Drone PowerEgg Berwujud Seperti Telur, Tapi Bisa Bertransformasi Menjadi Quadcopter

Bentuk drone yang kita tahu umumnya menyerupai huruf X, dimana terdapat baling-baling di setiap ujungnya. Dari situlah muncul istilah quadcopter. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah quadcopter hanya terbatas pada satu gaya desain ini saja? Menurut pabrikan drone kelas industri asal Tiongkok, PowerVision Robot Inc, jawabannya entu saja tidak.

Mereka pun tengah bersiap untuk merilis drone kelas konsumen perdananya. Didapuk PowerEgg, keunggulan utama drone ini adalah desainnya yang tidak umum; menyerupai sebutir telur, tapi bisa bertransformasi menjadi quadcopter.

Dalam posisi mati, PowerEgg tidak lain dari sebutir telur raksasa. Bobotnya diklaim sangat ringan, sehingga dapat dengan mudah dijejalkan ke dalam tas saat hendak dibawa berpergian. Namun saat tombol On/Off-nya ditekan, empat lengan akan muncul dari sisi-sisinya, dan baling-baling yang terlipat akan segera membuka. Jadilah telur terbang.

PowerEgg

PowerVision mengaku menghabiskan 1,5 tahun lebih untuk menyempurnakan desain PowerEgg. Tidak mau kalah dari drone lain yang ada di pasaran saat ini, PowerEgg turut mengemas sebuah kamera 4K yang menggantung pada gimbal 3-axis. Selagi merekam, ia juga bisa meneruskan video secara real-time dari jarak yang cukup jauh.

Bentuk PowerEgg yang unik membuat saya penasaran akan desain controller-nya. Sayang PowerVision belum mau mengungkapnya. Pun demikian, mereka menjanjikan sistem kendali yang sangat mudah yang didukung oleh software. Begitu mudahnya, sampai-sampai mereka yakin anak berusia lima tahun bisa mengendalikan PowerEgg tanpa harus belajar lama.

Selebihnya belum banyak detail yang diberikan oleh PowerVision, terkecuali kehadiran sensor khusus untuk membantu sistem navigasi drone di dalam ruangan. PowerEgg rencananya akan dipasarkan pada awal kuartal kedua tahun 2016 dengan banderol harga yang masih misterius.

Sumber: PR Newswire via SlashGear.

Drone Canggih Ini Mampu Mencari Pendaki yang Tersesat di Hutan

Dengan tersedianya perangkat pintar dan kemudahan akses informasi, ternyata masih banyak orang tersesat di hutan tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan merupakan salah satu ranah penting di mana teknologi bisa dikembangkan secara lebih ekspansif lagi. Dan gabungan tim peneliti Swiss mencoba memberi jalan keluar melalui pendekatan familier.

Di Swiss, ada 1.000 panggilan darurat dilakukan oleh para pendaki yang terluka atau tersesat selama 12 bulan. Kendala ini mendorong tim dari University of Zurich dan Dalle Molle Institute of Artificial Intelligence buat melangsungkan riset secara bersama-sama. Hasil dari upaya kolaboratif tersebut adalah drone unik, mempunyai spesialisasi untuk menemukan orang-orang yang hilang di belantara.

Anda mungkin sudah tidak asing dengan cara kerja drone, namun kunci dari kemampuan device penyelamat nyawa itu terletak pada sisi software-nya. UAV dilengkapi kecerdasan buatan canggih, berjalan dengan rangkaian algoritma mutakhir. Perangkat lunak bekerja terus menerus dalam memindai area di sekitar drone via kamera build-in yang diposisikan di bagian luar. Teknologi tersebut sangat kompleks, mengharuskan peneliti menciptakan otak komputer sebelum memulai riset.

Swiss Drone 01

Algoritma tersebut ialah faktor wajib. Drone umunya memang dapat terbang tinggi dan banyak orang telah menggunakannya untuk keperluan komersial, tapi kendalanya, ia tidak bisa terbang secara otomatis di area-area ‘kompleks’ seperti hutan lebat. Satu kesalahan perhitungan kecil saja beresiko tabrakan. Oleh karenanya, diperlukan komponen otak pintar – agar UAV sanggup mengetahui seberapa rumit lingkungan itu.

