Kompilasi Review Battlefield 2042: Comeback yang Terkendala Masalah Teknis

Menyebut nama Battlefield tentunya membawa ingatan para gamer untuk kembali ke medan perang masif dengan berbagai artileri dan kendaraan tempur serta medan perang yang penuh dengan kekacauan.

Tahun ini harusnya menjadi comeback bagi seri Battlefield yang sudah absen selama kurang lebih 3 tahun. Dan dengan mengusung kembali konsep modern dengan kemasan lebih masif, EA mempersiapkan Battlefield 2042 sebagai surat cinta bagi para fans yang sudah rindu untuk kembali bertempur.

Sayangnya, penantian yang cukup lama tersebut kelihatannya tidak memenuhi ekspektasi para fans. Apalagi bagi mereka para fans hardcore yang telah rela membeli versi “mahal” untuk dapat mengakses game-nya terlebih dahulu.

Mulai dari masalah teknis yang tidak juga terselesaikan bahkan setelah game-nya dirilis resmi, hingga ke perubahan gameplay yang tidak disambut dengan tangan terbuka oleh para fans. Peter Dragula dari SECTOR.sk bahkan menyebut bahwa masa depan dari seri Battlefield terlihat sangat-sangat buruk.

Tidak ada cerita, tidak masalah

Battlefield 2042 menjadi game pertama dari serinya yang akhirnya secara penuh meninggalkan story campaign yang sebelumnya selalu hadir sejak Battlefield 3. Namun keputusan tersebut sepertinya tidak mempengaruhi game-nya karena sejak awal campaign bukanlah kekuatan utama dari Battlefield.

David Martinez dari HobbyConsolas bahkan memuji keputusan Battlefield 2042 untuk menghilangkan campaign dan fokus pada hal terbaik yang mereka lakukan, yaitu mode multiplayer yang mendalam dan menyenangkan.

Lebih besar, lebih luas, lebih melelahkan

Image credit: EA

Absennya konten campaign dan single-player memberikan ruang gerak lebih sekaligus kewajiban untuk menyediakan konten online yang sebanding. Digital Trends menyebut bahwa Battlefield 2042 berhasil memenuhi harapan tersebut, dan bahkan melampauinya.

Salah satu peningkatan yang ditawarkan EA dan DICE pada Battlefield 2042 ini adalah pertempuran dengan skala yang lebih masif. 128 pemain yang terbagi dalam dua kelompok dan saling berperang di dalam map berukuran masif memang terlihat bagus secara konsep.

Namun nyatanya, hal tersebut berbanding terbalik dalam prakteknya. Stella Chung dari IGN bahkan menyebut game-nya malah membuat frustasi bahkan sejak di lobi karena banyaknya pemain yang ada di dalamnya. Banyak yang mengeluhkan bahwa selama permainan mereka hanya dihabiskan untuk berjalan dari titik kemunculan dan mati oleh sniper di perjalanan untuk menuju peperangan.

Mode sampingan yang malah mencuri perhatian

Selain pertempuran masif klasiknya, Battlefield 2042 juga memberikan dua mode baru untuk dicoba para pemain yaitu Hazard Zone dan Portal. Keduanya memang memberikan pengalaman baru bagi para pemain, meskipun bukan pengalaman yang benar-benar solid.

Hazard Zone merupakan mode yang membuat pemain bermain dalam squad melawan empat squad lain untuk mengumpulkan objektif berupa data drive yang tersebar di seluruh map. Sedangkan Portal merupakan mode yang memungkinkan pemain memainkan map-map dari game-game Battlefield sebelumnya dengan kualitas Battlefield 2042.

Kedua mode tambahan ini, terutama Portal disebut-sebut sebagai mode terbaik yang dimiliki oleh game ini. Toby Berger dari Press Start Australia menyebut bahwa Hazard Zone merupakan mode yang menyenangkan, namun Battlefield Portal jelas mencuri perhatian dalam game ini.

Spesialis yang berujung tidak spesial

Image credit: EA

Fitur baru yang cukup banyak dipermasalahkan oleh para fans adalah hadirnya sistem Spesialist yang menggantikan sistem kelas yang sebelumnya selalu digunakan dalam seri Battlefield. Sistem kelas yang sebelumnya ada empat dengan kemampuan dan tugas spesifiknya masing-masing kini digantikan dengan 10 tipe spesialist dengan kemampuan khusus dan gadget uniknya.

Sayangnya, kemampuan-kemampuan baru dari para Specialist ini tidak mampu membawa perubahan yang berarti dalam permainannya seperti yang diungkapkan Josh West dari Gamesradar. Apalagi para Specialist ini tidak memiliki tugas spesifik, sehingga tipe Specialist apapun yang digunakan tetap bisa diubah menjadi kelas yang diinginkan lewat modifikasi loadout dan senjata yang dapat dilakukan.

Pada akhirnya pilihan Specialist ini hanya sekadar skin karakter dengan secuil gadget unik yang memberikan pengalaman berbeda bagi para pemain. Phil Hornshaw dari Gamespot bahkan menyebut beberapa Specialist dalam game-nya terasa tidak berguna.

