Pimax Luncurkan VR Headset Baru dengan Resolusi Display 12K dan Full Body Tracking

Sejak tahun 2016, Pimax terus membuat gebrakan di industri virtual reality (VR) headset, utamanya terkait resolusi display. Yang terbaru, Pimax menyingkap headset bernama Reality 12K QLED, dan sesuai namanya, ia mengunggulkan display berteknologi QLED dengan resolusi total sebesar 12K.

Secara teknis, headset ini mengemas sepasang panel Mini LED berukuran 5,5 inci dengan kepadatan piksel sebesar 1.200 ppi. Tidak cukup sampai di situ saja, display-nya juga menawarkan refresh rate maksimum 200 Hz serta field of view yang sangat luas — 200° horizontal dan 135° vertikal.

Yang mungkin langsung memicu pertanyaan adalah, adakah PC yang sanggup menangani resolusi setinggi itu mengingat 8K saja masih jauh dari kata mainstream? Well, itulah gunanya teknologi foveated rendering. Berbekal eye tracker besutan Tobii, perangkat bisa mendeteksi ke arah mana mata pengguna melihat secara real-time, dan informasi tersebut akan digunakan oleh sistem untuk menentukan bagian mana yang perlu di-render dalam resolusi penuh dan mana yang tidak.

Namun mata bukan satu-satunya bagian tubuh yang bisa dibaca pergerakannya oleh headset ini. Empat buah kamera di bagian depannya mewujudkan tracking 6DoF, dan perangkat pun dirancang agar dapat memonitor pergerakan controller sekaligus tangan pengguna secara langsung.

Di dalam, masih ada dua kamera lagi untuk facial tracking. Pimax bahkan turut menyematkan tiga kamera ekstra yang dihadapkan ke bawah, yang bertugas untuk memonitor pergerakan bibir sekaligus tubuh dan kaki.

Menariknya, Pimax Reality 12K QLED tidak selamanya harus terhubung ke PC, sebab ia sebenarnya juga merupakan headset bertipe standalone yang mampu beroperasi secara mandiri layaknya Oculus Quest 2 maupun HTC Vive Flow. Chipset yang tertanam bahkan sama seperti milik Quest 2, yakni Qualcomm Snapdragon XR2.

Tanpa perlu terkejut, performanya bakal menurun dalam mode standalone. Display-nya pun juga dibatasi di resolusi 8K atau 5K saja dalam mode ini, demikian pula refresh rate-nya di 120 Hz dan field of view di 150°. Suplai dayanya sendiri datang dari baterai 6.000 mAh yang terpasang di sisi belakang.

Di atas kertas, Pimax Reality 12K QLED terdengar amat menjanjikan, sehingga tidak heran kalau harganya tergolong mahal: $2.399. Yang menarik, bagi konsumen yang sudah memiliki headset Pimax lain, mereka bisa mendapat potongan harga sebesar harga asli headset yang dibelinya itu. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai kuartal ke-4 tahun depan.

Sumber: VR Focus.

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.

HTC Luncurkan Dua VR Headset Baru: Vive Pro Eye dan Cosmos

Event CES 2019 baru saja resmi dimulai, dan kita sudah langsung kedatangan berita besar di ranah virtual reality: HTC menyingkap bukan cuma satu, melainkan dua VR headset anyar sekaligus, yakni HTC Vive Pro Eye dan HTC Cosmos.

Vive Pro Eye, seperti yang bisa kita lihat dari namanya, adalah headset Vive Pro tapi yang sudah diimbuhi dengan fitur eye tracking terintegrasi. Ini berarti perangkat mampu memonitor pergerakan mata sekaligus arah pandangan pengguna, yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan performa VR.

HTC Vive Pro Eye

Penjelasan lebih spesifiknya, perbaikan performa ini diwujudkan berkat teknologi foveated rendering. Teknologi ini memungkinkan perangkat untuk me-render lebih sedikit pixel (hanya pada bagian yang terlihat oleh pengguna saja), dan foveated rendering sendiri tidak mungkin tercapai tanpa ada campur tangan sistem eye tracking.

