[Simply Business] Stick to What You’re Good At and Outsource the Rest

After reading about the winner of Imagine Cup 2012, I remembered my days as a finalist when I was in senior year for Imagine Cup 2005. I was with a team representing University of Indonesia and brought an app that can calculate the fastest way to get to one place to another using a public transportation. Back then we didn’t have Google Maps so we made our own version of it.

It was an awesome app, at least in our heads. We made our first prototype on an HP iPaq PDA using the Windows .Net mobile (or something.. can’t really remember). But two problems arose: We didnt’ know how to draw a correct map and we couldn’t get the right data from public transportation because there was just not enough information on the net.

We ended up getting the map from a screen-printed version of Cybermap, and generating random possible spots of public transports because we couldn’t get the right data. Everything was hard-coded, the app was a mess and even with those compromises we couldn’t finish the app in time. Even so, we won second place.

 

Continue reading [Simply Business] Stick to What You’re Good At and Outsource the Rest

[Simply Business] Kebangkitan Social Media Reseller

Industri e-commerce di Indonesia memang dalam masa pertumbuhan. Kita telah melihat banyaknya dukungan dari layanan payment gateway atas pertumbuhan ini serta perusahaan terkenal dengan kantong tebal. Namun sayang, sebagian orang masih menjual produk mereka di Facebook. Ya, Facebook!

Facebook tidak pernah diperuntukkan sebagai tempat menjual barang, namun pengguna Indonesia melakukannya. Ini juga terjadi di Multiply, Friendster dan bahkan BlackBerry Messenger Groups. Di mana orang berkumpul, maka disitulah para penjual melakukan aksinya.

Mari kita lihat Multiply. Perusahaan ini melakukan pivot dari situs jejaring sosial menjadi marketplace karena mereka melihat pertumbuhan yang pesat dari para penjual yang menggunakan Multiply sebagai sarana untuk menjual barang di negara Asia seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Setelah pivot ini, Multiply kini diperhintungkan sebagai tempat tujuan belanja online sosial di Filipina dengan lebih dari 120.000 penjual yang menjual dagangannya ke lima juta pengguna. Melihat besarnya pasar di Asia, mereka bahkan memindahkan kantor pusat mereka ke Indonesia dan akan berkonsentrasi pada ekspansi e-commerce mereka di Asia Tenggara.

Continue reading [Simply Business] Kebangkitan Social Media Reseller

[Simply Business] The Rise of Social Media Reseller

E-commerce industry in Indonesia is definitely on the rise. We’ve been seeing a lot of payment gateway supporting the growth and also big name marketplace with big cash. But alas, the majority of people are still selling their products on Facebook. Yes, Facebook!

Facebook was never meant to be a place where people can sell their items but the Indonesian did it anyway. This also happens to Multiply, Friendster and even Blackberry Messenger Groups. Where there’s people gathering, there’s people trying to sell you something.

Let’s take a look at Multiply. The company pivoted from a social networking site to a marketplace because they’re seeing major growth of sellers using Multiply in many Asian countries like Phillipine, Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand and Vietnam.

After the pivot, Multiply is now considered as the largest online social shopping destination in Philippines with over 120,000 sellers targeting about 5 million users. Seeing the huge market in Asia, they actually moved their headquarters to Indonesia and will be concentrating their e-commerce expansion in South East Asia.

Continue reading [Simply Business] The Rise of Social Media Reseller

[Simply Business] Mencari Kekayaan dengan Tidak Menggali Emas

Jutawan pertama di California hadir pada masa demam emas legendaris tahun 1850, ia bernama Sam Brannan. Meskipun saat itu adalah masa demam emas, Sam menjadi kaya bukan karena menemukan dan menjual emas, tetapi dia menjual sekop. Orang kedua yang menjadi kaya dalam masa yang sama adalah seorang Yahudi. Dia bereksperimen dengan bahan yang bernama denim dan membuat celana yang nyaman tapi kuat untuk dipakai ketika menggali emas. Orang tersebut bernama Levi Strauss, penemu Jeans.

