Renault Terapkan Latihan Driver Formula 1 Sungguhan untuk Atlet Esports

Kedekatan antara esports balap mobil dengan dunia balap mobil sungguhan (motorsports) adalah hal yang sudah cukup banyak diakui para pelaku industri. Dibandingkan dengan cabang-cabang esports lain, esports balap mobil memang tergolong sangat mirip dengan aktivitas nyatanya. Asosiasi balap mobil FIA juga mengakui bahwa esports telah menciptakan jembatan yang membuat dunia balap mobil lebih aksesibel terhadap para calon atlet, dan bukan hal aneh bila di masa depan atlet motorsports datang dari dunia esports.

Organisasi-organisasi balap ternama pun saat ini sudah cukup banyak yang memiliki divisi esports. Contohnya Mercedes di dunia F1, atau tim-tim NASCAR yang beberapa waktu lalu bertanding di eNASCAR Heat Pro League. Renault termasuk salah satunya, dan beberapa waktu lalu Reuters melaporkan seperti apa cara organisasi ini melatih dan mengembangkan talenta para driver virtual mereka.

Rupanya, Renault menerapkan sejumlah metode yang serupa dalam pelatihan driver F1 sungguhan dan virtual. Terutama di bidang kebugaran fisik, karena hal tersebut cukup penting baik bagi kedua jenis driver.

Renault Esports
Jan Opmeer dan Max Fewtrell, para driver virtual Renault | Sumber: John SIbley/Reuters

Memang tuntutan fisik atlet esports punya perbedaan dengan atlet F1. Contohnya, atlet esports tidak perlu melakukan latihan kekuatan leher untuk menahan g-force. Mereka juga tidak perlu menyesuaikan diri terhadap suhu ekstrem atau masalah dehidrasi. Namun ada kesamaan yaitu keduanya sama-sama harus menunjukkan performa terbaik dalam kondisi penuh tekanan.

“Latihan fisik di esports lebih ke arah menjaga kesehatan, menjaga tubuh tetap fleksibel karena jelas bahwa duduk di simulator untuk waktu lama akan membuat tubuh Anda kaku. Anda ingin menjaga fleksibilitas sebanyak mungkin untuk reaksi dan koordinasi cepat. Di motorsports dunia nyata Anda ingin berlatih agar siap menghadapi g-force, dan hawa panas,” demikian papar Jarno Opmeer, seorang atlet esports di tim Renault Sport Team Vitality.

Salah satu contoh, dalam latihannya driver F1 dan esports di Renault sama-sama menggunakan alat yang disebut “Batak”. Alat ini dapat melatih daya penglihatan, reaksi, serta koordinasi mata dan tangan. Selain itu nutrisi para atlet esports juga dijaga, detak jantung mereka diawasi, bahkan jam tidur pun diatur.

“Semua ini setimpal dan memang memiliki dampak. Jika mereka bisa merasa lebih fokus dan menghadiri event sedikit lebih percaya diri, itu pada akhirnya akan memberikan dampak yang lebih besar,” papar David Thompson, Head of Human Performance di Renault Sport, “Ada banyak hubungan dan persilangan yang kami coba bawa di antara kedua sisi (esports dan motorsports). Hal ini juga direspons dengan baik oleh orang-orang.”

Selain metode latihan, Renault juga memanfaatkan sumber daya lain dari divisi F1 untuk esports, misalnya dalam hal analisis data. Hasil telemetri dari game yang dipertandingkan dalam esports dianalisis oleh tim IT Renault, menggunakan sistem yang sama dengan analisis pertandingan grand prix. Dari analisis tersebut tim engineer kemudian bisa membuat rekomendasi, misalnya perubahan gas atau rem seperti apa yang tepat, serta pengaturan variabel-variabel lainnya.

https://twitter.com/RenaultF1Team/status/1198989390636363776

“Dari perspektif IT musim ini merupakan musim pembelajaran bagi kami. Tapi memasuki 2020, kami ingin para insinyur kami memperlakukan setiap ajang esports seperti ajang balap sungguhan,” kata Ben Hampshire, F1 IT Manager di Renault, “Ini menunjukkan keseriusan Renault dalam bidang esports… dengan keuntungan yang nyata, tidak hanya untuk esports tapi juga untuk program F1 sungguhan kami.”

Renault menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam upaya ini. Justru menurut Hampshire, setidaknya tiga tim teratas F1 juga melakukan hal serupa. Memang beberapa waktu lalu Mercedes sempat dikabarkan juga melakukan analisis data untuk performa esports. Apakah pendekatan tersebut bisa membuat performa Renault meningkat di tahun 2020. Rasanya mungkin saja, tapi hanya waktu yang akan menjawabnya.

Sumber: Reuters

Dua Tahun Lebih Vakum, Team Secret Kini Kembali ke Dunia Esports CS:GO

Team Secret banyak dikenal oleh penggemar esports sebagai organisasi yang bergerak di dunia Dota 2, tapi mereka juga memiliki tim di sejumlah cabang kompetisi lainnya. Salah satunya adalah Counter-Strike: Global Offensive alias CS:GO. Divisi CS:GO diluncurkan oleh Team Secret di tahun 2016, dan uniknya terdiri dari roster yang seluruhnya adalah perempuan. Sayangnya divisi tersebut hanya bertahan selama setahun, dan Team Secret pun vakum dari dunia CS:GO.

Kini, dua setengah tahun sejak divisi tersebut dibubarkan, Team Secret akhirnya kembali ke dunia CS:GO. Mereka menggaet lima orang pemain yang sebelumnya merupakan roster tim M1X. Nama M1X memang belum begitu terkenal karena anggota-anggotanya terdiri atas pemain muda, akan tetapi mereka sudah memiliki sejumlah prestasi di kompetisi CS:GO skala kecil. Belum lama ini M1X meraih peringkat 10 di kompetisi online FACEIT Esports Championship Series Season 8 – Europe. Di kompetisi tersebut, M1X sudah merasakan berhadapan dengan tim-tim CS:GO senior seperti Astralis, Fnatic, FaZe Clan, dan Ninjas in Pyjamas.

