-rata jumlah uang yang dibelanjakan per pesanan di layanan GrabFood meningkat sebesar 54% dari 2019-2022. Adapun untuk jumlah pembelanjaan terbesar tahun ini mencapai Rp9 juta.

Di industri cloud kitchen, Grab juga yang menjadi pionir di Indonesia dengan GrabKitchen-nya sejak September 2018. Sayangnya, selang empat tahun kemudian pada 24 Oktober 2022 mengumumkan akan tutup pada 19 Desember 2022. Perusahaan berdalih, pertumbuhan bisnisnya tidak konsisten, serta adanya peralihan menjadi model bisnis aset-ringan. Akibat dari keputusan tersebut, perusahaan harus merumahkan belasan karyawannya.

“Situasi ini memaksa kami untuk mengambil keputusan sulit, untuk tidak melanjutkan operasi GrabKitchen di Indonesia, efektif mulai 19 Desember 2022,” ucap Chief Communications Officer Grab Indonesia Mayang Schreiber dalam keterangan tertulis.

Perusahaan sempat bekerja sama dengan Yummykitchen untuk perluas kehadiran dari sekitar 40 lokasi menjadi 80 lokasi, menurut data yang dipublikasi Grab Indonesia per Februari 2021.

GrabKitchen / Grab

Keputusan Grab menimbulkan pertanyaan, apakah bisnis ini pada hakikatnya sulit untuk mencapai titik profitabilitas?

Pada awalnya bisnis cloud kitchen ini seperti pengelolaan aset properti. Pemilik properti yang punya aset membagi-bagi lahannya jadi petak-petak seluas dapur untuk disewakan ke tenant yang tak lain para pengusaha kuliner. Di sini ada pemain yang mengambil posisi demikian, ada yang menambah unsur teknologi dengan integrasi otomatis ke aplikasi pesan-antar dan pemasaran satu pintu. Grab dan Gojek masuk ke segmentasi ini.

Hanya saja, konsep yang diambil GrabKitchen terlalu eksklusif. Dalam artian merchant hanya bisa berjualan di GrabFood saja, tidak bisa ke aplikasi lain. Padahal bisnis pesan-antar ini masih mengandalkan strategi bakar duit sehingga tidak ada jaminan bahwa permintaan bisa stabil atau lebih tinggi. Belum lagi untuk ekspansi lokasi baru, Grab harus investasi di awal dengan sewa properti. Dari sisi merchant juga timbul biaya sewa yang senantiasa dikeluarkan.

“Mereka tutup karena terlalu banyak capital expenses di depan, sedangkan demand-nya hanya bergantung di online. Ketika online turun, pengeluarannya tetap sama dari bulan ke bulan, seperti sewa gedung, bayar karyawan,” jelas Co-founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer kepada DailySocial.id.

Rebel Foods, operator cloud kitchen yang sudah mencapai status unicorn di India, bisa dikatakan sebagai salah satu pionir yang beralih dari jaringan restoran cepat saji menjadi model cloud kitchen multi-merek yang didukung oleh sistem operasi yang efisien.

Di Indonesia dengan badan hukum PT Rebel GoFood Indonesia, mereka ikut memboyong merek privat dari negara asalnya, seperti Faasos dan Oven Story. Juga meluncurkan merek khusus untuk pasar Indonesia, yakni Box & Co., Ban Zai, Feeling Brew, Bros Fried Chicken, dan Ayam Ambyar. Setiap merek ini diposisikan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pelanggan yang berbeda.

Salah satu keuntungan paling signifikan dari cloud kitchen multi-merek adalah memungkinkan perusahaan menawarkan beberapa masakan berbeda dari tempat yang sama. Karena tidak ada front-of-house sama sekali, cloud kitchen multi-merek telah berevolusi untuk memenuhi selera pelanggan yang berbeda, masing-masing berfungsi di bawah merek terpisah.

Misalnya, satu perusahaan cloud kitchen dapat mengoperasikan tiga merek, masing-masing berspesialisasi dalam masakan India, Italia, dan Cina, dari satu unit. Namun bagi pelanggan, tampaknya ini adalah merek independen dengan operasi independen yang menyajikan masakan berbeda. Karena ini adalah format pengiriman saja, biaya awal dan pemasaran yang rendah sering disebut sebagai pengubah permainan terbesar.

Dengan hambatan masuk minimum dan biaya modal rendah, cloud kitchen multi-merek lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan restoran tradisional atau bahkan cloud kitchen mandiri. Cloud kitchen multi-merek melayani basis pelanggan yang lebih luas dan memiliki kapasitas untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dari satu unit dapur. Pemanfaatan sumber daya yang efisien, tingkat persediaan yang memadai, dan biaya makanan yang terkendali memberikan prediktabilitas yang lebih baik dalam bisnis.

Dalam pantauan DailySocial.id, strategi multi-merek ini sudah banyak diterapkan oleh pemain cloud kitchen, juga pemain kuliner itu sendiri. Berikut daftarnya:

Model bisnis Multi-merek Keterangan
Kenangan Brands F&B Kopi Kenangan, Chigo, Flip Milik sendiri dan akuisisi
Jiwa Group F&B Janji Jiwa, Jiwa Toast, Jiwa Tea Milik sendiri
Haus! F&B Haus, Ganjel Roti, Pedes Cyiin Milik sendiri
Dailybox F&B Shirato, Breadlife, Dailybox, Lumiere Milik sendiri dan akuisisi
Kulo Group F&B Kedai Kopi Kulo, Pochajjang, Kitamura, Mazeru, Oseng Mie Jontor, Xiboba, Xiji, Bu Eva Spesial Sambal, Mo Tahu Aja Milik sendiri
Hangry Cloud kitchen Moon Chicken, Sangyu, Ayam Koplo, Dari Pada, Pizza Gang, Accha, Wai Thai Food Milik sendiri dan akuisisi
Rebel GoFood Cloud kitchen Faasos, Oven Story, Box & Co., Ban Zai, Feeling Brew, Bros Fried Chicken, Ayam Ambyar Milik sendiri
Wahyoo Kitchen Partner Cloud kitchen Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, Bakso Bikin Tajir Milik sendiri
Food Story Cloud kitchen Chicken Pao, Lahab Chicken, Bowlgogi, Gaaram, Aidon, Soto Legenda, Rames Kita, Gaem Bull Akuisisi
Dish Serve Cloud kitchen KitFit, Uncle Tam, Baba Burger, Chickass, Love in Tokyo
Lakuliner Cloud kitchen Let’s Toast, Se’I Sapi Lamalera, Yukirisu Bento, Don To Go, Nalor, Yellow Chicken, Geprek Gian, Ayam Bebek Tiarap, Woo Ai Mie, Se’I Indonesia, Bakso Benhil, Lahab Chicken, Aigemi Mitra kuliner
Legit Group Cloud kitchen Sek Fan, Pastaria, Sei’tan, Ryujin, Juju Chikin Milik sendiri

