League of Legends Champions Korea Berubah Jadi Franchise Model di Tahun 2021

Tak bisa dipungkiri, bahwa sampai sekarang League of Legends adalah, tak hanya menjadi salah satu game terpopuler tapi juga salah satu game dengan bisnis esports paling sukses. Bagaimana tidak, tahun 2019 lalu saja, League of Legends masih menyandang status sebagai salah satu game dengan dampak terbesar kepada ekosistem esports, yang hanya bisa disaingi oleh Counter-Strike Global Offensive. Fakta kesuksesan tersebut diperkuat dengan langkah Riot Games, yang dengan percaya diri menyatakan esports sebagai pilar bisnis pengembang asal Los Angeles, Amerika Serikat tersebut.

Salah satu alasan kesuksesan tersebut mungkin datang dari strategi lokal yang diterapkan League of Legends. Tercatat League of Legends memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan, dan bahkan baru menambah liga nasional untuk Belanda dan Belgia di akhir tahun 2019 lalu. Beberapa di antaranya telah menerapkan sistem liga franchise yang fokus untuk jangka panjang, dan kini League of Legends Champions Korea (LCK) akan menjadi liga berikutnya yang turut menggunakan sistem yang digadang-gadang akan menjadi tren masa depan di esports.

Sumber: Riot Official Media
Sumber: Riot Official Media

Riot Korea mengumumkan hal ini pada hari minggu kemarin. Dari empat liga terbesar dalam skena kompetitif League of Legends, liga domestik Korea Selatan ini menjadi yang paling terakhir dalam mengadaptasi sistem liga franchise, . Amerika Serikat dan Tiongkok telah beralih menjadi liga franchise sejak 2018, Eropa mengadopsi sistem ini di tahun 2019 yang disertai dengan rebranding menjadi League of Legends European Championship.

Maka dari itu LCK akan menghentikan pertandingan promosi/relegasi pada akhir LCK Spring Split 2020, sebagai momentum perubahan sistem. “Kami telah menyimpulkan bahwa LCK harus menjadi panggung bagi pemain, tim, serta fans yang ingin mencapai mimpi mereka secara lintas generasi, bukan dalam jangka pendek saja. Kami akan mengadaptasi model partnership jangka panjang untuk LCK 2021, dan kami akan membawa kembali kejayaan kami.” tulis Riot Korea lewat pernyataan tertulis.

Saat ini, LCK sedang membuka lowongan bagi siapapun yang ingin menjadi bagian sistem liga franchise dari salah satu liga League of Legends terbesar di dunia. LCK membuka lowongan sampai 19 Juni 2020, yang mana aplikasi tersebut harus menyertakan rencana bisnis, strategi operasi tim, serta rencana penggalangan dana dari sebuah organisasi esports. Semua proses serat kriteria untuk bergabung ke dalam LCK dijabarkan oleh Riot Korea lewat laman resmi mereka yaitu thefutureoflck.com.

LCK kembali diadakan.
Regional Korea Selatan meredup seiring dengan Faker yang kini sedang kesulitan menemukan permainan terbaiknya. Sumber: Riot Official Media

LCK pertama kali diselenggarakan sebagai kompetisi invitational berbentuk turnamen yang diselenggarakan oleh OnGameNet pada tahun 2012. Pada 2015, turnamen berubah menjadi LoL Champions Korea, dengan bentuk liga yang diikuti oleh 8 tim pada Spring Split dan meningkat jadi 10 tim pada Summer Split 2015.

Secara historis, Korea Selatan berhasil memproduksi tim League of Legends terbaik di dunia. Dari tahun 2013 sampai 2017, Korea selatan memenangkan League of Legends World Championship dan Mid-Season Invitational pada 2016-2017. Namun demikian, dua tahun belakangan Korea Selatan seakan tertinggal sementara tim Tiongkok dan Eropa sedang berada dalam performa terbaiknya.

Akankah perubahan sistem dapat kembali membawa Korea Selatan ke masa keemasannya di peta persaingan kompetisi League of Legends internasional?

Perbarui Kontrak dengan T1, Faker Juga Dapatkan Hak Kepemilikan

Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik di dunia, baru saja memperbarui kontraknya dengan T1. Kontrak ini berlaku selama tiga tahun, dimulai sejak tahun 2020. Memang, Riot Games, developer League of Legends, menentukan bahwa sebuah kontrak pemain dengan tim profesional dapat berlaku paling lama selama tiga tahun. Dengan tanda tangan kontrak baru ini, Faker juga akan mendapatkan hak kepemilikan atas T1 Entertainment & Sports. Setelah dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional, dia akan masuk menjadi bagian dari tim eksekutif dalam perusahaan.

“Saya senang karena dapat kembali bermain untuk T1 dan saya berterima kasih pada semua fans di seluruh dunia yang telah mendukung saya selama ini,” kata Faker pada ESPN. “Saya bangga memiliki hak kepemilikan atas T1 dan saya tidak sabar untuk bekerja bersama dengan para pemimpin perusahaan di luar kapasitas saya sebagai pemain. Saya cinta tim ini dan saya bangga karena saya bisa ikut menentukan masa depan dari organisasi T1.”