Berikut daftar roster tim baru Team Secret CS:GO:

  • juanflatroo (Flatron Halimi) dari Kosovo
  • tudsoN (Filip Tudev) dari Polandia
  • rigoN (Rigon Gashi) dari Swiss
  • sinnopsyy (Dionis Budeci) dari Kosovo
  • anarkez (Guy Trachtman) dari Israel

Walaupun roster ini masih tergolong baru, Team Secret percaya pada sinergi dan chemistry yang dimiliki oleh para pemainnya, dan mereka yakin bisa mendidik tim ini menjadi salah satu kekuatan yang patut diperhitungkan di kancah esports CS:GO.

CEO Team Secret, John Yao, berkata dalam situs resminya, “CS:GO adalah judul yang telah kami eksplorasi selama 6 bulan terakhir, dan kami gembira bisa mengumumkan roster muda yang luar biasa menjanjikan untuk mengakhiri tahun ini dan memulai 2020.

Meski baru menjalan waktu yang singkat bersama-sama, skuad ini telah menunjukkan potensi untuk menjadi salah satu yang terbaik di scene (CS:GO), dan kami berharap bisa memberikan seluruh sumber daya organisasi kami kepada mereka dalam pengembangannya. Saya pribadi tak sabar untuk melihat kami melejit!”

https://twitter.com/Secret_SamE/status/1198983225273651201

Para pemain Team Secret CS:GO juga menyambut akuisisi ini dengan antusias. Bagi sebagian dari mereka, bergabung dengan Team Secret adalah impian yang jadi kenyataan, dan mereka berharap bisa membuktikan kemampuan di masa depan.

“Mendapat kesempatan dari organisasi yang begitu hebat membuat saya bisa mengembangkan diri lebih jauh secara individu sebagai seorang pemain dan sebagai anggota tim di bawah sorotan para pakar, yang saya yakin dapat membantu saya mencapai tujuan personal dan tim di masa depan,” ujar tudsoN.

Sumber: Team Secret

Gachikun: Pemain Tua Punya Tanggung Jawab Merangkul yang Lebih Muda

Bulan Desember semakin mendekat, dan itu artinya puncak kompetisi Capcom Pro Tour (CPT) juga akan segera digelar. Acara puncak itu, Capcom Cup 2019, berlangsung pada tanggal 13 – 15 Desember nanti, bersamaan dengan ajang Street Fighter League World Championship yang mempertemukan jawara Amerika melawan jawara Jepang untuk pertama kalinya.

Pemain yang menjadi sorotan banyak pihak kali ini salah satunya tentu adalah Gachikun alias Tsunehiro Kanamori, juara Capcom Cup 2018 yang terkenal ahli menggunakan karakter Rashid. Saat ini memegang peringkat 15 di CPT Global Leaderboard, Gachikun harus membuktikan apakah ia mampu mempertahankan gelarnya atau harus menyerahkan takhta ke pemain lain.

Baru-baru ini, Gachikun berbincang-bincang dengan media Critical Hit tentang pengalamannya berkarier di dunia esports Street Fighter, perannya sebagai pro player, serta apa yang dibutuhkan oleh fighting game community (FGC) yang sedang tumbuh. Berikut poin-poin menarik yang mereka diskusikan.

Peran para “pemain tua”

Komunitas fighting game secara umum terkenal sebagai komunitas yang selalu passionate terhadap kegemaran mereka. Karena itulah sejak dulu iklim kompetitif sudah ada di komunitas ini. Namun untuk menjadi seorang pemain fighting game yang hebat tidaklah mudah. Butuh latihan, kerja keras, dan ketekunan untuk waktu yang lama. Tidak semua orang betah melakukannya.

Gachikun sendiri pernah merasakan ketika pemain-pemain “hilang” dari komunitas fighting game. Ia merasa bahwa untuk mencegah hal itu terjadi, komunitas harus memastikan bahwa para pemain ini dirangkul, diajak berkomunikasi, serta dilatih. Tanggung jawab ini terutama jatuh pada para anggota komunitas yang sudah senior.

Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia
Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia

“Ada suatu tanggung jawab yang muncul ketika Anda menjadi salah satu pemain yang telah ‘berhasil’. Kita jujur saja, tanpa ada komunitas yang bisa mandiri maka sebagian besar olahraga akan layu dan mati. Bukan hanya pemain baru yang bertanggung jawab untuk ikut terlibat, tapi juga pada para pemain yang lebih tua untuk mendukung mereka,” ujar Gachikun.

Industri esports bukan bubble?

Saat ini esports tengah menjadi sebuah tren yang ramai, dan banyak gamer bisa sukses menjadikannya lahan mata pencaharian. Namun mereka yang sukses itu jumlahnya sedikit dibandingkan mereka yang ikut berpartisipasi. Tidak semua pemain bisa jadi atlet terkenal, dan ada beberapa pihak khawatir bahwa industri esports saat ini adalah bubble yang bisa pecah sewaktu-waktu.

Akan tetapi, menurut Gachikun kekhawatiran itu tidak benar. Ia merasa bahwa esports ini adalah sebuah perubahan kultur di dunia gaming, terutama di kalangan gamer generasi baru. Bagi para gamer muda ini, game bukan hanya sesuatu untuk dimainkan, tapi juga sesuatu untuk ditonton.

Gachikun berkata, “Saya merasa bahwa di kalangan generasi muda ada sebuah budaya yang kuat tentang menonton siaran internet. Saya rasa hal itu hanya akan tumbuh membesar di masa depan, dan seperti halnya sepak bola atau rugbi, akan ada culture base yang stabil.”