Software drone mensimulasikan cara kerja otak manusia, menjadi semakin pandai berkat latihan, dinamai Deep Neural Networks. Dalam proses pembuatannya, tim peneliti diharuskan mendaki jalan setapak di Swiss Alps (bagian pegunungan Alpine) sembari menjepret puluhan ribu foto sebagai bekal data drone. Informasi tersebut diunggah ke software, dan langsung diuji secara praktek.

Kerja keras mereka memperoleh hasil mengagumkan. Tes dilaksanakan di jalan setapak baru, dan saat terbang, drone sanggup menemukan arah dengan keakuratan sebesar 85 persen – lebih tinggi tiga persen dibanding manusia. Tentu supaya drone dapat membantu penyelamatan, masih banyak aspek yang harus disempurnakan. Target jangka pendek mereka adalah mengajarkan UAV supaya bisa mengenal manusia.

Setelah hal itu terpenuhi, Profesor Luca Maria dari Dalle Molle juga menyampai, kita tidak perlu menunggu terlalu lama untuk melihat drone bekerja sama dengan manusia di masa-masa krisis.

Sumber: IEEE.org & Digital Trends.

Parrot Sequoia Ialah Aksesori Drone untuk Bidang Pertanian

Diluncurkannya DJI Agras MG-1 menjelang akhir tahun lalu bisa menjadi pertanda bahwa drone kini memegang peranan penting dalam bidang pertanian. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Parrot ikut ambil bagian lewat penawarannya sendiri. Namun ketimbang meluncurkan satu set drone lengkap untuk kebutuhan agrikultur, Parrot lebih memilih merilis aksesori yang bisa ditambatkan ke drone yang sudah ada di pasaran saat ini.

Aksesori itu datang dalam wujud Parrot Sequoia, yang terdiri dari dua komponen: satu merupakan sensor cahaya matahari yang ditambatkan di bagian atas drone, sedangkan satu lagi merupakan sensor multispektrum yang dipasangkan di gimbal milik drone. Parrot mengklaim aksesori ini kompatibel dengan banyak drone di pasaran saat ini, baik yang bertipe fixed-wing maupun multi-rotor.

Parrot Sequoia

Cara kerjanya melibatkan banyak aspek teknis. Sensor mataharinya akan menangkap cahaya di sekitar yang kemudian akan dikalibrasikan untuk sensor multispektrum-nya. Sensor multispektrum ini dapat merekam gambar dalam spektrum warna yang berbeda: hijau, merah, ujung merah dan mendekati inframerah. Terdapat pula kamera 16 megapixel pemetaan bisa dilakukan dengan sempurna.

Semua data akan disimpan dalam memory sebesar 64 GB, atau kalau masih kurang bisa dengan menancapkan kartu microSD. Akan tetapi data-data ini masih harus diolah lebih lanjut dengan bantuan software macam MicaSense ATLAS, agar bisa memberikan informasi yang spesifik serta saran-saran praktis bagi para pemilik lahan.

Parrot Sequoia

Seperti apa informasi yang bisa diberikan Sequoia? Yang paling gampang, pengguna bisa melihat mana tanaman yang sehat dan yang kurang. Selanjutnya pemupukan dan penyemprotan pestisida bisa dijalankan secara lebih sempurna lagi. Data juga akan menunjukkan area lahan mana yang distribusi airnya kurang, sehingga sistem irigasi bisa direncanakan kembali.

Dibandingkan penawaran DJI, Parrot Sequoia ini jelas akan lebih menarik perhatian para petani yang sebelumnya sudah memanfaatkan drone dalam merawat lahannya masing-masing. Perangkat ini akan dijual dalam bentuk bundle bersama software MicaSense ATLAS (dengan lisensi untuk setahun) seharga $3.500 mulai bulan Maret mendatang.

Sumber: SlashGear dan Gizmag.

Drone Yuneec Typhoon H Siap Menghindari Rintangan dengan Sendirinya

Berada di bayang-bayang rival yang lebih sukses itu pasti terasa tidak enak. Kira-kira mungkin seperti itu perasaan yang dialami Yuneec, pabrikan drone yang masih satu kampung dengan DJI. Sampai saat ini, drone buatannya masih kalah pamor kalau dibandingkan dengan lini drone besutan DJI.