Pencarian identitas baru yang tidak diperlukan

Selain skala permainan yang diperbesar, EA dan DICE juga memberikan perubahan pada sistem permainannya. Mulai dari tampilan antarmuka dan sistem loadout yang membingungkan para pemain, hingga ke sistem kelas pemain yang telah dibahas sebelumnya.

Secara garis beras, DICE seperti ingin mencari identitas baru untuk Battlefield 2042. Namun sayangnya usaha untuk memasukkan elemen-elemen modern yang diambil dari game-game shooter lainnya tersebut malah mengacaukan pengalaman bermainnya secara keseluruhan.

Chris Jarrard dari Shacknews bahkan mengutarakan Battlefield 2042 membutuhkan lebih banyak waktu dalam pengembangannya untuk mematangkan apa yang membuat seri Battlefield dicintai ketimbang menjadi game yang berusaha untuk memiliki banyak hal untuk beragam pemain namun terasa setengah jadi.

Kualitas grafis yang harus dikorbankan

Selama bertahun-tahun EA berhasil membuat Battlefield sebagai salah satu tolak ukur perkembangan grafis untuk game-game shooter. Namun sayangnya hal tersebut harus absen pada Battlefield 2042. Dengan menitikberatkan game-nya pada performa teknis untuk menampung 128 pemain dalam map yang jauh lebih luas, grafis yang dihadirkan tidak mengalami lompatan inovasi dan bahkan mundur di beberapa aspek dari game sebelumnya.

YouTuber Nick930 memberikan perbandingan detail mengenai perbandingan grafis antara Battlefield 2042 dengan Battlefield V. Ternyata di luar dukungan tekstur yang lebih tajam, hampir semua aspek dalam Battlefield 2042 lebih inferior dari sebelumnya.

Aspek-aspek grafis yang memberikan sensasi next-gen seperti efek pencahayaan, ledakan, refleksi hingga beragam efek dirasa kurang maksimal. Namun memang pengorbanan tersebut dilakukan agar Battlefield 2042 dapat mendapatkan stabilitas performa yang dibutuhkan.

Masih butuh banyak penyempurnaan

Image Credit: EA

Game-game yang dirilis pada tahun 2021 ini kebanyakan memiliki masalah utama pada game yang tidak optimal dan Battlefield menjadi salah satunya. Sejak perilisan early-access-nya, Battlefield 2042 menderita beragam masalah. Mulai dari game yang sering crash, susahnya untuk tersambung ke server game hingga bug, dan glitch yang kerap terjadi di dalam game-nya.

Alex dari GameInformer bahkan mengatakan bahwa beragam bug yang ia alami meskipun minor menghilangkan kesenangan yang ia miliki saat bermain. Hal ini bahkan membuat para pemain early-access berbondong-bondong melakukan refund untuk game-nya bahkan sebelum Battlefield 2042 dirilis secara resmi pada 19 November lalu.

DICE memang tidak tinggal diam dan terus berusaha memperbaiki berbagai masalah yang ada dengan mengeluarkan patch perbaikan secara berkala. Hingga artikel ini dibuat, game ini dikabarkan akan mendapatkan perbaikan besar-besaran dalam beberapa minggu.

Penutup

Image Credit: EA

Anthony Shelton dari GamingTrend menyebut bahwa Battlefield 2042 merupakan game yang ambisius namun tidak dapat mencapai ambisinya. Usaha EA dan DICE untuk memasukkan beragam hal baru ke dalam game-nya membuat Battlefield 2042 malah terasa sedang mengalami krisis identitas.

DICE memang masih memiliki banyak ruang dan waktu untuk membenahi Battlefield 2042 seperti yang diungkapkan Martin Robinson dari GameInformer. Apalagi melihat EA ingin membuat game ini memiliki umur panjang dengan membawanya sebagai game-as-service. Namun bagaimanapun juga, tidak semua pemain memiliki tingkat kesabaran yang sama bila masalah-masalah besar pada game ini tidak segera diperbaiki.

PUBG New State Raih Untung $2,6 Juta, Roblox Tuntut Seorang Youtuber

PUBG: New State berhasil lewati 20 juta unduhan hanya dalam minggu pertamanya

Krafton akhirnya resmi merilis PUBG: New State yang dibuat untuk menyaingi PUBG Mobile. Hanya dua minggu pasca dirilis, PUBG: New State dikabarkan telah diunduh lebih dari 23 juta kali.

Dilansir dari Gameindustry.biz, dengan jumlah unduhan yang masif tersebut badan riset teknologi Sensor Tower mengestimasi bahwa PUBG: New State telah mendulang keuntungan dari Android maupun iOS sekitar $2,6 juta atau sekitar Rp37,4 miliar. Tiga negara penyumbang terbesarnya adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Turki.

India menjadi negara dengan jumlah pemain terbanyak yaitu sekitar 7 juta pemain yang mengisi 30 persen dari total jumlah pemain. Amerika Serikat menduduki peringkat kedua, sedangkan Korea Selatan menduduki peringkat ketiga.