Mengejar ketertinggalan

Walaupun esports sudah menjadi tren, sebetulnya pertumbuhan esports ini masih belum merata di semua negara. Critical Hit adalah media yang berbasis di Afrika Selatan, dan di sekitar mereka, komunitas fighting game masih memiliki skala yang kecil. Sementara genre lain seperti shooter atau MOBA sudah lebih populer. Bagaimana bisa ekosistem seperti ini mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara lain?

Gachikun mengakui bahwa akan sulit bila ingin mengejar popularitas cabang-cabang esports yang lebih mainstream. Tapi menurutnya hal itu tidak membuat fighting game lebih rendah atau inferior dibanding cabang-cabang esports lain. Yang terpenting adalah para penggemarnya mau terus bermain dan bekerja sama untuk membesarkan komunitas.

Ia kemudian bercerita tentang kondisi FGC di Jepang sebelum era esports meledak. “Di Jepang, FGC sudah populer bahkan sebelum istilah esports diciptakan. Ini karena ada banyak lokasi di seluruh Jepang di mana para pemain bisa berkumpul untuk bermain dan berkompetisi di turnamen. Tak peduli sekecil apa pun skalanya, ketika ada event yang digelar untuk menyatukan orang-orang, hal itu akan memotivasi dan merangsang para pemain untuk berpartisipasi secara aktif,” paparnya.

Esports memang punya potensi sebagai sebuah bisnis, tapi sebelum itu, esports adalah ekosistem yang dibangun oleh kekuatan komunitas. Menumbuhkan ekosistem yang besar memang tidak bisa instan, dan bila mengandalkan kekuatan grassroot, bisa jadi prosesnya akan lama. Tapi justru atas dasar kecintaan itulah ekosistem esports bisa menjadi kekuatan yang solid dan tak akan mati walau harus berjuang sendiri.

Saran-saran yang diberikan Gachikun rasanya bisa juga diterapkan di Indonesia, karena di negara ini sudah ada komunitas-komunitas fighting game yang aktif namun statusnya masih niche. Dengan menularkan kegembiraan yang kita rasakan dalam momen-momen kompetitif serta merangkul dan memelihara pemain-pemain baru, mudah-mudahan saja ekosistem fighting game di negara ini nantinya bisa tumbuh besar dan kuat seperti Jepang yang merupakan “kampung halaman” FGC.

Sumber: Critical Hit, Red Bull

Mantan Karyawan Blizzard Ungkap Alasan Kegagalan Esports Heroes of the Storm

Nama Heroes of the Storm di tahun 2019 ini boleh jadi sudah seperti lenyap ditelan bumi. Tapi satu tahun yang lalu, Heroes of the Storm alias HotS masih menyandang posisi sebagai cabang esports prestisius yang didukung oleh perusahaan raksasa, Activision Blizzard. BlizzCon 2018 yang digelar di Anaheim Convention Center menghadirkan kompetisi Heroes Global Championship (HGC), dengan partisipasi tim-tim ternama seperti Gen.G, Team Liquid, dan Dignitas, serta hadiah senilai US$1.000.000.

Ekosistem esports Heroes of the Storm kala itu terlihat hidup dan sehat-sehat saja, tapi satu bulan kemudian, hal mengejutkan terjadi. Blizzard mengumumkan bahwa sebagian developer HotS akan dipindahkan ke tim lain, dan bahwa sirkuit esports resminya—Heroes Global Championship dan Heroes of the Dorm—tidak akan digelar lagi di tahun 2019. Ekosistem HotS kompetitif otomatis mati, sesuatu yang membuat sejumlah pemain profesional HotS sedih dan marah.

Meski demikian, penutupan esports HotS secara umum tidak disertai dengan terlalu banyak drama. Pihak-pihak terkait jelas kecewa (atau kehilangan pekerjaan), tapi Blizzard adalah perusahaan, bukan badan amal. Perubahan strategi bisnis bukan hal aneh, dan para developer HotS yang tersisa masih terus memberi update konten baru. Yang lalu biarlah berlalu, tak ada pilihan selain hanya move on.

Tapi benarkah ceritanya sedamai itu? Mungkin tidak. Menurut informasi yang didapat oleh Inven Global dari sejumlah mantan karyawan Blizzard, penutupan esports HotS adalah keputusan yang mengejutkan, bahkan bagi pegawai Blizzard sendiri. Hanya sedikit yang tahu bahwa keputusan ini akan diambil, dan banyak karyawan merasa para pengambil keputusan itu bukanlah orang-orang yang terlibat dekat dengan HotS dan tidak paham pentingnya HotS bagi perusahaan maupun komunitas penggemar Blizzard.

Banyak karyawan yang saat itu mengira bahwa esports HotS masih akan berjalan seperti biasa, bahwa HGC akan digelar lagi setidaknya hingga 2019 atau 2020. Kemudian pengumuman penutupan tiba, dan mereka langsung dibanjiri oleh pesan dari komunitas yang bertanya sebenarnya ada apa. Mereka pun sama bingungnya, dan hanya bisa mengutarakan rasa frustrasinya kepada pihak manajemen.

Wajar bila mereka frustrasi, karena tim developer HotS di dalam Blizzard adalah tim yang terbilang cukup spesial. Mereka adalah tim yang sangat erat dan passionate terhadap proyeknya, serta berkomitmen tinggi untuk menjadikan HotS game terbaik. Tapi menurut pengakuan para mantan karyawan Blizzard, sebenarnya tim HotS punya masalah yang sudah cukup lama berjalan: beban kerja mereka terlalu berat.

HotS adalah salah satu dari sedikit proyek di Blizzard yang menuntut pengembangan terus-menerus dalam waktu cepat. Game ini harus terus mendapat patch dan perbaikan balance, juga terus mendapatkan konten baru. Tuntutan dari komunitas penggemar begitu besar, dan ini akhirnya menciptakan kultur kerja yang “extremely unsustainable”.