Wahyoo

Seperti diketahui, Wahyoo turut meramaikan pasar cloud kitchen di Indonesia dengan meresmikan Wahyoo Kitchen Partner yang sudah diinisiasi sejak setahun belakangan. Dengan melihat dinamika di pasar, Wahyoo Kitchen Partner mengambil proposisi yang sedikit berbeda.

Perusahaan memanfaatkan kemitraan dengan UKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan, dan menggaet mereka yang ingin mengutilisasi dapurnya yang “senggang”. Dalam arti mereka tidak sibuk dan masih bisa melayani konsumer melewati platform lain. Wahyoo jadi tidak perlu berinvestasi di sisi properti karena sudah punya jaringan UKM.

Mitra Wahyoo pun bisa memaksimalkan potensi dari dapurnya dan karyawan yang sudah ada, selama tetap memenuhi standar dalam hal kebersihan dan kualitas memasak yang diharuskan oleh Wahyoo. Tercatat ada 250 restoran kecil dari 27 ribu mitra Wahyoo yang telah bergabung dengan Wahyoo Kitchen Partners ini.

Sumber: Wahyoo

“Khusus kami, ingin bantu UKM kuliner yang sudah ada di jaringan kami sehingga enggak ada lagi modal tambahan yang harus mereka keluarkan karena dapur dan karyawan sudah ada. Sebab kami ini sharing economy, jadi prinsipnya kami sangat ingin memajukan UKM,” kata Peter secara terpisah saat media gathering beberapa waktu lalu.

Sejauh ini, Wahyoo telah mengoperasikan tiga merek makanan label privat, yakni Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, dan Bakso Bikin Tajir. Adapun Bebek Goreng Bikin Tajir kini sudah hadir di 134 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Solo, Semarang, dan Bali. Selanjutnya, Ayam Paduka sudah ada di 42 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Solo, dan Bakso Bikin Tajir sudah hadir di 18 outlet di Jabodetabek untuk sementara ini.

Wahyoo memasarkan produk-produknya melalui GrabFood, GoFood, dan ShopeeFood. Tak hanya itu, perusahaan juga mempersilakan mitranya untuk menjual secara offline untuk dine-in dan take away. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengandalkan sepenuhnya platform online untuk penjualannya.

“Buat kita yang penting mereka bisa berjualan, dan beli stok di kita lagi. Lagipula dari segi offline itu ada sisi awareness yang bisa kita dapatkan untuk memasarkan brand kita.”

Bagi Peter, perusahaan akan terus perbanyak merek makanan yang dapat dijual oleh para mitra UKM, setidaknya bakal ada tambahan delapan sampai 10 merek baru. Variasi kulinernya berkisar dari martabak, nasi briyani, teh susu, soto, mie ayam, dan nasi goreng.

Seluruh suplai produk tersebut nantinya sudah berbentuk pre-cook agar tidak lama diolah oleh mitra. Alhasil proses masak jadi lebih ringkas, maksimal lima menit sampai di rumah konsumen. Seluruh suplai disiapkan di pusat gudang Wahyoo yang berlokasi di Daan Mogot, Jakarta Barat berdekatan dengan kantor Wahyoo. Dari situ, proses pengiriman makanan akan dimulai sampai ke outlet.

“Karena kita juga memanfaatkan online [food delivery] kita juga perlu memastikan algoritma dari mitra dapur jangan sampai outlet-nya dapat rating jelek karena proses masaknya kelamaan. Jadi memang standardisasi itu penting, makanya juga ada kunjungan rutin oleh tim lapangan.”

Menurutnya, strategi multi-merek ini dipakai agar setiap outlet dapat mencapai potensi maksimum dari utilisasi kapasitas dapur yang kosong. Hasilnya, rata-rata revenue per outlet dapat meningkat dan pada akhirnya mendukung kesejahteraan dari setiap dapur karena satu dapur bisa menawarkan berbagai macam makanan.

“Namun kami juga memastikan bahwa dapur-dapur ini memang mempunyai kemampuan/kapasitas yang cukup untuk menjual banyak brand (supaya standardisasi dan kualitas tetap terjaga.”

Adapun monetisasi dari bisnis cloud kitchen di Wahyoo berbeda-beda bagi tiap merek. Namun Peter memastikan bahwa pada intinya dari setiap penjualan makanan akan ada bagi hasil penjualan kepada mitra-mitra dapur. Konsep ini dianggap menarik karena tidak perlu tambahan modal dan hanya menmanfaatkan sumber yang ada untuk berjualan merek lain yang sudah disediakan oleh Wahyoo Kitchen Partners.

Unit economics yang dilihat oleh Wahyoo terdiri atas berbagai metriks, mulai dari revenue, outlet aktif per bulan, rata-rata revenue per outlet (penjualan di platform online), dan basket size (pembelian bahan baku/suplai di platform Wahyoo). “Tentunya kami juga melihat margin dari pernjualan setiap brand dan juga pendapatan (revenue sharing) kepada Wahyoo Kitchen Partners.”

Dalam menghadapi perekonomian ke depannya yang menantang, Peter menyadari bahwa kondisi tersebut bakal berdampak secara langsung pada industri kuliner dan pangan. Untuk itu, pihaknya berupaya untuk selalu menyediakan bahan-bahan baku dengan harga yang kompetitif dan mengikuti harga pasar.