Masa demam emas selalu terjadi, bahkan sekarang di era digital. 10 tahun yang lalu semua orang berlomba membuat sebuah situs dan sekarang semua orang berebut untuk membuat aplikasi mobile. Banyak orang yang mendapatkan peluang dengan membuat aplikasi mobile, tetapi berapa banyak orang yang benar-benar mendapatkan uang dari aplikasi mobile?

Menurut penelitian yang baru-baru ini dijalankan oleh App Promo, pasar iOS diisi oleh 600.000 aplikasi, tetapi hanya 12 persen dari aplikasi-aplikasi tersebut telah mendapatkan $50.000 atau lebih. Sekitar 59 persen dari aplikasi tersebut tidak mampu mennghasilkan uang untuk mengembalikan modal biaya pengembangan. Lebih buruk lagi kondisi di Android Market, atau yang baru saja berganti nama menjadi Google Play. Survei dari Flurry Analytics menunjukkan bahwa pengembang mendapatkan pendapatan 77 persen lebih sedikit ketika menjual aplikasinya di Google Play dibandingkan dengan di App Store.

Continue reading [Simply Business] Mencari Kekayaan dengan Tidak Menggali Emas

[Simply Business] Pass the Gold, Shovel Your Way To Riches

The first millionaire in California became one during the legendary 1850 Gold Rush, his name was Sam Brannan. Despite the gold rush, he did not become rich by discovering and selling gold, he was actually selling shovels. The second person that got rich in the same gold rush is a Jewish guy. He experimented with a material called denim and made comfortable but strong and durable pants to wear when digging for gold. His name was Levi Strauss, the inventor of Jeans.

Gold rush is always happening, even right now in our own digital era. Ten years ago everybody was rushing to have a website and now everybody was rushing to make mobile apps. Many people are finding opportunities in making mobile apps, but how many people actually make money from mobile apps?

Continue reading [Simply Business] Pass the Gold, Shovel Your Way To Riches

[Simply Business] Bekerja Terlalu Keras Tidak Baik Untuk Anda

Saya telah melihat tren yang mengganggu di dunia startup. Perilaku yang mengganggu di dunia korporat dan yang juga menjadi alasan utama mengapa saya meninggalkan dunia korporat telah menginfeksi dunia kecil kita yang indah. Tren tersebut adalah: Bekerja terlalu keras.

Ya, saya telah melihatnya terjadi. Orang bekerja sampai larut dilihat sebagai pahlawan dan bekerja di akhir pekan sudah dianggap sebagai hal normal. Tidak melakukannya membuat Anda jadi bahan ejekan masyarakat. Sebenarnya tidak perlu jadi seperti ini. Tidak peduli berapa jam yang Anda habiskan dalam bekerja, hasil adalah yang paling penting.

Butuh contoh? Lihatlah cara Ryan Carson dalam menjalankan bisnisnya, dengan bekerja hanya 4 hari per minggu namun masih bisa menjalankan usaha yang menguntungkan dengan pemasukan $3 juta per tahun.

Continue reading [Simply Business] Bekerja Terlalu Keras Tidak Baik Untuk Anda

[Simply Business] Working Too Hard Is Bad For You

I have been seeing a disturbing trend in the startup world. A behavior that plagues the corporate world and also the main reason why I left the corporate world is also infecting our beautiful little universe. That trend is: Working too hard.

Yes, I’ve seen it happen. People working late are viewed as heroes and working on weekends is already considered a norm. Not doing so would make you the mockery of your society. It doesn’t have to be this way. It doesn’t matter how many hours you spent working, it’s the results that matter.

Need an example? Check out the way Ryan Carson runs his business, by working only 4 days a week yet still makes a profitable ($3 million per year revenue) business.