“Orang yang mengerjakan game itu (HotS) berada di bawah tekanan sepanjang waktu dan super stres. Kalau di franchise lain, mereka punya patch besar tiap tiga bulan sekali sehingga mereka punya waktu untuk bersantai dan bermain video game di kantor. Tapi semua yang mengerjakan Heroes (of the Storm) terus-menerus bekerja, terus-menerus lembur untuk mewujudkan semuanya,” ujar salah satu sumber yang dihubungi Inven Global. Bagi sebagian anggota tim HotS, keputusan Blizzard adalah sebuah kabar gembira.

Ada satu faktor lain yang berperan besar terhadap pemindahan SDM dari tim HotS, yaitu sebuah game bernama Diablo IV. Atau lebih tepatnya, tuntutan para penggemar agar Blizzard cepat-cepat mengumumkan/merilis Diablo IV. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Bila Anda ingat, BlizzCon 2018 telah menjadi catatan buruk dalam sejarah Blizzard gara-gara pengumuman game mobile baru mereka, Diablo Immortal. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan Diablo Immortal itu sendiri. Hanya saja, para penggemar tidak menyangka bahwa ajang sebesar BlizzCon ternyata “cuma” jadi ajang pengumuman game mobile.

Para fans kecewa dan marah, desainer Diablo Immortal dicemooh di atas panggung, bahkan salah satu penggemar terang-terangan bertanya, “Apakah ini lelucon April Mop?” Seluruh kanal media sosial panas oleh cacian, dan hasilnya, manajemen Blizzard panik. Mereka tahu bahwa hanya ada satu solusi untuk mengembalikan kepercayaan fans, mengumumkan Diablo IV secepat mungkin.

Dan dimulailah reshuffle tim besar-besaran di Blizzard. Karyawan-karyawan paling senior di tim HotS pindah mengerjakan Diablo IV, sementara sisanya pindah mengerjakan World of Warcraft. Diablo IV harus muncul di BlizzCon 2019. Lagi pula, potensi keuntungan jangka panjang yang akan didapat oleh Diablo IV dirasa lebih besar daripada HotS.

“Mereka perlu mengumumkan Diablo IV di BlizzCon (2019), kan? Itulah rencananya dan mereka harus memastikan rencana itu terwujud. Sejujurnya, sebagian besar talenta dari tim developer Heroes yang pecah pindah ke tim Diablo IV. Sebagian mereka pindah ke [World of Warcraft] karena game itu masih hidup dan bernafas dan juga membutuhkan banyak dukungan. Menarik orang-orang yang pernah mengerjakan live game seperti Heroes adalah hal yang masuk akal,” ujar sumber lainnya.

Dua hal besar di atas adalah penyebab utama HotS mengalami nasib mengenaskan di akhir 2018. Saat ini HotS masih terus berjalan, namun dengan tim developer yang lebih kecil dan update konten yang lebih lambat. Di usianya yang sudah hampir lima tahun, HotS masih menghadirkan hiburan bagi kalangan tertentu, namun perjalanannya di dunia esports telah tutup buku.

Bagi mereka yang berada di Blizzard, momen “matinya HotS” itu menyisakan sebuah ketakutan yang sesekali datang menghantui. “Jika esports Heroes tidak menghasilkan (keuntungan) sebanyak yang mereka inginkan, apa gunanya melanjutkannya, iya kan? Melihat ke belakang, hal yang sama bisa dikatakan untuk pekerjaan saya. Oh, kita punya 800 karyawan, bisakah kita mengontrakkan pekerjaan mereka ke pihak luar dengan setengah harga dan menghemat uang di sejumlah tempat? Ya, mereka (Blizzard) bisa melakukannya, jadi itulah yang terjadi,” kata seorang sumber.

Sebuah tim yang solid, franchise game yang populer, serta ekosistem esports yang melibatkan uang berjuta-juta dolar, ternyata bisa mati hanya dalam semalam. Kalau keputusan sebesar itu saja bisa muncul sedemikian mendadak, mungkin sekali nasib para karyawan bisa berubah 180 derajat dalam waktu yang sama singkatnya.

Ini Activision Blizzard. Kalau perusahaan lain, bagaimana?

Sumber: Inven Global

Kreator Guilty Gear Ingin Ciptakan Fighting Game yang Lebih Enak Ditonton

Guilty Gear Strive belakangan ini sedang jadi salah satu perbincangan paling hangat di komunitas fighting game. Pertama kali diumumkan oleh Arc System Works di ajang EVO 2019 kemarin, Guilty Gear Strive memukau banyak orang karena tampilan visualnya yang luar biasa dahsyat. Beberapa tahun terakhir ini memang Arc System Works dikenal sebagai developer fighting game dengan teknik 3D canggih—lihat saja Dragon Ball FighterZ—dan Guilty Gear Strive berhasil meningkatkan kualitas visual itu lebih tinggi lagi.

Sayangnya ada satu isu yang cukup membuat para penggemar khawatir. Kabarnya, Arc System Works telah melakukan perombakan gameplay besar dan Guilty Gear Strive akan menjadi game yang lebih simpel dibandingkan prekuelnya. Beberapa video juga menunjukkan indikasi hal tersebut, mulai dari kecepatan pertarungan yang lebih rendah, combo lebih pendek, dan sejumlah penyederhanaan lainnya.

Mengapa Arc System Works melakukan perubahan-perubahan di atas, dan apa tujuannya? Baru-baru ini Ars Technica mewawancarai desainer dan director seri Guilty Gear, Daisuke Ishiwatari, untuk menjawab pertanyaan tersebut. Berikut ini beberapa poin pentingnya.