Tapi semua itu bisa berubah tahun ini. Memanfaatkan kemeriahan acara CES 2016, Yuneec memperkenalkan drone terbaru sekaligus tercanggihnya, Typhoon H. Mengapa Typhoon H bisa mengubah kondisi persaingan antara kedua pabrikan drone tersebut? Karena ada kebesaran Intel di belakangnya.

Yuneec Typhoon H merupakan drone versi konsumen pertama yang ditenagai oleh teknologi Intel RealSense. Sederhananya, teknologi ini memanfaatkan kamera inframerah untuk memindai beragam objek yang ada di hadapannya. Hal itu berarti Typhoon H dapat mendeteksi sekaligus menghindari rintangan yang ia temui selagi mengudara.

Yuneec Typhoon H

Lalu apa nilai praktis dari kemampuan menghindari rintangan ini? Well, seperti drone lainnya, Typhoon H juga mengemas fitur penerbangan otomatis yang dibagi menjadi beberapa mode yang berbeda. Jadi semisal Anda mengaktifkan mode “Follow” dimana drone akan bergerak dengan sendirinya mengikuti pemegang controller, ia tak akan menabrak pohon, tembok atau objek lain yang menghalangi rutenya.

DJI sendiri sebenarnya juga punya drone yang dibekali ‘penglihatan’ macam ini, yaitu Matrice 100. Akan tetapi drone tersebut sejauh ini baru ditujukan untuk kalangan developer saja, sedangkan Typhoon H ini benar-benar menyasar konsumen secara massal.

Menilik fisiknya, ada yang berbeda dari Typhoon H. Ia dilengkapi enam baling-baling ketimbang empat, membuatnya tak bisa disebut sebagai quadcopter. Penambahan dua baling-baling ekstra ini ditujukan supaya drone bisa tetap mengudara dengan stabil sekaligus mendarat meski ada satu atau dua baling-baling yang tiba-tiba berhenti bekerja.

Lebih lanjut, tiap baling-baling ini bisa dilipat ke bawah ketika sedang tidak digunakan, sekaligus memudahkannya untuk dibawa berpergian. Apalagi mengingat Typhoon H banyak melibatkan material serat karbon guna menekan bobot keseluruhan secara drastis.

Yuneec Typhoon H

Soal kualitas gambar, Typhoon H siap merekam video dalam resolusi 4K maupun mengambil foto dalam resolusi 12 megapixel. Tapi yang lebih menarik untuk diperhatikan adalah controller unik milik Typhoon H. Controller ini ukurannya cukup besar, karena tepat di tengahnya Anda akan menjumpai sebuah layar 7 inci, dan Yuneec telah menanamkan sistem operasi Android ke dalamnya.

Dengan demikian, pengguna tak perlu lagi mengandalkan smartphone atau tablet-nya guna menampilkan hasil rekaman secara real-time, seperti yang kita jumpai pada mayoritas drone lain yang mendukung fitur ini. Typhoon H sendiri siap meneruskan hasil rekamannya ke layar controller dalam resolusi 720p.

Menimbang segala kelebihannya, pantas saja apabila Yuneec memosisikan Typhoon H sebagai penantang DJI Inspire 1. Yuneec bahkan tidak segan untuk mematok harga yang lebih agresif untuk Typhoon H, yakni $1.799, atau kurang lebih $800 lebih murah ketimbang Inspire 1.

Sumber: The Verge dan PR Newswire.

Disco Drone Ialah Pesawat Drone Teranyar Besutan Parrot Dengan Body Bersayap

Pada awal kemunculannya, istilah drone selalu identik dengan pesawat tanpa awak yang diciptakan sebagai mesin pembunuh, karena ia selalu digunakan untuk memasuki wilayah musuh untuk mengintai ataupun menjatuhkan bom ke lokasi musuh sebagai sasaran.

Continue reading Disco Drone Ialah Pesawat Drone Teranyar Besutan Parrot Dengan Body Bersayap

DJI Kembali Perkenalkan Drone Baru, DJI Phantom 3 4K

Sejauh ini lini drone DJI Phantom 3 terdiri dari 3 model: Phantom 3 Professional, Phantom 3 Advanced dan Phantom 3 Standard. Ketiganya menawarkan kemampuan yang berbeda tergantung budget konsumen; model Professional bisa merekam video 4K, model Advanced sama persis hanya opsi perekamannya terbatas pada 2,7K, sedangkan model Standard yang paling murah masih mirip tapi tidak dibekali teknologi transmisi sinyal Lightbridge yang punya jangkauan amat jauh.