Continue reading [Simply Business] Working Too Hard Is Bad For You

[Simply Business] Go Local, Screw Global

Menyasar pasar global! Itu bisa jadi adalah impian dari banyak founder startup ketika merencanakan pengembangan startup mereka. Impian yang telah digapai oleh Facebook, Twitter, LinkedIn, dan startup lain di Silicon Valley. Berpikir/menyasar pasar global merupakan hal yang biasa, namun jangan lupakan bahwa untuk mencapainya, Anda harus menguasai pasar lokal terlebih dahulu.

Saya yakin kita semua sudah menonton film “The Social Network” jadi kita semua tahun bahwa Facebook dimulai dari ruang asrama yang menargetkan siswa Harvard sebagai penggunanya. Facebook kemudian tumbuh untuk menambah target lebih banyak universitas dan setelah itu baru terbuka untuk publik dan mendapatkan pengakuan secara nasional. Proses yang dihadapi Facebook untuk menjadi layanan global adalah dengan melakukan langkah demi langkah. Facebook tidak dimulai sebagai perusahaan global, Facebook dimulai sebagai jejaring sosial yang hanya diperuntukkan secara eksklusif bagi Harvard yang kemudian bertumbuh langkah demi langkah.

Mari kita lihat situs lain: Groupon. Groupon didirikan oleh Andrew Mason pada bulan November 2008. Kota pertama yang mereka bombardir adalah Chicago. Mereka mendapatkan keberhasilan di kota tersebut lalu memperluas cakupannya ke Boston, New York dan Toronto. Mereka tumbuh sangat pesat dalam 2 tahun dengan 35 juta pengguna di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, dan Asia dengan melakukan pembelian startup mirip-Groupon di seluruh dunia. Ya, mereka menjadi perusahaan dengan kekuatan global, tetapi mereka memulai semua itu di satu kota: Chicago.

Continue reading [Simply Business] Go Local, Screw Global

[Simply Business] Go Local, Screw Global

Going global! That’s pretty much the dream of any startup founders when planning on their startups. The dream that has been achieved by Facebook, Twitter, LinkedIn, and everyone else in Silicon Valley. It’s a common thing to think globally, but don’t forget that to go global, you need to plant your roots locally first.

I’m pretty sure we all watched “The Social Network” so we all know that Facebook started in a dorm room targeting Harvard students. It grew to target more universities and then only after that, it went public and achieved nationwide recognition. The process it takes when going global is by doing it one step at a time. Facebook did not start as a global company, it started as an exclusive Harvard-only social network and it grew one step at a time.

Let’s look at another site: Groupon. Groupon started by Andrew Mason in November 2008. The first city that got stormed by Groupon was Chicago. They hit jackpot in that city and then expanded to Boston, New York and Toronto. They grew enormously in 2 years with 35 million users in North and South America, Europe, and Asia by buying local Groupon-like startups across the globe. Yes, they became a massive force globally, but they started all that in one city: Chicago.

Continue reading [Simply Business] Go Local, Screw Global

[Simply Business] Percayalah Pada Ide Bodoh Anda

Ada batas tipis antara ide brilian dengan ide bodoh. Beberapa ide mungkin tidak masuk akal pada masanya, tetapi bisa jadi akan lebih masuk akal di masa yang akan datang. Namun ada juga beberapa ide memang benar-benar bodoh. Anda mungkin bisa memisahkan antara keduanya secara langsung, tetapi sebetulnya bukan itu masalahnya.

Sebagai contoh, mari kita lihat Encarta dan Wikipedia. Keduanya adalan ensiklopedi dengan jumlah artikel sangat banyak yang meliput berbagai bidang dan bahasa. Yang satu dibuat oleh perusahaan besar yang ditulis oleh (mungkin) ribuan ahli terpilih dan yang satu lagi adalah ensiklopedi buatan organisasi nirlaba amal yang ditulis oleh sukarelawan anonim yang berkontribusi tanpa dibayar.

Sekarang, jika saya menanyakan mana yang akan menjadi pemenang berdasarkan pernyataan yang di atas, apakah jawaban yang akan Anda berikan?

Continue reading [Simply Business] Percayalah Pada Ide Bodoh Anda