Sebagai perbandingan, PUBG Mobile original berhasil mencapai 28 juta unduhan saat diluncurkan pada 2018 lalu. Namun perbedaannya, sebelum peluncurannya secara global PUBG Mobile telah dirilis di Tiongkok terlebih dahulu. Sedangkan PUBG: New State dirilis global secara bersamaan di 200 negara.

Roblox tuntut Youtuber $1,6 juta karena meneror para pemain lain

Image Credit: Roblox

Cukup langka untuk melihat sebuah perusahaan game menuntut pemainnya sendiri hingga ke meja hijau. Namun itulah yang dilakukan oleh Roblox Corporation yang dikabarkan tengah menuntut YouTuber dan content creator Benjamin Robert Simon.

Pemain yang dikenal dengan nama Ruben Sim ini kedapatan melakukan aksi teror di dalam Roblox. Aksi yang dilakukan oleh timnya yang disebut cybermob tersebut antara lain melecehkan pemain lain, menggunakan hinaan rasis dan homopobik, hingga mengunggah foto Adolf Hitler ke dalam game.

Roblox sebenarnya tidak tinggal diam mengenai perilaku negatif Simon dan bahkan telah menghukum akun milik Simon hingga beberapa tahun. Namun sayangnya Simon dapat kembali ke Roblox menggunakan akun yang dibuat oleh orang lain.

Lebih parahnya, Simon juga mengunggah perbuatannya tersebut sebagai konten di YouTube dan kanal Patreon miliknya. Dan yang terbaru adalah saat Roblox Developer Conference dilaksanakan di San Francisco bulan lalu. Simon membuat berita hoax bahwa polisi tengah mencari “teroris” yang akan ada dalam event tersebut.

Semua kekacauan yang dilakukan oleh Simon ini akhirnya membuat para developer Roblox gerah dan akhirnya melayangkan tuntutan sebesar $1,6 juta atau sekitar Rp23 miliar kepada Simon. Sayangnya belum ada informasi lanjutan mengenai jalannya tuntutan tersebut.

Pasar Kartu Grafis akan Kedatangan Pemain Baru Asal Tiongkok

GPU (Graphic Processing Unit) atau prosesor dari kartu grafis memang menjadi salah satu komponen yang paling berharga dalam beberapa tahun ke belakang. Maraknya penambangan cryptocurrency dan jaringan suplai dunia (global supply chain) yang terganggu akibat pandemi membuat ketersediaan dari GPU jadi langka.

Dua pemain utama GPU, yaitu NVIDIA dan AMD kini tengah disibukkan untuk memenuhi permintaan dari seluruh dunia. Sedangkan pemain baru yaitu Intel masih terus mempersiapkan kartu grafis perdananya, Intel Arc.

Namun yang luput dari pantauan adalah ternyata ada pemain-pemain baru yang juga sedang bersiap meramaikan pasar GPU dunia. Dikabarkan oleh Techspot, ada beberapa perusahaan teknologi asal Tiongkok yang kini tengah memberi perhatian lebih ke industri ini.

Image credit: Jingjia Micro

Yang pertama adalah Jingjia Micro (atau lebih dikenal sebagai Jingjiawei) yang dikabarkan tengah menguji coba dua jenis GPU. Kartu grafis yang pertama adalah untuk pasar low end dengan performa yang disebut setara dengan GeForce GTX 1050 atau Radeon RX 560. Sedangkan yang kedua adalah kartu grafis menengah yang disebut setara dengan GTX 1080 dan RX Vega 64.

Jingjiawei sendiri bukanlah nama baru di Tiongkok. Perusahaan ini telah didirikan sejak 2006 silam. Dan selama bertahun-tahun Jingjiawei memang berfokus dalam riset dan pengembangan GPU. Di awal kehadirannya, mereka telah memperoduksi chip GPU untuk kontrol dan display elektronik pada peralatan militer.

Image Credit: Innosillicon

Perusahaan lainnya adalah Innosilicon, perusahaan yang bergerak pada produksi chipset ini bekerja sama dengan perusahaan Xiadong yang memiliki pengalaman dalam membuat server GPU. Kolaborasi antara dua perusahaan ini telah menghasilkan sebuah kartu grafis yang disebut sebagai Fenghua 1.

Berbeda dengan Jingjia Micro yang telah cukup jelas membeberkan detail produknya, Fenghua 1 hanya dilaporkan akan menggunakan memori video GDDR6X milik Micron dan prosesor yang didasarkan pada salah satu desain chipset milik Innosilicon.

Menurut data yang ada, kartu grafis Fenghua 1 ini akan memiliki performa komputasi 6 teraflop, yang membuatnya setara dengan kartu grafis mid-range seperti GTX 1660 SUPER dan AMD RX 6600. Sebagai tambahan, kartu ini nantinya akan kompatibel dengan port PCIe 4.0.

Untuk sekarang, masih belum ada kepastian kapan Jingjia Micro maupun Innosilicon akan memperkenalkan produk barunya. Prediksinya, kedua kartu grafis baru tersebut akan mulai tersedia untuk konsumen antara 2022-2023 mendatang.