“Kami berupaya untuk tetap mendapatkan harga terbaik dari partner-partner dan supplier kami, sehingga walau di masa-masa kurang stabil ini kami tetap dapat menawarkan barang-barang yang dibutuhkan konsumer secara affordable dan bersaing.”

Dailybox

Co-founder dan CEO DailyBox Kelvin Subowo menjelaskan pihaknya lebih pas ditempatkan sebagai startup F&B multi-platform, bukan cloud kitchen dengan multi-merek. Dalam operasionalnya, perusahaan mengandalkan kehadiran para pemain cloud kitchen dan menghadirkan merek privatnya ke dalam tiap dapur.

“Dailybox Group mungkin salah satu F&B startup yang konvensional, sehingga konsep multi-brand yang dimaksud bukan lagi banyak brand dalam satu kitchen, melainkan berbagai brand yang mampu menaungi appetite pelanggan kami.”

Terhitung saat ini, Dailybox mengoperasikan empat merek, Shirato, Breadlife, Dailybox, dan Lumiere. Lumiere adalah merek keik yang baru diakusisi perusahaan. Sebagai multi-platform, perusahaan akan menyeimbangkan jumlah persebaran cloud kitchen dan toko offline. Saat ini ada 20 titik toko Breadlife, yang ikut diisi oleh Dailybox dan Shirato di atas toko Breadlife tersebut. Bahkan, perusahaan telah melebarkan sayap bisnisnya ke Singapura pada Oktober 2022.

Central Kitchen Dailybox Group / Dailybox Group

Dalam mengukur unit economics di Dailybox, ia menggunakan COGS (cost of good sold) atau harga barang yang dijual. Perusahaan tidak melakukan cost down, melainkan menjaga harga agar tetap stabil melalui efisiensi produksi. Efisiensi tersebut dilaksanakan dengan cara memproduksi makanan sendiri melalui dapur pusat Dailybox Group.

Metriks berikutnya adalah EBITDA outlet (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization). “Seperti yang kita ketahui bahwa industri cloud kitchen memiliki beban yang besar pada food delivery. Maka, beban operation kami sehari-hari tidak terlalu besar dan kami berhasil mempertahankan positive EBITDA dari sejak kami berdiri hingga hari ini. Kedua metriks tersebut sangat memengaruhi kualitas makanan.”

Menurut data perusahaan, kontribusi dari bisnis pesan-antar online masih mendominasi daripada makan di toko. Di tahun lalu kontribusinya mencapai 90%, akan tetapi pada tahun ini turun menjadi 60%. Perusahaan sendiri kini tidak mengandalkan platform online saja.

Dia beralasan, jika ingin berekspansi lebih masif, kehadiran di platform layanan online harus dikolaborasikan dengan presence di pasar offline. Sebab, walaupun penetrasi layanan online sudah meningkat, layanan ini masih belum menjangkau seluruh kota lapis dua dan tiga. Masyarakat di area tersebut masih menggandrungi budaya nongkrong sembari kulineran.

“Survei menyatakan sekitar 79% masyarakat Indonesia sudah tak ragu untuk dine-in di restoran. Karenanya kembali membuka layanan dine-in adalah strategi perusahaan untuk hadir lebih dekat dan relevan dengan pelanggan kami.”

Sementara itu, dari sisi Dailybox dalam menghadapi tantangan ke depannya bakal melakukan penyesuaian harga dengan batas yang wajar. Dengan volume yang cukup besar, sehingga perusahaan dapat mengunci harga dari banyak bahan untuk beberapa waktu.

“Dengan in-house central kitchen dan teknologi ERP & SOP digital memungkinkan kami untuk bekerja dengan lebih efisien sehingga bisa mengkompensasikan fluktuasi harga di pasar,” tutupnya.

Usai Pendanaan Rp102 Miliar, Wahyoo Seriusi “Cloud Kitchen” sebagai Mesin Pertumbuhan Bisnis

Startup digitalisasi UMKM kuliner Wahyoo mengumumkan perolehan pendanaan seri B sebesar $6,5 juta atau setara 102 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Eugene Asia Food Tech Fund-1. Nominal yang diungkap sedikit lebih besar dari pertama kali diwartakan DailySocial.id pada 10 Oktober 2022.

Eugene Asia Food Tech Fund-1 merupakan kendaraan investasi milik Eugene Investment & Securities dan NH Absolute Return Partners dari Korea Selatan. Investor lainnya yang berpartisipasi dalam putaran ini, Global Brains dan Trinity Optima Plus (TOP+).

Nama-nama ini melengkapi jajaran investor yang telah bergabung sebelumnya di Wahyoo, yaitu East Ventures, Indogen Capital, Arkblu Capital, dan Nitto Prima Ventura.

Seriusi bisnis cloud kitchen

Wahyoo akan memanfaatkan dukungan dana segar tersebut untuk perluas jaringan cloud kitchen dengan merekrut lebih banyak mitra restoran dan meluncurkan lebih banyak merek makanan label sendiri. Wahyoo Kitchen Partner adalah merek dapur virtual milik Wahyoo yang sudah mulai diinisiasi sejak satu tahun belakangan.

Perusahaan akan memanfaatkan jaringan Eugene Investment dan jaringan selebritas TOP+ untuk mempromosikan merek makanannya ke konsumen. Bagi TOP+ ini bukan investasi pertamanya di startup teknologi. Perusahaan label musik tersebut juga mengumumkan investasi dengan nilai dirahasiakan untuk perusahaan esports PT Generasi Tangguh Luar Biasa.

Dalam konferensi pers yang digelar perusahaan (16/11), Co-Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengatakan, dapur virtual ini adalah bisnis yang akan menjadi mesin pertumbuhan baru bagi Wahyoo, sebagai salah satu strategi dalam memanfaatkan jaringan kuliner yang sudah ada ditambah dengan infrastruktur teknologi Wahyoo yang sudah mumpuni.

Peter melanjutkan, loyalitas pemilik usaha kuliner sangat penting bagi pihaknya. Loyalitas bisa didapat ketika ia dan tim mampu memberikan sebuah nilai tambah untuk mereka, yaitu peningkatan bisnis yang lebih baik semenjak bergabung bersama Wahyoo.