Nama Faker memang sangat dikenal oleh fans League of Legends, salah satu game esports dengan dampak terbesar pada ekosistem. Pada 2013, di awal karirnya sebagai pemain profesional, Faker berhasil memenangkan liga League of Legends di Korea Selatan. Setelah itu, dia ikut serta dalam World Championship dan membawa pulang gelar juara. Ketika itu, dia masih berumur 17 tahun. Sejak saat itu, dia telah memenangkan berbagai gelar, baik sebagai individu atau sebagai tim. Sampai sekarang, dia telah memenangkan World Championship tiga kali dan liga Korea Selatan tujuh kali.

Menariknya, sepanjang karirnya sebagai pemain profesional, Faker tetap setia dengan T1. Padahal, ada banyak tim yang berani menawarkan gaji besar. Dia mengaku, ada tim League of Legends asal Amerika Utara yang berani menawarkan cek kosong untuknya. Meskipun begitu, dia menolak semua tawaran yang ada. Alasannya, karena dia ingin membuat bangga para fansnya di Korea Selatan.

Di negara asalnya, Faker telah menjadi kebanggaan nasional. Dia sering muncul di televisi dan juga menjadi bintang iklan. Popularitasnya tak hanya terbatas di Korea Selatan. Fans asal Tiongkok bahkan rela menunggu di luar hotel tempat T1 dan Faker menginap dengan harapan mereka akan bisa bertemu dan mendapatkan tanda tangan salah satu pemain esports terbaik dunia tersebut.

Sementara itu, T1, tim tempat Faker bernaung, pertama kali didirikan pada 2003 dengan nama SK Telecom T1. Pada awalnya, perusahaan telekomunikasi Korea Selatan, SK Telecom mendirikan T1 hanya sebagai bagian dari divisi marketing mereka. Namun, pada akhir 2019, SK Telecom mengumumkan bahwa mereka akan membuat perusahaan joint venture dengan perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat, Comcast. Sejak saat itu, T1 menjadi perusahaan mandiri dan tidak lagi bergantung pada SK Telecom. Karena itu, salah satu rencana utama T1 pada 2020 adalah memulai program komersial. Tujuannya agar mereka tetap bisa mandiri secara finansial.

Tim League of Legends Ini Punya Program Hijaukan Bumi

Pada Januari 2020, Tricia “megumixbear” Sugita ditunjuk sebagai CEO FlyQuest, menggantikan Ryan Edens yang menjadi President. Salah satu tugas pertama Sugita sebagai CEO adalah membuka markas FlyQuest, yang dinamai Greenhouse. Sugita telah memiliki banyak pengalaman di industri esports. Dia pernah menjadi pemain profesional StarCraft II sebelum menjadi caster, streamer, dan interviewer. Sebelum ditunjuk sebagai COO FlyQuest pada 2018, Sugita juga pernah menjadi Head of Partnership dari Immortals. Setelah membuka markas baru FlyQuest, Sugita mengumumkan program baru mereka untuk menghijaukan Bumi dengan nama Go Green.

“Untuk memulai 2020, kami meluncurkan program pertama kami — Go Green,” kata Sugita, dikutip dari The Esports Observer. “Kami percaya, semua orang bisa membuat perubahan nyata pada Bumi kita dan dengan ini, kami juga ingin membuka diskusi tentang masalah lingkungan. Warna hijau merupakan simbol dari kehidupan, alam, pertumbuhan, harmoni, dan lingkungan. Semua itu penting bagi kami.”

Jersey dari FlyQuest. | Sumber: Colin Young-Wolff / Riot Games via The Verge
Jersey dari FlyQuest. | Sumber: Colin Young-Wolff / Riot Games via The Verge

Filosofi Go Green dari FlyQuest tidak hanya terlihat pada markas mereka — yang memang dicat berwarna hijau — tapi juga pada desain jersey dan kegiatan mereka. Misalnya, ketika FlyQuest membuka booth di studio Riot Games di Los Angeles bersama dengan tim-tim lain yang berlaga di League of Legends Championship Series, booth FlyQuest terlihat unik. Di sini, Sugita dan para pemain FlyQuest berlatih ikebana, yaitu seni menata bunga Jepang. Sugita mengaku, dia telah berlatih ikebana selama kurang lebih 30 tahun dan  ini memengaruhi pola pikirnya.

Tak berhenti sampai di situ, pada akhir Januari 2020, FlyQuest juga mengumumkan program untuk menanam pohon berdasarkan performa tim. Jadi, untuk setiap kill yang didapatkan oleh pemain FlyQuest, mereka akan menanam satu pohon. Sementara setiap kemenangan yang  mereka dapatkan, mereka akan menanam 100 pohon. Inisiatif ini disambut dengan baik oleh fans dan tim-tim LCS lain. Ketika bertanding melawan Cloud9 dan Dignitas, keduanya memutuskan untuk ikut menanam pohon. Sementara Evil Geniuses memilih untuk menyumbangkan buku berdasarkan performa pemain.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

“Kami bangga karena rekan kami di LCS ingin melakukan sesuatu yang sangat penting bagi FlyQuest,” kata Sugita pada The Verge. Sugita mengaku, pada awalnya, tidak semua orang setuju degan program yang dia buat, seperti soal desain jersey tim yang menampilkan bunga. Sebagian orang khawatir bahwa desain jersey ini membuat para pemain FlyQuest tidak terlihat seperti tim esports atau membuat para pemain merasa tidak nyaman. Namun, sekarang, semua pemain dan pelatih sudah setuju dan justru mendukung program Sugita. Dia merasa, inisiatif ini justru mendekatkan anggota tim dan staf dengan satu sama lain.