Tencent Dilaporkan Dilarang Luncurkan Aplikasi Baru Ataupun Memberikan Update

Raksasa teknologi Tencent kini tengah terkena sanksi oleh pemerintah Tiongkok. Sanksi yang dikeluarkan oleh Kementrian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok tersebut berupa larangan bagi Tencent untuk meluncurkan aplikasi baru ataupun memberikan update pada aplikasi-aplikasi mereka yang telah ada.

Dilaporkan oleh Chinastarmarket.cn (via South China Morning Post), pemberlakukan sanksi ini merupakan bagian dari “Bimbingan Administratif Sementara” terhadap Tencent. Sanksi ini dijatuhkan karena Pemerintah Tiongkok menyebut beberapa aplikasi milik Tencent telah melanggar aturan proteksi data di beberapa kesempatan selama tahun 2021 ini.

Dalam pelaksanaannya, Kementrian Industri dan Teknologi Informasi Tiongkok telah memberikan arahan kepada platform dan app stores untuk mengimplementasikan pembatasan terhadap aplikasi-aplikasi milik Tencent.

Image Credit: South China Morning Post

Ke depannya, pemerintah Tiongkok harus melakukan pengecekan terhadap aplikasi baru ataupun update terhadap aplikasi-aplikasi milik Tencent sebelum dapat diluncurkan. Proses persetujuan tersebut disebut membutuhkan waktu kurang lebih tujuh hari.

“Kami terus berupaya meningkatkan fitur perlindungan pengguna dalam aplikasi kami, dan juga menjalin kerja sama rutin dengan lembaga pemerintah terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Aplikasi kami tetap berfungsi dan tersedia untuk diunduh,” ungkap juru bicara Tencent dalam keterangan resminya.

Ada lebih dari 70 aplikasi dan juga lebih dari 100 game mobile yang telah dipublikasikan oleh Tencent termasuk yang paling populer adalah aplikasi WeChat dan juga PUBG Mobile. Sayangnya, tidak ada informasi apakah sanksi yang disebutkan sebelumnya hanya diberlakukan pada aplikasi-aplikasi yang terbukti melakukan pelanggaran, atau pada semua aplikasi yang dimiliki oleh Tencent.

Image Credit: Tencent

Pemerintah Tiongkok kini memang tengah memperketat aturan mereka terhadap video game dan aplikasi lain. Mulai dari pembatasan waktu bermain bagi anak di bawah umur, hingga ke arahan agar para publisher game mengurangi fokus mereka untuk mencari keuntungan.

Berbagai macam keputusan tersebut diambil oleh Pemerintah Tiongkok untuk menanggulangi dampak negatif yang disebabkan oleh aplikasi dan game. Sanksi terhadap Tencent kelihatannya juga termasuk bagian dari program milik Pemerintah Tiongkok tersebut.

Di sisi lain Tencent memang sempat menjadi target pengawasan dari Pemerintah Tiongkok karena beragam keputusan perusahaannya yang tidak sesuai dengan arahan dari pemerintah. Sebelumnya, Tencent juga telah dijatuhi denda sebesar 500 ribu Yuan atau sekitar Rp1 miliar. Dan sekarang pergerakan perusahaannya benar-benar dibatasi hingga waktu yang belum ditentukan.

Kreator Pokemon GO Berhasil Kumpulkan $300 Juta untuk Wujudkan Metaverse

Perusahaan di balik game mobile augmented reality (AR) Pokémon GO, Niantic kini punya rencana ambisius baru. Setelah cukup sukses membawa para Pokémon ke dunia nyata lewat AR, sekarang Niantic dikabarkan ingin mewujudkan metaverse ke dalam dunia nyata.

Dikabarkan oleh Techcrunh, Niantic disebut telah berhasil mengumpulkan pendanaan sebesar US$300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun dari para investornya. Dana investasi masif tersebut membuat valuasi perusahaan Ninatic kini menjadi US$9 miliar atau sekitar Rp 128 triliun.

Pembicaraan soal metaverse ini juga telah dimulai oleh pendiri dan CEO Niantic, John Hanke, pada bulan Agustus lalu. Hanke mengutarakan bahwa mereka memiliki pemahaman konsep yang cukup berbeda terhadap metaverse. Bila perusahaan lain membangun dunia virtual yang nantinya dapat diakses menggunakan perangkat virtual reality (VR), maka Niantic berusaha sebaliknya.

Image credit: knowledia

Dunia metaverse milik Niantic nantinya akan berusaha untuk membawa orang-orang untuk lebih dekat ke dunia luar. Mereka percaya bahwa metaverse juga dapat dibangun lewat augmented reality yang akan diakses di dunia nyata.

“Di Niantic, kami percaya bahwa manusia akan sangat bahagia saat dunia virtual dapat membawa mereka ke dunia nyata,” ungkap Hanke. “Berbeda dengan metaverse fiksi-ilmiah, metaverse dunia nyata akan menggunakan teknologi untuk meng-upgrade pengalaman kita di dunia seperti yang telah kita kenal selama ribuan tahun.”