“Kalau dulu kami telah berhasil dalam membuat mitra kuliner lebih efisien dalam berbelanja bahan baku, kini kami ingin fokus bagaimana memberikan penghasilan tambahan kepada mitra-mitra kami. Karena itulah memasuki tahun ini, Wahyoo mulai mengeksplorasi model bisnis cloud kitchen yang menawarkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi mitra kami sehingga diharapkan dapat meningkatkan loyalitas mereka,” kata dia.

Co-Founder & COO Wahyoo Daniel Cahyadi menambahkan, “Kami melihat kemudahan menjadi kunci berkembangnya model bisnis dari Wahyoo Kitchen Partners. Kemudahan dalam berbelanja bahan baku lewat aplikasi kami, kemudahan dalam menjalankan operasional masak di dapur mereka, sampai kemudahan dalam pembayaran dalam aplikasi kami, membuat kami yakin dapat membuat mitra kami menjadi lebih senang dan royal.”

Wahyoo Kitchen Partner

Peter melanjutkan, jaringan dapur virtual yang dibentuk perusahaan punya nilai yang berbeda dibandingkan operator lainnya, yakni kemitraan dengan UMKM kuliner yang selama ini telah menjadi bagian dari perusahaan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan operator dapur virtual kebanyakan yang butuh investasi untuk bangun dapur baru dan karyawan baru.

Mitra UMKM kuliner di Wahyoo bisa memaksimalkan potensi dari dapurnya dan karyawan yang sudah ada, selama tetap memenuhi standar dalam hal kebersihan dan kualitas memasak. Tercatat ada 250 restoran kecil dari 27 ribu mitra Wahyoo yang telah bergabung dengan Wahyoo Kitchen Partners ini.

“Khusus kami, ingin bantu UMKM kuliner yang sudah ada di jaringan kami sehingga enggak ada lagi modal tambahan yang harus mereka keluarkan karena dapur dan karyawan sudah ada. Sebab kami ini sharing economy, jadi prinsipnya kami sangat ingin memajukan UMKM.”

Sejauh ini Wahyoo, lewat unit Tajir Group, telah mengoperasikan tiga merek makanan label privat, yakni Bebek Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, dan Bakso Bikin Tajir. Seluruh suplai produk ini sudah berupa pre-cook agar tidak lama diolah oleh mitra. Alhasil, proses masak jadi lebih ringkas, maksimal lima menit agar lebih cepat sampai ke rumah konsumen.

“Mitra itu pasti enggak mau repot [harus olah menu baru], makanya kita buat mereka semudah mungkin, cuma masak saja. Karena kita memanfaatkan platform online, jadi kita memerhatikan algoritma [dari platform], jangan sampai dapat rating jelek karena proses masaknya lama. Jadi memang standarisasi itu penting di Wahyoo.”

Seluruh suplai bahan makanan disiapkan di pusat gudang Wahyoo yang berlokasi di Daan Mogot, Jakarta Barat berdekatan dengan kantor Wahyoo. Dari situ, proses pengiriman makanan akan dimulai sampai ke outlet.

Ke depannya, Wahyoo akan perbanyak merek makanan yang dapat dijual oleh para mitra UMKM, setidaknya ada tambahan delapan sampai 10 merek baru. Variasi kulinernya berkisar dari martabak, nasi briyani, teh susu, soto, mie ayam, dan nasi goreng.

Adapun Bebek Goreng Bikin Tajir kini sudah hadir di 134 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Solo, Semarang, dan Bali. Selanjutnya, Ayam Paduka sudah ada di 42 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Solo, dan Bakso Bikin Tajir sudah hadir di 18 outlet di Jabodetabek untuk sementara ini.

Application Information Will Show Up Here

Adopsi “Sharing Economy”, Upaya Wahyoo Ciptakan Dampak Lebih Luas

Tidak bisa dimungkiri potensi yang bisa digarap untuk digitalisasi UMKM di Indonesia begitu besar. Ada banyak aspek yang bisa diperbaiki agar operasional para pebisnis di sektor ini dapat lebih efisien dan secara bersamaan tumbuh eksponensial lewat pemanfaatan teknologi digital. Namun di balik itu semua tersimpan tantangan yang tak kalah menantang.

Wahyoo sebagai salah satu startup yang bermain di ranah ini pun menyadari, tak hanya sekadar fokus pada angka saja, seharusnya para pengusaha harus fokus juga pada menciptakan dampak. Proses dalam menciptakan dampak tersebutlah yang kini disoroti oleh Wahyoo.

Dalam membahas topik tersebut lebih mendalam, #SelasaStartup pada pekan pertama November ini mengundang Co-Founder & COO Wahyoo Daniel Cahyadi sebagai narasumber.

Terus mencari product-market fit

Seperti bisnis pada umumnya yang harus memiliki product-market fit, Wahyoo terus-menerus mencari tahu apa yang menjadi isu di lapangan. Solusi pertama yang dihadirkan adalah menyediakan suplai bahan baku untuk mitra rumah makan. Dengan kemudahan belanja, pengusaha tidak perlu meninggalkan kedainya untuk keluar belanja dan tetap bisa melayani konsumen.

Seiring perjalanan waktu, menurut Daniel, setelah diriset lebih dalam ternyata bagi sebagian besar pengusaha kecil belanja ke pasar itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Pengalamannya lebih kaya karena mereka bisa memilih langsung produk yang ingin dibeli.

“Padahal dulu kita lumayan yakin solusi ini bisa kurangi beban mereka. Jadi intinya produk yang looks good, tapi enggak fit di market, harus dicari lagi dengan riset mendalam. Eleminasi bias dan harus benar-benar tepat market multification-nya apa,” ucap Daniel.

Keunggulan yang ditawarkan pada solusi tersebut adalah harga yang kompetitif dan pencatatan digital. Poin terakhir ini penting karena penyebab utama bisnis UMKM gagal adalah kebocoran saat belanja bahan baku. Misal pegawai didelegasi untuk belanja, tapi karena pencatatan dengan tulis tangan maka potensi kebocorannya semakin tak terhindar.