“Simpel” adalah kata yang kurang tepat

Banyak orang berkata bahwa Guilty Gear Strive akan menjadi game yang simpel, tapi menurut Ishiwatari, kata simpel itu sebetulnya kurang tepat untuk menggambarkan tujuan para developernya. Sebetulnya tujuan aslinya adalah mereka ingin membuat game yang “terlihat gampang”, lebih nyaman untuk ditonton, tapi tanpa mengurangi kedalaman gameplay yang jadi ciri khas Guilty Gear.

Sejak dulu tim developer Guilty Gear selalu ingin membuat game yang sangat terpoles dan memuaskan bagi para “maniak” fighting game. Tapi Ishiwatari mengakui bahwa dengan gaya Arc System Works yang lama, mereka telah gagal dalam hal menarik pengguna baru karena sistem dan antarmukanya sangat kompleks. “Bagian besar dari filosofi pengembangan yang sekarang adalah menyederhanakan hal itu untuk para penonton. Membuatnya terlihat sangat fun, dan saya rasa hal itulah yang akan menarik para pemain,” kata Ishiwatari.

Adaptasi dengan era serba online

Perubahan lain yang terlihat seperti simplifikasi tapi sebetulnya bukan adalah bagaimana Arc System Works menangani fitur online. Ishiwatari mengaku bahwa ia cenderung menyukai fighting game yang hardcore atau kompleks. Tapi mereka perlu menyeimbangkan antara pengalaman permainan hardcore itu dengan kenyamanan menonton.

Dewasa ini fighting game telah menjadi genre yang sangat dipengaruhi oleh komponen online. Karena itulah developer perlu memfasilitasinya, contohnya dengan membuat timing input yang lebih longgar. Zaman dahulu, ketika mereka mengembangkan game untuk audiens arcade, hal-hal seperti ini tidak perlu, tapi kini menjadi perlu.

Secara umum ada dua jenis implementasi fitur online yang populer digunakan oleh fighting game, yaitu netcode berbasis delay dan netcode berbasis rollback (Anda bisa membaca penjelasan detailnya di sini). Netcode berbasis rollback banyak dipandang sebagai solusi yang lebih baik, tapi implementasinya jauh lebih rumit. Selama ini Guilty Gear menggunakan netcode berbasis delay, namun tim engineer di Arc System Works pun sebetulnya memiliki perbedaan pendapat tentang cara mana yang lebih cocok. Mereka masih terus bereksperimen untuk menentukan solusi finalnya.

Guilty Gear Strive adalah eksperimen besar

Tidak hanya implementasi online, banyak hal dalam Guilty Gear Strive sebetulnya merupakan eksperimen besar oleh tim Arc System Works. Tampilan visual misalnya, adalah evolusi lebih lanjut dari Guilty Gear Xrd yang dirancang dengan ekspresi tertentu.

Bila Guilty Gear Xrd (juga Dragon Ball FighterZ dan Granblue Fantasy Versus) ingin memberikan suasana menyerupai anime 2D, Guilty Gear Strive justru ingin memberi suasana seperti film live-action. Karena itulah mereka menerapkan sejumlah efek visual baru seperti gerakan kamera yang lebih dinamis, transisi adegan (cut) yang lebih mulus, dan sebagainya. Ishiwatari berkata bahwa membuat sekuel yang sama seperti Guilty Gear Xrd lagi adalah “hal yang tidak ada gunanya”.

Eksperimen serupa juga mereka lakukan dalam hal penerapan antarmuka. Ishiwatari berkata bahwa ada artikel atau survei yang mengatakan bahwa para pemain Guilty Gear punya gerakan mata yang lebih banyak daripada pemain fighting game lain. Mereka cenderung memperhatikan seluruh sudut layar, karena begitu banyak informasi yang ada.

Guilty Gear Strive - UI
Antarmuka Guilty Gear Strive dirancang untuk mengurangi gerakan mata pemain

Kemampuan memroses banyak informasi ini memang menjadi keunikan tersendiri bagi pemain Guilty Gear, tapi Arc System Works juga ingin mencoba mengurangi persebaran informasi itu. Mereka ingin pandangan para pemain lebih terfokus ke satu titik, karena itulah antarmuka Guilty Gear Strive didesain lebih terpusat ke tengah layar.

Guilty Gear Strive direncanakan untuk terbit di tahun 2020. Masih cukup banyak waktu bagi Arc System Works untuk menerapkan perubahan, baik dari segi teknis, visual, hingga gameplay. Saat ini yang mereka lakukan adalah bereksperimen dan mencoba-coba pendekatan baru, tapi sebagian besar hal yang di Guilty Gear Strive sekarang sifatnya masih belum final. Bisa jadi akan banyak elemen berubah nantinya, tapi yang jelas filosofi desain game ini sudah tersampaikan: menjaga gameplay tetap hardcore tapi menjadikannya lebih enak ditonton.

Sumber: Ars Technica

TNC Predator Amankan Slot The International 2020 Setelah Juara MDL Chengdu Major

Turnamen Dota 2 Major pertama untuk Dota Pro Circuit (DPC) musim 2019-2020 baru saja selesai diselenggarakan. Sesuai dengan sebutan resminya yaitu MDL Chengdu Major, turnamen ini berada di bawah organizer Mars Dota 2 League (MDL) dan diadakan di lokasi Chengdu Century City New International Convention & Exhibition Center. Sebanyak 16 tim bertarung di sini untuk memperebutkan hadiah senilai US$1.000.000 (sekitar Rp14 miliar) dan DPC Point sebesar 15.000 poin.