Tentu saja, FlyQuest juga memiliki keinginan untuk menang. Saat ini, mereka duduk di tengah klasemen LCS dengan tiga kemenangan dan tiga kekalahan. Tujuan mereka tahun ini adalah untuk bisa lolos kualifikasi dan bertanding di League of Legends World Championship. Sugita percaya, inisiatifnya terkait penghijauan tidak akan mengganggu performa para pemain, tapi justru membuat mereka merasa bahwa proses untuk mencapai sebuah tujuan sama pentingnya dengan pencapaian tujuan itu sendiri.

Sumber header: Twitter

Nike Sponsori Seluruh Tim T1, Termasuk Faker

T1 Entertainment & Sports mengumumkan kerja samanya dengan Nike. Melalui kerja sama ini, Nike akan menyediakan pakaian dan sepatu untuk semua pemain dan tim esports T1, Lee “Faker” Sang-hyeok, yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik sepanjang masa. Selain itu, Nike juga akan membuat seragam untuk tim T1 dan merchandise berupa pakaian untuk para fans.

Tidak berhenti sampai di situ, Nike juga berencana untuk membangun tempat latihan di markas T1 yang terletak di ibu kota Korea Selatan, Seoul. Nike juga akan membantu T1 dalam membuat program latihan untuk pemain T1. Tujuannya adalah untuk “meningkatkan kemampuan atletik pemain dan tim T1.”

“Saya tidak sabar untuk melihat bagaimana program pelatihan Nike akan meningkatkan performa tim kami dan keseluruhan pemain T1,” kata Faker, dikutip dari Foot Wear News. “Menarik untuk melihat Nike mendukung ekosistem esports dan kami tidak sabar untuk mewakilkan Swoosh di pertandingan.”

Sementara itu, menurut laporan The Esports ObserverBrant Hirst, Marketing Director, Nike Korea berkata, “Kami tertarik untuk mempelajari lebih lanjut kaitan antara kesehatan fisik dengan performa gaming pemain. Atlet-atlet esports T1 memiliki kemampuan unik. Kami percaya, kami akan bisa meningkatkan kemampuan merkea dengan metode latihan yang sesuai.”

Nike pertama kali masuk ke ranah esports pada tahun lalu. Ketika itu, mereka bekerja sama dengan TJ Sports untuk mensponsori League of Legends Pro League (LPL) di Tiongkok. Sementara itu, T1 dulunya bernama SK Telecom. Nama organisasi esports itu berubah menjadi T1 setelah dua perusahaan telekomunikasi raksasa, SK Telecom dan Comcast memutuskan untuk bekerja sama membuat joint venture. Sejauh ini, T1 paling dikenal dengan tim League of Legends mereka. Tim tersebut telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, paling banyak jika dibandingkan dengan organisasi lain.

Kia Motors dan Alienware Kembali Sponsori Liga League of Legends Eropa

Kia Motors akan kembali menjadi sponsor dari League of Legends European Championship (LEC). Mereka akan menjadi presenting sponsor dalam segmen “Player of the Game”, yaitu bagian ketika caster dan analis liga League of Legends Eropa membahas tentang performa para pemain sepanjang turnamen. Selain itu, Kia Motors juga akan menjadi presenting sonsor untuk penghargaan “All-Star of the Split” dan “MVP of the Split”, yang diberikan pada akhir turnamen. Dalam berbagai kegiatan LEC offline, mobil-mobil Kia juga akan dipajang. Tak hanya itu, Kia Motors juga berencana untuk melakukan “roadshow”. Sayangnya, belum ada informasi detail terkait hal ini, menurut The Esports Observer.

“Kami senang karena Kia Motors memutuskan untuk memperkuat kerja sama dengan kami. Kini kami adalah salah satu rekan kerja sama premium mereka, seperti NBA dan Kia MVP Ladder. Pencapaian ini memungkinkan kami untuk melanjutkan momentum dari 2019 dan memperkuat reputasi Kia yang konsisten dengan kerja sama mereka,” kata Alban Dechelotte, Head of Sponsorship & Business Development EU Esports, Riot Games, menurut laporan Inven Global.

Sementara itu, Michael Choo, Head of Brand Experience Team, Kia Motors mengatakan bahwa sebagai rekan LEC, mereka ingin dapat mendekatkan diri dengan fans esports. “Untuk LEC 2020, dalam acara online dan offline, kami ingin menunjukkan mobil dan SUV kami dan membuktikan bagaimana Kia dengan cepat menjadi perusahaan mobil yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

Kia Motors bukan satu-satunya perusahaan yang memutuskan untuk menjadi sponsor dari LEC. Alienware juga kembali membuat perjanjian dengan Riot Games. Dengan perjanjian yang berlangsung selama lebih dari setahun tersebut, Alienware akan menjadi penyedia resmi untuk PC dan monitor di LEC. Alienware akan menyediakan desktop Aurora P9 sebagai PC dan monitor AW2521HF 240 Hz IPS untuk monitor. Selain itu, Alienware juga akan menjadi presenting partner dari Match of the Week, segmen yang akan menunjukkan bagian paling menarik dari pertandingan LEC sepanjang minggu.