Di tahun yang baru ini, DJI kembali memperkenalkan model baru dari lini Phantom 3, yakni DJI Phantom 3 4K. Sesuai namanya, drone ini sanggup merekam video dalam resolusi 4K. Penggunaan sensor Exmor buatan Sony memastikan kualitas gambarnya konsisten, sedangkan keberadaan gimbal 3-axis yang sudah menjadi senjata andalan DJI sejak Phantom 2 Vision+ memastikan video tetap stabil dalam kondisi apapun.

Dari segi navigasi, ia juga identik dengan model Professional dan Advanced. Utamanya adalah kehadiran sensor ultrasonik yang akan sangat membantu ketika ia harus terbang di dalam ruangan – model Standard tidak dilengkapi fitur ini. Mode penerbangan otomatis pun juga tersedia, malahan daya tahan baterainya sedikit lebih baik di angka 25 menit.

DJI Phantom 3 4K

Lalu apa yang membedakan Phantom 3 4K dari Phantom 3 Professional? Jawabannya lagi-lagi adalah teknologi Lightbridge. Phantom 3 4K memanfaatkan koneksi Wi-Fi standar untuk meneruskan data menuju smartphone atau tablet.

Hal ini berarti ia cuma bisa meneruskan video yang tengah direkam dalam resolusi 480p 30 fps, dengan jangkauan sekitar 1,2 km. Bandingkan dengan teknologi Lightbridge milik model Professional dan Advanced yang sanggup meneruskan video 720p dari jarak 2 km.

Terlepas dari itu, DJI Phantom 3 4K masih akan sangat menarik di mata konsumen yang mendambakan opsi perekaman 4K, tapi budget-nya cukup terbatas. Banderol harga resmi yang ditetapkan adalah $999, menjadikannya $200 lebih mahal daripada Phantom 3 Standard – tapi sebagai gantinya Anda mendapat kemampuan merekam video 4K serta ketangkasan mengudara di dalam ruangan.

Kendati demikian, kehadiran Phantom 3 4K ini menurut saya justru bisa membuat konsumen makin kebingungan memilih. Mengapa? Karena Phantom 3 Advanced juga dihargai $999, yang berarti pengguna harus memilih antara mengorbankan kemampuan 4K (Phantom 3 Advanced), atau teknologi Lightbridge (Phantom 3 4K).

Sumber: B&H Photo Video dan DJI.

Axis Vidius Ialah Drone Termungil yang Dilengkapi Kamera

Tahukah Anda kalau drone terkecil di dunia hanya sebesar uang logam? Tim pengembangnya, Axis Drones, ternyata masih belum puas dengan pencapaian yang sudah tergolong gila tersebut. Lalu bagaimana caranya mereka bisa menciutkan ukuran drone lebih lagi?

Well, kali ini bukan itu tujuannya. Mereka tak lagi mengincar rekor drone termungil, akan tetapi pindah haluan ke gelar lain yang justru lebih bergengsi: drone terkecil yang dilengkapi kamera. Yup, inilah Axis Vidius. Ukurannya sedikit lebih besar ketimbang Aerius, akan tetapi ia rupanya membopong sebuah kamera.

Namun mengingat dimensinya begitu kecil di angka 4,3 x 4,3 x 2,5 cm, kemampuan merekamnya pun cukup terbatas. Vidius hanya bisa merekam video sekaligus mengambil gambar dalam resolusi 420p. Dan lagi baterainya juga cuma bisa bertahan sekitar 5 – 7 menit setelah di-charge selama 20 menit.

Axis Vidius

Di balik keterbatasannya tersebut, Vidius masih bisa memberikan sejumlah kejutan. Di antaranya adalah kemampuan livestreaming via Wi-Fi, lalu pengguna juga dapat mengendalikannya dengan smartphone atau tablet kalau mau, dimana pengguna akan mendapatkan tampilan kamera dari sudut pandang orang pertama.

Lalu apa sebenarnya manfaat yang bisa didapatkan dari Axis Vidius? Kalau Anda tinggal di AS atau negara yang memiliki perundangan serupa, Anda tak perlu mendaftarkan drone ini ke FAA (Federal Aviation Administration) berkat bobotnya yang tidak sampai 250 gram.