Sejauh ini HTC masih belum membeberkan spesifikasi lengkap Vive Pro Eye, akan tetapi semestinya tidak berbeda jauh dari Vive Pro, apalagi jika melihat wujud keduanya yang identik. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai kuartal kedua 2019, tapi estimasi harganya belum diketahui.

HTC Cosmos / HTC
HTC Cosmos / HTC

Untuk HTC Cosmos, produk ini sejatinya merupakan rival langsung dari Oculus Quest. Keduanya sama-sama merupakan VR headset tipe standalone yang dapat beroperasi secara mandiri. Yang sedikit berbeda, Cosmos rupanya juga bisa ‘meminjam’ tenaga dari PC maupun smartphone ketika diperlukan.

Berbekal sepasang kamera pada bagian depan, kemudian masing-masing satu di sisi kiri dan kanan, Cosmos mampu menawarkan inside-out tracking, yang artinya ia sama sekali tak perlu didampingi kamera maupun sensor eksternal untuk bisa beroperasi sepenuhnya.

Sayangnya, tidak seperti Vive Pro Eye, Cosmos masih belum memiliki jadwal rilis sama sekali. Kalau melihat Oculus Quest yang dijadwalkan dirilis di musim semi nanti, semestinya Cosmos juga tidak jauh-jauh dari itu.

Sumber: Ars Technica.

Google Sedang Kembangkan VR Headset dengan Display OLED Beresolusi 20 Megapixel per Mata

Sebagai teknologi yang masih tergolong baru, wajar apabila virtual reality masih menemui sejumlah tantangan yang menghambat kematangannya. Salah satunya terkait mobilitas, akan tetapi kemunculan VR headset seperti Oculus Go dan Vive Focus setidaknya sudah bisa menjadi jawaban atas isu yang satu ini.

Problem yang lain adalah perihal resolusi. Kebanyakan VR headset yang ada sekarang hanya menawarkan resolusi 2K atau 4K saja. Ini bukan masalah di smartphone yang jaraknya agak jauh dari mata, tapi di VR headset, bahkan resolusi 4K pun masih bisa terlihat kurang tajam akibat posisi display yang begitu dekat dengan mata pengguna.

Singkat cerita, konsumen mendambakan VR headset yang beresolusi lebih tinggi. Itulah mengapa perangkat seperti Pimax eksis, yang menawarkan total resolusi 8K dan sudut pandang seluas 200 derajat. Namun bagi Google resolusi 4K per mata rupanya masih kurang, dan mereka punya target yang lebih tinggi lagi.

Dalam event SID Display Week yang dihelat bulan Juni lalu, Clay Bavor yang menjabat sebagai Vice President di divisi VR Google sempat mengumumkan suatu proyek rahasia di mana mereka sedang bekerja sama dengan salah satu produsen panel OLED ternama untuk menciptakan VR headset ber-display OLED yang punya resolusi 20 megapixel per mata.

Angka ini sekitar 10 kali lebih tinggi dibanding yang sudah ada sekarang, dan Clay lanjut menjelaskan bahwa kesan menggunakannya seperti mendapati sepasang TV 4K yang dipasangkan di depan mata, lalu diperbesar ukurannya 2,5 kali lipat. Tidak hanya beresolusi tinggi, performanya pun dijamin tidak kurang dari 90 fps.

Tantangan berikutnya adalah, display secanggih ini membutuhkan bandwith data yang luar biasa besar, kurang lebih 50 – 100 Gb/s kalau menurut Google. Andaikata ada GPU yang sanggup me-render data grafis sebesar itu, tetap saja mustahil untuk meneruskan semua datanya ke VR headset tanpa lag.

Solusinya menurut mereka bisa dicapai dengan memanfaatkan teknologi foveated rendering. Teknologi ini sejatinya memanfaatkan kamera pada headset yang aktif memonitor pergerakan mata, sehingga grafik hanya akan di-render dalam resolusi penuh pada bagian di mana mata melihat.

Sejauh ini belum ada yang berani memperkirakan kapan VR headset yang kedengarannya sangat fenomenal ini bakal mendarat sebagai produk final yang bisa dibeli konsumen, namun saya kira perjalanan Google masih cukup panjang.

Sumber: Road to VR.