“Sebagai sebuah liga, pertumbuhan viewership LEC sangat baik. Dan liga ini juga sangat sukses di kancah internasional,” kata Bryan DeZayas, Director of Global Marketing, Alienware. “Tim kamera dan broadcast yang mumpuni dari LEC dapat membuat konten yang menarik untuk dinikmati semua penonton. Performa yang baik dari tim-tim hebat seperti G2, Fnatic, dan Schalke menunjukkan dunia bahwa pemain dan pertandingan esports terbaik bisa ditemukan di LEC.”

Bukan untuk Marketing, Esports Jadi Pilar Bisnis Riot Games

Riot Games mulai mengembangkan esports dari League of Legends pada sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, esports scene dari game MOBA itu telah berkembang pesat. League of Legends kini memiliki 13 liga yang tersebar di berbagai kawasan. Dua liga terbaru adalah liga nasional di Belanda dan Belgia. Beberapa liga seperti di Korea Selatan dan Tiongkok tidak hanya sudah balik modal, tapi juga sudah menghasilkan keuntungan. Karena itu, tidak heran jika Riot tidak segan untuk mengeluarkan US$100 juta setiap tahun untuk mengembangkan esports League of Legends.

Faktanya, esports kini menjadi salah satu pilar bisnis utama bagi Riot. “Anda tidak bisa melihat esports sebagai bagian dari marketing,” kata CEO Riot Games, Nicolo Laurent pada The Esports Observer. “Kami melihat esports sebagai bisnis. Kami ingin memastikan setiap orang mendapatkan sesuatu dari ini.”

Esports League of Legends terbukti sukses. Ribuan orang datang untuk menonton babak final dari League of Legends yang diadakan di Paris, Prancis sementara jutaan orang menonton pertandingan tersebut secara online. Meskipun begitu, Laurent mengaku, mereka tidak selalu percaya diri bahwa esports akan berkembang menjadi sebesar sekarang. “Kami tidak yakin esports bisa tumbuh seperti sekarang, pada awalnya,” ujar Laurent. Korea Selatan menjadi negara yang esports scene-nya berkembang. Namun, Riot tak yakin apakah itu merupakan bukti potensi esports ataukah esports hanya dapat diterima di Korea Selatan.

League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports
League of Legends World Championship 2017. | Sumber: Dot Esports

Riot mengadakan League of Legends World Championship (LWC) pertama kali di DreamHack Summer 2011. Ketika itu, tidak ada satupun tim Korea Selatan yang bertanding. Menariknya, jumlah penonton turnamen tersebut tetap melebihi ekspektasi. “Ini membuat kami percaya bahwa esports tidak hanya menarik untuk warga Korea Selatan saja,” ujarnya. “Sekarang, kami memiliki 13 liga dan 3 turnamen internasional, dan di masa depan, kami mungkin akan menambah beberapa liga baru.”

Salah satu perubahan terbesar yang Riot Games lakukan dalam mengembangkan esports League of Legends adalah mengubah sistem terbuka — membiarkan tim manapun untuk bertanding dalam liga selama mereka memang lolos babak kualifikasi — menjadi sistem tertutup, yang mengharuskan tim yang hendak berlaga untuk membayar sejumlah uang. Slot untuk satu tim bernilai setidaknya US$13 juta, tergantung pada lokasi sebuah tim. Dengan model ini, tim-tim yang ikut bertanding dalam liga juga akan mendapatkan sebagian keuntungan yang didapatkan dari liga.

Di Indonesia, satu-satunya kompetisi esports yang menggunakan sistem franchise atau tertutup adalah Mobile Legends Professional League Season 4. Keputusan Moonton untuk menggunakan model tersebut sempat menuai pro dan kontra. Namun, masih belum diketahui apakah investasi awal yang ditanamkan oleh para organisasi esports untuk ikut dalam MPL Season 4 akan berbuah manis.

Dari segi hadiah, turnamen esports tak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Sebagian liga esports, seperti liga League of Legends, juga sudah menggunakan model franchise, membuatnya semakin menyerupai liga olahraga tradisional. Meskipun begitu, tim esports yang berlaga di dalamnya tidak memiliki saham dari liga itu sendiri, berbeda dengan sistem yang digunakan liga olahraga tradisional. Terkait hal ini, Laurent mengatakan, tak tertutup kemungkinan, mereka akan mengadopsi model serupa di masa depan. “Masalahnya, jika Anda ingin melakukan ini, Anda harus punya rencana yang jelas tentang cara memonetisasi liga itu sendiri, atau melakukan IPO. Jika tidak, Anda hanya akan membuat struktur dengan insentif yang buruk,” ujarnya.