Pre-order untuk Axis Vidius saat ini sudah dibuka; pengguna bisa memesannya seharga $75, sedangkan harga retail-nya nanti akan naik menjadi $95. Paket penjualannya mencakup controller, charger serta baling-baling cadangan.

Sumber: Engadget.

Bukan Sekedar Drone, Fleye Ialah Robot Terbang Pintar

Ada perdebatan mengenai istilah drone. Industri menyebutnya UAV (atau unmanned aerial vehicles), beberapa perusahaan memanggilnya ‘spy plane‘, dan angkatan udara AS memberinya istilah remote pilot aircraft. Menurut Anda kira-kira apa lagi terminologi untuk drone pintar yang mempunyai kemampuan mirip robot, seperti kreasi startup asal Belgia ini?

Tim pengembang pimpinan CEO Laurent Eschenauer dan CTO Dimitri Arendt mencoba merealisasikan visi mereka akan drone masa depan. Memanfaatkan platform crowdfunding buat mendanai proyek tersebut, para inventor memperkenalkan Fleye. Ia dideskripsikan sebagai robot terbang pribadi sekaligus drone teraman di dunia, dan developer turut menjanjikan pengoperasian yang mengasikkan serta full otomatis.

Fleye 01

Developer betul-betul merancangnya dari nol supaya kreasi mereka bisa menyerupai robot-robot di komik fiksi ilmiah. Dan demi membuatnya tetap aman, mereka tidak mengusung konstruksi quad-copter biasa. Fleye mempunyai tubuh membulat, berdiameter kurang lebih 23-sentimeter – hampir sebesar bola sepak – dan bobot 450-gram. Bilah baling-baling yang berfungsi sebagai propeller diletakkan di bagian dalam.

Untuk menggunakan Fleye, kita sama sekali tidak memerlukan latihan khusus. Ia cuma membutuhkan dukungan app di device iOS atau Android, dan selanjutnya, Fleye bekerja penuh secara otomatis. Sang robot terbang dapat Anda jadikan perangkat buat ber-selfie – ia melesat, menjepret foto, lalu kembali ke posisi awal. Selain itu ada mode foto panorama, hover (melayang di tempat, memudahkan Anda bisa fokus pengaturan ketinggian dan sudut), serta manual.

Fleye 04

Di mode terakhir itu, kita bisa mengendalikan Fleye secara langsung, lewat gamepad virtual atau dengan memasangkan controller Bluetooth. Tak hanya merekam video (di resolusi 1080p 30fps) dan mengambil foto (lewat kamera Omnivision 5640 5-Mp berlensa 160° FOV), Anda dapat menggunakan Fleye untuk live streaming. Melalui prinsip open platform, Eschenauer dan rekan-rekan berharap, developer third-party terdorong buat mengembangkan app lain – misalnya untuk keperluan sinematik, pelacakan, ataupun game.

Demi memastikan Fleye bekerja dengan pintar, tim membenamkan prosesor ARM A9 800Mhz, dipadu GPU pendukung OpenGL dan OpenCL, memori RAM antara 512MB atau 1GB, serta ditopang platform Yocto Linux. Sensor-sensornya meliputi accelerometer, gyroscope, magnetometer, sonar, kamera ‘optical flow tracking‘, ditambah sistem GPS.

Fleye sudah bisa dipesan di Kickstarter. Khusus di periode pengumpulan dana, Anda dapat memilikinya seharga € 100 atau kisaran US$ 110. Proses pengiriman rencananya akan dilakukan bulan April 2016.

5 Drone Terbaik di Tahun 2015

Demam drone begitu mewabah, bukan cuma di negara-negara luar, tetapi juga di Indonesia. Tidak percaya? Lihat saja keputusan 3D Robotics menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia yang disinggahi drone andalannya.

Maka dari itu, sudah merupakan langkah yang alami apabila Anda kami suguhi dengan daftar drone terbaik di tahun 2015. Kelima quadcopter berikut adalah yang terbaik yang bisa Anda beli saat ini juga, dimulai dari nomor 1.