“Kami menawarkan digitalisasi jadi semuanya transparan, enggak ada peluang kebocoran. Selain itu juga tawarkan convenience, pengusaha bisa fokus melayani konsumen, mengembangkan produk, seluruh waste activity dilimpahkan ke kita. Tapi enggak semua pebisnis bisa appreciate those convenience, jadi tergantung pada UMKM itu sendiri.”

Wahyoo Kitchen Partner

Perusahaan pun menyadari, di segmen UMKM ini menciptakan dampak sosial juga tak kalah penting, selain fokus pada bagaimana memindahkan mereka terbiasa dengan platform digital. Didukung dengan tren pesan-antar makanan secara online, Wahyoo akhirnya membuat solusi terbaru dinamai Wahyoo Kitchen Partner.

Bisa dikatakan ini adalah virtual cloud kitchen versi Wahyoo yang memanfaatkan dapur di restoran yang kurang terutilisasi untuk bantu mendistribusikan produk-produk makanan eksklusif milik Wahyoo. Melalui bisnis unit Bikin Tajir Group, Wahyoo menyediakan produk label privat, seperti Ayam Paduka, Bebek Goreng Bikin Tajir, dan Bakso Bikin Tajir.

Yang membedakan dengan operator cloud kitchen dan label privat lainnya adalah Wahyoo bermitra dengan UMKM kuliner untuk suplai produk dan potensial dapat didistribusikan lebih jauh ke jaringan dapur Wahyoo.

“Kami berkolaborasi dengan industri F&B UMKM, ada sate lilit yang kami serap produknya dan jual ke jaringan kami. Dulunya mereka hanya mampu produksi 100 pack, sekarang bisa 1000 pack. Kami ingin berdayakan mereka.”

Menurut Daniel, dengan mengadopsi sharing economy seperti virtual cloud kitchen ini memberikan dampak yang lebih besar buat UMKM. Pun dari segi prospek bisnis jauh lebih cepat cetak untung daripada segmen bisnis lainnya. Terhitung, perusahaan telah bermitra dengan pemilik dapur restoran di ratusan lokasi. Untuk brand Bebek Goreng Bikin Tajir diklaim telah tersedia di 120 lokasi, Ayam Paduka di lebih dari 40 lokasi.

“Mitra kami kini ada yang bisa bangun rumah, kami ingin punya lebih banyak cerita bagus lagi ke depannya. Semoga kami bisa beri impact lebih besar lagi di luar Jabodetabek,” pungkasnya.

Wahyoo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Platform digitalisasi warung “Wahyoo” dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri B. Dari data yang sudah dimasukkan ke regulator, saat ini putaran tersebut telah membukukan sekitar $6 juta atau setara 92 miliar Rupiah.

Sejumlah investor berpartisipasi di pendanaan ini, seperti Eugene Investment, Intudo Ventures, Asia Horizon, PT Trinity Optima, East Ventures, Indogen Capital, dan sejumlah lainnya.

Terakhir, Wahyoo secara resmi mengumumkan pendanaan dalam putaran seri A senilai 73 miliar Rupiah dipimpin Intudo Ventures pada Agustus 2020 lalu. Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengungkapkan, strategi bisnis dan rencana startupnya adalah memberikan dampak sosial kepada pelaku UMKM di Indonesia, khususnya pemilik warung makan.

Melansir data di situsnya, sejak didirikan tahun 2017 saat ini sudah ada lebih dari 27 ribu usaha F&B dengan sekala mikro s/d menengah yang telah dilayani Wahyoo. Salah satu layanan yang kini digenjot adalah e-commerce pemenuhan bahan baku, menyediakan lebih dari 2000 bahan segar — dengan area cakupan baru di seputar Jabodetabek dan Karawang.

Selain itu, Wahyoo telah mengembangkan unit bisnis “Bikin Tajir Group” untuk memanfaatkan aset dapur mitra UMKM kuliner guna mengoperasikan usaha cloud kitchen. Beberapa brand yang telah berjalan seperti Bebek Goreng Bikin Tajir dan Bakso Bikin Tajir yang dapat dioperasikan oleh mitra UMKM kuliner Wahyoo.

Untuk menambah potensi bisnis, Wahyoo juga telah lakukan sejumlah aksi penting. Salah satunya pada awal tahun 2022 mereka mengakuisisi Alamat.com — sebuah startup yang telah membantu 35 ribu pemilik bisnis offline mengadopsi teknologi online. Kolaborasi kedua startup dinilai dapat meningkatkan kehadiran warung dan pemilik usaha F&B naik kelas lewat platform digital yang dikembangkan bersama.

Di tengah pandemi, Wahyoo juga sempat menghadirkan platform online grocery B2C Langganan.co.id. Namun demikian, platform tersebut ditutup tahun lalu dengan dalih fokus Wahyoo ingin menggarap segmen B2B.

Dalam sebuah wawancara bersama DailySocial.id, Peter pernah mengatakan, “Memang warung makan tradisional terlihat kecil, tapi ternyata banyak sekali permasalahan yang perlu dibenahi dan mereka perlu dibantu. Kami percaya ketika mereka terbantu, efek ekonomi, efek lingkungan, efek sosial budaya yang lebih baik akan secara otomatis membuat Indonesia lebih baik.”

“Saat ini kami menargetkan [membantu] seluruh UMKM Kuliner, tidak hanya warung makan tapi juga mungkin tempat makan dan rumah makan yang skalanya kecil dan menengah. Dengan adanya infrastruktur yang sudah terbangun selama 4 tahun, dengan pengalaman dan kemampuan yang kami miliki, kami ingin dampak yang lebih luas lagi,” kata Peter.

Application Information Will Show Up Here

Editors’ Picks: Indonesia’s Most Impactful Startups

Impact investing can be a powerful instrument of change.

— Judith Rodin (Philanthropist and former President of Rockefeller Foundation).

Creating a startup is not only about making wealth and being famous, nationwide and globally. It’s also to make impacts on society. Indonesia, an archipelago with 270+ million of population and most are working in maritime and agriculture industry, can use some help from tech startups to ignite these changes. A change for farmers, fishermen, grassroots communities, MSMEs, and people in need for a better quality of healthcare and education.