Untuk mewujudkan hal tersebut, perusahaan yang berbasis di San Francisco ini telah mengumumkan alat untuk membantu mengembangkan game berbasis AR yang diberi nama Lightship AR Developer Kit atau ARDK. Berita baiknya, Niantic menggratiskan dev-kit ini bagi siapapun selama memiliki pengetahuan dasar terhadap game engine Unity.

Dana triliunan yang telah disebutkan sebelumnya juga akan digunakan untuk membantu Niantic memperluas ARDK. Selain itu, Niantic juga menggandeng banyak perusahaan lain seperti Universal Pictures, Warner Mucis Group, Historic Royal Palaces, hingga festival musik dan seni Coachella untuk merealisasikan metaverse mereka tersebut.

Metaverse memang menjadi topik yang cukup hangat diperbincangkan terutama setelah bos Epic Games, Tim Sweeney telah melemparkan topik ini beberapa bulan lalu. Metaverse juga semakin populer saat CEO dan pendiri Facebook (sekarang bernama Meta), Mark Zuckenberg juga mengangkat topik ini.

Namun pendekatan multiverse yang dilakukan oleh Niantic terbilang lebih terjangkau dan masuk akal untuk diterapkan. Pasalnya, penggunaan AR lewat smartphone lebih memungkinkan daripada harus memaksa para pengguna untuk membeli headset VR baru yang belum terlalu populer sekarang.

Jika Anda tertarik untuk tahu lebih jauh soal metaverse, kami pernah menuliskan tentang serba-serbi metaverse lengkap sebelumnya dari mulai definisi, relevansi, sampai potensinya. Selain itu, kami juga sempat membahas lebih dalam tentang hal-hal apa saja yang membuat teknologi VR sepertinya kesulitan untuk lepas landas.

Keanu Reeves Tidak Ingin Karakter Filmnya Muncul di Mortal Kombat

Seri Mortal Kombat memang menjadi salah satu game fighting dengan pertarungan dan juga karakter-karakter yang ikonik. Pertarungan brutal yang tidak segan memperlihatkan adegan sadis dengan berbagai karakter unik dengan jurusnya masing-masing memang memiliki basis fans yang besar.

Tidak mengherankan bila pada akhirnya Mortal Kombat berhasil mendatangkan berbagai karakter dari semesta lain, termasuk film layar lebar seperti Terminator, Robocop, hingga Rambo. Hal ini tentu membuka kemungkinan karakter dari film lain untuk mampir ke dalam game ini.

Salah satu yang sempat disebutkan oleh sang kreator, Ed Boon, adalah karakter John Wick meskipun pada akhirnya dirinya mengakui bahwa pernyataannya pada tahun 2019 tersebut hanyalah candaan belaka.

Image credit: Reddit

Namun pernyataan “candaan” tersebut kini ditanyakan langsung kepada sang aktor, Keanu Reeves oleh Esquire Magazine. Dalam video seri berjudul “Explain This”, Reeves menerima pertanyaan apa pendapat sang aktor bila John Wick, Neo (dari seri The Matrix), atau bahkan kedunya untuk masuk ke dalam semesta Mortal Kombat. Apakah dirinya memperbolehkannya?

Sayangnya, Reeves ternyata tidak merestui dua karakter film ikoniknya tersebut untuk muncul di dalam Mortal Kombat.

“Jika itu terserah saya? Maka tidak. Mortal Kombat adalah game yang luar biasa dalam banyak hal, tapi kupikir… kalian tahu, Neo, John Wick, mereka bisa melakukan halnya masing-masing. Begitu juga dengan Mortal Kombat.” Ujar aktor berumur 57 tahun tersebut.

Image credit: Epic Games

Karakter John Wick sendiri sebenarnya telah muncul dalam beberapa game sebelumnya. Yang pertama adalah dalam Payday 2, meskipun wajah yang digunakan dalam game-nya tidak menyerupai Keanu Reeves. Yang kedua adalah sebagai skin di dalam Fortnite yang merupakan kolaborasi dengan filmnya. Dan yang terakhir adalah game strategi resminya yang berjudul John Wick Hex.

Sedangkan untuk karakter Neo sebenarnya juga telah muncul dalam tiga game adaptasi resmi dari film The Matrix. Namun sebenarnya Neo lebih berkesempatan untuk muncul ke dalam Mortal Kombat karena baik Mortal Kombat ataupun The Matrix sama-sama berada di bawah naungan Warner Bros.

Keanu Reeves kelihatannya lebih ingin bahwa dua karakter yang ia mainkan tersebut tetap berada di mediumnya masing-masing. Namun dengan kehadiran film terbaru baik John Wick dan The Matrix, kemungkinan untuk kolaborasi dengan beragam game masih tetap terbuka.

Lebih dari 1.700 Karyawan Activision Blizzard Setujui Petisi Agar Sang CEO Mundur

5 bulan berlalu sejak awal mula gugatan hukum yang dilayangkan para karyawan Activision Blizzard, kasus ini masih terus berlanjut dan malah menjadi kian runyam. Yang terbaru, lebih dari 1.700 karyawan Activision Blizzard telah menandatangani petisi agar sang CEO, Bobby Kotick, mundur.

