Fujifilm GFX100 Resmi Hadir di Indonesia, Mirrorless Large Format 102-Megapixel

Pada tahun 2016, Fujifilm mengumumkan kamera mirrorless dengan sensor berukuran medium format pertamanya; disebut GFX 50S. Penerusnya lahir pada tahun 2018, GFX 50R yang juga mengusung resolusi 51MP.

Kini Fujifilm telah resmi menghadirkan kamera mirrorless medium format ketiganya ke Indonesia, GFX100. Dari namanya Anda harusnya sudah menduga bahwa kamera ini mengusung resolusi sangat tinggi, dilipatgandakan dari 51MP menjadi 102MP.

Itu berarti, GFX100 merupakan kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi saat ini. Menurut kalian overkill banget nggak sih? Buat apa resolusi setinggi ini? Selain pastinya memberi keleluasaan cropping, ini jawaban dari Fujifilm.

Fujifilm-GFX-100-3

“Kita develop 102MP untuk kepentingan preserving for the future, melestarikan untuk generasi di masa depan,” ujar Anggiawan Pratama – Marketing Manager Electronic Imaging Division PT FUJIFILM Indonesia.

Sesuai dengan tagline dari kamera GFX, “the camera to preserve for the future“. Singkatnya, untuk melestarikan hal-hal yang sudah terjadi sebaik mungkin dengan kualitas 102MP untuk masa depan.

Penamaan Medium Format Berubah

Fujifilm-GFX-100-4

Bicara soal image quality, tentunya tak lepas dari ukuran sensor. Fujifilm GFX100 ini menggunakan GFX sensor berukuran medium format. Bila dibandingkan dengan sensor full-frame 35mm, medium format ini 12mm lebih lebar dan 70 persen lebih besar.

Fujifilm menekankan bahwa GFX100 bukan hanya merupakan still camera, tapi juga dirancang untuk videografi dengan kemampuan merekam video 4K 4:2:2 10 bit lewat external recording tanpa crop. Maka dari itu Fujifilm mengklaim dan me-rename sensor medium format menjadi large format.

Menurut Anggiawan Pratama, di dunia movie/sinematografi, sensor yang lebih besar dari 35mm disebut large format. Alasan lainnya juga terkait terkait strategi marketing, medium format dinilai kurang familier.

Fitur & Spesifikasi Fujifilm GFX100

Fujifilm pertama mengungkap pengembangan GFX100 ini pada ajang Photokina 2018 di Jerman, kemudian dirilis resmi dalam acara Fujikina 2019 di Tokyo – Jepang pada bulan Mei 2019. Kini akhirnya GFX100 telah resmi dijual di Indonesia dengan harga Rp154.999.000.

Sensor 102MP-nya sudah mengunakan teknologi BSI (Back side Illuminated). Fujifilm juga mengganti struktur aluminum wiring menjadi copper wiring yang memiliki kapasitas untuk menghantarkan data lebih cepat daripada aluminum wiring.

Kamera ini mengusung sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection. Serta, memiliki in body image stabilizer (IBIS) 5-axis 5,5 stops. Mampu menghasilkan foto RAW 16 bit dengan dynamic range 14 stops dan level ISO bisa di-push sampai 102.400.

GFX100 memiliki vertical grip dan body kameranya dilengkapi dengan weather-sealing di 95 titik yang membuatnya sangat tahan terhadap debu, kelembaban dan suhu rendah. Didukung viewfinder dengan kualitas terbaik saat ini, beresolusi 5,76 juta titik dan pembesaran 0,86x. Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,36 juta titik yang bisa di-tilt.

Berikut beberapa fitur unggulan dari Fujifilm GFX100:

  • Shutter actuation 150.000 times
  • Face select function
  • Smooth skin effect
  • Continuous shooting up to 5.0 fps
  • Battery life 800 frames
  • Non-crop 4K/30p video
  • 0.86x 5.7M-dot interchangeable EVF
  • New drive mode dial operations
  • 100% coverage PDAF on chip
  • New rear sub monitor
  • Face, Eye Detection

Produk Lain yang Dirilis

Fujifilm GFX100 akan dilepas di pasaran dengan harga Rp159.499.000 dan Fujifilm menawarkan promo khusus yaitu gratis license Capture One Pro Fujifilm untuk pembelian GFX100. Sebagai bagian dari peluncuran kamera GFX100 di Indonesia, mereka juga menggelar pameran dan workshop fotografi di Grand Indonesia, West Mall Lantai 5, pada tanggal 24-28 Juli 2019.