In alphabetical order, here are our picks (handpicked by our own editors) for Indonesia’s most impactful startups to date.

Amartha (Kristin, Randi)

Metrics Number/Description
Impacted MSMEs 908,000
Disbursement Rp5.13 trillion
Coverage The women-focused fund, providing access to clean water, accommodating financial access to tier-3 cities, financial literacy programs

Amartha has been uniquely positioned to use Grameen Bank’s playbook to empower women by disbursing productive loans with technological touch. In the patriarchal society we live in, where most households are supported by only men of the family, this innovation would spread an awareness that women, too, have an opportunity to contribute more to the economy. Not only about the loan, its small group setup taught about business, financial literacy, and digital literacy. Several global social impact institutions have validated the effectiveness of their business model and become strategic partners.

Aruna (Amir, Yenny)

Metrics Number/Description
About Integrated Fisheries Commerce
Total Fishermen 20,000+ fishermen and provided 10 commodities
Coverage 40 fishing community centers spread across 13 provinces, the majority are in coastal villages that have not been reached by similar fishing companies.

Indonesia claims to be a maritime industry, yet the industry hasn’t changed to support local fishermen. With one of the co-founders being a fisherman’s daughter, Aruna builds a platform that consolidates all aspects of the industrial fisheries, from aggregators of supply and purchase, financing, and reducing the price gap, while increasing the living standards for underserved fishermen. It has acquired 20,000+ fishermen to date and has begun to partner with MSMEs in the fishery business.

eFishery (Corry, Yenny)

Metrics Number/Description
Statistics 13,000+ fish farmers and 60,000+ fishponds
Impacted MSMEs 6,000 fish farmers in more than 250 cities/districts throughout Indonesia
Coverage Helps fish farmers in terms of care, the provision of feed and seeds, undercut the possibility of working with middlemen

eFishery has revolutionized the aquaculture sector through IoT-based feeder solutions, disrupting the traditional way of feeding fish and shrimp in Indonesia. It is listed as the largest feed distributor and fish supplier in Indonesia without operating any single fishpond. eFishery continues to scale up its innovation by providing an end-to-end ecosystem through the marketplace and BNPL/paylater services. It aims to build an aquaculture ecosystem in Indonesia that is not only profitable, but also sustainable to the farmers, buyers, and all stakeholders.

Halodoc (Marsya, Randi)

Metrics Number/Description
Total Users 20 million+ monthly active users
Partners 4000+ pharmacy, 20,0000+ doctor; 3800+ medical facilities
Coverage All cities in Indonesia

Halodoc succeeds in democratizing access to comprehensive health facilities. The platform enables many people, especially from tier-2 and tier-3 cities, to access a broad network of doctors and pharmacies in Indonesia with a touch of mobile services. No more wasting hours to queue at the hospital. With healthcare digitization still in the nascent stage, accelerated with the pandemic, Halodoc is on course to be the go-to platform for all healthcare needs.

Kitabisa (Randi, Marsya)

Metrics Number/Description
Statistics 6 milllion+ users/fundraisers,  1.5 million+ monthly transaction in 4000 campaigns
Donation Rp835 billion in 2020
Partners 3000+ NGOs and social institutions, 250+ CSRs

It’s no doubt that Kitabisa has set a gold standard of social crowdfunding, by turning donations into a digital lifestyle, making people more responsive to social problems. Its friendly UI/UX has been copied by many similar services. The power of technology, storytelling, and a strong community has made Kitabisa the top-of-mind donation platform in Indonesia, trusted by millions of users every month. The platform perfectly identified the pain points the community had faced with the donation program: trust, convenience, and flexibility.

Klinik Pintar (Corry, Kristin)

Metrics Number/Description
Statistics 120+ clinics
Partner(s) Bundamedik Healthcare System (BMHS)
Coverage 60+ cities

Accessible infrastructure continues to be the highlight of healthcare democratization towards grassroots communities. While Halodoc provides access to doctors and pharmacies, Klinik Pintar provides physical clinic chains as the first mile for healthcare access. According to data, there are almost 9000 clinics and almost 10,000 Puskesmas nationwide, compared to less than 3000 hospitals. The platform aims to help clinics owners to make healthcare services widely accessible for people with the help of technology.

Mitra Bukalapak (Randi, Marsya)

Metrics Number/Description
Statistics 10.4 million registered micro-business users
Coverage All tier-1, tier-2, and tier-3 cities around Indonesia
Focus Financial and digital literacy programs

We believe Mitra Bukalapak will become the core and essential part of Bukalapak’s business, not just a type of diversification like others’ approach. Hence why it’s now the country leader of the O2O industry. It bridges between non-tech-savvy societies and the technology industry. The platform is about how a digital application enables micro-entrepreneurs to create added value for their customers. It’s also hopeful to provide a fair supply chain system for micro-entrepreneurs.

Tanihub (Yenny, Amir)

Metrics Number/Description
Statistics 500,000+ downloads in Google Play
Total farmers 60,000 farmers
Total users 350,000+ buyers in 12 cities

TaniHub is a one-stop digital service for agricultural products that aims to connect farmers with various types of businesses and end-users. While it’s not the only platform in the area, it’s successfully able to connect the long supply chain between farmers and customers by providing access to capital to the farmers, undercutting the distribution, and establishing a more sustainable environment in the industry. Recently it launches a foundation as a vehicle that provides long-term solutions for the welfare of farmers.

Wahyoo (Corry, Kristin)

Metrics Number/Description
Statistics 17,000 “warung”
Coverage “Warung” in Jabodetabek
Focus Digitizing “warung”, supply chain, paylater product

Small and medium enterprises represent one of the major engines of economic growth in Indonesia. Jakarta alone is home to thousands of small food stalls or locally known as “warung”. Founded by Peter Shearer, Wahyoo, through its innovation, intends to help transform the conventional working system of “warung”. It directs its vision on cost efficiency and increasing the profits of “warung” owners through simplification of the supply chain process.