Sumber header: Hotspawn

Mengenal Duan “Candice” Yushuang, Host Turnamen League of Legends Terbesar Dunia

League of Legends Pro League (LPL) adalah liga League of Legends di Tiongkok. Dengan total view mencapai 30 miliar view, LPL merupakan liga LoL terbesar di dunia. Riot Games menggunakan model franchise untuk LPL, yang berarti, tim harus membayar setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar) untuk dapat berlaga di turnamen bergengsi tersebut. Saat ini, sumber pendapatan terbesar LPL adalah hak siar media, yang dijual pada berbagai perusahaan seperti Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Duan “Candice” Yushuang merupakan host dari LPL. Satu hal yang unik dari Yushuang adalah karena karirnya di esports League of Legends masih sangat pendek. Dia lulus sebagai sarjana English Broadcasting and Anchoring dari Communication University of China pada 2015. Satu tahun setelah itu, dia mulai masuk ke dunia esports. Itu artinya, dia baru memiliki pengalaman sekitar tiga tahun. Sebagai perbandingan, esports host terkenal lainnya, seperti Eefje “sjokz” Depoortere atau Paul “Redeye” Chalone memiliki pengalaman sekitar 6 sampai 20 tahun. Di Indonesia, Gisma Priayudha Assyidiq yang dikenal dengan nama “Melon” mulai terjun ke dunia penyelenggaraan turnamen esports sekitar tahun 2012.

“Pada April 2016, saya melihat lowongan pekerjaan dari Riot Games sebagai esports host di Shanghai, dan saya coba untuk melamar posisi tersebut,” kata Yushuang pada The Esports Observer. “Itu adalah pekerjaan paruh waktu dan saat itu, saya sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai DJ di stasiun radio di Beijing. Setiap akhir pekan, saya harus terbang dari Beijing ke Shanghai pada pukul 6 pagi di hari Jumat dan mengambil penerbangan terakhir untuk kembali ke Beijing pada hari Minggu. Semua biaya transportasi saya tanggung sendiri.” Dia mengaku, dia tidak terlalu memperhitungkan untung-rugi dari keputusannya. Dia rela melakukan semua itu karena dia memang senang dengan game dan komunitas League of Legends.

Yushuang mencium Summoner's Cup. | Sumber: The Esports Observer
Yushuang mencium Summoner’s Cup. | Sumber: The Esports Observer

Pada 2016, League of Legends World Championship diadakan di Amerika Serikat. Turnamen tersebut diadakan di San Francisco, New York, Chicago, dan Los Angeles selama dua bulan. Ini memaksa Yushuang untuk memilih apakah dia akan mempertahankan pekerjaan tetapnya atau berhenti dari pekerjaannya sebagai DJ dan fokus pada esports League of Legends. Dia memilih untuk mengejar karir di esports. Satu tahun kemudian, dia bergabung dengan Shanghai Dominion, perusahaan produksi dan perencanaan esports milik Riot Games. Di tahun yang sama, Riot mengadakan LWC di Tiongkok. Sebagai host, Yushuang diingat berkat pakaiannya yang mencerminkan budaya Tiongkok dan kemampuannya untuk melakukan wawancara dengan Bahasa Inggris yang lancar.

“Saya percaya, jika cukup cakap, Anda akan mendapatkan perhatian,” kata Yushuang. Pada 2018 dan 2019, popularitas LPL terus naik. Jumlah tim yang berpartisipasi dalam LPL bertambah menjadi 16 tim, lebih banyak dari jumlah tim di liga-liga LoL regional lainnya. Tak hanya itu, sponsor LPL juga bertambah menjadi 13, termasuk perusahaan internasional, seperti Nike, KFC, Intel, dan Mercedes-Benz. Salah satu alasan esports League of Legends menjadi populer di Tiongkok adalah karena performa tim lokal yang sangat baik. Pada 2018, Royal Never Give-Up memenangkan Mid-Season Invitation (MSI) sementara Invictus Gaming memenangkan League of Legends World Championship. Pada tahun ini, FunPlus Phoenix memenangkan LWC 2019. Ketiga tim adalah tim asal Tiongkok.

Dengan semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor LPL, pekerjaan Yushuang pun bertambah. Dia tak hanya menjadi host turnamen, tapi juga ikut serta dalam berbagai kegiatan bersama fans, perusahaan sponsor, dan bahkan pemerintah kota di Tiongkok. Salah satu acara yang dia ikuti adalah LPL Go on World, tur international hasil kerja sama Mercedes-Benz dengan LPL. Tur ini mencakup Beijing, Hangzhou, Chongqing, Chendu, Xi’an, Moscow, Stuttgart, dan Berlin.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

“Menjadi host dari acara sponsor berbeda dari menjadi host dari kompetisi LPL,” kata Yushuang. “Lebih sulit menjadi host dari kompetisi karena acara disiarkan secara live, dan saya harus memilih kata dan pertanyaan yang saya lontarkan dengan sangat hati-hati. Untuk acara perusahaan, satu hal yang paling penting adalah engagement antara merek dan fans, membuat konten yang menarik bagi fans, merek, dan pemerintah kota.” Dia menambahkan, dia merasa senang karena pemerintah Tiongkok mulai melihat pentingnya esports sebagai industri. Memang, pemerintah Shanghai bahkan berencana menjadikan kota Shanghai sebagai “ibukota esports” dalam waktu beberapa tahun ke depan.

Karir Yushuang tidak sepenuhnya mulus. Dia juga menghadapi masalah, seperti kritik dari komunitas, khususnya di internet. Namun, dia mengaku tidak mau ambil pusing. “Di internet, tidak peduli sehebat apa Anda, akan tetap ada orang yang tidak suka dengan Anda. Terkadang, orang akan mengubah pendapat mereka dan melupakan kritik mereka. Saya hanya ingin menunjukkan bagian terbaik dari pekerjaan saya pada orang-orang yang mendukung saya, untuk menunjukkan bahwa dukungan mereka tidak sia-sia,” katanya.