Prototipe Standalone VR Headset dari Samsung Ini Dibekali Eye Tracking dan Hand Tracking

Apa yang bisa kita harapkan dari VR headset macam Gear VR ke depannya? Selain model standalone (bisa beroperasi sendiri tanpa perlu diselipi smartphone), mungkin eye tracking dan hand tracking juga termasuk dua teratas di wish list kebanyakan orang. Kabar baiknya, Samsung rupanya sudah punya prototipe standalone VR headset untuk menguji kedua teknologi ini.

Dijuluki Exynos VR III, tampak jelas kalau perangkat ini masih berupa prototipe dari wujudnya yang masif serta desain yang terkesan belum selesai. Kabar ini datang dari sebuah perusahaan ahli eye tracking bernama Visual Camp, yang teknologi rancangannya memang digunakan oleh Samsung.

Headset-nya sendiri ditenagai oleh chipset dengan fabrikasi 10 nm, yang mencakup prosesor hexa-core dan GPU Mali G71. Chip grafisnya ini diklaim sanggup menenagai sepasang display WQHD+ (beresolusi sekitar 2560 x 1440 pixel) dalam refresh rate 90 Hz, atau satu display 4K 75 Hz.

Teknologi eye tracking memegang peranan penting dalam implementasi foveated rendering / Visual Camp
Teknologi eye tracking memegang peranan penting dalam implementasi foveated rendering / Visual Camp

Eye tracking, atau istilah lainnya gaze tracking, memungkinkan implementasi teknologi lain bernama foveated rendering. Teknologi ini krusial untuk sebuah standalone VR headset, dimana grafik hanya akan di-render dalam resolusi penuh pada bagian dimana pandangan pengguna tertuju. Alhasil, konsumsi daya dapat ditekan, dan headset juga tidak berisiko overheating.

Selain eye tracking dan foveated rendering, Exynos VR III dilaporkan juga mengusung teknologi hand tracking. Terlepas dari itu, meskipun perangkat ini hanyalah sebatas prototipe, setidaknya kita jadi punya gambaran terkait mobile VR headset di masa yang akan datang.

Sumber: The Verge.

Oculus Rift Generasi Berikutnya Dapat Dibekali dengan Teknologi Eye-Tracking

Menggerakkan karakter dalam VR hanya dengan lirikan mata mungkin terdengar seperti potongan adegan dalam film fiksi ilmiah, namun nyatanya ada beberapa startup yang memang mendedikasikan waktunya untuk membuat impian tersebut menjadi kenyataan. Salah satunya adalah The Eye Tribe, dan mereka baru saja diakuisisi oleh Oculus.

Akuisisi ini pun membuat kita berasumsi bahwa Oculus Rift generasi berikutnya akan dibekali oleh teknologi eye-tracking rancangan The Eye Tribe. Meski sejauh ini tidak ada pernyataan resmi dari kedua pihak terkait hal ini, bisa dipastikan ini merupakan salah satu bagian dari visi ke depan mereka.

Tidak berlebihan jika saya berpendapat bahwa masa depan Rift banyak bergantung pada teknologi rancangan The Eye Tribe. Pasalnya, selain eye-tracking, mereka juga mengembangkan teknologi yang dikenal dengan istilah foveated rendering.

Foveated rendering ini memungkinkan perangkat virtual reality untuk me-render grafik secara sempurna hanya pada bagian yang dilihat oleh pengguna. Ini berbeda dari yang diterapkan sekarang, dimana grafik konten harus di-render 360 derajat, yang berujung pada besarnya resource yang dibutuhkan, dimana pengguna Rift wajib memiliki PC berspesifikasi kelas atas.

The Eye Tribe berawal dari sebuah proyek riset di IT University of Copenhagen pada tahun 2009. Tracker yang mereka buat diklaim jauh lebih terjangkau dari perangkat serupa buatan kompetitornya. Ya, terlepas dari canggih dan kompleksnya teknologi yang mereka garap, The Eye Tribe masih punya sejumlah rival di bidang yang mereka tekuni ini.

Salah satunya adalah Eyefluence yang belum lama ini diakuisisi oleh Google. Ini semakin membuktikan betapa besarnya peran teknologi eye-tracking di ranah virtual reality.

Sumber: TechCrunch.