Photo Printing Service Inmoto.in Wants People to Collect Moments

Daus Gonia of Inmoto.in was one of the presenters at Monday night’s Obsat featuring HoRepublik, talking about his photo printing service which became a finalist at id-byte Startup Hunt. Inmoto.in provides a hashtag-powered photo printing service intended for events, brands, and public spaces as on of their visitor activity points.
Continue reading Photo Printing Service Inmoto.in Wants People to Collect Moments

[DS Notes] Who Needs Hashtags Anymore?

Thanks to Twitter, the pound sign or the hash has been reborn as a topic marker and renamed the hashtag, its primary purpose is now to assist people on Twitter and other social networks seeking others talking about the same topic, but as with everything, it often gets abused, misused, and hijacked. Charlie Warzel at BuzzFeed argues that the hashtag may have outlived its usefulness especially since Twitter itself has changed how search works and now shows non-tagged posts containing the same words.

Continue reading [DS Notes] Who Needs Hashtags Anymore?

Perancis Melarang Penggunaan Istilah ‘Hashtag’

Berkembangnya beraneka produk teknologi informasi salah satunya berakibat pada eksposur yang tinggi terhadap bahasa Inggris. Sebagai bahasa utama pada aplikasi-aplikasi ataupun produk-produk teknologi lain yang banyak digunakan oleh masayarakat global, mau tidak mau istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh beragam teknologi ini semakin lama semakin populer.

Rupanya bukan hanya negara-negara berkembang yang merasakan sulitnya mempertahankan kulturnya dari gempuran arus globalisasi di era teknologi informasi ini. Baru-baru ini, seperti dikabarkan oleh harian The Mirror, pemerintah Perancis melalui otoritas Académie Française melarang penggunaan istilah ‘hashtag’ yang populer berkat aplikasi social media Twitter. Sebagai gantinya, Académie Française memperkenalkan terminologi dari bahasa Perancis sendiri yakni ‘mot-dièse’ untuk istilah ‘hashtag’. Istilah ‘mot-dièse’, ketika saya coba terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan aplikasi Google Translate, diartikan sebagai ‘kata tajam’.

Académie Française juga menghimbau para guru dan jurnalis di berbagai media untuk menggunakan terminologi ‘mot-dièse’ ke depannya. Ini menambah panjang daftar istilah dalam bahasa Inggris yang sebelumnya juga dilarang dan dihimbau untuk digantikan penggunaannya di media-media di Perancis. Selain istilah-istilah teknologi seperti ’email’ dan ‘blog’, beberapa istilah umum seperti ‘weekend’, ‘low-cost airline’, dan ‘supermodel’ ternyata juga dilarang penggunaannya.

Académie Française juga sudah sejak lama memiliki situs yang berisi rujukan terminologi-terminologi dalam bahasa Inggris serta istilah penggantinya dalam bahasa Perancis. Situs yang diberi nama France Terme ini, saat tulisan ini dibuat, memiliki koleksi 5509 istilah bahasa Inggris yang sudah disubtitusi dengan istilah dalam bahasa Perancis.

Dalam pandangan saya, masalah yang sama pun terjadi di Indonesia. Cukup banyak istilah-istilah teknologi yang sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia, atau jika ada padanan katanya, masih terasa aneh untuk digunakan oleh masyarakat umum. Apakah pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah serupa?

 

Sumber: The Mirror, Gambar: The Verge.