Zenius (Marsya, Kristin)

Metrics Number
Statistics 20 million+ students and partners with over 7000 teachers throughout Indonesia. Total visit reached up to 38 million (session)
Content 100,000+ learning videos, hundreds of thousands of practice questions for elementary-high school level.
Coverage All cities/districts nationwide

Co-Founded by Sabda PS as one of the edtech pioneers in Indonesia, Zenius shows what an edtech company should be. The platform tries to revolutionize our basic education concept. Rather than just “memorizing”, the old method that has been practiced nationwide for years, it pushes the new idea with an understand-the-concept approach.  Moreover, it’s not only focused on students but also helping teachers catch up with digitalization.

Misi Wahyoo Naik Kelaskan Usaha Pemilik Warung Makan

Berawal dari ide sederhana, Wahyoo kini bertransformasi menjadi layanan terpadu yang mendukung pertumbuhan usaha pemilik warung makan atau warteg. Didirikan Peter Shearer yang dikenal sebagai serial entrepreneur, Wahyoo kini telah memiliki sekitar 12 ribu mitra di kawasan Jabodetabek.

Perusahaan telah mengantongi pendanaan jutaan dollar dari berbagai investor, termasuk Intudo Ventures, Kinesys Group, SMDV, East Ventures, Indogen Capital, Selera Kapital, dan Amatil X (Coca-Cola Amatil).

Kepada DailySocial, CEO Wahyoo Peter Shearer mengungkapkan strategi bisnis dan rencana Wahyoo memberikan social impact kepada pelaku UMKM di Indonesia, khususnya pemilik warung makan.

“Kegagalan” yang menginspirasi

Founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer bersama pemilik warung makan / Wahyoo
Founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer bersama pemilik warung makan / Wahyoo

Sebelum membangun Wahyoo, Peter telah bekerja di beberapa perusahaan. Salah satunya adalah advertising agency. Meskipun tidak berhasil menjadi pegawai tetap, pengalaman selama bekerja di agency tersebut memberikan inspirasi tersendiri bagi Peter untuk membangun Wahyoo.

Di sesi webinar DSLaunchpad Ultra beberapa waktu yang lalu, Peter mengungkapkan, ia sempat kembali bekerja di perusahaan keluarga, yaitu konveksi. Selain itu Peter juga beberapa kali mendirikan perusahaan, sebelum akhirnya terlibat bersama AR&Co yang fokus kepada pengembangan Augmented Reality (AR).

Dengan latar belakang periklanan, ide pertama kali yang terlintas adalah membuat warteg-warteg sebagai medium beriklan. Setiap brand dan produk bisa menggunakan warteg sebagai tempat mereka memperkenalkan ide dan brand.

Di tengah jalan, Peter menemui kendala. Tidak ada perubahan berarti di dalam dunia per-warteg-an, masih sama-sama kurang bersih, kurang teratur, dan masih sangat tradisional.

“Inilah yang mendorong saya untuk melakukan perubahan di dalam industri warung makan tradisional. Dengan kemampuan branding dan teknologi, serta passion di kuliner, menjadi fokus bagi saya membangun startup yang fokusnya membantu mereka agar warung makan tradisional bisa naik kelas,” kata Peter.

Permasalahan sosial

Warung makan binaan Wahyoo

Beberapa ide bisnis justru hadir ketika Peter mendengarkan curhatan pemilik warung. Perubahan ide awal membangun jaringan periklanan dan beralih ke menyuplai kebutuhan bahan baku adalah permintaan pemilik warung makan itu sendiri. Mereka yang bertanya langsung apakah Wahyoo juga menyuplai kebutuhan mereka seperti beras, minyak goreng, telur dan lainnya.

Selama ini mereka cukup direpotkan harus bangun di pagi hari untuk berbelanja dan melakukan banyak hal lainnya sebelum membuka warung makan.

Contoh lain adalah keluhan permasalahan keuangan karena minimnya literasi dan manajemen keuangan yang benar. Wahyoo kemudian terinspirasi mengeluarkan fitur pencatatan keuangan pada aplikasi dan berharap ke depannya akan ada (atau membantu) solusi finansial untuk mereka.

“Jadi menurut saya listen to your target audience is very important. Lalu bukan hanya mendengarkan, tapi juga mempunyai empati. Empati yang merasakan kesulitan apa yang mereka rasakan. Sehingga dengan kemampuan kita bisa membantu memberikan solusi yang nyata diperlukan bagi mereka,” kata Peter.

Ada beberapa permasalahan sosial yang terjadi pada warung makan tradisional. Masalah lingkungan terkait pembuangan sampah merupakan salah satu yang menjadi perhatian. Belum lagi masalah kesehatan tentang bagaimana mereka bisa memperhatikan kualitas produk yang benar, bagaimana konsumen bisa memahami pentingnya gizi pada makanan, dan pentingnya higienis dalam menyajikan makanan dan juga pada saat memasak.

Masalah ekonomi juga menjadi perhatian Wahyoo. Bagaimana para pemilik warung bisa maju sebagai pengusaha sehingga lebih sejahtera. Selain itu masalah pendidikan tentang bagaimana generasi mereka selanjutnya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Yang terakhir adalah masalah literasi digital.

“Memang warung makan tradisional terlihat kecil, tapi ternyata banyak sekali permasalahan yang perlu dibenahi dan mereka perlu dibantu. Kami percaya ketika mereka terbantu, efek ekonomi, efek lingkungan, efek sosial budaya yang lebih baik akan secara otomatis membuat Indonesia lebih baik,” kata Peter.

Rencana dan target

Pendanaan Seri A Wahyoo
Michael Dihardja (CTO Wahyoo), Peter Shearer (Founder & CEO Wahyoo), Patrick Yip (Founding Partner Intudo Ventures), Daniel Cahyadi (COO Wahyoo) / Wahyoo

Ekspansi layanan yang agresif membuat bisnis Wahyoo bertumbuh kencang. Awal tahun 2020, mereka mengakuisisi Alamat.com. Dua pendiri Alamat.com saat ini bergabung dengan Peter di jajaran manajemen perusahaan, yakni Daniel Cahyadi sebagai COO dan Michael Diharja sebagai CTO.