1. DJI Phantom 3 Professional

DJI Phantom 3 Professional

Tidak mengejutkan melihat nama DJI menduduki posisi teratas. Phantom 3 Professional memang amat fenomenal. Seluruh kebaikan pendahulunya dipertahankan, malahan sistem navigasinya semakin canggih berkat kombinasi GPS, GLONASS, plus sensor ultrasonik untuk di dalam ruangan.

Kemudahan navigasi ini makin terasa setelah menggenggam controller barunya yang mempunyai transmisi sinyal hingga 2 km. Dan tentu saja, kualitas videonya kini meningkat menjadi 4K 30 fps. Kalau Anda masih ragu seberapa bagus hasil rekamannya, segera cari sampel videonya yang banyak tersebar di YouTube – favorit saya ini.

Semuanya semakin lengkap berkat fitur semi-autopilot yang diusungnya. Secara keseluruhan DJI Phantom 3 Professional sangat layak dihargai ± Rp 17 juta sekaligus dinobatkan sebagai drone terbaik tahun 2015.

2. 3D Robotics Solo

3DR Solo

Posisi kedua diduduki oleh drone yang sempat kita bicarakan pada awal artikel tadi. Drone ini sangat lain daripada yang lain. Pertama, ia tak punya kamera. Kualitas videonya bergantung pada action cam GoPro Hero4 yang Anda tancapkan ke gimbal istimewanya. Kedua, ia begitu pintar sampai-sampai Anda tak perlu memegang kendali.

Yup, fitur autopilot yang dimiliki Solo merupakan salah satu yang paling canggih saat ini. Ia bisa bergerak mengikuti jalur lurus, mengorbit maupun mengikuti objek dengan sendirinya. Pengguna tinggal mengendalikan gimbal beserta GoPro yang menancap, termasuk halnya mengubah setelan fps kamera secara real-time.

Kalau saja harganya sedikit lebih manusiawi, mungkin posisi teratas yang diduduki DJI bisa direbutnya dengan mudah. 3DR Solo dibanderol seharga Rp 24 juta, sudah termasuk gimbal – tapi belum termasuk kamera GoPro.

3. Yuneec Typhoon Q500 4K

Yuneec Typhoon Q500 4K

Sama seperti DJI, Yuneec berasal dari Tiongkok dan cukup berpengalaman dalam hal merancang drone yang berkualitas. Salah satu yang pantas masuk dalam daftar ini adalah Typhoon Q500 4K. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau drone ini sanggup merekam video dalam resolusi 3840 x 2160 pixel, tapi itu baru sebagian dari ceritanya.

Fitur paling uniknya adalah gimbal-nya yang bisa dilepas-pasang dengan mudah. Saat terlepas, gimbal plus kamera tersebut beralih fungsi menjadi sebuah action cam –sangat mirip seperti DJI Osmo.

Terlepas dari itu, kualitas videonya terbukti jagoan. Menurut sejumlah reviewer, ia disebut sebagai salah satu yang paling mendekati DJI Phantom 3 Professional soal kualitas video 4K. Kekurangannya menurut saya cuma satu: harganya agak mahal di angka ± Rp 20,5 juta.

4. Parrot Bebop 2

Parrot Bebop 2

Berusia paling muda, Bebop 2 layak mendapat tempat di sini karena ia membawa sederet penyempurnaan terhadap Bebop orisinil yang potensial tapi punya beberapa kekurangan. Utamanya adalah masalah stabilitas koneksi dengan smartphone atau tablet sebagai controller, dan masalah itu diklaim sudah teratasi sekarang.

Ia memang belum bisa merekam video 4K seperti tiga drone ‘senior’ di atas. Pun begitu, hasil rekaman 1080p-nya masih tergolong bagus, apalagi untuk kebutuhan non-profesional. Belum lagi daya tahan baterainya kini bisa mencapai sekitar 25 menit, setara dengan drone lain yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang ia sendiri.

Soal harga, Bebop 2 dipatok $550. Parrot juga menawarkan bundle Bebop 2 bersama SkyController – bisa memperluas transmisi sinyal hingga 2 kilometer – senilai $800.

5. Lily Camera

Lily Camera

Mungkin masih ada banyak drone lain yang lebih baik darinya, tapi saya tak bisa mengabaikan sisi unik Lily Camera begitu saja. Lihat saja namanya. Pihak pengembangnya menyebutnya sebagai sebuah kamera, padahal ia bisa mengudara dengan bebas seperti keempat drone di atas.