Sekilas, MDL Chengdu Major sempat terlihat didominasi oleh tim-tim Tiongkok yang merupakan tuan rumah. Pasalnya, tim-tim dari negara tersebut sempat tampil hebat dan mengirim sejumlah favorit juara berkemas pulang. Contohnya Invictus Gaming (iG), yang masuk lewat jalur kualifikasi turnamen Minor DOTA Summit 11. Mereka maju ke Lower Bracket Final setelah mengeliminasi Evil Geniuses.

https://twitter.com/BeyondTheSummit/status/1198592638703681536

Sementara itu di Upper Bracket Final, Vici Gaming juga berhasil mengalahkan TNC Predator dengan skor telak 2-0. Padahal sepanjang turnamen TNC Predator telah tampil nyaris tak terkalahkan. Dengan demikian, dua dari tiga tim peringkat tertinggi sudah pasti dipegang tim Tiongkok, dan Vici Gaming diprediksi akan jadi juara.

Akan tetapi prediksi itu rupanya meleset. Setelah menggulingkan Invictus Gaming di Lower Bracket Final, TNC Predator siap untuk melakukan rematch melawan Vici Gaming di Grand Final. Di sini TNC Predator mengandalkan strategi-strategi combo, terutama combo antara hero Morphling dan Earthshaker yang disebut “Morphshaker”.

TNC Predator
Sumber: Mars Media

TNC Predator langsung memimpin pertandingan dengan raihan angka 2-0 di awal, akan tetapi Vici Gaming sempat melakukan perlawanan. Dengan permainan agresif hero Pangolier dan Kunkka, mereka mencuri 1 poin di ronde ketiga. Namun di ronde empat combo Morphling dan Earthshaker hadir kembali, membuat Vici Gaming porak-poranda dan harus rela melepaskan trofi juara.

TNC Predator pulang membawa uang hadiah senilai US$300.000 (sekitar Rp4,2 miliar), 4.850 DPC Point, serta trofi unik berbentuk kapak milik hero Axe yang merupakan maskot turnamen MDL. Dengan DPC Point sebanyak itu, tim asal Filipina ini hampir bisa dipastikan bakal lolos ke turnamen puncak yaitu The International 2020 (TI10) nanti. Mereka juga bertengger di puncak klasemen sementara DPC 2019-2020, akan tetapi posisi itu tentu masih bisa bergeser. Anda dapat melihat highlight pertandingan-pertandingan final lewat video di bawah.

Sayangnya MDL Chengdu Major ini tidak diikuti oleh beberapa tim besar, seperti OG dan Team Secret, karena mereka sedang beristirahat setelah The International 2019. Namun kita bisa berharap tim-tim tersebut akan kembali di turnamen Major berikutnya, yaitu DreamLeague Season 13 alias Leipzig Major yang digelar di pertengahan Januari nanti. Tim mana sajakah yang akan menemani TNC Predator tampil di The International 2020?

Sumber: Dot Esports, GosuGamers, TNC Predator

Pemerintah Malaysia Luncurkan 5 Strategi Pengembangan Esports Hingga 2025

Anda yang mengikuti perkembangan dunia esports internasional tentu sudah tak asing dengan dukungan pemerintah Malaysia terhadap industri ini. Menteri Pemuda dan Olahraga negeri jiran itu, Syed Saddiq, terkenal terbuka dalam mempromosikan potensi esports, apalagi setelah turnamen Dota 2 Kuala Lumpur Major sukses digelar. Pemerintah daerah di Putrajaya pun ingin kota tersebut jadi pusat kegiatan esports dalam waktu dekat.

Belum lama ini, Syed Saddiq merilis dokumen setebal 144 halaman yang berjudul “Strategic Plan for Esports Development 2020-2025”, atau singkatnya disebut sebagai National Esports Blueprint. Sesuai judulnya, dokumen ini mendeskripsikan visi pemerintah Malaysia untuk mendorong negara tersebut jadi pusat esports terdepan di wilayah Asia Tenggara. Dikabarkan oleh eGG Network, Syed Saddiq menyebut malam perilisan dokumen tersebut sebagai malam yang bersejarah.

eSports Malaysia ESM
Asosiasi eSports Malaysia (ESM) akan menangani penyelenggaraan liga nasional | Sumber: eGG Network

National Esports Blueprint ini mendeskripsikan lima strategi prioritas yang ingin digalakkan oleh pemerintah Malaysia, yaitu:

  1. Mengembangkan atlet-atlet untuk keunggulan esports
  2. Gaming yang bertanggungjawab dan esports yang beretika
  3. Akses lebih baik terhadap infrastruktur esports
  4. Pembangunan ekosistem esports yang berkelanjutan (sustainable)
  5. Pembentukan hukum dan kepemimpinan yang baik

Salah satu program sebagai perwujudan strategi-strategi di atas adalah pembentukan liga esports nasional. Malaysia ingin memiliki liga daerah (State League) yang kemudian akan berkesinambungan ke National Esports League di bawah peraturan yang baik. Para atlet esports Malaysia akan dicatat dan dimasukkan ke dalam sistem ranking yang mencakup sejumlah game esports paling populer. Harapannya, liga-liga ini bisa memberikan struktur yang lebih baik bagi ekosistem kompetitif lokal di Malaysia.

Inisiatif pemerintah untuk pengembangan esports ini juga disambut baik oleh sejumlah tokoh komunitas esports Malaysia. Contohnya Firdaus “MasterRamen” Hashim, yang dikenal dengan julukan bapak esports Malaysia. Demikian juga dengan Lee Chong Kay, Chief of Sports di perusahaan penyedia layanan TV satelit Astro.

Ramona Azween
Atlet CS:GO Ramona Azween turut terlibat dalam program nasional ini | Sumber: eGG Network

Asosiasi eSports Malaysia (ESM) ditunjuk menjadi badan yang membawahi liga-liga ini. Selain itu, salah satu atlet Counter-Strike: Global Offensive perempuan Malaysia, Ramona Azween, juga turut terlibat di dalamnya. Ia berkata bahwa saat ini belum semua program dalam National Esports Blueprint punya rencana konkret, dan mereka masih terbuka terhadap masukan-masukan untuk mewujudkannya.