Sementara untuk rencananya ke depan, Yushuang mengaku dia ingin fokus pada apa yang dia miliki sekarang. “Saya senang dengan League of Legends dan saya ingin memberikan semua semangat dan energi yang saya miliki ke pekerjaan saya sekarang. Saya tidak seperti orang lain yang memiliki rencana jangka panjang. Saya percaya, emas akan tetap bersinar, tak peduli dimana ia berada. Jadi, saya akan menikmati apa yang saya punya sekarang.”

Demi Kembangkan Esports League of Legends, Riot Keluarkan Rp1,4 Triliun per Tahun

Riot Games selalu berusaha untuk membuat acara pembukaan League of Legends World Championship (LWC) yang megah, seperti menggunakan teknologi Augmented Reality untuk membuat seekor naga raksasa mengitari stadion pada 2017. Global Manager Riot Games, Derric Asiedu mengatakan bahwa setiap tahun, mereka menghabiskan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengembangkan esports League of Legends dan mereka tidak akan mendapatkan untung dalam waktu dekat. Meskipun begitu, Global Head of Esports, Riot Games John Needham tetap optimistis tentang prospek esports di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena semakin banyak perusahaan yang mendukung LWC dalam jangka panjang, seperti OPPO dan Axe.

“Pendapatan kami tumbuh 50 persen pada tahun ini, dan kemungkinan, akan kembali tumbuh 50 persen pada tahun depan,” kata Needham pada The Esports Observer. “Kami menargetkan esports bisa menjadi sustainable pada tahun ke-10. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah pernah dilakukan di olahraga tradisional, tapi saya sangat percaya diri tentang bisnis esports di masa depan.” Satu hal yang Needham tonjolkan adalah fakta bahwa pemain dan penonton League of Legends masih sangat muda. Kebanyakan penonton esports memang memiliki umur di bawah 35 tahun. Inilah yang membuat semakin banyak perusahaan non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor liga atau tim esports.

Dari pengalaman Riot dalam mengadakan, LWC, tampaknya, tak hanya perusahaan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tapi juga pemerintah. Tahun ini, babak final LWC diadakan di Paris, Prancis, dan Riot mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah kota Paris. Konferensi pers dari LWC diadakan di Eiffel Tower dan sejumlah politikus penting hadir dalam acara tersebut. Dan ini tak hanya terjadi pada turnamen League of Legends, tapi juga turnamen esports lain seperti Rainbow Six. Mengingat turnamen esports bisa menumbuhkan perekonomian lokal sebuah kota, tak heran jika pemerintah juga berlomba-lomba untuk mengadakan turnamen esports di kotanya.

John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer
John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer

Menurut data dari Esports Charts, babak final dari LWC, yang mempertemukan FunPlus Phoenix dari Tiongkok dan G2 Esports dari Eropa ditonton oleh 104 juta orang di Tiongkok dan 3,7 juta orang di dunia. Walau jumlah penonton ini terdengar banyak, tapi jumlah penonton babak final kali ini hanya mencapai setengah dari jumlah penonton babak final LWC pada tahun lalu, seperti disebutkan oleh Abascus News. Tahun lalu, penonton dari Tiongkok mencapai 200 juta. Tidak heran, karena tahun lalu adalah kali pertama tim dari Tiongkok — Invictus Gaming — lolos babak kualifikasi LWC dan bahkan membawa pulang Summoner’s Cup. Menariknya, pertandingan antara FunPlus Phoenix dan G2 Esports lebih populer secara global. Tahun lalu, jumlah penonton di dunia hanya mencapai 2 juta, sementara tahun ini angka itu naik hampir dua kali lipatnya.

Needham percaya, dukungan akan esports akan terus tumbuh. Tahun depan, babak final LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok. Sebelum memutuskan untuk memilih Shanghai, Needham berkata bahwa ada sejumlah kota yang menawarkan diri untuk menyelenggarakan LWC. “Kami telah melakukan proses bidding. Memang, proses ini tidak seperti proses bidding Olimpiade, tapi kami sedang menuju ke tingkat itu,” ujarnya. Sayangnya, Riot biasanya hanya mengadakan babak final LWC di empat kawasan: Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Keempat kawasan ini memang kawasan dengan tim tim League of Legends terkuat.

Inilah yang mendorong Riot melakukan konsolidasi turnamen di sejumlah kawasan, seperti di Asia Tenggara. Mulai tahun depan, League of Legends Master Series untuk kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau akan digabungkan dengan League of Legends Southeast Asia Tour menjadi Pacific League Championship Series. Diharapkan, dengan melakukan konsolidasi liga, ini akan mendorong terciptanya tim-tim yang lebih tangguh, seperti yang terjadi di Eropa dengan League of Legends European Championship (LEC).

Sumber header: Dexerto

Mastercard Jadi Sponsor LCS dan Buat Konten Tentang Komunitas Esports LoL

Mastercard kini menjadi rekan finansial eksklusif untuk League of Legends Chamionship Series, liga LoL tahunan untuk kawasan Amerika Utara. Ini bukan kerja sama pertama yang Mastercard buat dengan Riot. Sebelum ini, perusahaan kartu kredit itu juga telah menjadi sponsor dari beberapa turnamen LoL lain, seperti Mid-Season Invitational, All-Star Event, dan World Championship.