Mengapa demikian? Karena Lily sama sekali tak perlu Anda kendalikan. Ia didampingi sebuah tracking device berwujud ringkas yang bisa Anda simpan dalam saku atau dikaitkan ke pergelangan tangan dengan bantuan sebuah strap. Selanjutnya, Lily akan terbang mengikuti ke mana saja Anda bergerak, dan Anda tinggal menekan tombol pada tracking device tadi untuk memulai perekaman video atau sekedar mengambil selfie.

Lily Camera memang bukan seperti drone pada umumnya, tapi toh fungsinya sama, yakni mengabadikan beragam momen dari udara. Konsep tanpa controller yang diusung sangat cocok bagi pengguna-pengguna awam yang keberatan meluangkan waktu untuk belajar mengendalikan drone. Buat orang-orang seperti itu, Lily Camera bisa digaet dengan modal $499.

Gambar header: DJI Phantom 3 via Shutterstock.

Meskipun Mungil, Drone OnagoFly Simpan Beragam Fitur Canggih

International Civil Aviaton Organization membagi drone dalam dua kategori: dikendalikan dari jauh atau perangkat bersistem otomatis. Di mata konsumen awam, drone umumnya digunakan untuk merekam video atau mengambil gambar dari udara. Memang tersedia banyak pilihan drone ekonomis atau yang berukuran mungil, tapi mayoritas tidak secanggih produk-produk ternama.

Tapi tidak selamanya drone kecil (istilahnya nano drone) tak bisa menyaingi sepupunya yang lebih besar. Seorang inventor bernama Sam Tsu berusaha menghilangkan anggapan tersebut dengan memperkenalkan OnagoFly. Deskripsinya simpel, OnagoFly ialah drone sebesar telapak tangan, dibekali kapabilitas mutakhir serta fitur pintar. Layaknya UAV videography, ranah foto serta video merupakan spesialisasinya.

OnagoFly 03

Walaupun wujudnya kecil, OnagoFly sanggup mengejutkan Anda, dan developer yakin kreasi mereka bisa merevolusi pasar. Drone mempunyai ukuran 125x125x46-milimeter dan berat 140 gram. Ia memanfaatkan struktur quad-copter, ditenagai motor BLDC dan baterai 1000mAh. OnagoFly dapat disimpan dalam tas, dan tidak memerlukan platform peluncuran khusus – lepas landas dan mendarat bisa dilakukan menggunakan telapak tangan Anda.

Pengembang menanamkan kamera beresolusi tinggi garapan Sony, ‘setara’ iPhone 6S, dengan sensor 15-Mp dan kemampuan rekam video HD serta full-HD di 30fps. OnagoFly diklaim sebagai nano drone pertama yang sanggup melacak keberadaan pengguna berdasarkan lokasi perangkat bergerak. Ia juga mampu menghindari penghalang (misalnya tembok atau pohon) berkat teknologi inframerah build-in.

OnagoFly 01

Sebagai sistem kendali, developer menyediakan aplikasi companion khusus yang dikombinasikan bersama UI intuitif. Begitu sederhananya, proses kontrol dibilang semudah bermain game Need For Speed, melalui mode Tilt Control. Mode ini memadukan sensitivitas dan tingkat presisi tinggi sehingga pengendalian OnagoFly terasa alami. Tak mau repot? Tinggal aktifkan auto-follow, dan nano drone akan mengikuti dan merekam aksi Anda selama 12 menit.

OnagoFly turut ditopang smile recognition: menjepret foto saat mendeteksi senyuman. Dan seandainya kampanye penggalangan dana berjalan lancar, developer berniat untuk membubuhkan fitur boardcast live stream P2P. Ia tidak memiliki gimbal, tim OnagoFly menggunakan metode elektronik buat mengurangi getaran. File disimpan dalam format JPG serta MOV, dan kapasitas dapat diperluas hingga 32GB dengan durasi video maksimal 280 menit. App kompatibel ke device iOS (minimal 6.0) dan Android (setidaknya 4.0).

Nano drone OnagoFly dapat Anda pesan sekarang di Indie Gogo. Terlepas dari segala kecanggihannya, harga ONAGOfly tergolong murah, hanya US$ 200 khusus bagi para backer.