Petisi ini dibuat sebagai tanggapan dari artikel Wall Street Journal (WSJ) pada 16 November lalu yang mengungkap fakta bahwa sang CEO ternyata mengabaikan banyak tuduhan pelecehan seksual terhadap karyawan wanita Activision Blizzard selama bertahun-tahun.


Aliansi pekerja Activision Blizzard atau ABK Workers Alliance kemudian mengumumkan secara resmi petisi mereka melalui akun Twitter-nya. Pada awalnya petisi ini ditandatangani oleh sekitar 500 orang saja, namun ketika berita ini diangkat jumlahnya telah menjadi 1700 orang lebih.

Para karyawan ini menganggap Bobby Kotick telah melanggar integritasnya yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan Activision Blizzard. Para karyawan juga meminta Bobby mengundurkan diri dari jabatan CEO dan juga memberikan hak penuh kepada para pemegang saham Activision Blizzard untuk menunjuk CEO baru tanpa masukan dari Bobby.


Di sisi lain, setelah artikel milik WSJ tersebut dipublikasikan, Bobby Kotick dan Activision Blizzard berusaha untuk membantah klaim tersebut. Activision Blizzard bahkan mengeluarkan pernyataan resmi yang menuding laporan tersebut memberikan pandangan yang salah dan menyesatkan dari perusahaan dan CEO mereka.


Selain para karyawan, para fans dan publik ternyata memberikan dukungan dengan ikut mendukung petisi ini. Lewat petisi di Change.org yang kini sudah ditandatangani oleh lebih dari 18 ribu orang dan terus bertambah. Para fans juga secara terbuka memberikan dukungan positif bagi para karyawan untuk dapat memberikan perubahan yang dibutuhkan oleh Activision Blizzard.

Rockstar Akhirnya Meminta Maaf Terhadap GTA Trilogy yang Bermasalah

Harapan para gamer di seluruh dunia untuk menikmati nostalgia lewat GTA The Trilogy – The Definitive Edition memang tinggal angan-angan. Bagaimana tidak, sejak peluncurannya pada 11 November lalu, remastered dari tiga game legendaris GTA ini dihantui oleh berbagai masalah.

Mayoritas para pemain mengeluhkan permasalahan teknis mulai dari optimalisasi game yang buruk hingga bug dan glitch yang secara konstan muncul di dalam permainan. Untuk lebih detailnya, Anda bisa melihat kumpulan review GTA The Trilogy – The Definitive Edition yang saya buat.


Seminggu setelah peluncurannya, Rockstar akhirnya buka suara perihal remastered trilogi GTA tersebut. Lewat postingan blog terbarunya, Rockstar secara terbuka meminta maaf kepada semua fans yang mengalami masalah teknis ketika memainkan game-nya. Mereka juga menyadari bahwa GTA The Trilogy – The Definitive Edition tersebut masih jauh dari standar yang mereka patok, ataupun standar yang diharapkan oleh para fans.

Rockstar juga berjanji untuk memperbaiki ketiga game tersebut dan memberikan improvisasi kepada masing-masing game ke depannya. Rockstar juga merasa bahwa mereka tidak dapat langsung membuatnya sempurna. Sehingga, Rockstar akan menggunakan sistem update bertahap hingga game-nya dapat mencapai standar kualitas yang seharusnya.

Sebagai permintaan maaf, Rockstar juga akan mengembalikan versi klasik dari Grand Theft Auto III, Grand Theft Auto: Vice City, dan Grand Theft Auto: San Andreas ke platform PC. Namun kini ketiga game klasik tersebut hanya tersedia lewat launcher milik mereka yaitu Rockstar Game Launcher.

Rockstar juga akan memberikan versi klasik dari ketiga game ini kepada semua pemain yang membeli GTA Trilogy – The Definitive Edition di PC melalui Rockstar Store hingga 30 Juni 2022. Tawaran ini cukup menarik bagi mereka yang belum membeli versi original dari tiga game tersebut.

Uniknya, selain meminta maaf dan memberikan penawaran kompensasi, Rockstar juga meminta para fans untuk berhenti mengganggu dan bahkan mengancam anggota developer Rockstar di media sosial. Rockstar memohon agar para fans untuk tetap menjaga interaksi yang sopan dan beradab selama mereka berusaha memperbaiki masalah tersebut.

Kompilasi Review GTA Trilogy Definitive Edition: Lebih Suram dari Cyberpunk 2077?

Tiga tahun setelah dirilisnya Red Dead Redemption 2 dan tujuh tahun setelah dirilisnya GTA V, para fans tak sabar menunggu game baru dari Rockstar. Hal ini pun direspon oleh Rockstar dengan mengumumkan datangnya veris remastered dari GTA Trilogy (GTA III, GTA Vice City, dan GTA San Andreas).

Pengumuman mendadak dari Rockstar pada 10 Oktober 2021 lalu memang mendapat respon yang cukup beragam dari para fans. Beberapa ada yang menyambut gembira keputusan Rockstar membawa kembali tiga game legendarisnya tersebut. Namun tidak sedikit yang skeptis mengenai kehadiran game ini karena informasi yang sangat minim dan mendadak.