“Kami senang untuk masuk ke ranah esports,” kata Executive Vice President of Marketing and Communications for North America, Mastercard, Cheryl Guerin, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Selama ini, Mastercard ikut masuk ke berbagai jenis olahraga karena kami ingin para pemegang kartu kami bisa mengejar hobi mreeka. Kami sadar, apa yang terjadi di esports sangat penting, baik tentang pertumbuhan industri dan kesenangan fans. Kami ingin berinteraksi dengan para penggemar esports  dan itulah awal dari msauknya kami ke ranah ini. Kami melihat interaksi yang sangat aktif , dan kami harap, itu juga akan terjadi kali ini. Kami menghubungkan diri dengan audiens baru dan esports adalah platform yang fantastis.”

Menurut Nielsen, tahun ini, jumlah nilai sponsorship yang diberikan oleh merek non-endemik — mulai dari merek makanan, mobil, hingga layanan finansial — naik 13 persen dari tahun lalu.

Sebagai sponsor, hal paling mendasar yang bisa sebuah perusahaan lakukan adalah memasang logo pada seragam pemain esports atau pada panggung. Namun, Mastercard tidak puas dengan hanya melakukan itu. Dalam kerja sama terbaru ini, Mastercard akan menawarkan layanan ekstra untuk para pemegang kartu, seperti tur backstage, tempat menonton khusus, dan kesempatan bertemu dengan para pemain profesional.

Tidak berhenti sampai di situ, Mastercard bersama Riot juga akan membuat konten eksklusif. Seri yang diberi judul “Together Start Something Priceless” itu akan membahas tentang pemain yang memberikan dampak positif pada komunitas. Orang pertama yang akan dibahas adalah Stephen “Snoopeh” Ellis. Dia adalah mantan pemain profesional yang kini mendukung para pemain profesional lainnya. Pada awalnya, seri ini akan tersedia secara eksklusif untuk kawasan Amerika Utara. Namun, nantinya, video tersebut juga akan tersedia di kawasan lain.

Sumber: Young-Wolff/Riot Games via The Esports Observer
Sumber: Young-Wolff/Riot Games via The Esports Observer

“Mastercard adalah merek yang dikenal di dunia, dan kami jelas ingin ada merek yang dikenal audiens kami. Namun, satu yang paling penting, kami  ingin mendekatkan diri dengan penonton dengan cara yang orisinal dan interaktif,” kata Guerin.

“Dengan membuat konten, yang memang dibuat khusus untuk komunitas esports itu sendiri — konten ini menampilkan berbagai cerita berharga yang kita dengar selama kerja sama kami, dari fans yang memang sangat cinta dengan esports. Menampilkan konten-konten jauh lebih otentik daripada sekadar menampilkan logo kami. Penting bagi kami untuk melakukan ini: kami membuat cerita menggugah tentang esports, dan menginspirasi orang lain yang juga senang dengan esports.”

North American Head of Partnerships and Business Development, Riot Games, Matt Archambault mengatakan bahwa membuat seri video tentang esports akan membantu Mastercard untuk berinteraksi dengan para penggemar esports. Dia menyebutkan, menampilkan logo memang awal yang baik untuk merek non-endemik yang ingin masuk ke ranah esports. Namun, menyajikan konten memungkinkan sponsor untuk dapat memperkenalkan merek mereka pada audiens esports dengan lebih baik.

“Mengembangkan sebuah cerita dan menceritakannya pada komunitas — dua hal itulah yang memberikan nilai lebih pada komunitas,” kata Archambault. “Pada akhirnya, itulah yang coba kami lakukan: memberikan pengalaman dan membuat kerja sama untuk memberikan nilai lebih tidak hanya pada merek itu, tapi juga pada komunitas, dan melakukan sesuatu yang mungkin belum pernah dicoba sebelumnya.”

Merek non-endemik memang kini mulai memasuki ranah esports. Jika melihat ke ranah lokal, di Indonesia pun trennya demikian, salah satunya adalah Go-Pay yang menjadi sponsor dari RRQ.

Pelajaran Singkat yang Bisa Didapat dari Sisi Bisnis LPL, Liga League of Legends Terbesar di Dunia

Menurut data dari Newzoo, 70 persen dari total populasi China, atau sekitar 560 juta orang, bermain game. Tidak hanya bermain game, warga China juga gemar menonton pertandingan esports.

Data dari IHS Markit menyebutkan bahwa China memberikan kontribusi sebesar 57 persen dari total penonton esports di dunia. Tidak heran, mengingat lebih dari 30,4 persen orang China percaya, esports adalah sebuah olahraga, berdasarkan data Penguin Intelligence Database.

Hanya 5,6 persen warga China yang menganggap bahwa esports bukanlah olahraga. Kebanyakan dari orang-orang itu memiliki umur di atas 40 tahun dan memang tidak pernah bermain game atau tahu tentang esports.

“Menonton turnamen dan kompetisi esports adalah hiburan untuk saya,” kata Yan Han, pria 28 tahun yang bekerja dan tinggal di Beijing, dikutip dari South China Morning Post.