Wahyoo juga kini mempunyai bisnis unit Bikin Tajir Group yang melahirkan produk private label untuk dipasarkan bagi para mitra Wahyoo, seperti Ayam Goreng Bikin Tajir (AGBT) dan Bebek Goreng Bikin Tajir (BGBT). AGBT sudah memiliki 350 outlet dan BGBT yang baru diluncurkan tahun ini sudah Memiliki 40 outlet yang tersebar di Jabodetabek. Mempunyai private label produk menjadi strategi Wahyoo agar para mitra bisa mendapatkan pendapatan lebih banyak lewat menu baru yang belum pernah disajikan sebelumnya oleh para mitra Wahyoo.

“Saat ini kami menargetkan [membantu] seluruh UMKM Kuliner, tidak hanya warung makan tapi juga mungkin tempat makan dan rumah makan yang skalanya kecil dan menengah. Dengan adanya infrastruktur yang sudah terbangun selama 4 tahun, dengan pengalaman dan kemampuan yang kami miliki, kami ingin dampak yang lebih luas lagi,” kata Peter.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Wahyoo Memvalidasi Produk untuk Pengusaha Warung Makan

Validasi produk adalah langkah penting bagi startup tahap awal yang tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup punya perjalanan masing-masing saat memvalidasi produknya, Wahyoo juga punya cerita sendiri terkait hal ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer akan berbagi pengalamannya saat memvalidasi produk di Wahyoo pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA.

Berawal dari startup periklanan untuk warung makan

Wahyoo awalnya berdiri karena keinginan Peter untuk merevitalisasi warung makan agar semakin enak dilihat sehingga dapat dipakai brand untuk beriklan secara offline. Segmen ini dilirik Peter tak lain karena ia punya pengalaman pernah bekerja untuk perusahaan agensi. Hingga 1,5 tahun sejak awal berdirinya Wahyoo, ia mengaku belum menerapkan teknologi apapun karena fokusnya saat itu yang berbeda jauh dengan perkembangan saat ini.

Setelahnya, tim Wahyoo banyak melakukan diskusi dengan pemilik warung makan apa saja yang sebenarnya mereka butuhkan adalah rantai pasok. Ketika isu ini diangkat, mereka langsung berupaya mengatasinya lewat bermitra dengan pihak ketiga, toh perusahaan belum memiliki tim teknologi sendiri. Alhasil, semuanya dilakukan secara outsource.

“Wahyoo agak unik karena kita bukan menyiapkan teknologi dari awal, makanya enggak ada MVP. Kita sempat kewalahan karena pakai outsource tidak full time, jadi setiap ada feedback dari konsumen prosesnya lamban. Situasi ini memaksa kita untuk jalan dulu yang penting order ke kita, sampai akhirnya operasional kita berantakan banget,” ujarnya.

Situasi tersebut akhirnya teratasi berkat akuisisi Wahyoo terhadap Alamat.com. Dari situ, Wahyoo kini memiliki tim teknologi dan produk yang dapat membuat laju Wahyoo lebih lancar sebagai startup teknologi.

Setelah isu rantai pasok teratasi, kebutuhan pemilik warung makan juga ikut bertambah. Mereka butuh tambahan penghasilan di luar dagangan makanannya, Wahyoo pun bermitra dengan brand F&B untuk memperluas channel penjualnya. Berikutnya, menambahkan fitur layanan finansial untuk membantu cashflow mereka saat mengembangkan usahanya.

“Berangkat selalu dari masalah dulu, apa yang mereka butuhkan. Lalu kita buat produk dan minta validasi dari mereka, pelajari responsnya. Kami juga ingin memastikan apakah ada impact dari setiap hal yang kami lakukan karena kami ingin warung makan ini bisa sejahtera, cost efficient, generate more revenue, dan menyelesaikan financial issue-nya.”

Selalu memerhatikan metrik

Peter menekankan validasi produk itu harus dilakukan karena bisa membantu menghemat pengeluaran, baik dari segi waktu dan uang. Sekaligus cara untuk mitigasi risiko startup tersebut tutup. Pasalnya, banyak teori yang menyebut dari 10 startup hanya satu yang berhasil, sisanya gagal, itu disebabkan oleh ketidakhadirannya product market fit.

“Kita pasti ingin produk kita keren, dicari banyak orang, bahkan ekstremnya apakah ada kemungkinan konsumen bisa demo kalau produk kita tidak ada. Kalau ada impian seperti itu, maka perlu lakukan validasi pasar.”

Untuk membantu validasi, Wahyoo menggunakan metrik retensi dan kontribusi margin. Peter menjelaskan untuk retensi, mengingat target pengguna Wahyoo itu cukup unik, maka perlu proses edukasi yang harus dilakukan agar mereka menjadi pengguna setia.

Dalam mempertahankan kedua metrik tersebut, Wahyoo mendesain aplikasinya dengan fitur-fitur pendukung, seperti daily check-in, tantangan, dan sebagainya untuk menumbuhkan rasa ketergantungan dengan Wahyoo. Perusahaan pun juga memerhatikan seberapa sering konsumen memesan produk lewat Wahyoo, mengingat model bisnis utama mereka adalah pemesanan produk untuk rantai pasok.

“Kita ingin mereka sesering mungkin buka aplikasi Wahyoo dan rajin belanja. Makanya kita buat fitur daily check-in, ada macam-macam tantangan juga, ini untuk make sure lewat fitur ini bisa tumbuh behaviour untuk pakai aplikasi kita terus.”

Kemitraan dengan brand juga diperbanyak, agar pemilik warung bisa menambah sumber pendapatan dari penjualan lainnya. Terlebih dalam di tengah pandemi ini, kebutuhan tersebut makin tinggi. Peter menyampaikan, omzet dari 100 mitra warung yang disurvei turun drastis antara 25%-75% semenjak PPKM diberlakukan. Dampak paling drastis dirasakan oleh warung makan yang berlokasi dekat perkantoran dan kampus.

“Kita terus memikirkan bagaimana dapur itu tetap ngebul, makanya sekarang ini penting punya online presence. Jadi pandemi itu bagi kita bagai blessing in disguise,” pungkasnya.