Semuanya ternyata terbukti ketika game-nya akhirnya dirilis. Sayangnya hingga artikel ini dibuat hanya sedikit media yang memberikan ulasan terhadap game ini, sedangkan para gamer menghujani platform review seperti Metacritic dengan review dan skor negatif. Berikut kompilasinya:

Pembaruan grafis yang tidak menyeluruh

Salah satu nilai jual utama dari GTA Trilogy Definitive Edition ini tentu ada pada grafis. Sebagai game yang mendapatkan remastered para fans tentu berharap ada peningkatan yang cukup besar pada sektor ini. Apalagi pada awalnya, Rockstar menyebut bahwa remastered ini menggunakan Unreal Engine 4 yang dikenal karena kualitasnya. Namun sayangnya hal tersebut cukup bercampur aduk saat game-nya dirilis

Rockstar memang mengumumkan bahwa mereka memilih masih tetap menggunakan style grafis yang sama dari ketiga game originalnya. Namun ketiga game-nya memang mendapatkan peningkatan pada tekstur, detail karakter, pencahayaan, hingga beberapa efek lainnya. Kombinasi antara kedua aspek grafis tersebut memang menimbulkan reaksi beragam, IGN bahkan menyebut hal tersebut seperti memasangkan stiker beresolusi tinggi ke sebuah set Lego yang sudah berumur.

Apalagi ternyata Rockstar dan Groove Street Games (yang juga bertanggung jawab dengan proses remaster) tidak benar-benar membuat ulang game-nya dengan Unreal Engine 4, namun lebih menggunakan semacam teknologi A.I. untuk mengonversi tekstur di game lamanya. Hal ini memang mempermudah proses remastered, namun membawa dampak negatif terutama untuk para karakter. Gamespot juga mengungkapkan bahwa “operasi plastik” yang dilakukan terhadap remastered ini menghilangkan sisi manusiawi dari para karakter.

Cerita nostalgia yang tetap memesona

Sebagai seri remastered, GTA Trilogy Definitive Edition tentunya menawarkan kembali tiga kisah klasik dari seri legendarisnya tersebut. Rockstar sendiri tidak menyentuh sama sekali aspek naratif ini sehingga terlepas dari tampilan cut-scenes yang kini terasa lebih modern, cerita yang diusung tidak berubah sedikit pun.

Efek nostalgia, terutama bagi mereka yang dulu sudah memainkan ketiga game ini memang sangat kuat. Kisah ketiga karakter ikonik ini tetap tampil mempesona dengan beragam intrik dan juga masalah yang harus mereka hadapi masing-masing. Tidak hanya karakter, namun tiga latar kota dengan era ikoniknya masing-masing juga berusaha dipertahankan oleh Rockstar.

Namun sayangnya perlakuan Rockstar terhadap masing-masing game ini cukup berbeda. Gameranx menyebut bahwa GTA 3 adalah seri yang paling sedikit mendapat perhatian. Sedangkan Desructoid menyebut GTA Vice City yang paling mendapat paling banyak kasih sayang dalam remastered ini.

Pernyataan tersebut pada akhirnya dapat dipahami karena hasil akhir dari Vice City terlihat lebih indah dan matang dari semua aspek. Sedangkan GTA III adalah yang paling terasa dikerjakan seadanya untuk melengkapi trilogi ini. Untungnya San Andreas berada di titik tengah yang membuatnya cukup nyaman dinikmati.

Minim Inovasi yang membuatnya kurang memiliki nilai lebih

Bisa dibilang satu-satunya ubahan yang dilakukan Rockstar terhadap ketiga game remastered ini ada pada fitur weapon wheels (dan radio wheels) yang diadaptasi dari GTA V. Untungnya, fitur ini benar-benar sangat membantu sekaligus memberikan rasa berbeda bagaimana Anda memainkan game GTA klasik ini.

Sebenarnya ada fitur lain yang cukup membantu yang checkpoint. Mereka yang telah memainkan ketiga game originalnya pasti paham bahwa mayoritas misi dalam ketiga game tersebut tidak memiliki sistem checkpoint. Dengan adanya fitur ini, Anda bisa melanjutkan misi tanpa harus terlempar jauh jika gagal atau mati.

Yang terakhir adalah kemampuan untuk meletakkan titik tujuan (map marker) agar GPS dapat mengarahkan Anda ke lokasi tersebut. Hal ini memang membantu navigasi terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan Liberty City, Vice City, ataupun San Andreas yang memiliki tiga bagian besar.

Sayangnya, ketiga fitur tambahan ini pun terasa tidak sempurna. Terutama untuk fitur-fitur yang diimplementasikan pada GTA III dan Vice City.  Fitur bidikan musuh yang baru terasa kaku dan janggal terutama pada Vice City dan III. Checkpoint yang seharusnya ada juga tidak selalu bekerja seperti yang dialami Shubhankar Parijat dari Gamingbolt yang tetap harus mengulang misinya dari awal.