Sejak mulai bermain League of Legends dua tahun lalu, dia telah menghabiskan uang hampir 1.000 yuan (sekitar Rp2 juta) untuk membeli item dalam game. Setiap hari, dia bermain League of Legends sekitar dua sampai tiga jam. Dia juga tidak pernah absen untuk menonton turnamen LoL tahunan.

Sumber: SCMP
Sumber: SCMP

“Menarik bagi saya untuk menonton pemain-pemain terbaik dunia saling beradu. Tingkat kemampuan yang mereka tunjukkan dan strategi yang mereka gunakan tidak banyak digunakan di kalangan pemain LoL biasa.”

Pada bulan Juni lalu, TJ Sports sempat membahas tentang jumlah penonton League of Legends Pro League (LPL). Secara total, jumlah view LPL mencapai 30 miliar, menurut data dari Esports Insider.

TJ Sports adalah perusahaan hasil kerja sama Tencent dan Riot Games yang bertanggung jawab atas LPL. Saat ini, LPL adalah turnamen LoL dengan jumlah peserta terbanyak.

Kompetisi di China itu memiliki 16 tim peserta. Sebagai perbandingan, kompetisi LEC dan LCS di Eropa dan Amerika Utara hanya memiliki 10 tim peserta per kompetisi.

Jumlah viewership inilah yang membuat media value dari LPL meroket. Berdasarkan white paper yang dirilis oleh TJ Sports, total media value yang didapatkan oleh enam sponsor LPL Summer Split 2017 mencapai 3 miliar yuan (sekitar Rp6 triliun).

Sementara media value yang didapatkan oleh Mercedes-Benz yang menjadi rekan resmi League of Legends World Championship mencapai 600 juta yuan (sekitar Rp1,2 triliun).

Sistem Turnamen dan Sumber Pendapatan LPL

Pada dasarnya, ada dua tipe turnamen esports, yaitu terbuka dan tertutup. Turnamen tertutup menggunakan sistem franchise, mengharuskan sebuah tim untuk membayar sejumlah uang sebelum mereka bisa bertanding dalam sebuah kompetisi.

LPL termasuk turnamen tertutup. Menurut laporan Esports Observer, jika sebuah tim ingin masuk ke LPL, dia harus menyediakan setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar). Tidak hanya itu, tim itu juga harus memiliki sokongan bisnis yang kuat dan reputasi yang bagus.

Saat ini, tim di LPL telah mendapatkan investasi rata-rata sebesar 1,25 miliar yuan (sekitar Rp2,5 triliun). Menariknya, nilai tim tidak didasarkan pada performa tim atau luas jangkauan brand sebuah tim.

Menurut laporan Newzoo, dari total pendapatan US$1,1 miliar di industri esports, sponsorship memberikan kontribusi terbesar dengan total US$456,7 juta atau 41,5 persen dari total pendapatan.

Sumber: Newzoo
Sumber: Newzoo

Kontribusi terbesar kedua berasal dari hak siaran media. Dengan kontribusi sebesar US$251,3 juta, hak siaran media memberikan kontribusi sebesar 22,8 persen.

Menariknya, sumber pendapatan terbesar LPL bukanlah sponsorship, tapi hak siaran media. Beberapa perusahaan yang mendapatkan hak penyiaran LPL antara lain Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Stasiun siaran televisi lokal seperti Great Sports dan Guangdong Sports juga mendapatkan hak untuk menyiarkan turnamen LoL tersebut.

Industri Esports Semakin Menyerupai Industri Olahraga Tradisional

Menurut CEO Immortals Gaming Club (IGC), Ari Segal, dua sumber pendapatan utama IGC adalah sponsorship dan hak siaran media, sama seperti LPL. Namun, mereka juga tertarik untuk mencari sumber pendapatan baru, dengan mengadakan turnamen sendiri.

“Tidak hanya kita akan mendapatkan untung dari penjualan tiket, ada juga beberapa sumber pendapatan lain, seperti penjualan merchandise, parkir, makanan dan minuman, dan juga akses ke data,” kata Segal, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

Menurut Segal, ke depan, sistem monetisasi di industri esports akan semakin menyerupai industri olahraga tradisional. Hal ini juga tercermin dari mulai digunakannya model bisnis kandang-tandang (home-away) di industri esports.

Saat ini, ada enam tim esports di China yang memiliki markas, yaitu Royal Never Give-Up (RNG) dan JDG di Beijing, Team WE di Xi’an, LGD Gaming di Hangzhou, LNG di Chongqing, dan OMG di Chengdu.

Sayangnya, biaya operasional markas ini masih lebih mahal jika dibandingkan dengan uang yang didapatkan dari penggunaan fasilitas tersebut. TJ Sports dan Tencent membuat beberapa rencana untuk mengatasi masalah ini.

Dalam jangka pendek, TJ Sports dan Tencent akan menanggung biaya marketing dan finansial untuk mengurangi beban yang ditanggung tim yang memiliki markas sendiri. Sementara dalam jangka menengah, TJ Sports akan berusaha mengurangi biaya operasional dengan menggunakan Esports Streaming Center di Shangai Jingan District untuk menyiarkan siaran pertandingan LPL.

TJ Sports juga akan berusaha untuk menyediakan lebih banyak kegiatan offline untuk menggunakan stadium yang jadi markas sebuah tim esports, seperti festival musik.

Sumber: Esports Observer, South China Morning Post, Yahoo Finance, Esports Insider