“Supaya esports Malaysia bisa menjadi unggul, semua pihak harus bekerja sama. Dan ketika Anda ingin semua pihak bekerja sama, pasti akan selalu ada tantangan. Menerapkan (Blueprint) ini akan butuh waktu, karena itulah dirancang sebagai rencana lima tahun,” ujar Azween, dilansir dari eGG Network, “Ini adalah panduan supaya esports bisa menjadi lebih baik, tidak hanya untuk diri kita sendiri, atau para atlet, atau korporasi, tapi untuk seluruh Malaysia—semua orang.”

Sumber: eGG Network

ESL One Los Angeles 2020 Jadi Salah Satu Kompetisi Dota 2 Major Musim Ini

Kompetisi Dota 2 Major selama ini telah singgah di sejumlah negara berbeda, dari Jerman hingga Tiongkok, dari Malaysia hingga Swedia. Namun kompetisi ini sudah lama tidak diadakan di Amerika Serikat. Terakhir kali, Dota 2 Major hadir di kota Boston pada tahun 2016 lalu. Tapi setelahnya Amerika hanya menjadi tuan rumah untuk beberapa turnamen Dota 2 Minor, seperti Captains Draft 4.0 (2018) dan DOTA Summit 8 (2017).

Baru-baru ini ESL dengan bangga mengumumkan bahwa sekali lagi, Amerika Serikat akan jadi tuan rumah untuk Dota 2 Major. Kompetisi tersebut akan digelar dalam acara ESL One Los Angeles 2020, pada bulan Maret 2020 nanti. 16 tim Dota 2 terbaik dari seluruh dunia akan tampil di sini untuk memperebutkan 15.000 DPC Point serta uang hadiah senilai US$1.000.000 (sekitar Rp14 miliar).

https://twitter.com/ESLDota2/status/1197590504424300546

“Los Angeles dikenal karena hiburan kelas dunia dan itulah yang ingin kami hadirkan lewat L.A. Major. Kami akhirnya membawa kompetisi flagship ESL Dota 2 ke US West Coast untuk pertama kalinya dan kami bangga bisa menghadirkan aksi Dota 2 kelas dunia ke komunitas lokal,” ujar Ulrich Schulze, SVP of Product di ESL, dilansir dari Esports Insider.

“Dengan ESL One Los Angeles, kami akan menancapkan pasak di tanah untuk merangkul komunitas Dota 2 di Amerika Serikat dan memperkenalkan turnamen paling ikonik kami ke lokasi baru: Shrine Auditorium yang memberikan nuansa begitu unik,” tambahnya lagi. ESL One Los Angeles 2020 ini memang merupakan pertama kalinya turnamen Dota 2 Major hadir di kota Los Angeles.

Shrine Auditorium
Shrine Auditorium memiliki kapasitas 6.300 penonton | Sumber: ESL

ESL One Los Angeles 2020 alias L.A. Major akan menjadi turnamen Dota 2 Major ketiga di Dota Pro Circuit (DPC) musim 2019-2020. Turnamen Major pertama digelar di kota Chengdu, Tiongkok dengan nama MDL Chengdu Major. Sementara turnamen kedua adalah DreamLeague Season 13 di kota Leipzig, Jerman.

Di samping turnamen Dota 2 yang merupakan menu utama, ESL One Los Angeles 2020 juga menghadirkan sejumlah aktivitas menarik untuk para pengunjung. Mulai dari ESL Shop tempat di mana gamer bisa membeli merchandise resmi dari Valve dan ESL, kompetisi cosplay, tato airbrush untuk menunjukkan dukungan pada tim favorit, hingga sesi tanda tangan untuk seluruh 16 tim yang tampil di L.A. Major.

Babak kualifikasi turnamen ini akan dimulai pada tanggal 9 Februari 2020. Tim manakah yang akan menunjukkan dominasinya di Dota Pro Circuit musim ini?

Sumber: ESL, Esports Insider

Pentanet.GG Ingin Jadikan Kota Perth Pusat Esports di Australia

Pentanet.GG merupakan perusahaan esports di Australia yang baru saja diluncurkan, dan direncanakan untuk mulai aktif beroperasi di tahun 2020 nanti. Berada di bawah naungan perusahaan provider internet Pentanet, Pentanet.GG memiliki tiga misi utama dalam pengembangan esports Australia. Misi itu terdiri dari Community (komunitas), Development (pengembangan karier), serta Pro League (wadah kompetisi).

Dilansir dari Esports Insider, Pentanet.GG memiliki keinginan untuk membangun liga esports profesional dengan server terdedikasi di kota Perth. Tujuannya supaya para gamer di wilayah Australia Barat bisa lebih terbantu untuk berkompetisi secara online. Selama ini server untuk game kompetitif yang digunakan gamer wilayah tersebut umumnya ada di wilayah Australia Timur atau di Asia. Server baru ini diharapkan bisa menghubungkan para gamer dari penjuru Asia hingga ke Australia Timur.

“Mengingat bahwa Perth adalah gerbang tepat di tengah-tengah Asia dan Australia Timur, kami menyadari adanya oportunitas sebagai gamer untuk mengembangkan jaringan kami ke wilayah-wilayah ini, menjadikan Perth pusat baru untuk jaringan esports Australia, sambil juga mengoperasikan liga-liga yang memanfaatkan jaringan tersebut.

Kami berharap dapat memupuk dan mengusung talenta terbaik gaming berikutnya dari sini di WA (Western Australia), memberikan mentorship dan bimbingan yang tepat tentang cara mereka berperilaku sebagai atlet profesional,” papar Stephen Cornish, Managing Director di Pentanet.

Pete Curulli, General Manager Pentanet.GG, menambahkan, “Ada banyak kebaikan yang sedang dikerjakan, dan dedikasi Pentanet untuk membawa jaringan serta proses profesional mereka ke dalam passion yang dimiliki para pemain serta penonton terhadap esports akan memberikan pasar sebuah oportunitas besar untuk melindungi dan menyuburkan ekosistem ini.”