Portingan setengah hati yang meninggalkan banyak masalah

Tiba waktunya untuk berbicara mengenai masalah utama dari ketiga game remastered ini secara keseluruhan, yaitu porting. Dalam prakteknya, ketiga game ini memiliki optimalisasi yang kurang baik, terutama untuk platform Switch. Bahkan Nintendolife mengatakan bahwa mereka mengalami grafis yang terlhat blur, kontrol yang tidak lancar, frame rate yang tidak stabil, kualitas audio yang rendah, waktu loading yang lama, dll.

Bahkan permasalahan performa ini juga dialami hampir di semua platform termasuk PlayStation 5 yang di beberapa saat akan mengalami stutter dan bahkan freeze. Belum lagi dengan beragam bug dan glitch yang banyak dialami oleh banyak pemain dari berbagai platform. Beberapa Youtuber bahkan kini membuat kompilasi dari kumpulan bug dan glitch yang dialami para pemain dari ketiga game “Definitive” ini.

Kesimpulan

Pada akhirnya, GTA Trilogy Definitive Edition ini tampil tidak lebih dari ketiga game originalnya dengan sedikit improvisasi di sana-sini. Namun improvisasi tersebut harus dibayar mahal, karena ada beberapa aspek yang akhirnya dikorbankan. Salah satu yang paling utama adalah ‘nyawa’ dan atmosfer yang ada pada game aslinya.

Belum lagi masalah teknis karena optimalisasi yang buruk yang menyebabkan berbagai glitch terjadi. Hal ini membuat fans fanatik seri GTA marah dan frustasi. Tidak mengherankan bila mereka meluapkannya dalam postingan media sosial maupun di Metacritic yang saat review ini dibuat berada di 0,5.

Detail GTA Trilogy Definitive Edition

Platforms: PC Windows, PlayStation 5, PlayStation 4, Xbox Series X|S, Xbox One, Nintendo Switch
Price: Rp829 ribu (Rockstar Games Store), Rp829 ribu (PS Store), US$59.99 (Xbox) $59.99 (Nintendo Store)

PC Minimum Specs:
OS: Windows 10 64-bit
Processor: Intel® Core™ i5-6600K / AMD FX-6300
Memory: 8GB
Graphics: Nvidia GeForce GTX 760 2GB / AMD Radeon R9 280 3GB
Disk: 45GB

PC Recommended Specs:
OS:
Windows 10 64-bit
Processor:
Intel® Core™ i7-2700K / AMD Ryzen 5 26000
Memory:
16GB
Graphics:
Nvidia GeForce GTX 970 4GB / AMD Radeon RX 570 4GB
Disk:
45GB

Early-Access Battlefield 2042 Dipenuhi dengan Masalah

Para pengembang game di masa sekarang kelihatannya masih kesulitan untuk memastikan game baru yang mereka rilis benar-benar menawarkan pengalaman sempurna. EA dan DICE kini menjadi korban terbaru, karena game shooter andalan mereka yaitu Battlefield 2042 ternyata juga mengalami beragam masalah saat diluncurkan.

Bagaimana tidak, sejak dirilis resmi untuk early access pada Jumat 12 November lalu game ini langsung mendapat respon negatif dari para fans. Banyak pemain yang mengakses lewat EA Play trial tersebut melaporkan bahwa Battlefield 2042 tidak dapat dimainkan karena eror ketika masuk ke dalam server.


Permasalahan ini bahkan disadari oleh pihak EA yang kemudian mengatakan bahwa mereka telah berusaha untuk memperbaiki masalah tersebut. Namun sayangnya setelah pengumuman perbaikan tersebut, masih banyak pemain yang melaporkan tetap mendapatkan eror.

Para pemain yang berhasil masuk dan dapat bermain pun juga masih tetap dihantui masalah lainnya. Seperti glitch dan bug yang masih kerap terjadi dan dialami para pemain. Mulai dari bagian tubuh pemain yang terkadang hilang, kendaraan yang tiba-tiba terlontar ke udara, dan mungkin yang paling parah adalah hovercraft yang dapat berjalan naik secara vertikal.


Di luar permasalahan tersebut, Battlefield 2042 juga dilaporkan memiliki beragam masalah teknis gameplay lain. Antara lain tampilan UI yang terlalu kompleks dan membingungkan, hingga ke sistem kelas baru yang membuat karakter baik kawan maupun lawan memiliki tampilan yang sama.

Ditambah, implementasi sistem “Gunshot Bloom” pada game ini yang ternyata terlalu intense. Gunshot bloom adalah sistem yang membuat peluru yang ditembakkan memiliki kemungkinan untuk mendarat tidak tepat pada titik bidikan. Namun kelihatannya penerapan sistem tersebut pada Battlefield 2042 terlalu acak yang bahkan membuat menembak dalam game ini berubah menjadi faktor keberuntungan ketimbang akurasi.

EA dan DICE memang masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki game-nya sebelum dirilis secara global pada Jumat mendatang, 19 November. Namun bila tidak segera ditangani maka para fans yang mendengar banyak masalah dari para pemain early-access ini mungkin akan mengurungkan niatnya bermain nanti. Karena hingga sekarang saja, telah banyak pemain yang meminta refund terhadap Battlefield 2042 ini.