Fujifilm X-A7 Resmi Menyapa Pasar Indonesia

Selang dua minggu setelah diumumkan secara global, Fujifilm X-A7 resmi mendarat di pasar tanah air. Kamera mirrorless kelas entry ini ditujukan secara khusus bagi para kreator konten, vlogger maupun kalangan konsumen lain yang sekadar ingin meningkatkan kualitas fotografi mereka.

Wajar jadinya apabila Fujifilm Indonesia merasa perlu cepat memasukkan kamera ini ke dalam penawarannya. X-A7 sendiri juga mengusung sejumlah pembaruan yang cukup drastis jika dibandingkan pendahulunya, X-A5, sehingga titel “mirrorless for everyone” yang Fujifilm bubuhkan untuknya terdengar pantas saja.

Fujifilm X-A7

Fuji bilang bahwa sensor APS-C 24,2 megapixel milik X-A7 mampu membaca data dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Titik phase-detection autofocus yang tersebar di penampang sensornya juga lebih banyak, dan ini sangat membantu kemampuan X-A7 dalam mengunci fokus secara cepat, bahkan ketika berada di lokasi yang minim pencahayaan.

Di sektor video, X-A7 siap merekam dalam resolusi paling tinggi 4K 30 fps. Dipadukan dengan layar sentuh yang dapat diputar secara bebas, kombinasi ini jelas membuahkan daya tarik tersendiri buat kalangan vlogger. Juga menarik adalah mode “Countdown Video” untuk membatasi durasi perekaman video (15, 30 atau 60 detik), yang pastinya ideal untuk menciptakan konten jenis Story di media sosial.

Fujifilm X-A7

Layar sentuhnya ini pun istimewa, bukan sebatas karena ukurannya yang besar (3,5 inci) dan resolusinya yang tinggi (2,76 juta dot), tapi juga berkat tingkat kecerahan maksimumnya yang mencapai angka 1.000 nit, yang berarti pengguna dapat melihat hasil jepretannya di bawah terik matahari tanpa kesulitan.

Pengoperasiannya pun banyak mengandalkan konsep “Smart Menu”, yang pada dasarnya merupakan tampilan interaktif pada layar yang dirancang untuk memudahkan para pengguna yang masih pemula. Fitur semi-otomatis, macam “Portrait Enhancer” yang akan menciptakan warna kulit (skin tone) yang alami dan seimbang di samping menyesuaikan fokus secara otomatis, tentunya juga bakal menarik perhatian para pemula, khususnya mereka yang gemar ber-selfie ria.

Fujifilm X-A7

Semua itu dihadirkan lewat bodi kamera yang ringkas, dengan bobot hanya 320 gram. Meski ringkas, baterainya diyakini cukup awet, siap menyuplai daya yang cukup untuk 440 kali jepret, dan di saat darurat, X-A7 juga dapat diisi ulang via sambungan USB-C layaknya ponsel.

Di Indonesia, Fujifilm X-A7 dijual seharga Rp 10.999.000, sudah termasuk lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ. Fujifilm juga tengah membuka program pre-order online secara eksklusif via Blibli.com yang membundel X-A7 bersama dengan printer portable Instax Share SP-3 dan SD card 32 GB dalam harga yang sama. Program ini berlangsung mulai 25 – 29 September 2019.

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.