Pentanet.GG - Perth Wildcats
Brand Pentanet.GG muncul di jersey tim NBL Perth Wildcats | Sumber: Perth Wildcats

Saat ini Pentanet.GG telah meluncurkan sebuah situs web, serta akun media sosial di Facebook, Instagram, Twitter, dan Twitch. Mereka juga mengadakan kegiatan-kegiatan untuk menggaet komunitas, seperti acara permainan terbuka di Victoria Park Summer Street Party pada tanggal 24 November. Di sana mereka memfasilitasi para pengunjung untuk mencoba memainkan game Rocket League.

Pentanet juga telah menjalin kerja sama dengan National Basketball League (NBL) Australia yaitu Perth Wildcats, dan tim Women’s National Basketball League (WNBL) Australia yaitu Perth Lynx. Logo Pentanet.GG kini muncul di jersey kedua tim tersebut, sehingga brand Pentanet.GG dapat dikenal oleh seluruh audiens NBL dan WNBL.

Sumber: Pentanet.GG, Esports Insider

Profesor MIT: Harassment Adalah Penyebab Esports Kurang Diminati Perempuan

Esports adalah bidang kompetisi yang secara alami lebih inklusif dari olahraga konvensional. Karena bidang ini tidak menuntut kemampuan fisik yang tinggi, esports bisa dimainkan oleh segala macam orang, baik itu laki-laki ataupun perempuan, bahkan pemain difabel. Akan tetapi pada kenyataannya, ekosistem esports masih belum memaksimalkan potensi inklusivitas tersebut, khususnya dalam hal kesetaraan gender.

Hal ini diungkapkan oleh T.L. Taylor, profesor bidang studi media komparatif di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dilansir dari Montana Kaimin, Taylor berkata bahwa saat ini kaum perempuan di dunia game kompetitif masih lebih banyak jadi penonton saja.

Taylor merupakan pendiri dari organisasi bernama AnyKey, sebuah organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan diversitas, inklusivitas, serta aksesibilitas dunia esports sejak tahun 2015. AnyKey menemukan bahwa partisipasi perempuan di esports, baik sebagai anggota klub atau pemain elit, masih sedikit sekali dibandingkan pertumbuhan jumlah gamer perempuan. Padahal studi Pew Research pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 83% remaja perempuan di Amerika Serikat adalah gamer, jauh meningkat dari angka 50% di tahun 2017.

Team Bumble
Team Bumble, divisi Fortnite Gen.G khusus perempuan

Mengapa hal ini terjadi, salah satu penyebabnya menurut Taylor adalah karena lingkungan audiens esports masih kurang ramah. Masih banyak kasus harassment (penggangguan) terjadi, utamanya terhadap perempuan. “Penggangguan online bukan semata-mata serangan individu,” kata Taylor, “Ini tidak hanya menyakiti orang yang jadi target. Hal ini bergerak secara sosial. Menyiprat kepada semua orang yang melihatnya.”

Taylor berkata bahwa harassment terus-menerus bisa membuat streamer atau atlet esports terdorong untuk berhenti, juga menghalangi pemain baru untuk bergabung ke ekosistem ini. Aktivitas semacam ini tidak boleh ditolerir jika kita ingin esports dipandang sebagai hal serius. “Jika kita memahami live streaming sebagai sektor pengembangan media dan kultural yang semakin hari semakin signifikan, maka isu ini adalah isu yang harus diangkat di posisi paling depan,” paparnya.

Contoh bentuk harassment itu misalnya seperti diceritakan oleh Nikita Ware, salah satu pemain esports perempuan dari tim Grizzly Esports. Begitu audiens laki-laki melihat bahwa ada perempuan bermain League of Legends secara kompetitif, mereka langsung berkata, “Ya Tuhan! Ada cewek main League (of Legends). Boleh minta nomormu tidak?”

Sumber: Instagram EVOS Esports
Violetta berkata bahwa perempuan masih sulit berkompetisi di kondisi esports sekarang | Sumber: Instagram EVOS Esports

Violetta “Caramel” Aurelia dari EVOS Esports juga pernah berkata dalam wawancara dengan Hybrid bahwa pemain esports perempuan saat ini masih sedikit. “Walaupun nggak ada batasan fisik buat pemain, tapi pada kondisi esports sekarang, pemain perempuan jadi sulit ikut berkompetisi di kompetisi resmi karena alasan seperti, perempuan itu susah dikendalikan emosinya, baperan, dan lain sebagainya,” ujar Violetta saat itu.

Untungnya belakangan sudah mulai muncul beberapa pihak yang sadar akan masalah ini dan berusaha untuk mencari solusinya. Dating app Bumble misalnya, beberapa bulan lalu meluncurkan tim esports khusus perempuan untuk mendorong partisipasi mereka di ekosistem kompetitif. Bumble, meskipun sebenarnya merupakan aplikasi kencan, rupanya juga banyak digunakan sebagai sarana komunikasi antar gamer perempuan karena di aplikasi ini mereka merasa bisa berkomunikasi secara aman.

Mungkin masih akan butuh waktu lama sampai dunia esports bisa benar-benar mencapai kesetaraan gender. Bahkan di dunia olahraga konvensional pun hal ini masih belum 100% terwujud, padahal industri olahraga sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Akan tetapi setidaknya dengan adanya awareness akan isu ini, pihak-pihak yang punya suara di industri esports—seperti influencer, atlet, atau organisasi—bisa turut mengadvokasi pengurangan aksi harassment. Harapannya, dengan begitu ekosistem esports akan tumbuh lebih sehat, tidak hanya bagi atlet perempuan tapi bagi semua orang di dalamnya.

Sumber: Montana Kaimin