Pameran ini yang dibuka untuk umum ini mengajak para pengunjungnya menyusuri dan melihat karya-karya fotografi yang diambil menggunakan jajaran kamera medium-format Fujifilm. Fujifim juga mengundang beberapa foto dan cinematografer ternama seperti Tompi, Wirawan Sanjaya, Dewandra Djelantik, Govinda Rumi dan Jan Gonzales – X Photographer asal Filipina untuk menjadi pembicara dalam workshop ini.

Dalam kesempatan yang sama, Fujifilm melalui Wonder Photo Shop (WPS) kini juga menghadirkan layanan cetak profesional atau Professional Printing Services. Fujifilm menawarkan dua kertas foto profesional yaitu Fujicolor Crystal Archive Maxima dan Fujifcolor Crystal Archive Pearl.

Para profesional dapat mencetak dengan berbagai ukuran yang disediakan, mulai dari 40cmx50cm hingga 120cmx200cm. Layanan professional printing ini bisa diperoleh di Wonder Photo Shop Central Park Mall dan Fujifilm Showroom Grand Indonesia mulai pertengahan Agustus mendatang.

Selain itu, Fujifilm juga mengumumkan lensa GF 50mm F3.5 R LM WR seharga Rp15.999.000 serta lensa XF 16-80mm F4 R OIS WR seharga Rp12.999.000 dan akan tersedia pada bulan September.

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.

Fujifilm Siapkan Kamera Mirrorless Medium Format Ketiga dengan Resolusi 102 Megapixel

Fujifilm GFX 50R bukan satu-satunya kamera mirrorless medium format yang diumumkan Fuji di ajang Photokina 2018. Mereka rupanya juga tengah menyiapkan kamera GFX yang ketiga. Kamera ini belum bernama, tapi saya yakin nantinya bakal ada label angka “100” pada namanya sebagai penanda resolusi sensornya yang mencapai 102 megapixel (dengan dimensi fisik sensor yang sama: 43,8 x 32,9 mm).

Resolusi setinggi itu sebenarnya bukanlah hal baru di industri fotografi digital. Hasselblad H6D yang dirilis di tahun 2016 juga mengemas sensor medium format semasif itu, akan tetapi ia tidak masuk kategori mirrorless. Fujifilm GFX 100 (sementara kita juluki itu dulu supaya gampang) di sisi lain merupakan kamera mirrorless.

Dimensinya memang lebih besar daripada GFX 50S yang sudah termasuk bongsor. Ini dikarenakan ada battery grip yang tertanam langsung ke bodi GFX 100. Kalau dilihat sepintas, wujudnya memang mirip GFX 50S yang sedang dipasangi aksesori battery grip.

Fujifilm GFX lineup

Namun resolusi tinggi rupanya belum menceritakan kapabilitas GFX 100 selengkapnya. Kamera ini turut membawa sejumlah peningkatan signifikan dibanding dua pendahulunya. Utamanya adalah sistem phase-detection autofocus (PDAF), dengan PDAF pixel yang tersebar di seluruh penampang sensor, menjadikannya lebih cekatan mengunci fokus pada subjek bergerak, sekaligus lebih akurat dalam mode continuous autofocus.

GFX 100 juga bakal menjadi kamera medium format pertama yang dilengkapi sistem image stabilization internal, sehingga penggunanya nanti tidak harus selalu bergantung pada tripod. Juga baru pada GFX 100 adalah kemampuan merekam video dalam resolusi 4K 30 fps – baik GFX 50S maupun GFX 50R hanya bisa 1080p 30 fps.

Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm
Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm

Fuji bilang bahwa kemampuan 4K ini dimungkinkan berkat penggunaan chip quad-core X Processor 4, seperti yang ada pada Fujifilm X-T3. Selain itu, chip yang sama rupanya juga berjasa menghadirkan fitur Film Simulation pada GFX 100, yang sudah menjadi ciri khas lini X-Series sejak lama.

Kamera ini baru akan diresmikan dan dipasarkan tahun depan. Pastinya kapan tidak diketahui, akan tetapi harganya diestimasikan berada di kisaran $10.000. Kalau saya boleh menyimpulkan, pengumuman kamera GFX yang ketiga ini semakin memperkuat anggapan bahwa Fuji memang tidak tertarik dengan mirrorless full-frame.

Sumber: PetaPixel.